Anda di halaman 1dari 29

Kelompok B

MENINGITIS
Oleh:
Muhammad Reza 2007501010023
Balqis Qonita 2007501010005
Yuli Destiani 2007501010018
Firjatullah 2007501010024
Rosa Elyza Putri 2007501010013
Aulia Rahmi 2007501010004
Nisrina Hanif 1807101030043

KANTOR KESEHATAN PELABUHAN KELAS III


BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
&
BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2021
LEMBAR PENGESAHAN
Meningitis

MAKALAH

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala

Oleh :

Muhammad Reza 2007501010023


Balqis Qonita 2007501010005
Yuli Destiani 2007501010018
Firjatullah 2007501010024
Rosa Elyza Putri 2007501010013
Aulia Rahmi 2007501010004
Nisrina Hanif 1807101030043

Kepala Bagian IKM/IKK Koordinator Pendidikan Bagian


IKM/IKK
Fakultas Kedokteran Unsyiah Fakultas Kedokteran Unsyiah

dr. Nurjannah.MPH.Ph.D dr. Hafni Andayani, M.Kes


NIP. 19790711 200604 2 002 NIP.19810521 201212 0 002
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Kegiatan yang berjudul “Meningitis”.
Salawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW yang telah
membimbing umat manusia dari alam kegelapan ke alam yang penuh dengan ilmu
pengetahuan.
Penyusunan laporan kegiatan ini merupakan salah satu tugas dalam menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian IKM/IKK Fakultas Kedokteran Universitas Syiah
Kuala. Penulis menyadari bahwa penyusunan tugas laporan kegiatan ini tidak terwujud tanpa
bimbingan dan dukungan dari pembimbing. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada pembimbing yang telah membimbing penulis
mulai dari pembuatan laporan hingga laporan ini terselesaikan. Penulis juga berterimakasih
kepada teman sejawat dokter muda yang telah turut memberikan kontribusinya hingga
semua tugas dapat dilaksanakan dengan baik.
Penulis menyadari banyak kekurangan yang ada pada tulisan ini, sehingga penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan dan perbaikan dimasa
yang akan datang.

Banda Aceh, November 2021

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ..........................................................................................i


KATA PENGANTAR ....................................................................................................ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................................iii
DAFTAR ISTILAH.........................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi................................................................................................................2
2.2 Epidemiologi .................................................................................... 2
2.3 Etiologi ............................................................................................. 3
2.4 Faktor Risiko .................................................................................... 4
2.5 Patofisiologi ..................................................................................... 5
2.6 Manifestasi Klinis ............................................................................ 6
2.7 Diagnosis .......................................................................................... 8
2.8 Tatalaksana ....................................................................................... 15
2.9 Pencegahan ....................................................................................... 20
2.10 Prognosis ........................................................................................ 22

BAB III KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................24


BAB I
PENDAHULUAN

Inflamasi yang terjadi pada selaput otak dan sumsung tulang belakang atau
meninges disebut meningitis. Pada umumnya meningitis disebabkan oleh infeksi
kuman patogen yang menginvasi meninges melalui pembuluh darah dibagian lain dari
tubuh, seperti virus, bakteri, spiroketa, fungus, protozoa dan metazoa. Penyebab paling
sering adalah virus dan bakteri.(1) Pada kebanyakan pasien, gejala pernapasan
mendahului timbulnya meningitis.Sekitar setengah dari pasien mengembangkan
meningitis lebih dari 1 sampai 7 hari, sekitar 20% mengidap penyakit ini dalam 1
sampai 3 minggu setelah timbulnya gejala pernapasan, dan sekitar 25%
mengembangkan meningitis parah tiba-tiba tanpa gejala pernapasan.(2)
Meningitis dapat mengenai semua ras, di Amerika Serikat dilaporkan ras kulit
hitam lebih banyak menderita meningitis dibandingkan ras kulit putih. Pada sebagian
besar kasus, sekitar 70% kasus meningitis terjadi pada anak dibawah usia 5 tahun dan
orang tua diatas usia 60 tahun. Insidens rate meningitis akibat bakteri di Amerika
Serikat mengenai 3 per 100.000 penduduk pertahun, sedangkan karena virus di
Amerika Serikat 10 per 100.000 penduduk pertahun.(2)
Jika penyakit ini cepat dideteksi dan organisme yang menginfeksi merespon
terhadap pengobatan, prognosis baik dan jarang terjadi komplikasi. Namun, kematian
meningitis tidak diobati adalah 70% sampai 100%. Prognosis lebih buruk untuk bayi
dan orang tua. Selaput otak terdiri dari tiga lapisan dari luar ke dalam, yaitu durameter,
araknoid, piameter. Durameter adalah membrane putih tebal yang kasar, dan menutupi
seluruh otak dan medulla spinalis. Araknoid merupakan membrane lembut yang
bersatu di tempatnya dengan piameter, diantaranya terdapat ruang subaraknoid di mana
terdapat arteri dan vena serebral dan dipenuhi oleh cairan serebrospinal. Piameter
merupakan membrane halus yang kaya akan pemburu darah kecil yang mensuplai
darah ke otak dalam jumlah yang banyak. Piameter adalah lapisan yang langsung
melekat dengan permukaan otak dan seluruh medulla spinalis.(3)

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Meningitis

Meningitis adalah radang dari selaput otak yaitu lapisan arachnoid dan piameter
yang disebabkan oleh bakteri dan virus. Meningitis adalah infeksi akut yang mengenai
selaput mengineal yang dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme dengan
ditandai adanya gejala spesifik dari sistem saraf pusat yaitu gangguan kesadaran, gejala
rangsang meningkat, gejala peningkatan tekanan intrakranial dan gejala defisit
neurologi.(4)
Definisi lain menyebutkan meningitis adalah sindrom klinis yang ditandai
dengan peradangan pada meninges, yaitu lapisan membran yang melapisi otak dan
sumsum tulang belakang. Membran yang melapisi otak dan sumsum belakang ini
terdiri dari tiga lapisan yaitu(5):
1. Dura mater, merupakan lapisan terluar dan keras.
2. Arachnoid, merupakan lapisan tengah membentuk trabekula yang mirip
sarang laba-laba.
3. Pia mater, merupakan lapisan meninges yang melekat erat pada otak yang
mengikuti alur otak membentuk gyrus & sulcus.

2.2 Epidemiologi Meningitis


Insidens meningitis bakterialis di negara maju sudah menurun sebagai akibat
keberhasilan imunisasi Hib. Kejadian meningitis bakterial oleh Hib menurun 94%, dan
insidensi penyakit invasif oleh S. pneumoniae menurun dari 51,5-98,2 kasus/100.000
anak usia 1 tahun menjadi 0 kasus setelah 4 tahun program imunisasi nasional PCV7
dilaksanakan. Di Indonesia, kasus tersangka meningitis bakterialis sekitar 158/100.000
per tahun, dengan etiologi Hib 16/100.000 dan bakteri lain 67/100.000, angka yang
tinggi apabila dibandingkan dengan negara maju.(2)

2
2.3 Etiologi Meningitis
Berdasarkan penyebabnya, meningitis terbagi menjadi beberapa tipe, yaitu:

a. Meningitis Bakterialis

Meningitis tipe ini disebabkan oleh bakteri dan dapat menular. Bakteri yang
menyebabkan meningitis meliputi(6,7):

- Streptococcus pneumoniae: Bakteri ini sering menjadi penyebab meningitis


bakterialis. Meningitis akibat bakteri ini kerap dikaitkan dengan infeksi bakteri
ini di bagian tubuh lain, seperti pneumonia, sinusitis, atau endokarditis.
- Neisseria meningitidis: Bakteri ini menyebar melalui air liur atau lendir
saluran pernapasan.
- Haemophilus influenza: Haemophilus influenza tipe B atau Hib adalah jenis
bakteri yang dapat menyebabkan meningitis pada anak-anak. Selain meningitis,
bakteri ini juga dapat menyebabkan infeksi pada darah, tenggorokan, kulit, dan
sendi.
- Listeria monocytogenes: Bakteri tipe ini umumnya terdapat pada makanan,
seperti melon, keju, dan sayuran mentah.
- Staphylococcus aureus: Bakteri tipe ini umumnya ditemukan pada kulit dan
saluran pernapasan. Kondisi ini kerap di kaitkan dengan prosedur operasi di
otak atau cedera otak.
b. Meningitis Virus

Virus yang menyebabkan meningitis meliputi virus kelompok enterovirus, virus


herpes simplex, virus HIV, virus West Nile, atau virus mumps. Masing-masing jenis
virus memiliki pola penyebaran dan penularan yang berbeda-beda. Kondisi ini
umumnya menimbulkan gejala yang tergolong ringan dan dapat pulih dengan
sendirinya. Namun, pada beberapa keadaan kondisinya tetap membutuhkan perawatan
dan bisa memburuk.

3
c. Meningitis Jamur

Meningitis yang disebabkan oleh jamur masih tergolong jarang terjadi. Meningitis
tipe ini biasanya menyerang seseorang yang memiliki sistem imun lemah, seperti
penderita kanker dan AIDS. Beberapa jenis jamur yang dapat menyebabkan meningitis
adalah cryptococcus, blastomyces, histoplasma, dan coccidioides. Jamur umumnya ini
terdapat pada kotoran hewan seperti burung dan kelelawar. Penyebaran jamur dapat
melalui tanah atau debu yang terkontaminasi dan terhirup oleh pasien.

d. Meningitis Parasit

Parasit penyebab meningitis, seperti Angiostrongylus cantonensis dan


Baylisascaris procyonis, tidak disebarkan melalui kontak langsung. Parasit ini
umumnya terdapat pada hasil bumi, serta kotoran, makanan, dan hewan seperti siput,
ikan, unggas. Memakan makanan yang berbahan dasar hewan tersebut atau melakukan
aktivitas seperti berenang berpotensi tertular parasit penyebab meningitis.

2.4 Faktor Risiko Meningitis


Faktor resiko terjadinya meningitis(5) :

1. Usia, biasanya pada usia < 5 tahun dan > 60 tahun

2. Imunosupresi atau penurunan kekebalan tubuh

3. Diabetes melitus, insufisiensi renal atau kelenjar adrenal

4. Infeksi HIV

5. Anemia sel sabit dan splenektomi

6. Alkoholisme, sirosis hepatis

7. Talasemia mayor

8. Riwayat kontak yang baru terjadi dengan pasien meningitis

9. Defek dural baik karena trauma, kongenital maupun operasi

4
2.5 Patofisiologi Meningitis

- Penyebaran hematogen
Bakteri berkoloni di nasofaring dan memasuki aliran darah setelah menginvasi
mukosa. Bakteri dapat melewati sawar darah-otak dan masuk ke ruang subarachnoid
lalu menyebabkan reaksi inflamasi dan reaksi imunitas.(8)
Penyebaran bersebelahan langsung:
Organisme dapat memasuki cairan serebrospinal (CSS) melalui struktur
anatomi yang berdekatan (otitis media, sinusitis), benda asing (alat medis, trauma
tembus), atau selama prosedur operasi.10 Virus dapat menembus sistem saraf pusat
(SSP) melalui transmisi retrograde sepanjang jalur saraf atau dengan penyemaian
hematogen. Infeksi bakteri mencapai sistem saraf pusat melalui invasi langsung,
penyebaran hematogen, atau embolisasi trombus yang terinfeksi. Infeksi juga dapat
terjadi melalui perluasan langsung dari struktur yang terinfeksi melalui vv. diploica,
erosi fokus osteomyelitis, atau secara iatrogenik (pasca ventriculoperitoneal shunt atau
prosedur bedah otak lainnya).(8)
Transmisi bakteri patogen umumnya melalui droplet respirasi atau kontak
langsung dengan karier. Proses masuknya bakteri ke dalam sistem saraf pusat
merupakan mekanisme yang kompleks. Awalnya, bakteri melakukan kolonisasi
nasofaring dengan berikatan pada sel epitel menggunakan villi adhesive dan membran
protein. Risiko kolonisasi epitel nasofaring meningkat pada individu yang mengalami
infeksi virus pada sistem pernapasan atau pada perokok.(8)
Komponen polisakarida pada kapsul bakteri membantu bakteri tersebut
mengatasi mekanisme pertahanan immunoglobulin A (IgA) pada mukosa inang.
Bakteri kemudian melewati sel epitel ke dalam ruang intravaskuler di mana bakteri
relatif terlindungi dari respons humoral komplemen karena kapsul polisakarida yang
dimilikinya.(8)
Bakteri memasuki ruang subaraknoid dan cairan serebrospinal (CSS) melalui
pleksus koroid atau kapiler serebral. Perpindahan bakteri terjadi melalui kerusakan
endotel yang disebabkannya. Seluruh area ruang subaraknoid yang meliputi otak,

5
medula spinalis, dan nervus optikus dapat dimasuki oleh bakteri dan akan menyebar
dengan cepat. Hal ini menunjukkan meningitis hampir pasti selalu melibatkan struktur
serebrospinal. Infeksi juga mengenai ventrikel, baik secara langsung melalui pleksus
koroid maupun melalui refl uks lewat foramina Magendie dan Luschka.(8)
Bakteri akan bermultiplikasi dengan mudah karena minimnya respons humoral
komplemen CSS. Komponen dinding bakteri atau toksin bakteri akan menginduksi
proses inflamasi di meningen dan parenkim otak. Akibatnya, permeabilitas SDO
meningkat dan menyebabkan kebocoran protein plasma ke dalam CSS yang akan
memicu inflamasi dan menghasilkan eksudat purulen di dalam ruang subaraknoid.
Eksudat akan menumpuk dengan cepat dan akan terakumulasi di bagian basal otak serta
meluas ke selubung saraf-saraf kranial dan spinal. Selain itu, eksudat akan menginfi
ltrasi dinding arteri dan menyebabkan penebalan tunika intima serta vasokonstriksi,
yang dapat mengakibatkan iskemia serebral. Tunika adventisia arteriola dan venula
subaraknoid sejatinya terbentuk sebagai bagian dari membran araknoid. Dinding vasa
bagian luar sebenarnya sejak awal sudah mengalami proses infl amasi bersamaan
dengan proses meningitis (vaskulitis infeksius).(8)
Selanjutnya, dapat terjadi syok yang mereduksi tekanan darah sistemik,
sehingga dapat mengeksaserbasi iskemia serebral. Selain itu, MB dapat menyebabkan
trombosis sekunder pada sinus venosus mayor dan tromboflebitis pada vena-vena
kortikal. Eksudat purulen yang terbentuk dapat menyumbat resorpsi CSS oleh villi
araknoid atau menyumbat aliran pada sistem ventrikel yang menyebabkan hidrosefalus
obstruktif atau komunikans yang disertai edema serebral interstisial. Eksudat tersebut
juga dapat mengelilingi saraf-saraf kranial dan menyebabkan neuropati kranial fokal.(8)

2.6 Manifestasi Klinis Meningitis

Gejala klasik berupa trias meningitis mengenai kurang lebih 44% penderita
meningitis bakteri dewasa. Trias meningitis tersebut sebagai berikut(9,10):

6
1. Demam
2. Nyeri kepala
3. Kaku kuduk.
Selain itu meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas
mendadak, letargi, mual muntah, penurunan nafsu makan, nyeri otot, fotofobia, mudah
mengantuk, bingung, gelisah, parese nervus kranialis dan kejang. Diagnosis pasti
ditegakkan dengan pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) melalui pungsi lumbal.
Meningitis karena virus ditandai dengan cairan serebrospinal yang jernih serta
rasa sakit penderita tidak terlalu berat. Pada umumnya, meningitis yang disebabkan
oleh Mumpsvirus ditandai dengan gejala anoreksia dan malaise, kemudian diikuti
oleh pembesaran kelenjer parotid sebelum invasi kuman ke susunan saraf pusat. Pada
meningitis yang disebabkan oleh Echovirus ditandai dengan keluhan sakit kepala,
muntah, sakit tenggorok, nyeri otot, demam, dan disertai dengan timbulnya ruam
makopapular yang tidak gatal di daerah wajah, leher, dada, badan, dan ekstremitas.
Gejala yang tampak pada meningitis Coxsackie virus yaitu tampak lesi vaskuler pada
palatum, uvula, tonsil, dan lidah dan pada tahap lanjut timbul keluhan berupa sakit
kepala, muntah, demam, kaku kuduk, dan nyeri punggung.
Meningitis bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan alat pernafasan
dan gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus terjadi secara akut dengan
gejala panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu makan
berkurang, dehidrasi dan konstipasi, biasanya selalu ditandai dengan fontanella yang
mencembung. Kejang dialami lebih kurang 44 % anak dengan penyebab
Haemophilus influenzae, 25 % oleh Streptococcus pneumoniae, 21 % oleh
Streptococcus, dan 10 % oleh infeksi Meningococcus. Pada anak-anak dan dewasa
biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernafasan bagian atas, penyakit juga
bersifat akut dengan gejala panas tinggi, nyeri kepala hebat, malaise, nyeri otot dan
nyeri punggung. Cairan serebrospinal tampak kabur, keruh atau purulen.
Meningitis Tuberkulosa terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium I atau stadium
prodormal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala infeksi
biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat subakut, sering tanpa demam,

7
muntah-muntah, nafsu makan berkurang, murung, berat badan turun, mudah
tersinggung, cengeng, opstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan kesadaran berupa
apatis. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala,
konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, dan sangat
gelisah.
Stadium II atau stadium transisi berlangsung selama 1 – 3 minggu dengan
gejala penyakit lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat,
gangguan kesadaran dan kadang disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak.
Tanda-tanda rangsangan meningeal mulai nyata, terjadi parese nervus kranialis,
hemiparese atau quadripare, seluruh tubuh dapat menjadi kaku, terdapat tanda-tanda
peningkatan intrakranial, ubun-ubun menonjol dan muntah lebih hebat.
` Stadium III atau stadium terminal ditandai dengan kelumpuhan semakin parah
dan gangguan kesadaran lebih berat sampai koma. Pada stadium ini penderita dapat
meninggal dunia dalam waktu tiga minggu bila tidak mendapat pengobatan
sebagaimana mestinya.

2.7 Diagnosis Meningitis(11,12)


Penegakan diagnosis dapat diketahui dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesa
Pada anamnesa dapat diketahui adanya trias meningitis seperti demam,
nyeri kepala dan kaku kuduk. Gejala lain seperti mual muntah, penurunan
nafsu makan, mudah mengantuk, fotofobia, gelisah, kejang dan penurunan
kesadaran. Anamnesa dapat dilakukan pada keluarga pasien yang dapat
dipercaya jika tidak memungkinkan untuk autoanamnesa.

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat mendukung diagnosis meningitis biasanya
dilakukan pemeriksaan rangsang meningeal. Yaitu sebagai berikut :

8
a. Pemeriksaan Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa
fleksi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan
dan tahanan pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan
spasme otot.

b. Pemeriksaan Kernig
Pasien berbaring terlentang, dilakukan fleksi pada sendi panggul
kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin
tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak
mencapai sudut 135° (kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna) disertai
spasme otot paha biasanya diikuti rasa nyeri.

c. Pemeriksaan Brudzinski I (Brudzinski leher)


Pasien berbaring dalam sikap terlentang, tangan kanan ditempatkan
dibawah kepala pasien yang sedang berbaring , tangan pemeriksa yang
satu lagi ditempatkan didada pasien untuk mencegah diangkatnya
badan kemudian kepala pasien difleksikan sehingga dagu menyentuh
dada. Brudzinski I positif (+) bila gerakan fleksi kepala disusul dengan
gerakan fleksi di sendi lutut dan panggul kedua tungkai secara
reflektorik.

9
d. Pemeriksaan Brudzinski II (Brudzinski Kontralateral tungkai)
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada
sendi panggul (seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II
positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada sendi
panggul dan lutut kontralateral.

e. Pemeriksaan Brudzinski III (Brudzinski Pipi)


Pasien tidur terlentang tekan pipi kiri kanan dengan kedua ibu
jari pemeriksa tepat di bawah os ozygomaticum.Tanda Brudzinski III
positif (+) jika terdapat flexi involunter extremitas superior.
f. Pemeriksaan Brudzinski IV (Brudzinski Simfisis)
Pasien tidur terlentang tekan simpisis pubis dengan kedua ibu jari
tangan pemeriksaan. Pemeriksaan Budzinski IV positif (+) bila terjadi
flexi involunter extremitas inferior.
g. Pemeriksaan Lasegue
Pasien tidur terlentang, kemudian diextensikan kedua tungkainya.
Salah satu tungkai diangkat lurus. Tungkai satunya lagi dalam keadaan
lurus. Tanda lasegue positif (+) jika terdapat tahanan sebelum
mencapai sudut 70° pada dewasa dan kurang dari 60° pada lansia.

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Pungsi Lumbal

10
Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan
protein cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya
peningkatan tekanan intrakranial.

1) Pada Meningitis Serosa terdapat tekanan yang bervariasi, cairan


jernih, sel darah putih meningkat, glukosa dan protein normal,
kultur negatif.
2) Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan
keruh, jumlah sel darah putih meningkat (pleositosis lebih dari 1000
mm3), protein meningkat, glukosa menurun, kultur (+) beberapa
jenis bakteri.
Dibawah ini tabel yang menampilkan berbagai kemungkinan agen infeksi pada
cairan serebrospinal yaitu:

Agent Opening WBC count Glucose Protein Microbiology


Pressure (cells/µL) (mg/dL) (mg/dL)
(mm H2
O)
Bacterial 200-300 100-5000; < 40 >100 Specific
meningitis >80% PMNs pathogen
demonstrated in
60% of Gram
stains and 80%
of cultures
Viral 90-200 10-300; Normal, Normal Viral isolation,
meningitis lymphocytes reduced but may PCR assays
in LCM be
and slightly
mumps elevated

11
Tuberculous 180-300 100-500; Reduced, Elevated, Acid-fast
meningitis lymphocytes < 40 >100 bacillus stain,
culture, PCR
Cryptococcal 180-300 10-200; Reduced 50-200 India ink,
meningitis lymphocytes cryptococcal
antigen, culture
Aseptic 90-200 10-300; Normal Normal Negative
meningitis lymphocytes but may findings on
be workup
slightly
elevated
Normal 80-200 0-5; 50-75 15-40 Negative
values lymphocytes findings on
workup
LCM = lymphocytic choriomeningitis; PCR = polymerase chain reaction;
PMN = polymorphonuclear leukocyte; WBC = white blood cell.

b. Pemeriksaan Darah
Dilakukan pemeriksaan darah rutin, Laju Endap Darah (LED), kadar
glukosa, kadar ureum dan kreatinin, fungsi hati, elektrolit.

1) Pemeriksaan LED meningkat pada meningitis TB


2) Pada meningitis bakteri didapatkan peningkatan leukosit
polimorfonuklear dengan shift ke kiri.
3) Elektrolit diperiksa untuk menilai dehidrasi.
4) Glukosa serum digunakan sebagai perbandingan terhadap glukosa
pada cairan serebrospinal.
5) Ureum, kreatinin dan fungsi hati penting untuk menilai fungsi organ
dan penyesuaian dosis terapi.

12
6) Tes serum untuk sipilis jika diduga akibat neurosipilis.

c. Kultur
Kultur bakteri dapat membantu diagnosis sebelum dilakukan lumbal
pungsi atau jika tidak dapat dilakukan oleh karena suatu sebab seperti
adanya hernia otak. Sampel kultur dapat diambil dari :

1) Darah, 50% sensitif jika disebabkan oleh bakteri H. Influenzae, S.


Pneumoniae, N. Meningitidis.
2) Nasofaring
3) Sputum
4) Urin
5) Lesi kulit
d. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis meliputi pemeriksaan foto thorax, foto kepala,
CT-Scan dan MRI. Foto thorax untuk melihat adanya infeksi
sebelumnya pada paru-paru misalnya pada pneumonia dan tuberkulosis,
foto kepala kemungkinan adanya penyakit pada mastoid dan sinus
paranasal.

Pemeriksaan CT-Scan dan MRI tidak dapat dijadikan pemeriksaan


diagnosis pasti meningitis. Beberapa pasien dapat ditemukan adanya
enhancemen meningeal, namun jika tidak ditemukan bukan berarti
meningitis dapat disingkirkan.

Berdasarkan pedoman pada Infectious Diseases Sosiety of America


(IDSA), berikut ini adalah indikasi CT-Scan kepala sebelum dilakukan
lumbal pungsi yaitu :

1) Dalam keadaan Immunocompromised

13
2) Riwayat penyakit pada sistem syaraf pusat (tumor, stroke, infeksi
fokal)
3) Terdapat kejang dalam satu minggu sebelumnya
4) Papiledema
5) Gangguan kesadaran
6) Defisit neurologis fokal
Temuan pada CT-Scan dan MRI dapat normal, penipisan sulcus,
enhancement kontras yang lebih konveks. Pada fase lanjut dapat pula
ditemukan infark vena dan hidrosefalus komunikans.

Gambar 1. CT-Scan pada Meningitis Bakteri. Didapatkan


ependimal enhancement dan ventrikulitis

14
Gambar 2. MRI pada meningitis bakterial akut. Contrast-
enhanced, didapatkan leptomeningeal enhancement

2.8 Tatalaksana Meningitis(12)


Penatalaksanaan meningitis mencakup penatalaksanaan kausatif, komplikatif
dan suportif:
1. Meningitis Virus
Sebagian besar kasus meningitis dapat sembuh sendiri. Penatalaksanaan
umum meningitis virus adalah terapi suportif seperti pemberian analgesik,
antpiretik, nutrisi yang adekuat dan hidrasi. Meningitis enteroviral dapat
sembuh sendiri dan tidak ada obat yang spesifik, kecuali jika terdapat
hipogamaglobulinemia dapat diberikan imunoglonbulin. Pemberian
asiklovir masih kontroversial, namun dapat diberikan sesegera mungkin
jika kemungkinan besar meningitis disebabkan oleh virus herpes. Beberapa
ahli tidak menganjurkan pemberian asiklovir untuk herpes kecuali jika
terdapat ensefalitis. Dosis asiklovir intravena adalah (10mg/kgBB/8jam).2
Gansiklovir efektif untuk infeksi Cytomegalovirus (CMV), namun karena
toksisitasnya hanya diberikan pada kasus berat dengan kultur CMV positif
atau pada pasien dengan imunokompromise. Dosis induksi selama 3

15
minggu 5 mg/kgBB IV/ 12 jam, dilanjutkan dosis maintenans 5 mg/kgBB
IV/24 jam.
2. Meningitis Bakteri
Meningitis bakterial adalah suatu kegawatan dibidang neurologi karena
dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Oleh karena
itu pemberian antibiotik empirik yang segera dapat memberikan hasil yang
baik.
Age or Predisposing Feature Antibiotics

Age 0-4 wk Amoxicillin or ampicillin plus either cefotaxime


or an aminoglycoside

Age 1 mo-50 y Vancomycin plus cefotaxime or ceftriaxone*

Age >50 y Vancomycin plus ampicillin plus ceftriaxone or


cefotaxime plus vancomycin*

Impaired cellular immunity Vancomycin plus ampicillin plus either cefepime


or meropenem

Recurrent meningitis Vancomycin plus cefotaxime or ceftriaxone

Basilar skull fracture Vancomycin plus cefotaxime or ceftriaxone

Head trauma, neurosurgery, or Vancomycin plus ceftazidime, cefepime, or


CSF shunt meropenem

CSF = cerebrospinal fluid.


*Add amoxicillin or ampicillin if Listeria monocytogenes is a suspected pathogen.

Tabel 2. Rekomendasi Terapi Empirik dengan Meningitis Suspek Bateri


a. Neonatus-1 bulan
1) Usia 0-7 hari, Ampicillin 50 mg/kgBB IV/ 8 jam atau dengan
tambahan gentamicin 2.5 mg/kgBB IV/ 12 jam.
2) Usia 8-30 hari, 50-100 mg/kgBB IV/ 6 jam atau dengan tambahan
gentamicin 2.5 mg/kgBB IV/ 12 jam.
b. Bayi usia 1-3 bulan
1) Cefotaxim (50 mg/kgBB IV/ 6 jam)
2) Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB/ 12 jam)

16
Ditambah ampicillin (50-100 mg/kgBB IV/ 6 jam)
Alternatif lain diberikan Kloramfenikol (25 mg/kgBB oral atau IV/ 12
jam) ditambah gentamicin (2.5 mg/kgBB IV or IM / 8 hours).

c. Bayi usia 3 bulan sampai anak usia 7 tahun


1) Cefotaxime (50 mg/kgBB IV/ 6 jam, maksimal 12 g/hari)
2) Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB IV/ 12 jam,
maksimal 4 g/hari)
d. Anak usia 7 tahun sampai dewassa usia 50 tahun
1) Dosis anak
Cefotaxime (50 mg/kgBB IV/ 6 jam, maksimal 12 g/hari)
Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB IV/ 12 jam,
maksimal 4 g/hari)
Vancomycin – 15 mg/kgBB IV/ 8 jam
2) Dosis dewasa
Cefotaxime – 2 g IV/ 4 jam
Ceftriaxone – 2 g IV/ 12 jam
Vancomycin – 750-1000 mg IV/ 12 jam atau 10-15 mg/kgBB IV/
12 jam
Beberapa pengalaman juga diberikan rifampisin (dosis anak-anak, 20
mg/kgBB/hari IV; dosis dewasa, 600 mg/hari oral). Jika dicurigai
infeksi listeria ditambahkan ampicillin (50 mg/kgBB IV/ 6 jam).

e. Usia lebih dari atau sama dengan 50 tahun


1) Cefotaxime – 2 g IV/ 4 jam
2) Ceftriaxone – 2 g IV/ 12 jam
Dapat ditambahkan dengan Vancomycin – 750-1000 mg IV/ 12 jam
atau 10-15 mg/kgBB IV/ 12 jam atau ampicillin (50 mg/kgBB IV/ 6
jam). Jika dicurigai basil gram negatif diberikan ceftazidime (2 g IV/ 8
jam).

17
Selain antibiotik, pada infeksi bakteri dapat pula diberikan kortikosteroid
(biasanya digunakan dexamethason 0,25 mg/kgBB/ 6 jam selama 2-4 hari).
meskipun pemberian kortikosteroid masih kontroversial, namun telah
terbukti dapat meningkatkan hasil keseluruhan pengobatan pada meningitis
akibat H. Influenzae, tuberkulosis, dan meningitis pneumokokus. Dalam
suatu penelitian yang dilakukan oleh Brouwer dkk., pemberian
kortikosteroid dapat mengurangi gejala gangguan pendengaran dan gejala
neurologis sisa tetapi secara umum tidak dapat mengurangi mortalitas.

Bagan 2. Algoritma Tatalaksana Meningitis Suspek Bakteri pada Orang Dewasa

3. Meningitis Sifilitika
Terapi pilihan pada meningitis sifilitika adalah penisilin G kristal aqua
dengan dosis 2-4 juta unit/hari setiap 4 jam selama 10-14 hari, sering pula
diikuti pemberian penisilin G benzatin IM dengan dosis 2.4 juta unit.
Pilihan alternatif adalah penisilin G prokain dosis 2.4 juta unit/hari IM dan

18
probenesid dosis 500 mg oral setiap 6 jam selama 14 hari, diikuti pemberian
penisilin G benzatin IM dengan dosis 2.4 juta unit. Pasien dengan
meningitis sifilitika disertai HIV dapat diberikan yang serupa. Oleh karena
penisilin G merupakan obat pilihan, pasien dengan alergi penisilin harus
menjalani penisilin desensitisasi. Setelah dilakukan pengobatan,
pemeriksaan cairan serebrospinal harus dilakukan secara teratur setiap 6
bulan sekali, hal ini penting dilakukan untuk melihat keberhasilan terapi.
4. Meningitis Fungal
Pada meningitis akibat kandida dapat diberikan terapi inisial amphotericin
B (0.7 mg/kgBB/hari), biasanya ditambahkan Flucytosine (25 mg/kgBB/ 6
jam) untuk mempertahankan kadar dalam serum (40-60 µg/ml) selama 4
minggu. Setelah terjadi resolusi, sebaiknya terapi dilanjutkan selama
minimal 4 minggu. Dapat pula diberikan sebagai follow-up golongan azol
seperti flukonazol dan itrakonazol.
5. Meningitis Tuberkulosa
Pengobatan meningitis tuberkulosa dengan obat anti tuberkulosis sama
dengan tuberkulosis paru-paru. Dosis pemberian adalah sebagai berikut :
a. Isoniazid 300 mg/hari
b. Rifampin 600 mg/hari
c. Pyrazinamide 15-30 mg/kgBB/hari
d. Ethambutol 15-25 mg/kgBB/hari
e. Streptomycin 7.5 mg/kgBB/ 12 jam
Atau dapat menggunakan acuan dosis sebagai berikut :

19
Tabel 3. Dosis Obat Antituberkulosis

Pengobatan dilakukan selama 9-12 bulan. Jika sebelumnya telah mendapat


obat antituberkulosis, pengobatan tetap dilanjutkan tergantung kategori.
Pemberian kortikosteroid diindikasikan pada meningitis stadium 2 atau 3.
Hal ini dapat mengurangi inflamasi pada proses lisis bakteri karena obat
anti tuberkulosis. Biasanya dipilih dexamethason dengan dosis 60-80
mg/hari yang diturunkan secara bertahap selama 6 minggu.

6. Meningitis Parasitik
Meningitis karena cacing ditatalaksana dengan terapi suportif seperti
analgesia yang adekuat, terapi aspirasi cairan serebrospinal dan
antiinflamasi seperti kortikosteroid. Pemberian obat antihelmintic dapat
menjadi kontraindikasi karena dapat memperparah gejala klinis dan bahkan
menyebabkan kematian sebagai akibat dari peradangan hebat yang
merupakan respon terhadap proses penghancuran cacing.
Meningitis amuba yang diakibatkan oleh Naegleria fowleri adalah fatal.
Diagnosis dini dan pemberian dosis tinggi IV amfoterisin B atau mikonazol
dan rifampisin dapat memberikan manfaat terapi.

2.9 Pencegahan Poliomielitis

A. Pencegahan Meningitis(13,14)

1. Pencegahan Primer

Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko


meningitis bagi individu yang belum mempunyai faktor resiko dengan melaksanakan
pola hidup sehat.14 Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan imunisasi
meningitis pada bayi agar dapat membentuk kekebalan tubuh. Vaksin yang dapat
diberikan seperti Haemophilus influenzae type b (Hib), Pneumococcal conjugate
vaccine (PCV7), Pneumococcal polysaccaharide vaccine (PPV), Meningococcal

20
conjugate vaccine (MCV4), dan MMR (Measles dan Rubella). Imunisasi Hib
Conjugate vaccine (Hb- OC atau PRP-OMP) dimulai sejak usia 2 bulan dan dapat
digunakan bersamaan dengan jadwal imunisasi lain seperti DPT, Polio dan MMR.
Vaksinasi Hib dapat melindungi bayi dari kemungkinan terkena meningitis Hib hingga
97%. Pemberian imunisasi vaksin Hib yang telah direkomendasikan oleh WHO, pada
bayi 2-6 bulan sebanyak 3 dosis dengan interval satu bulan, bayi 7-12 bulan di berikan
2 dosis dengan interval waktu satu bulan, anak 1-5 tahun cukup diberikan satu dosis.
Jenis imunisasi ini tidak dianjurkan diberikan pada bayi di bawah 2 bulan karena dinilai
belum dapat membentuk antibodi.

Meningitis Meningococcus dapat dicegah dengan pemberian kemoprofilaksis


(antibiotik) kepada orang yang kontak dekat atau hidup serumah dengan penderita.11
Vaksin yang dianjurkan adalah jenis vaksin tetravalen A, C, W135 dan Y.

Meningitis TBC dapat dicegah dengan meningkatkan sistem kekebalan tubuh


dengan cara memenuhi kebutuhan gizi dan pemberian imunisasi BCG. Hunian
sebaiknya memenuhi syarat kesehatan, seperti tidak over crowded (luas lantai > 4,5 m2
/orang), ventilasi 10 – 20% dari luas lantai dan pencahayaan yang cukup.

Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara mengurangi kontak langsung


dengan penderita dan mengurangi tingkat kepadatan di lingkungan perumahan dan di
lingkungan seperti barak, sekolah, tenda dan kapal. Meningitis juga dapat dicegah
dengan cara meningkatkan personal hygiene seperti mencuci tangan yang bersih
sebelum makan dan setelah dari toilet.

2. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan penyakit sejak awal, saat


masih tanpa gejala (asimptomatik) dan saat pengobatan awal dapat menghentikan
perjalanan penyakit. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan diagnosis dini dan
pengobatan segera. Deteksi dini juga dapat ditingkatan dengan mendidik petugas
kesehatan serta keluarga untuk mengenali gejala awal meningitis.

21
Dalam mendiagnosa penyakit dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik,
pemeriksaan cairan otak, pemeriksaan laboratorium yang meliputi test darah dan
pemeriksaan X-ray (rontgen) paru. Selain itu juga dapat dilakukan surveilans ketat
terhadap anggota keluarga penderita, rumah penitipan anak dan kontak dekat lainnya
untuk menemukan penderita secara dini.15

3. Pencegahan Tertier

Pencegahan tertier merupakan aktifitas klinik yang mencegah kerusakan


lanjut atau mengurangi komplikasi setelah penyakit berhenti. Pada tingkat
pencegahan ini bertujuan untuk menurunkan kelemahan dan kecacatan akibat
meningitis, dan membantu penderita untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi-
kondisi yang tidak diobati lagi, dan mengurangi kemungkinan untuk mengalami
dampak neurologis jangka panjang misalnya tuli atau ketidakmampuan untuk
belajar. Fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan untuk mencegah dan mengurangi
cacat.

2.10 Prognosis Meningitis

MB yang tidak diobati biasanya berakhir fatal. Meningitis pneumokokal


memiliki tingkat fatalitas tertinggi, yaitu 19-37%. Pada sekitar 30% pasien yang
bertahan hidup, terdapat sekuel defi sit neurologic seperti gangguan pendengaran dan
defisit neurologik fokal lain. Individu yang memiliki faktor risiko prognosis buruk
adalah pasien immunocompromised, usia di atas 65 tahun, gangguan kesadaran, jumlah
leukosit CSS yang rendah, dan infeksi pneumokokus. Gangguan fungsi kognitif terjadi
pada sekitar 27% pasien yang mampu bertahan dari MB.(15,16)

22
BAB III
KESIMPULAN

Meningitis merupakan suatu penyakit akibat inflamasi yang terjadi pada selaput
otak yaitu meninges. Meningitis dapat terjadi karena adanya faktor resiko tertentu
seperti pada usia yang kurang dari 5 tahun atau lebih dari 60 tahun, kekebalan tubuh
yang menurun, adanya penyakit sistemik atau penyakit lain sebelumnya seperti
tuberkulosis, mastoiditis dan sinusitis, atau adanya riwayat kontak dengan penderita
meningitis. Kejadian meningitis berhubungan dengan suatu wilayah dan musim
tertentu. Misalnya pada afrika ada suatu istilah yang disebut the african meningitis belt,
yang menunjukkan kecenderungan meningitis pada wilayah-wilayah tertentu.

Meningitis terjadi karena berbagai penyebab, pada umumnya karena infeksi


berbagai macam mikroorganisme, dimana penyebab infeksi terbanyak adalah virus dan
bakteri. Meningitis akibat virus biasanya dapat sembuh dengan sendirinya, sementara
meningitis karena bakteri dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi, morbiditas
yang lama akibat gejala sisa neurologis atau bahkan menyebabkan kematian.
Pembuatan diagnosis yang segera dan manajemen terapi yang sesuai dapat
menghentikan perjalanan penyakit dan mencegah timbulnya komplikasi. Prognosis
meningitis tergantung pada usia, tingkat keparahan penyakit, agen penyebab infeksi
dan respon pengobatan.

Pencegahan meningitis adalah suatu upaya untuk mencegah terjadinya


meningitis (primer), upaya untuk menghentikan perjalanan penyakit dengan
pengenalan dan pengobatan dini (sekunder), dan untuk mengurangi komplikasi dan
gejala sisa (tertier), sehingga diharapkan pasien dapat tetap menjalani aktivitas sehari-
harinya secara mandiri. Jika upaya pencegahan-pencegahan ini dilakukan secara
maksimal dalam ruang lingkup yang luas, kematian dan kecacatan akibat meningitis
dapat diturunkan secara signifikan.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Wong CH, Duque JSR, Wong JSC, Chan CV, Lam ICS, Fu YM, et al. Epidemiology
and Trends of Infective Meningitis in Neonates and Infants Less than 3 Months of Age
in Hong Kong. Int J Infect Dis [Internet]. 2021;0–26. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.ijid.2021.06.025
2. Pilmis B, de Ponfilly GP, Farfour E, Ranc A-G, Fihman V, Bille E, et al.
Epidemiology and clinical characteristics of Klebsiella spp. meningitis in France. Infect
Dis Now. 2021
3. Borrow R, Caugant DA, Ceyhan M, Christensen H, Dinleyici EC, Findlow J, et al.
Meningococcal disease in the Middle East and Africa: Findings and updates from the
Global Meningococcal Initiative. J Infect. 2017;75(1):1–11.
4. Hersi K, Gonzalez FJ, Kondamudi NP. Meningitis. Natl Institutes Heal
[Internet].2021; Availablefrom:https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459360/
5. Hasbu, Rodrigo, May 7, 2013. Meningitis. Article. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/232915-overview#showall
6. Wright WF, Pinto CN, Palisoc K, Baghli S. Viral (aseptic) meningitis: A review. J
Neurol Sci. 2019 Mar 15. 398:176-183

7. Oligbu G, Collins S, Djennad A, et al. Effect of Pneumococcal Conjugate Vaccines


on Pneumococcal Meningitis, England and Wales, July 1, 2000-June 30, 2016. Emerg
Infect Dis. 2019. 25(9):1708-1718.

8. Van Samkar A, Brouwer MC, van der Ende A, van de Beek D. Zoonotic bacterial
meningitis in human adults. Neurology. 2016 Sep 13. 87 (11):1171-9.

9. Meisadona G, Soebroto AD, Estiasari R. Diagnosis dan Tatalaksana Meningitis


Bakterialis. Cdk-224. 2015;42(1):15–9.
10. Bhimraj A. Acute community-acquired bacterial meningitis in adults: An evidence-
based review. Clev Clin J of Med. 2012;79:393-400.

11. Beaglehole, R., dkk., 2017. Dasar-dasar Epidemiologi. Gadjah Mada


University Press, Yogyakarta.
12. Sbagia, D., 2016. Kemajuan Dalam Pengembangan Vaksin Terhadap Infeksi

24
Saluran Pernapasan dan Meningitis. Buletin Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Vol.XIII, No.4, Hal 32-37, Jakarta
13. Djauzi, S., Sundaru, H., 2019. Imunisasi Dewasa. Penerbit FK UI, Jakarta.

14. Nofareni, 2016. Status Imunisasi BCG dan Faktor Lain yang Mempengaruhi
Terjadinya Meningitis Tuberkulosa
15. Emad, 2018. Neurologic Complications of Bacterial Meningitis. Journal. In tech.
16. Van De Beek D, De Gans J, Tunkel AR, Wijdicks EFM. Community-acquired
bacterial meningitis in adults. N Eng J Med. 2006;354:44-53.

25

Anda mungkin juga menyukai