Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

IJMA’ DAN PENERAPANNYA


DALAM FATWA EKONOMI SYARIAH

DISUSUN OLEH:
MUHAMMAD ALFI ALFARIDLI
Nim : 2110400059

UNIVERSITAS NURUL JADID


PAITON – PROBOLINGGO – JAWA TIMUR
TAHUN 2021 /2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur Penyusun panjatkan kepada Allah S.W.T, yang telah


Melimpahkan rahmat, hidayah dan karunianya, sehingga penyusun dapat
Menyelesaikan makalah USHUL FIQH dengan judul “ijma’ dan penerapanya dalam
ekonomi syariah”

Makalah ini ini disusun atas dasar untuk memenuhi tugas-tugas mata Kuliah
Ushul fiqh. Tidak lupa penyusun mengucapkan banyak-banyak Terima kasih kepada
segenap pihak yang telah membantu dan memberikan Bimbingan serta arahan
selama penulisan makalah ini. Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dalam kesempurnaan, Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat
penyusun harapkan demi Kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, Penyusun mohon
maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam Penyusunan makalah ini terdapat
banyak kesalahan. Semoga makalah ini dapat Bermanfaat khususnya bagi
penyusun dan umumnya bagi para pembaca

Paiton, 8 November 2021

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentasi


dibawah dalil-dalil Nas (Al-Qur’an dan Hadits) ia merupakan dalil pertama setelah
Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-
hukum syara’
Namun ada komunitas umat islam tidak mengakui dengan adanya ijma’ itu
sendiri yang mana mereka hanya berpedoman pada Al-Qur’an dan Al Hadits,
mereka berijtihat dengan sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu sendiri
(Al-Qur’an dan Hadits).
Ijma’ muncul setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijtihad
untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi.
“Khalifah Umar Ibnu Khattab ra. Misalnya selalu mengumpulkan para
sahabat untuk berdiskusi dan bertukar fikiran dalam menetapkan hukum, jika
mereka telah sepakat pada satu hukum, maka ia menjalankan pemerintahan
berdasarkan hukum yang telah disepakati.
Terkait dengan ijma’ ini masih banyak komonitas diantaranya, sebagian
mahasiswa yang masih minim dalam memahami ijma’ itu sendiri maka dari itu
kami penulis akan membahas tentang ijma’ dan dirumuskan dalam rumusan
masalah dibawah ini.

B. Rumusan Masalah

1. Pengertian dan dasar ijma'


2. Rukun dan syarat ijma'
3. Pandangan ulama tentang kehujjahan ijma’
4. Aplikasi ijma’ dalam ekonomi dan perbankan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijma’

Secara etimologi ijma' berarti kesepakatan dan konsensus ini dijumpai


dalam Alquran QS. Annisa (5) 115. Pengertian etimologi kedua dari ijma
adalah ketetapan hati untuk melakukan sesuatu ini ditentukan dalam QS.
Yunus (10) : 71. Perbedaan antara pengertian kedua terletak pada kuantitas
(jumlah) orang yang berketetapan hati. pengertian pertama mencukupkan
satu tekad saja, sedangkan untuk pengertian kedua memerlukan tingkat
kelompok.

Al Ghazali mendefinisikan itu mah dengan kesepakatan umat


Muhammad secara khusus atas suatu urusan agama. Meskipun dalam istilah
ini dikhususkan kepada umat nabi Muhammad, namun mencakup jumlah
yang luas yaitu seluruh umat nabi Muhammad atau umat Islam. Pandangan
imam Ghazali ini mengikuti pandangan imam Syafi'i yang menetapkan iklim
yaitu sebagai kesepakatan umat. Hal ini tampaknya didasarkan pada
keyakinan bahwa yang terhindar dari kesalahan hanyalah umat secara
keseluruhan, bukan perorangan

Dalam hadis disebutkan bahwa ijma atau kesepakatan bersama


merupakan konsensus yang memiliki nilai kebenaran dan terhindar dari
kesesatan titik oleh karena itu, bila para mujtahid telah melakukan Isma
tentang hukum syara dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma itu
hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan
untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta. hal ini
diungkapkan nabi dalam sabdanya yang artinya " umatku tidak akan
bersepakat untuk melakukan kesalahan " (HR. Abu Daud dan Tirmidzi) Hadis
yang lain juga bersabda : " hendaklah kalian berjamaah dan jangan bercerai
berai, karena setan bersama yang sendiri dan dengan dua orang lebih jauh."
(HR. At-Tirmidzi)

B. Dasar Hukum Ijma’


Dasar hukum ijma’ ialah aI-Qur’an, al-Hadits dan akal pikiran.
1. -Qur’an
Firman Allah dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 59 yang artinya :
“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu”.
Perkataan ulil amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan yang
bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan
dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam
urusan agama ialah para mujtahid.
Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang
sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu
hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.
2. Hadist
Bila para mujtahid telah melakukan ijma’ tentang hukum syara’ dari suatu
peristiwa atau kejadian, maka ijma’ itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak
mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan
dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Artinya: “umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan.” (HR. Abu
Daud dan Tirmidzi)

C. Syarat dan Rukun Ijma’


Berdasarkan definisi di atas ijtima merupakan konsensus ulama terhadap
problematika hukum syar’i pasca wafatnya nabi s a w oleh karena itu, dari definisi
dan dasar hukum ijma di atas, maka ulama Ushul fiqh menetapkan rukun-rukun ijma
sebagai berikut
1. harus ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya peristiwa dan
para mujtahid itulah yang melakukan kesepakatan menetapkan hukum
peristiwa itu. Seandainya tidak ada beberapa orang mujtahid di waktu
terjadinya suatu peristiwa tentulah tidak akan terjadi ijma’, karena ijma’
itu harus dilakukan oleh beberapa orang
2. Pelaku kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam
dunia islam. Jika kesepakatan itu hanya dilakukan oleh para mujtahid
yang ada pada suatu negara saja, maka kesepakatan yang diberikan
belum dapat dikatakan suatu ijma’.
3. Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap usai bahwa
ia berpendapat dengan mujtahid mujtahid yang lain tentang hukum
syara dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa itu
4. Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat di
seluruh mujahid. Seandainya terjadi suatu kesepakatan oleh sebagian
besar masyarakat yang ada, maka keputusan yang belum pasti ketaraf
ijma’, ini Mak yang demikian belum dapat dijadikan sebagai hujjah
Syari’ah
5. Kesepakatan itu harus bersandarkan pada dalil syar’i baik berupa nash
maupun qiyas. Karena itu mah yang tanpa dasar tidak dapat diterima
dari jemaah yang disandarkan hanya pada akal merupakan konsensus
Yang terlarang.
Adapun syarat terjadinya ijma menurut ushuliyyun adalah sebagai berikut
 yang melakukan ijma tersebut adalah orang-orang yang memenuhi
persyaratan ijtihad.
 kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil (berpendirian
yang kuat terhadap agamanya)
 para mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari
ucapan atau perbuatan bid’ah.
Ketiga cara tersebut merupakan persyaratan yang disepakati oleh seluruh ahli Ushul
fiqih. Ada juga syarat lain, tetapi tidak disepakati para ulama, diantaranya :
 para mujtahid itu adalah sahabat.
 mujtahid itu kerabat rasulullah, apabila memenuhi dua syarat ini para ulama
Ushul fiqh menyebutnya dengan ijma’ sahabat
 mujtahid itu adalah ulama hukum yang disepakati itu tidak ada yang
membantahnya sampai wafatnya seluruh mujtahid yang menyepakati nya.
 tidak terdapat hukum ijma sebelumnya yang berkaitan dengan masalah yang
sama.

D. Ulama tentang kehujahan ijma’

jumhur ulama Ushul fiqh berpendapat apabila rukun-rukun ijma telah


terpenuhi maka ijma tersebut menjadi hujjah yang qath’i (pasti) wajib diamalkan dan
tidak boleh mengingkarinya bahkan orang yang mengingkarinya dianggap kafir.
Disamping itu, permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya melalui ijma menurut
para ahli Ushul fiqh tidak boleh lagi menjadi pembahasan ulama generasi berikutnya
karena hukum yang telah ditetapkan melalui merupakan hukum syara yang qath’i
dan menempati urutan ketiga sebagai dalil syara’ setelah Al-Qur’an dan sunnah.
Sehubungan dengan kedudukan ijma’ para ulama bedakan menjadi 2
kelompok yaitu kelompok sunni dan non- sunni, (Syiah, khawarij, dan mu’tazilah)
menurut ulama’ Sunni, bahwa hari Jumat merupakan sumber hukum yang dapat
dijadikan dalil dalam menetapkan suatu hukum (hujjah Syariyyah) Sebaliknya
menurut non Sunni bukan hujjah syar’iyyah, sehingga tidak dapat dijadikan dalil
hukum.
Di kalangan sunni sendiri terpecah dalam menerima kehujjahan ijma’ itu
sendiri. Ada yang menerima ijma secara mutlak tetapi ada pula yang menerima ijma
hanya pada masa ijma’ nya para sahabat seperti pendapat Ibnu hazm dan Ahmad
bin hambal. Meskipun demikian, mayoritas ulama sepakat bahwa ijmak dapat
dijadikan sebagai dalil hukum, yang berbeda hanya tertentu pada batasan ijma’
shahabat, ijma’ tabi’in, dan ijma’ tabi’it at-tabi’in.
Kedudukan ijma’ dilandasi oleh sejumlah ayat Alquran yaitu
QS. Ali Imron ayat (3) : 103.
“Berpegang teguhlah kamu ke pada tali (agama) Allah dan janganlah kamu
berpikir pecah.”

QS. An-Nisa’ (4) : 59


“hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasulullah dan taatilah
penguasa atau pemimpin di antara kamu, lalu jika kamu berselisih pendapat tentang
sesuatu, kembalikanlah hal itu kepada Allah dan Rasul.”
Dalil ijma’ juga didukung beberapa hadis diantaranya, hadits Ibnu Umar yang
diriwayatkan oleh at-tirmidzi, “tidak mungkin umatku bersepakat terhadap sesuatu
yang sesat” dalam redaksi hadis yang lain, “tidak (mungkin) umatku bersepakat
terhadap sesuatu yang keliru” Hadits lain diriwayatkan oleh al-bukhari dan Muslim
nabi SAW bersabda “senantia segolongan umatku membela atau menegakkan
kebenaran dan tidak akan membahayakan mereka orang-orang yang menentang
mereka.”
Dengan demikian, merupakan salah satu sumber hukum Islam yang dapat
dijadikan pijakan dalam menetapkan suatu hukum titik karakteristik ijmak yang
merupakan manifestasi prinsip musyawarah inilah sangat penting dalam merespon
berbagai persoalan umat yang mengemukakan sejak zaman nabi, sahabat, hingga
tabi’in

E. APLIKASI IJMA’ DALAM EKONOMI / PERBANKAN

Semakin kompleks problematika dan perkembangan perekonomian pada


zaman modern ini, beberapa ijma’ (keputusan) ulama pada kondisi kontemporer
sekarang adalah sebagai berikut:

1. tentang pengharaman bunga bank. Menurut syekh Yusuf Qardhawi


dalam bukunya, bungabank adalah haram, bahwa sebanyak 300
ualama dan pakar ekonomi dunia telah menghasilkan suatu ijma’
tentang keharaman bunga bank (mereka terdiri dari ahli fikih, ahli
ekonomi, dan keuangan dunia) melalui suatu pertemuan dimana ‘telah
lahir ijma’ ulama dari berbagai lembaga, pusat penelitian, muktamar,
seminar-seminar ahli fikih dan ahli ekonomi islam yang mengharamkan
bunga bank dalam segalanya bentuknya dan bunga bank itu adalah
riba tanpa diragukan sedikitpun.

Beberapa hasil keputusan dari lembaga internasional antara lain:


i. Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI)
Semua peserta sidang OKI kedua yang berlangsung di karachi, Pakistan, Desember
1970, telah menyepakati dua hal utama yaitu:
Praktek bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariah islam.
Perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah.
Hasil kesepakatan inilah yang melatar belakangi didirikannya Bank Pembangunan
Islam.
ii. Mufti Negara Mesir
Keputusan kantor Mufti Negara Mesir terhadap hukum bunga bank senantiasa
tetap dan konsisten. Tercatat sekurang-kurangnya sejak tahun 1900 hingga 1989
Mufti Negara Republik Arab Mesir memutuskan bahwa bung bank termasuk salah
satu bentuk riba yang diharamkan.

Dasar-dasar Penetapan
 Bunga bank memenuhi kriteria riba yang diharamkan Allah SWT seperti
dikemukakan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu, Ibn Al-Araby dalam ahkam
Al-qur’an, Al-Aini dalam Umdah Al-Qary, dll.
 Bunga uang dari pinjaman / simpanan yang berlaku diatas lebih buruk
daripada riba yang diharamkan Allah dalam Al-Qur’an karena riba hanya
dikenakan tambahan pada saat jatuh tempo. Sedangkan bunga bank sudah
langsung di kenakan tambahan sejak transaksi.

2. Ijma’ ulama tentang asuransi bisnis yang mengharamkan,


sesungguhnya Majelis Ulama Fikih pada pertemuan pertamanya yang
diadakan pada tanggal 10 Sya’ban 1398 M, di Makkah Al-Mukarramah
di pusat Rabitha Al-Alam Al-Islami meneliti persoalan asuransi barang
dagangan berdasarkan analisis sebagai berikut:

Dimana memberlakuan premi tetap sebagaimana dilakukan berbagai perusahaan


asuransi bisnis merupakan perjanjian usaha yang mengandung unsur “menjual
kucing dalam karung” karena pihak yang akan menerima asuransi pada saat
perjanjian tidak mengetahui jumlah uang yang akan dia berikan dan akan diterima.
Karena bisa jadi sekali, dua kali membayar iuran, terjadi kecelakaan sehingga ia
berhak mendapatkan jatah yang dijanjikan oleh pihak perusahaan asuransi, hal ini
juga sangat bergantung pada perkembangan saat tanggungan itu harus dibayar
penanggungan. Sehingga ijma’ ulama mengharamkan asuransi bisnis di
konvensional.

3. Ijma’ tentang keabsahan kontrak pembelian barang yang belum diolah


atau diproduksi (‘Aqdhul Istishna). Aturan normalnya adalah
pelarangan penjualan barang yang tidak ada (non-exist). Karena
adanya ketidakpastian. Tapi penjualan barang seperti ini yang tidak,
yang belum ada hukumnya tidak sah karena ia belum pasti hukumnya.
Kesepakatan para ulamamembolehkannya ditujukan untuk
memperoleh jalan keluar yang mudah.

4. Ijma’ ulama tentang instrument keuangan syariah SBIS dalam akad


Ju’alah. Madzhab Maliki, syafi’i dan Hanbali berpendapat, bahwa
Ju’alah boleh dilakukan dengan alasan:

i. Firman Allah : Penyeru-penyeru itu berkata: “kami kehilangan


piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya, akan
memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta dan aku
menjamin terhadapnya.” QS. Yusuf: 72

ii. Dalam hadits diriwayatkan, bahwa para sahabat pernah


menerima hadiah atau uupah dengan cara ju’alah berupa
seekor kambing karena salah seorang diantara mereka berhasil
mengobati orang yang dipatuk kalajeking dengan cara
membaca surat al-fatihah. Ketika mereka ceritakan hal itu
kepada Rasulullah, karena takut hadiah tidak halal. Rasulullah
pun ternyata seraya bersabda: “tahukah anda sekalian, bahwa
itu adalah jampi-jampi(yang positif). Terimalah hadiah itu dan
beri saya sebagai.”(HR. Jamaah, mayoritas ahli hadits An
Nasa’i)

5. Jual beli pelelangan (muzayadah), dimana pelelangan itu, boleh


berdasarkan ijma’ (consensus) kaum muslimin. Pelelangan adalah
penawaran barang di tengah keramaian. Lalu para pembeli saling
menawar dengan harga tertinggi sampaikepada batas harga tertinggi
yang ditawarkan, lalu terjadilah transaksi, dan si pembeli bisa mengabil
barang yang dijual.

BAB III
KESIMPULAN

Kalau melihat metode ijma’ ulama klasik seperti Imam, asy-Syafi’i, Ibnu
Taimiyah,Ibnu Qayyim al-Jauziah dan ulama-ulama ushul fiqh yang sudah
Mempunyai pemikiran modern seperti Muhammad Abu Zahrah, Muhammad Hudri
Bek dan Fath ad-Duraini ( guru besar fiqh dan Ushul Fiqh dari Unversitas Suriah,
Damacus), dan wahbah az-Zuhaili, mereka juga Berpendapat sama , artinya pada
masa sekarang tidak mungkin akan terjadi Ijma’, ijma’ hanya terjadi pada masa
sahabat saja
Menurut pemkiran penulis masih ada kemungkinan akan menerapkan Metode
ijma’ pada persoalan hukum yang muncul pada masyarakat, karena Kondisi dulu
dengan kondisi sekarang sangat berbeda. Sekarang fasilitas media Dapat
digunakan untuk mengakses informasi dari berbagai penjuru dunia Melalui teknologi
media internet, dengan mengunakan akun Fecebook dan Twitter, sehingga segala
persoalan dapat disebarkan melalui akun tersebut, Sehingga orang lain akan
memberikan jawaban yang sangat kita harapkan. Penggunaan media elektronik
masih mempunyai banyak kelemahan dan Rawan akan penipuan dan tidak semua
orang mau mengakses jawaban dari Persoalan hukum yang kita sebarkan akan
dijawab oleh orang yang kita Harapkan, karena mungkin saja yang menjawab
pertanyaan kita melalui Internet belum tentu dia seorang mujtahid dan mungkin juga
orang yang Bukan beragama Islam. Selanjutnya belum pernah ada ulama yang
Memanfaatkan media ini sebagai serana untuk mencapai kesepakatan atau ijma
Dalam bidang hukum.

Anda mungkin juga menyukai