Anda di halaman 1dari 28

EKONOMI MIKRO ISLAM

KELAS AA

“Keuangan Publik Islam”

Dosen: Prof. Dr. Umar Burhan, SE, MS

KELOMPOK 4:

ANDISTYA OKTANING .L
NIM. 0910210022

MATELDA FABRIANA
NIM. 0910213096

WINDY SEPTYA A.P


NIM. 0910213127

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

JURUSAN ILMU EKONOMI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG


Bab 13
Keuangan Publik Islam

Untuk mencapai falah yang maksimum, tidak seluruh aktivitas ekonomi


bias diserahkan mekanisme pasar. Adakalanya mekanisme pasar gagal
menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat ataupun
mekanisme pasar tidak bekerja secara fair dan adil. Fair dalam arti berprinsipkan
saling ridlo dan adil dalam arti tidak bertindak dzalim kepada pihak lain. Dalam
hal ini, pemerintah atau masyarakat perlu mengambil alih peran mekanisme
pasar dalam penyediaan barang / jasa tersebut.
Permasalahan selanjutnya yang muncul adalah barang/ jasa apakah
yang perlu disediakan oleh pemerintah atau masyarakat, dari mana sumber dana
yang digunakan untuk penyediaan barang/ jasa tersebut, bagaimana alokasi dan
distribusi barang/ jasa yang disediakan oleh pemerintah atau masyarakat
tersebut, apakah kriteria yang digunakan untuk memutuskan bahwa barang/ jasa
tertentu layak disediakan oleh pemerintah atau masyarakat, dan sebagainya.
Oleh karena itu, dalam tahap awal perlu dikaji bagaimana keuangan publik ini
dipraktikkan oleh Rasulullah SAW. dan para sahabatnya, prinsip-prinsip apakah
yang bisa disariakn dari sunnah Rasul SAW. dan sahabat, dan bagaimana
implementasi keuangan publik Islam yang terbangun sejak awal, seperti zakat,
waqf dan infaq akan dibahas secara lebih mendalam.

A. Sejarah Keuangan Publik Islam


1. Keuangan Publik pada Masa Rasulullah SAW
Untuk memahami sejarah keuangan publik pada masa Rasulullah
dan Khulafaurrasyidin, dapat dilihat dari praktik dan kebijakan yang
diterapkan oleh beliau dan para sahabat. Bicara mengenai keuangan publik
pada masa Rasulullah adalah berangkat dari kedudukan beliau sebagai
kepala negara. Demikian halnya dengan para sahabat Khulafaurrasyidin,
juga yang ditempatkan sebagai kepala negara. Sebab, kedudukan sebagai
kepala negara adalah identik dengan kedudukan melayani publik.
Setelah selama tiga belas tahun di Makkah, beliau hijrah ke Madinah
(Yasrib). Pada saat hijrah ke Madinah, kota ini masih dalam keadaan kacau,
belum memiliki pemimpin ataupun raja yang berdaulat. Di kota ini banyak
suku, salah satunya adalah suku Yahudi yang dipimpin oleh Abdullah ibn
Ubay. Ia berambisi menjadi raja di Madinah. Suasana kota ini sering terjadi
pertikaian antar kelompok. Kelompok yang terkuat dan kaya adalah Yahudi,
namun kondisi ekonominya masih lemah dan hanya ditopang dari hasil
pertanian. Oleh karena itu, tidak ada hukum dan aturan, maka sistem pajak
dan fiskal tidak berlaku.
Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, maka Madinah dalam waktu
singkat mengalami kemajuan yang pesat. Rasulullah berhasil memimpin
seluruh pusat pemerintahan Madinah, menerapkan prinsip-prinsip dalam
pemerintahan ke organisasi, membangun institusi-institusi, mengarahkan
urusan luar negeri, membimbing para sahabatnya dalam memimpin dan pada
akhirnya melepaskan jabatannya secara penuh. Sebagai negara yang baru
terbentuk, ada beberapa hal yang segera mendapat perhatian beliau, seperti:
(1) membangun masjid utama sebagai tempat untuk mengadakan forum bagi
para pengikutnya; (2) merehabilitasi muhajirin Makkah di Madinah; (3)
menciptakan kedamaian dalam negara; (4) mengeluarkan hak dan kewajiban
bagi warga negaranya; (5) membuat konstitusi negara; (6) menyusun sistem
pertahanan Madinah; (7) meletakkan dasar-dasar sistem keuangan negara.
Dua hal penting yang telah dijalani dan diubah oleh Rasulullah pada
waktu itu adalah : Pertama, adanya fenomena unit, yaitu bahwa Islam telah
membuang sebagian besar tradisi, ritual, norma-norma, nilai-nilai, tanda-
tanda, dan patung-patung dari masa lampau dan memulai yang baru dengan
negara yang bersih. Semua peraturan dan deregulasi disusun berdasarlan Al
Quran, dengan memasukkan karakteristik dasar Islam, seperti persaudaraan,
persamaan, kebebasan, dan keadilan. Kedua, negara baru dibentuk tanpa
mengguankan sumber keuangan ataupun moneter karena negara yang baru
terbentuk ini sama sekali tidak diwarisi harta, dana, maupun persediaan dari
masa lampaunya. Sementara sumber keuangan pun belum ada.

a. Sumber Utama Keuangan Negara


Pada masa-masa awal pemerintahan kota Madinah, pendapatan
dan pengeluaran hampir tidak ada. Rasulullah SAW. sendiri sebagai
seorang kepala negara, pemimpin di bidang hukum, pemimpin dan
penanggung jawab dari keseluruhan administrasi tidak mendapat gaji
sedikit pun dari negara atau masyarakat, kecuali hadiah kecil yang
umumnya berupa bahan makanan.
Pada masa Rasulullah hampir seluruh pekerjaan yang dikerjakan
tidak mendapatkan upah. Pada masa Rasulullah SAW. tidak ada tentara
formal. Semua Muslim yang mampu boleh menjadi tentara. Mereka tidak
mendapatkan gaji tetap, tetapi mereka diperbolehkan mendapatkan
bagian dari rampasan perang, seperti senjata, kuda, unta, dan barang-
barang bergerak lainnya.
Situasi berubah setelah turunnya surat Al-Anfal (rampasan
perang). Waktu turunnya surat ini adalah masa perang Bard dan
pembagian rampasan perang, pada tahun kedua setelah Hijrah. Yaitu,
sebagian ayat yang artinya: “Seperlima bagian adalah untuk Allah dan
Rasul-Nya (yaitu untuk negara digunakan untuk kesejahteraan umum)
dan untuk kerabat Rasul, anak yatim, orang yang membutuhkan dan
orang yang sedang dalam perjalanan”.
Pada tahun kedua setelah Hijrah, sedekah fitrah diwajibkan.
Sedekah ini diwajibkan setiap bulan Ramadhan. Semua zakat adalah
sedekah, sedangkan sedekah wajib disebut zakat. Zakat mulai
diwajibkan pembayarannya pada tahun kesembilan Hijrah. Dengan
adanya perintah wajib ini, mulai ditentukan para pegawai pengelolanya,
yang mana mereka tidak digaji secara resmi, tetapi mereka mendapat
bayaran tertentu dari mana zakat.
Sampai tahun keempat Hijrah, pendapatan dan sumber daya
negara masih sangat kecil. Kekayaan pertama diperoleh dari Banu Nadir,
salah satu suku yang tinggal di pinggiran Madinah. Kelompok ini pernah
mengikuti Pakta Madinah, tetapi mereka melanggar perjanjian, bahkan
berusaha membunuh Rasulullah SAW. Nabi meminta mereka
meninggalkan kota tetapi mereka menolaknya. Nabi pun mengerahkan
tentara dan mengepung mereka. Akhirnya, mereka menyerah dan setuju
meninggalkan kota dengan membawa barang-barang sebanyak daya
angkut mereka, kecuali baju baja. Semua milik Banu Nadir yang
ditinggalkan menjadi milik Rasulullah menurut ketentuan Al Quran (59:2),
karena mereka mendapatkannya tanpa berperang. Rasulullah
membagian sebagian besar tanah mereka untuk Muhajirin dan orang
Anshar yang miskin. Bagian Rasulullah digunakan untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya. Mukhairik, seorang rabbi Banu Nadir, yang telah
masuk Islam memberikan tujuh kebunnya yang kemudian oleh
Rasulullah dijadikan tanah sedekah. Inilah waqaf Islam pertama.
Khaibar dikuasai pada tahun ketujuh Hijrah. Penduduknya
menentang dan memerangi kaum Muslim. Setelah pertempuran selama
sebulan, mereka menyerah dan syarat dan berjanji meninggalkan
tanahnya. Syarat yang diajukan diterima. Mereka mengatakan kepada
Rasulullah, “Kami memiliki pengalaman khusus dalam bertani dan
berkebun kurma”, dan meminta izin untuk tetap tinggal di sana.
Rasulullah mengabulkan permintaan mereka dan memberikan mereka
setegah bagian hasil panen dari tanah mereka.
Jizyah adalah pajak yang dibayarkan oleh orang non-Muslim
khususnya ahli kitab, untuk jaminan perlindungan jiwa, harta atau
kekayaan, ibadah, bebas dari nilai-nilai dan tidak wajib militer. Pada
zaman Rasulullah, besarnya jizyah adalah satu dinar per tahun untuk
orang dewasa yang mampu membayarnya. Pembayaran tidak harus
berupa uang tunai, tetapi dapat juga berupa barang dan jasa.
Kharaj atau pajak tanah dipungut dari non-Muslim ketika Khaibar
ditaklukkan. Tanahnya diambil alih oleh orang Muslim dan pemilik
lamanya menawarkan untuk mengolah tanah tersebut sebagai pengganti
sewa tanah dan bersedia memberikan sebagian hasil produksi kepada
negara. Jumlah kharaj dari tanah ini tetap, yaitu setengah dari hasil
produksi. Rasulullah biasanya mengirim orang yang memiliki
pengetahuan dalam masalah ini untuk memperkirakan jumlah hasil
produksi. Setelah mengurangi sepertiga sebagain kelebihan perkiraan,
dua per tiga bagian dibagikan dan mereka bebas memilih; menerima
atau menolak pembagian tersebut. Prosedur yang sama juga diterapkan
di daerah lain. Kharaj ini menjadi sumber pendapatan yang penting
Ushr adalah bea impor yang dikenakan kepada semua
pedagang, dibayar hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku
terhadap barang yang nilainya lebih dari 200 dirham. Rasulullah
berinisiatif mempercepat peningkatannya perdagangan, walaupun
menjadi beban pendapatan negara. Ia menghapuskan semua bea masuk
dan dalam banyak perjanjian dengan berbagai suku menjelaskan hal
tersebut. Barang-barang milik utusan dibebaskan dari bea impor di
wilayah Muslim, bila sebelumnya telah terjadi tukar-menukar barang.
Zakat dan ushr merupakan pendapatan yang paling utama bagi
Negara pada masa Rasulullah. Zakat dan ushr merupakan kewajiban
agama dan termasuk salah satu pilar islam. Pengeluaran untuk
keduanya telah diatur dalam Alqur‟an (At-Taubah: 60) sehingga
pengeluaran untuk zakat tidak dapat dibelanjakan untuk pengeluaran
umum Negara. Pada masa Rasulullah, zakat dikenakan pada hal-hal
sebagai berikut:
1) Benda logam yang terbuat dari emas, seperti koin, perkakas,
ornament, atau dalam bentuk lainnya.
2) Benda logam yang terbuat dari perak, seperti koin, perkakas,
ornament atau dalam bentuk lainnya.
3) Binatang ternak : unta, sapi, domba, kambing.
4) Berbagai jenis barang dagangan termasuk budak dan hewan.
5) Hasil pertanian termasuk buah-buahan.
6) Luqathah, harta benda yang ditinggalkan musuh.
7) Barang temuan.
Pencatatan seluruh penerimaan Negara pada masa Rasulullah
tidak ada. Dalam kebanyakan kasus pencatatan diserahkan pada
pengumpul zakat, setiap orang pada umumnya terlatih untuk dalam
masalah pengumpulan zakat.
b. Sumber Sekunder Keuangan Negara
Disamping sumber-sumber pendapatan primer yang digunakan
sebagai penerimaan fiscal pemerintahan pada masa Rasulullah Saw.
Ada sumber pendapatan sekunder. Diantaranya adalah sebagai berikut :
1) Uang tebusan untuk para tawanan perang. Pada perang Hunain,
enam ribu tawanan dibebaskan tanpa uang tebusan.
2) Pinjaman-pinjaman (setelah penaklukan kota Mekkah) untuk
pembayaran uang pembebasan kaum muslimin dari Judahaima atau
sebelum pertempuran Hawazin 30.000 dirham (20.000 dirham
menurut Bukhari) dari Abdullah bin Rabiah dan meminjam beberapa
pakaian dan hewan-hewan tunggangan dari Sofwan bin Umaiyah
(sampai waktu itu tidak ada perubahan).
3) Khumus atau rikaz harta karun temuan pada periode sebelum islam.
4) Amwal fadla (berasal dari harta benda kaum muslimin yang
meninggal tanpa waris, atau berasal dari barang-barang seorang
muslim yang meninggalkan negerinya.
5) Wakaf, harta benda yang didediakasikan kepada umat islam yang
disebabkan karena Allah dan pendapatannya akan didepositokan di
baitul maal.
6) Nawaib, yaitu pajak yang jumlahnya cukup besar yang dibebankan
pada kaum muslimin yang kaya dalam rangka menutupi
pengeluaran Negara selama masa darurat dan ini pernah terjadi
pada masa perang Tabuk.
7) Zakat fitrah
8) Bentuk lain sedekah, seperti qurban dan kafarat.
c. Lembaga Keuangan Negara : Baitul Maal
Lima belas abad yang lampau tidak ada konsep yang jelas mengenai
cara mengurus keuangan dan kekayaan Negara di belahan dunia mana pun.
Pemerintah suatu Negara adalah badan yang dipercaya untuk menjadi
pengurus tunggal kekayaan Negara dan keuangan. Rasulullah adalah kepala
Negara pertama yang memperkenalkan konsep baru di bidang keuangan
Negara abad ke tujuh, yaitu semua hasil pengumpulan Negara harus
dikumpulkan terlebih dahulu dan kemudian dikeluarkan sesuai dengan
kebutuhan Negara. Hasil pengumpulan itu adalah milik Negara dan bukan
milik individu. Tempat pengumpulan ini disebut Baitul Maal atau bendahara
Negara.
Semasa Rasulullah masih hidup, Masjid Nabawi digunakan sebagai
kantor pusat Negara sekaligus menjadi tempat tinggalnya dan Baitul Maal.
Namun, binatang-binatang tidak bias disimpan di Baitul Maal sesuai dengan
alamnya, binatang-binatang tersebut ditempatkan di padang terbuka.
Pemasukan yang sangat sedikit yang diterima Negara disimpan di masjid
dalam jangka waktu yang pendek, kemudian didistribusikan kepada
masyarkat tanpa ada sisa. Dalam buku-buku budaya dan sejarah terdapat
empat puluh nama sahabat yang jika digunakan istilah modern disebut
pegawai secretariat Rasulullah, namun tidak disebutkan adanya seorang
bendahara Negara. Hal in hanya dimungkinkan terjadi didalam lingkungan
yang memiliki pengawasan yang ketat. Pada perkembangan selanjutnya
institusi ini memainkan peranaktif dalam bidang keuangan dan administrasi
pada awal periode islam terutama pada masa kepemimpinan
Khulafaurrasyidin.
2. Keuangan Publik pada Masa Khulafaurrasyidin
a. Masa Khalifah Abu Bakar Siddiq
Abu Bakar Siddiq terpilih sebagai khalifah dalam kondisi miskin,
sebagai pedagang dengan hasil yang tidak mencukupi kebutuhan
keluarga. Sejak menjadi khalifah, kebutuhan keluarga Abu Bakar diurus
oleh kekayaan dari Baitul Maal ini. Menurut beberapa keterangan, beliau
diperbolehkan mengambil dua setengah atau dua tiga perempat dirham
setiap harinya dai Baitul Maal dengan tambahan makanan berupa daging
domba dan pakaian biasa. Setelah berjalan beberapa waktu, ternyata
tunjangan tersebut kurang mencukupi sehingga ditetapkan 2.000 atau
2.500 dirham dan menurut keterangan lain 6.000 dirham per tahun.
Selama sekitar 27 bulan di masa kepemimpinannya, Abu Bakar
Siddiq menolak membayar zakat kepada Negara. Abu Bakar Siddiq
sangat memerhatikan keakuratan perhitungan zakat. Zakat selalu
didistribusikan setiap periode dengan tanpa sisa. Sistem pendistribusian
ini tetap dilanjutkan, bahkan hingga beliau wafat hanya satu dirham yang
tersisa dalam perbendaharaan keuangan. Sumber pendanaan Negara
yang semakin menipis, menjelang mendekati wafatnya menyebabkan
kekayaan pribadinya dipergunakan untuk pembiayaan Negara.
b. Masa Khalifah Umar bin Khattab Al-Faruqi
Ada beberapa hal penting yang perlu dicatat berkaitan dengan
masalah kebijakan keuangan Negara pada masa khalifah Umar,
diantaranya adalah masalah : (1) Baitul Maal; (2) Kepemilikan tanah; (3)
Zakat dan Ushr; (4) Sedekah untuk non-muslim; (5) Mata uang; (6)
Klasifikasi pendapatan Negara; dan (7) Pengeluaran. Dengan penjelasan
singkat sebagai berikut :
1) Baitul Maal
Pada tahun 16 H, Umar mengumpulkan dana kharaj senilai
500.000 dirham, hasil dari Abu Huraira, Amil Bahrain, untuk
disimpan sebagai cadangan darurat, membiayai angkatan perang,
dan kebutuhan lain untuk umat. Untuk menyimpan dana tersebut,
maka Baitil Maal regular dan permanen didirikan untuk pertama
kalinya di ibukota, kemudiaan dibangun cabang-cabangnya di
ibukota provinsi. Setelah menaklukkan Syiria, Sawad dan Mesir,
penghasilan Baitul Maal meningkat, kharaj dari Sawad mencapai
seratus juta dinar dan dari Mesir dua juta dinar.
Property Baitul Maal dianggap sebagai “harta kaum muslim”
sedangkan khalifah dan amil-amilnya hanyalah pemegang
kepercayaan. Jadi merupakan tanggung jawab Negara untuk
menyediakan tunjangan yang berkesinambungan untuk janda, anak
yatim, anak terlantar, membiayai penguburan orang miskin,
membayar utang orang-orang bangkrut, membayar uang diyat untuk
kasus-kasus tertentu dan untuk memberikan pinjaman tanpa bunga
untuk urusan komersial. Bahkan Umar pernah meminjam sejumlah
uang untuk keperluan pribadinya.
Bersamaan dengan reorganisasi Batul Maal, Umar mendirikan
lembaga keuangan Negara pertama yang disebut Al-Diwan.
Sebenarnya itu adalah sebuah kantor yang ditujukan untuk
mengurusi pembayaran tunjangan-tunjangan angkatan perang dan
pension serta tunjangan-tunjangan lainnya dalam basis yang regular
dan tepat.
2) Kepemilikan Tanah
Sepanjang pemerintahan Umar, banyak daerah yang
ditaklukkan melalui perjanjian damai. Disinilah mulai timbul
permasalahan bagaimana pembagiannya, diantaranya sahabat ada
yang menuntut agar kekayaan tersebut didistribusikan kepada para
pejuang, sementara yang lainnya menolak. Oleh karena itu, dicarilah
suatu rencana yang cocok baik untuk mereka yang dating pertama
maupun yang datang terakhir.
Setelah melakukan proses syuro, Umar memutuskan untuk
memperlakukan tanah-tanah tersebut sebagai fay, dan prinsip yang
sama diadopsi untuk kasus-kasus yang akan datang. Ali bin Abi
Thalib tidak hadir dalam peremuan tersebut karena ia sedang
menggantikan tampuk pemerintahan Khalifah di Madinah.
Dilaporkan bahwa ia menganut pandangan yang seluruhnya
berlawanan. Ia memihak pendistrubusian seluruh penghasilan tanpa
menyisakan apapun sebagai cadangan.
Daerah penumpukan kharaj mencakup bagian yang cukup
besar dari kerajaan Roma dan Sassanid, karena itu system yang
terelaborasi dibutuhkan untuk penilaian, pengumpulan dan
pendistribusian penghasilan yang diperoleh dari tanah-tanah
tersebut. Berdasarkan itu, Umar mengirimkan Ibn Hunaif Al-Anshari,
untuk membuat survey, luas tanah di daerah tersebut 36 juta jarib.
Setiap jarib dinilai angka dan jumlahnya kemudian dikirimkan
proposalnya ke Khalifah untuk persetujuan. Umar menerapkan
beberapa peraturan mengenai kepemilikan sebagai berikut.
a) Wilayah Iraq yang ditaklukkan dengan kekuatan, menjadi milik
muslim dan kepemilikan ini tidak dapat diganggu gugat,
sedangkan bagian yang berada dibawah perjanjian damai tetap
dimiliki oleh pemilik sebelumnya dan kepemilikan tersebut dapat
dialihkan.
b) Kharaj dibebankan pada semua tanah yang berada dibawah
kategori pertama, meskipun pemilik tersebut kemudian memeluk
islam. Dengan demikian, tanah seperti itu tidak dapat
dikonversikan menjadi tanah ushr.
c) Bekas pemilik tanah diberi hak kepemilikan, sepanjang mereka
membayar kharaj dan jizyah.
d) Sisa tanah yang tidak ditempati atau ditanami (tanah mati) atau
tanah yang di klaim kembali (seperti Basra) bila ditanami oleh
kaum Muslim diperlakukan sebagai tanah ushr.
e) Di Sawad, kharaj dibebankan sebesar satu dirham dan satu rafiz
(satu ukuran local) gandum dan barley (jenis gandum), dengan
anggapan tanah tersebut dapat dialui air. Harga yang lebih
tinggi dikenakan kepada ratbah (rempaha atau cengkeh) dan
perkebunan.
f) Di Mesir, menurut sebuah perjanjian Amar, dibebankan dua
dinar, bahkan hingga tiga irdab gandum, dua qist untuk setiap
minyak, cuka dan madu, rancangan ini telah disetujui Khalifah.
g) Perjanjian Damaskus (Syiria) menetapkan pembayaran tunai,
pembagian tanah dengan kaum Muslim. Beban per kepala
sebesar satu dinar dan beban jarib (unit berat) yang diproduksi
jarib (ukuran) tanah.
3. Zakat dan Ushr

Zakat yang ditetapkan adalah seperduapuluh untuk madu yang pertama


dan seperduapuluh untuk madu jenis kedua.

4. Pembayaran Sedekah oleh Non-Muslim

Tidak ada ahli kitab yang membayar sedekah atas ternaknya kecuali
orang Kristen Banu Taghlib yang keseluruhan kekayaannya terdiri dari
ternak. Mereka membayar dua kali lipat dari yang dibayar kaum Muslim.
Banu Taghlib adalah suku Arab Kristen yang menderita akibat
peperangan. Umar mengenakan jizyah kepada mereka, tetapi mereka
terlalu gengsi sehingga menilak membayar jizyah dan malah membayar
sedekah. Namun, ibn Zuhra memberikan alasan untuk kasus mereka. Ia
mengatakan bahwa pada dasarnya tidaklah bijaksana memperlakukan
mereka seperti musuh dan seharusnya keberanian mereka menjadi
aset Negara. Umar pun memanggil mereka dan menggandakan
sedekah yang harus mereka bayar, dengan syarat mereka setuju untuk
tidak membaptis seorang anak atau memaksakannya untuk menerima
kepercayaan mereka.

5. Mata uang

Pada masa Nabi dan sepanjang masa Khulafaurrasyidin mata uang


asing dengan berbagai bobot sudah dikenal di Arabia, seperti dinar,
sebuah koin emas dan dirham sebuah koin perak. Bobot dinar adalah
sama dengan satu mistqal atau sama dengan dua puluh qirat atau
seratus grain barley.

6. Klasifikasi Pendapatan Negara

Pada periode awal islam, para khalifah mendistribusikan semua


pendapatan yang diterima. Kebijakan tersebut berubah pada masa
Umar. Pendapatan yang diterima di Baitul Maal terbagi dalam empat
jenis, yaitu :

a. Zakat dan Ushr


Dana ini dipungut secara wajib diperoleh dari kaum Muslimin dan
didistribusikan kepada delapan asnaf dalam tingkat lokal.
Kelebihan disimpan di Baitul Maal pusat, dan akan dibagikan
kembali.
b. Khums dan Sedekah
Dana ini dibagikan kepada kepada orang yang sangat
membutuhkan dan fakir miskin atau untuk membiayai kegiatan
mereka dalam kesejahteraan tanpa diskriminasi.
c. Kharaj, Fay, Jizyah, Ushr dan sewa tetap tahunan tanah
Dana ini diperoleh dari pihak luar (Non-Muslim/Non-warga) dan
didistribusikan untuk membayar dana pension dan dana bantuan,
serta menutupi pengeluaran operasional administrasi, kebutuhan
militer dan sebagainya.
d. Berbagai macam pendapatan yang diterima dari semua macam
sumber. Dana ini dikeluarkan untuk para pekerja, pemeliharaan
anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.
7. Pengeluaran
Bagian pengeluaran yang paling penting dari endapatan keseluruhan
adalah dana pensiun kemudian diikuti oleh dana pertahanan Negara
dan dana pembangunan. Secara garis besar pengeluaran Negara pada
masa kehilafahan Umar dikeluarkan untuk kebutuhan yang mendapat
prioritas pertama, yaitu pengeluaran dana pensiun bagi mereka yang
bergabung dalam kemiliteran, baik Muslim maupun non-Muslim. Dana
tersebut juga termasuk pensiunan bagi pegawai sipil.

c. Masa Kekhalifahan Usman


Usman bin Affan adalah khalifah ketiga. Khalifah Usman tidak mengambil upah
dari kantornya. Sebaliknya, dia meringankan beban pemerintah dalam hal yang
serius. Dia bahkan menyimpan uangnya di bendahara Negara. Hal ini
menimbulkan kesalahpahaman antara Khalifah dan Abdullah bin Arqam, salah
seorang sahabat Nabi yang terkemuka, yang berwenang melaksanakan kegiatan
Baitul Maal Pusat. Beliau juga berusaha meningkatkan pengeluaran pertahanan
dan kelautan, meningkatkan dana pensiun dan pembangunan di wilayah
taklukan baru, Khalifah membuat beberapa perubahan administrasi dan
meningkatkan kharaj dan jizyah dari Mesir.
d. Masa Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib
Setelah meninggalnya Usman, Ali terpilih sebagai khalifah dengan suara bulat.
Ali menjadi khalifah selama lima tahun. Dalam hal penerimaan Negara, Ali masih
membebankan pungutan khums atas ikan atau hasil hutan. Menurut Baladhuri,
Ali membebankan para pemilik hutan (Ajmat) 4.000 dirham. Di hutan ini, terdapat
ngarai yang dalam, yang menurut beberapa orang tanahnya dibuat untuk batu-
batu istana dan menurut yang lainnya itu adalah tanah longsor.
Berbeda dengan khalifah Umar, Khalifah Ali mendistribusikan seluruh
pendapatan di Baitul Maal ke provinsi yang ada di Baitul Maal Madinah, Busra
dan Kzufa. System distribusi setiap pecan sekali untuk pertama kalinya diadopsi.
Hari kamis adalah hari pendistribusian atau hari pembayaran pada hari itu semua
penghitungan diselesaikan dan pada hari Sabtu dimulai perhitungan baru.

B. Karakteristik Keuangan Publik


1. Pandangan Ahli Fiqh terhadap Zakat dan Pajak
Zakat merupakan kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang
Islam setelah memenuhi kriteria tertentu. Dalam Al-Quran terdapat 32 kata zakat,
dan 82 kali diulang dengan menggunakan istilah yang merupakan sinonim dari
kata zakat, yaitu kata sedekah dan infaq.
Dilihat dari segi kebahasaan, teks-teks Alquran yang mengungkapkan perihal
zakat, sebagian besar dalam bentuk amr (perintah) dengan menggunakan atu,
(tunaikan), yang berarti berketetapan, segera, sempurna sampai akhir,
kemudahan, mengantar, dan seorang yang agung. Kata tersebut bermakna al-
I‟tha‟, suatu perintah untuk menunaikan atau membayarkan.
Alquran menampilkan kata zakat dalam empat gaya bahasa (uslub), yaitu :
a) Menggunakan uslub insyai, yaitu berupa perintah terlihat dalam QS Al-
Baqarah [2]: 42, 83, 110; Al-Hajj [22]: 78; Al-Ahzab [33]:33, Al-Nur
[241:56; Al-Muzammil [73]: 20, dengan menggunakan kata atu atau
anfiqu. Dalam ayat lain digunakan pula kata kerja dengan menggunakan
kata khuz, yaitu perintah untuk mengambil dan memungut zakat
(shadaqah), seperti terdapat dalam QS At-Taubah [9]: 103. Sasaran
perintah ini adalah para penguasa (amil zakat) untuk memungut dan
mengelola zakat dari para wajib zakat.
b) Menggunakan uslub targhib (motivatif), yaitu suatu dorongan untuk tetap
mendirikan shalat dan membayarkan zakat yang merupakan cirri orang
yang keimanan dan ketaqwaannya dianggap benar, kepada mereka
dijanjikan akan memperoleh ganjaran berlipat ganda dari Tuhan. Salah
satu bentuk traghib ini dapat ditemukan pada QS. Al Baqarah : 277
c) Menggunakan uslub tarhib (intimidatif/peringatan) yang ditujukan kepada
orang-orang yang menumpuk harta kekayaan dan tidak mau
mengeluarkan zakatnya. Orang-orang semacam ini diancam dengan
azab yang pedih sebagaimana disebutkan dalam QS At-Taubah : 34
d) Menggunakan uslub madh (pujian/sanjungan), yaitu pujian Tuhan
terhadap orang-orang yang menunaikan zakat. Mereka disanjung sebagai
penolong (wall) yang disifati dengan sifat ketuhanan, kerasulan, dan
orang-orang yang beriman karena kesanggupan mereka memberikan
yang mereka senangi berupa zakat kepada orang lain yang tertuang
dalam Al-Maidah [5]: 55
Dalam perjalanan sejarah, penerimaan Negara islam bukan hanya
bersumber dair zakat, namun banyak sumber lain baik sebagai sumber
utama ataupaun sekunder. Pajak, yang dewasa ini menjadi sumber
penerimaan utama di hampir setiap Negara, juga mendapat perhatian oleh
para ahli fiqh dewasa ini. Namun pandangan ahli fiqh klasik masalah pajak
belum banyak yang membahas. Para ahli fiqh ini lebih banyak membahas
tentang fa‟I, ghanimah, jizyah dan kharaj. Pembahasan mereka berkisar
tentang definisi, pembagian, dan penggunaannya.
Pungutan yang diwajibkan oleh pemerintah selain zakat dan kharaj di
dalam sejarah Islam disebut dharibah. Dharibah yang dikenal dengan istilah
pajak adalah harta yang diwajibkan dibayar oleh kaum Muslim untuk
membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang
diwajibkan atas mereka, pada kondisi di Baitul Maal tidak ada uang/harta.
Selain sumber-sumber pendapatan yang telah difardhukan oleh Allah, yang
telah dinyatakan oleh syariah semisal jizyah dan kharaj, terdapat pula
sumber-sumber pendapatan yang telah difardhukan oleh Allah kepada kaum
Muslimin untuk dibelanjakan pada kebutuhan yang difardhukan kepada
mereka secara keseluruhan, semisal jalan-jalan dan sekolah-sekolah.
Sedangkan bea cukai tidak termasuk dalam kategori pajak yang boleh
diambil. Namun ia hanyalah praktik muamalah Negara dengan muamalah
sepadan yang kita lakukan, bukan pajak, yang berfungsi untuk mencukupi
kekurangan baitul maal. Dimana syara‟ telah menyebut praktik tersebut
dengan sebutan cukai (mukus) dan melarang mengambilnya dari kaum
Muslimin serta kafir dzimmi.
Sabda Rasulullah Saw: “Tidak boleh ada bahaya (dhahar) dan
(saling) membahayakan.” Allah Swt memberikan hak kepada Negara untuk
mendapatkan harta dalam rangka menutupi berbagai kebutuhan dan
kemashlahatan tersebut dari kaum Muslim. Namun, kewajiban membayar
dharibah tersebut hanya dibebankan atas mereka yang mempunyai
kelebihan dalam memenuhi kebutuhan pokok dan pelengkap dengan cara
yang ma‟ruf.
Dharibah ini diutamakan diperuntukkan sebagai:
a) Pembiayaan jihad dan segala hal yang harus dipenuhi yang terkait
dengan jihad
b) Pembiayaan industri militer dan industri serta pabrik-pabrik
penunjangnya, yang memungkinkan Negara memiliki industri senjata.
c) Pembiayaan para fuqara, orang miskin, dan ibnu sabil.
d) Pembiayaan untuk gaji tentara, para pegawai, para hakim, para guru
dan lain-lain yang melaksanakan pekerjaan untuk kemashlahatan
umat.
e) Pembiayaan yang harus dikeluarkan untuk kemashlahatan dan
kemanfaatan umat, yang keberadaannya sangat dibutuhkan dan jika
tidak dibiayai maka bahaya akan menimpa umat.
f) Pembiayaan untuk keadaan darurat,, seperti : bencana alam, dan
mengusir musuh.
Yusuf Al-Qardawi menyimpulkan, tidak bolehnya memperhitungkan
pajak sebagai kewajiban zakat adalah karena yang demikian akan
menghilangkan lembaga zakat itu sendiri, yang berarti menghilangkan salah satu
syiar Islam. Amir Syarifuddin, setelah memerhatikan kelemahan
memperhitungkan pajak sebagai zakat, mengemukakan alternatif
pemecahannya, yaitu:
1. Dari segi kadar, seseorang yang dikenal kewajiban zakat dalam harta
tertentu, harus mengeluarkan zakat menurut kadar tersebut. Seandainya
yang demikian dianggap kurang menurut perhitungan pajak, maka dia
harus memenuhi kekurangannya atas nama pajak. Seandainya zakat
berlebih dari perhitungan pajak, maka kadar zakatlah yang
diperhitungkan. Terhadap harta kekayaan lain yang tidak terkena
kewajiban zakat, tetapi terkena kewajiban pajak, harus dibayar atas nama
pajak.
2. Dari segi niat zakat. Pada saat menyerahkan kewajiban dalam bentuk
zakat dia harus meniatkan zakatnya. Untuk maksud ini akan lebih utama
bila petugas yang memungutnya adalah dari amil zakat, atau petugas
Negara yang menerimanya atas nama zakat dengan tanda terima zakat.
Adapun kewajibannya atas nama pajak diserahkan sebagai pajak dalam
kualitas apapun. Niat ganda dalam hal ini perlu dihindarkan untuk
meyakinkan sahnya niat zakat.
3. Dari segi penggunaan. Bila seseorang telah mengeluarkan zakatnya
kepada petugas yang ditentukan atas nama zakat, maka kewajibannya
telah terpenuhi. Tinggal lagi pihak yang menerima penyerahan amanat
tersebut untuk menyampaikannya kepada sasaran yang telah ditentukan
sesuai dengan tujuan penggunaan zakat. Begitu pula dengan penyerahan
kewajibannya kepada petugas atas nama pajak, maka selesailah
kewajibannya.

Mungkinkan Zakat dan Pajak Dapat Diintegrasikan

Dalam catatan Qardhawi, beberapa ulama mendukung pengintegrasian


zakat pajak, tetapi baru pada sebatas niat saja. Imamam Nawawi dari mahzab
Syafi‟I, Imamm Ahmad, dan Ibn Taimiyah berpendapat bahawa membayar pajak
dengan niatan zakat dibolehkan, dan karenanya kaum Muslim cukup membayar
pajak. Pembahasan tentang pajak dan zakat lainnya dilakukan oleh Muhammad
(2000) yang membagi secara sistematis bait mal terdiri dari penerimaan fay‟,
jizyah, kharaj, khumus, rikaz, anfal, ghanimah, pendapatan dari milik umum,
pendapatan dari milik Negara, usyur, zakat sebagai pendapatan yang bersifat
utama, dan dhaibah sebagai pendapatan temporal.
Dari sisi pengeluran, terdapat enam pengeluaran yaitu (1) pengeluaran
bagi delapan asnaf melalui zakat (2) pengeluaran bagi delapan asnaf selain
zakat (3) pengeluaran bagi orang yang menjalankan pelayanan negara, seperti
pegawai, pejabat, dan tentara (4) pembangunan sarana umum (5) kelayakan dan
kesempurnaan anggaran dan (6) pengeluaran untuk bencana alam.
Kajian terhadap pajak dan zakat lainnya dilakukan oleh Monzet Kahf
(1999) dalam artikelnya “the principle of socio economic justice in the
contemporary fiqh of zakah” yang menjelaskan tentang fenomena persoalan
zakat dan pajak di negara – negara Timur Tengah. Adapun Faruq al- Nabbahan
mengemukaakan bahwa apabila pemerintah menarik zakat, maka telah
membangun pilar penting penyejahteraan rakyat dan keadilan social.
Namun demikian, pemikiran tentang pengelolaan zakat oleh pemerintah
juga banyak ditentang. Dawan Raharjo (1993), dengan membandingkan antara
pajak dan zakat menunjukkan bahwa signifikansi keduanya berbeda, dimana
pengelolaan zakat oleh pemerintah dikhawatirkan akan hilanya substansi zakat
sebagai perintah Allah Swt. Tetapi Dawan tidak memberikan penjelasan yang
kritis tentang perbandingan yang dilakukannya dengan pendekatan sejarah
politik ekonomi.
Selain itu, S.A Siddiqi (1982) juga membahasa berbagai persoalan
seputar dikotomi zakat dan pajak negara – negara Muslim dalam bukunya Public
Finance in Islam. Dalam bukunya tersebut Siddiqi membahas tentang sumber –
sumber pendapatan dan pengeluaran negara. Siddiqi tidak bermaksud
melakukan studi perbandingan antara zakat dan pajak, tetapi mendeskripsikan
sumber – sumber zakat dan pajak serta distribusinya dalam pengeluaran negara.
Di masa modern sekarang wacana tersebut terus bergulir. Sebut saja
Yusuf Qardawi (1997:999-1115), seorang cendekiawan Muslim asal Mesir yang
mengurai secara panjang lebar tentang perbandingan zakat dan pajak. Dalam
karya monumentalnya yang banyak menjadi rujukan di Indonesia, Fiqh Zakat,
Yusuf Qardhawi membandingkan zakat dan pajak sebagai sesuatu yang berbeda
dan tidak dapat distukan bahkan Qardhawi membolehkan adanya pajak di
samping kewajiban zakat.
2. Prinsip Penerimaan Publik
Dari berbagai bentuk instrument penerimaan public diatas, dapat dianalisisi
secara ekonomi prinsip dasar pemungutan dana public pada awal Islam tersebut
Tabel 13.1
Prinsip pokok Sumber Keuangan Publik Islam Klasik

Sumber Karakteristik Utama


Penerimaan
Zakat  Merupakan kewajiban langsung dari Allah (Alquran)
 Pembayar zakat adalah:
o Khusus individu Muslim
o Mampu secara material, melebihi satu nishab
 Dibebankan atas stok kekayaan atau keuntungan, bukan atas
modal kerja
 Tinggimya tariff zakat dipengaruhi oleh:
o Semakin tinggi peran pengelolaan manusia terhadap
alam, semakin kecil tariff zakatnya
o Tingginya tarif adalah proporsional
 Dipungut secara berkala sesuai masa perolehan atau panen
Ushr  Merupakan kewajiban yang dibebankan oleh pemerintah
kepada pedagang, ditujukan untuk meningkatakan
perdagangan
 Pembayaran ushr adalah perdagangan muslim dan non –
muslim
 Dibebankan atas volume perdagangan
 Besarnya tarif dipengaruhi oleh:
o Tariff yang dipungut oleh partner dagang
o Kemampuan bayar (tidak bagi pedagang kecil, 200
dirham)
o Besarnya jasa yang diberikan pemerintah (tariff
dzimmi lebih besara karena butuh jaminan keamanan
lebih tinggi)
 Temporer, ketika terjadi perdagangan yang tidak fair (tariff
dikurangai untuk meningkatkan perdagangan yang tariff)
Kharaj  Merupakan kewajiban yang dibebankan oleh pemerintah
sebagai pengguna lahan negara atau tanah fai‟
 Tingginya tariff semakin tinggi dengan kondisi:
o Kualitas tanah dan jenis tanaha yang lebih baik
o Metode produksi/peran SDM lebih rendah
o Nilai hasil produksi (max 50%)
 Dipungut secara permanen berkala
Jizya (pajak  Merupakan kewajiban yang dibebankan oleh pemerintah
dzimmi) sebagai kompensasi atas perlindungan jiwa, property, ibadah,
dan tanggung jawab militer
 Dipungut dari non – muslim dzimmi yang tinggal di negara
islam
 Tingginya tariff dipengaruhi oleh:
o Kemampuan material membayar jizya
o Bias membayar individual atau kolektif
 Dipungut permanen, kecuali jika dzimmi berpindah ke agama
Islam, maka terkenan kewajiban sebagai Muslim

Ghanimah  Merupakan harta yang diperoleh secara paksa melalui perang


 Ditujukan terutama untuk pembiayaan perang dan
kesejahteraan tentara (80%)
 Sebagian, 20%, dialokasikan untuk sabilillah, sebagaimana
terif zakat yang dikenakan atas harta temuan (rikaz)
Fai‟  Merupakan harta yang diperoleh dari non – Muslim secara
damai atau non – perang
 Prinsipnya adalah pemanfaatan harta yang menganggur
 Dimiliki oleh pemilk asala jika ia masih hidup atau masuk ke
dalam Islam, dan menjadi milik negara jika pemilik asala
meninggal atau tetap non – Muslim
 Beberapa pendapatan bias dikategorikan sebagai fai‟, seperti
jizyah, upeti, bea cukai, denda, kharaj, amwal fadhila, dsb.
Amwal  Merupakan harta yang diperoleh karena tidak ada yang
fadhila memiliki baik karena ditingalkan pemiliknya ataupun tanpa
ahli waris
Nawaib  Merupakan harta yang secara sukarela diserahkan
kepemilikannya oleh seorang muslim untuk digunakan
kemashlahatan umat islam
 Dikhususkan pada harta yang memiliki manfaat jangka
panjang
 Tidak ada ketentuan mengenai besarannya, tergantung
kemauan waqif
Wakaf  Merupakan harta yang secara sukarela diserahkan
kepemilikannya oleh seorang Muslim untuk digunakan
kemashlahatan umat Islam
 Dikhususkan pada harta yang memiliki manfaat jangka
panjang
 Tidak ada ketentuan mengenai besarannya, tergantung
kemauan waqif
Sedekah  Merupakan harta yang secara sukarela diserahkan
kepemilikannya oleh seorang muslim untuk digunakan
kemashlahatan umat Islam
 Tidak ada ketentuan mengenai besarannya, tergantung
kemauan pemberi sedekah

Dari uraian pada tabel 13.1 dapat ditarik suatu kesimpulan mengenai prinsip –
prinsip yang diterapkan dalam penerimaan publik Islam yaitu:

a. System pungutan wajib (dharibah) harus menjamin bahwa hanya


golongan kaya dan mempunyai kelebihanlah yang memikul beban utama
dharibah
b. Berbagai pungutam dharibah tidak dipungut atas dasar besarnya input/
sumberdaya yang digunakan, melainkan atas hasil usaha ataupun
tabungan yang terkumpul
c. Islam tidak mengarahkan pemerintah mengambil sebagian harta milik
masyarakat secara paksa, meskipun kepada orang kaya. Sesulit apa pun
kehidupan Rasulullah Saw di Madinah beliau tidak pernah menentukan
kebijakan pungutan pajak
d. Islam memperlakukan kaum Muslimin dan non - Muslimin secara adil.
Pungutan dikenakan proporsional terhadap manfaat yang diterima
pembayar.
e. Islam telah menentukan sektor – sektor penerimaan negara menjadi
empat jenis:
1. Zakat, yaitu pungutan wajib atas Muslim yang ketentuaannya
sudah diatur oleh Allah. Pemerintah tidak memiliki hak untuk
mengubah hal itu semua, tetapi dapat mengadakan perubahan
dalam struktur harta yang wajib dizakati dengan berpegang pada
nash – nash umum yang ada dan pemahaman terhadap realita
modern
2. Asset dan kekayaan non keuangan, yang diperoleh dari
ghanimah, fai‟, ataupun amwal fadhila. Aset ini memungkinkan
negara untuk memilki perusahaan dan menciptakan penerimaan
sendiri dengan mengelola sumberdaya yang dikuasakan kepada
pemerintah
3. Dharibah, yaitu pungutan wajib yang nilainya ditentukan oleh
pemerintah. Dharibah meliputi jizyah kharaj, ushr, nawaib, dan
sebagainya.
4. Penerimaan publik sukarela, yaitu yang objek dan besarannya
diserahkan kepada pembayar. Jenis penerimaan ini meliputi infaq,
sedekah, waqf, hadiah, utang, dan sebagainya. Penerimaan jenis
ini dimanfaatkan untuk melengkapi atas kekurangan zakat dan
pungutan yang dilakukan oleh pemerintah.
Dalam hal pengenaan pungutan wajib, dharibah terdapat beberapa
ketentuan yang perlu diperhatikan, yaitu:
a. Dharibah bias dikenakan untuk berbagai tujuan, yaitu:
1) Untuk menghindari pengangguran sumberdaya
2) Mewujudkan perdagangan yang fair, adil, dan efisien
b. Dharibah dikenakan berdasarkan asas:
1) Kebutuhan keuangan negara tidak bersifat permanen
2) Keadilan dalam makna:
 Pembayar dharibah mendapatkan manfaat dari jasa yang
diberikan pemerintah
 Proporsional, sesuai dengan kemampuan material individu
c. Besarnya tariff dharibah mempertimbangkan beberapa aspek:
1) Volume dan nilai produksi, bukan nilai input atau modal yang
digunakan
2) Peran SDM dalam pengelolaan sumberdaya. Semakin tinggi
peran SDM, semakin rendah tariff dharibah yang dikenakan
3) Berprinsip „tidak menghambat perkembangan usaha‟
4) Berprinsipkah „kemampuan bayar‟

3. Prinsip Pengeluaran Publik

Berdasarkan analisis ekonomi terhadap sejarah pengeluaran publik


Islam semasa Rasulullah Saw dan Khulaffaurrasyidin serta kaidah fiqh
muamalah, pada hakikatnya prinsip utama dalam pengalokasiaan dana publik
adalah peningkatan mashlahat tertinggi. Khalifah Umar telah berani melakukan
distribusi/alokasi pendapatan yang diperoleh, dimana alokasi dana disesuaikan
dengan jenis yang masuk. Secara umum, belanja negara dapat dikategorikan
menjadi empat:
a. Pemberdayaan fakir miskin dan muallaf. Dana ini pada umumnya
diambil dari zakat dan ushr.
b. Biaya rutin pemerintahan. Dana ini pada umumnya diambilkan dari
kharaj, fai, jizya, dan ushr.
c. Biaya pembangunan dan kesejahteraan social. Dana ini pada
umumnya diambilkan dari dana lainnya, khums, dan sedekah.
d. Biaya lainnya, seperti biaya emergency, pengurusan anak terlantar,
dan sebaginya. Dana ini pada umumnya diambilkan dari waqf, utang
publik, dan sebagainya.
Dengan empat jenis alokasi keuangan publik diatas, besaran dan
skala prioritas alokasi tidaklah selalu sama di setiap negara ataupun waktu.
Secara garis besar, prinsip yang harus diterapkan dalam pengeluaran publik
adalah:
a. Alokasi zakat merupakan kewenangan Allah, bukan kewenangan amil
atau pemerintah. Amil hanya berfungsi menjalankan manajeman
zakat sehingga dapat dicapai pendistribusian yang sesuai ajaran
Islam.
b. Penerimaan selain zakat dialokasikan mengikuti beberapa prinsip
pokok, dianataranya (Chapra: 1995, 288-289):
1) Belanja negara harus diarahkan untuk mewujudkan semaksimal
mungkin maslahah
2) Menghindari masyaqqah kesulitan dan madharat harus
didahulukan daripada melakukan perbaikan
3) Madharat individu dapat dijadikan alas an demi menghindari
madharat dalam skala yang lebih luas
4) Pengornbanan individu dapat dilakuakan dan kepentingan individu
dapat dikorbankan demi menghindari kerugian dan pengorbanan
dalam skala umum
5) Manfaat publik yang didistribusikan adalah seimbang dengan
penderitaan atau kerugian yang ditanggung
6) Jika suatu belanja merupakan syarat untuk ditegakkannya syariat
Islam, maka belanja tersebut harus diwujudkan.
4. Keseimbangan Sektor Publik dan Anggaran

Dengan mempertimbangkan aspek penerimaan dan pengeluaran


sektor publik, maka dimungkinkan terjadi adanya kelebihan penerimaan publik
(surplus) ataupun defisit sektor publik. Namun, karena alokasi zakat sudah
ditentukan oleh Allah dan bukan merupakan kewenangan amil untuk
menentukan, maka dimungkinkan terjadi pada suatu waktu terdapat sisa dana
dan zakat dengan belum terpenuhinya kebutuhan yang tidak dimungkkinkan,
dibiayai dengan zakat. Misalnya biaya rutin pemerintahan dan militer dalam
sepanjang sejarah Islam tidak dibiayai dari zakat, namun dari pendapatan lain
jika memungkinkan seperti ghanimah dan jizyah. Namun disisi lain, hal yang
sebaliknya tidak mungkin terjadi, yaitu ketika terjadi surplus di peneriman publik
non – zakat, maka surplus ini bias digunakan untuk menutupi kekurangan –
kekurangan di distribusi zakat.

Sumber penerimaan publik:

GR = Zakat + Dharibah + Aset + Sedekah

Alokasi sektor publik meliputi:

GE = Miskin + Rutin + pembangunan + Emergency

Meskipun Rasulullah Saw, tidak melakukan estimasi tahanan


mengenai berapa besar belanja yang dibutuhkan dan sumber – sumber
penerimaannya, namun beliau telah melakukan penyeimbangan antar tujuan
dalam instrument publik pemerintah, dalam arti penerimaan dan pengeluaran
pemerintah. Konsep anggaran yang merupakan suatu rancangan kegiatan dan
pendekatan terhadap pengeluaran pemerintah pada setiap segmen adalah
merupakan hal yang relative baru dalam sejarah Islam. Dengan demikian,
tidaklah diperolah informasi normative mengenai bagaimana proses penyusunan
anggaran maupun besarnya dalam perspektif Islam.

C. Instrumen Pembiayaan Publik

Berbagai instrument yang bias digunakan sebagai pembiayaan negara pada


dasarnya dapat dikembangkan karena pada hakikatnya hal ini merupakan aspek
muamalah, kecuali dalam hal zakat. Artinya selama dalam proses penggalian
sumberdaya tidak terdapat pelanggaran syariah Islam, maka selama itu pula
diperkenankan menurut Islam. Oleh karena itu, terdapat beberapa instrument
yang biasa digunakan sebagai instrumen pembiayaan publik, yaitu sebagai
berikut:

1. Zakat

Pengeluaran/ pembayaran zakat di dalam Islam mulai efektif


dilaksanakan sejak hijrah dan terbentuknya negara Islam di madinah.
Orang – orang yang beriman dianjurkan untuk membayar sejumlah
tertentu dari hartanya, dalam bentuk zakat. Pembayaran zakat
merupakan kewajiban agama dan merupakan salah satu dari lima rukun
Islam. Kewajiban itu berlaku bagi setiap muslim yang telah dewas,
merdeka, berakal sehat, dan telah memiliki harta itu setahun penuh dalam
memenuhi nisab. Zakat dikenakan atas harta kekayaan berupa: emas,
perak, barang dagangan, binatang ernak tertentu, barang tambang, harta
karun, dan hasil panen.

Kewajiban zakat secara tegas dinyatakan, dalam Alquran, yaitu:

Zakat itu hanyalah untuk orang – orang fakir, orang – orang yang
mengurusnya, orang – orang yang dibujuk hatinya, untuk
memerdekakakn budak, untuk orang – orang yang berutang, untuk
jalan Allah dan orang – orang yang dalam perjalanan; merupakan
suatu ketentuan dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana. (QS At- Taubah: 60)

Zakat merupakan sumber pertaman dan terepenting dari


penerimaan negara, pada awaal pemerintahan Islam. Sumber
penerimaan lain sebagaimanman yang akan diuraikan pada bagiabn
setelah ini. Perlu dicatat, bahwa zakat bukanlah meupakan sumber
penerimaan biasa bagi negara – negara di dunia, karena itu juga tidak
dianggap sebagai sumber pembiayaan utama. Dengan demikian, negara
bertanggangung jawab dalam penghimpunan dan menggunakannya
secara layak, dan penghasilan dari zakat tidak boleh dicampur dengan
penerimaan publik lainnya.
2. Aset dan Perusahaan Negara

Di samping negara mendapatkan penerimaan berupa zakat, yang


bias dibayarkan dalam berupa zakat, yang biksa dibayarkan dalam
bentuk barang ataupun uang, negara Islam memiliki sumber pendanaan
negara dalam bentuk barang, yaitu ghanimah dan fai‟. Kedua harta ini
diperoleh dari masyarakat non – Muslim, baik melalui pemaksaan perang
ataupun melalui jalan damai. Meskipun demikian, harta ghanimah
bukanlah merupakan tujuan utama peperangan. Sebagian besar harta
ghanimah dipergunakan untuk kesejahteraan tentara dan sebagian kecil
untuk umat Islam. Anggota pasukan akan mendapatkan bagian sebesar
empat per lima atau delapan puluh persen. Alquran telah mengatur hal ini
secara jelas dalam QS Al- Anfal ayat 41, yaitu:

Katakanlah, sesungguhnya apa saja yang kamu peroleh sebagai


rampasan perang (ghanimah), maka sesungguhnya seperlima untuk
Allah, rasul, kerabat Rasul, anak – anak yatim, orang – orang
miskin, dan ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada
apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari
(Furqan), yaitu hari bertemunya dua pasukan. (QS Al-Anfal [8]: 41)

Dalam konteks kehidupan modern ini, dimana peperangan fisik


sudah tidak lagi dilakukan atau para pasukan merupakan pasukan
professional yang digaji, maka ghanimah tidak dapat dijadikan sebagai
sumber pendapatan. Pemerintah hanya mengambil 20% dari ghanimah
untuk pengentasan kefakiran – kemiskinan, anak yatim, dan ibnu sabil.
Dari sini bias diterik kesimpulan bahwa fai‟ diatur Rasulullah Saw sebagai
harta negara dan dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan pangan
masyarakat umum, seperti fungsi kelima dari penggunaan ghanimah.
Alokasi dari pembagiannya berbeda – beda dari satu pemerintah kepada
yang lainnya, tergantung pada kebijaksanaan masing – masing kepada
negara dan lembaga musyawarah yang dipimpinnya.

3. Kharaj

Kharaj atau biasa disebut dengan pajak tanah. Dalam


pelaksanaanya kharaj dibedakan menjadi dua, yaitu proporsional dan
tetap. Secara proporsional artinya dikenakan sebagai bagian total dari
hasil produksi pertanian, misalnya seperempat, seperlima, dan
sebagianya. Secara tetap artinya pajak tetap atas tanah. Dengan kata
lain, kharaj proporsional adalah tidak tetap tergantung pada hasil dan
harga setiap jenis hasil pertanian. Sedangkan kharaj tetap dikenakan
pada setahun sekali.

Kharaj diperkenalkan pertama kali setelah perang Khaibar, ketika


Rasullulah Saw membolehkan orang – orang Yahudi Khaibar kembali ke
tanah milik mereka dengan syarat mau membayar separuh dari hasil
panennya kepada pemerintah Islam, yang disebut kharaj.

Di dalam hukum Islam kharaj dikenakan atas seluruh tanah di


daerah yang ditaklukkan dan tidak dibagikan kepada anggota pasukan
perang, olh negara dibiarkan dimiliki oleh pemilik awal atau dialokasikan
kepada petani non – Muslim dari mana saja. Selama masa pemerintahan
Islam, kaharaj menjadi sumber penerimaan utama dari negara Islam,
dana itu dikuasai oleh komunitas dan bukan kelompok – kelompok
tertentu.

4. Jizyah

Salah satu cirri khas masyarakat Muslim adalah menjaga


saudaranya Muslim dan non – Muslim dari rasa aman. Oleh karena itu,
pada masa Rasulullah, orang – orang Kristen dan Yahudi, dikecualikan
dari kewajiban menjadi anggota militer Islam. Mereka meperbolehkan
konsesi bahwa negara Islam akan menjamin keamanan pribadi dan hak
milik mereka. Sebagai gantinya maka orang – orang non – Muslim
diwajibkan mengganti dengan membayar jizyah. Dijelaskan dengan
firman – Nya: Perangilah orang – ornag yang tidak beriman kepada Allah
dan tidak pula kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan
apa yang telsah diharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan
Rasul – Nya dan tidak beragama yang benar agama Allah), (yaitu orang –
orang) yang diberi Al – Kitab kepada mereka sampai mereka mebayar
jizyah yang patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk (QS At-
Taubah [9]: 29).

Meskipun jizyah merupakan hal wajib, namun dalam ajaran Islam


ada ketentuan, yaiyu bahwa jizyah dikenakan kepada seluruh non –
Muslim dewasa, laki – laki, yang mampu membayarnya. Sedang bagi
perempuan , anak- anak, orangtua dan pendeta dikecualikan sebagai
kelompok yang tidak wajib ikut bertempur dan tidak diharapkan mapu ikut
bertempur. Orang – orang miskin, penganggur, pengemis, tidak
dikenakan pajak. Jumlah jizyah yang harus dibayar, sangat bervariasi
antara 12 dan 48 dirham setahun, sesuai dengan kondisi keuangan
mereka. Jika seseorang memeluk agama Islam, kewajiban membayar
jizyah itu ikut gugur.

5. Wakaf

Dalam hukum islam waqaf berarti menyerahkan suatu hak milikm


yang tahan lama zatnya kepada seseorang atau nadzir (penjaga waqaf)
baik berupa perorangan maupun lembaga, dengan ketentuan bahwa
hasilnya digunakan sesuai dengan syariat Islam. Harta yang telah
diwakafkan keluar dari hak milik yang mewakafkan (wakif), an bukan pula
hak milik nadzir/ lembaga pengelola wakaf, tetapi menjadi hak milik Allah
yang harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. Filsafat yang
terkandung dalam amalan wakaf menghendaki agar harta wakaf itu tidak
boleh hanya dipendam tanpa hasil yang dapat dinikmati oleh mawquf –
alaih (pihak yang berhak menerima hasil wakaf). Makin banyak hasil harta
wakaf yang dapat dinikmati oleh yang berhak, makin besar pula pahala
yang akan mengalir kepada wakif.

Abad ke – 8 dan ke – 9 Hijriah dipandang sebagai zaman keemasan


perkembangan wakaf. Ketika itu wakaf meliputi berbagai asset semacam
masjid, mushala, sekolah, tanah pertanian, rumah, took, kebun, pabrik
roti, bangunan kantor, gedung pertemuan, tempat perniagaan, pasar,
tempat pemandian, gudang beras, dan lain – lain (Uswatun Hasanah,
2001: 13 dari Hasan Langgulung, 1991: 173). Tempat peribadatan dan
pendidikan memang ada, namun hanya sebagian kecil dari jenis – jenis
asset yang diwakafkan.
DAFTAR PUSTAKA

P3EI UII. 2008. Ekonomi Islam. Rajawali Pers: Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai