Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

PENGARUH HILANGNYA PALESTINA DARI PETA DUNIA


TERHADAP EKSITENSI BANTUAN KEMANUSIAAN DAN
PENGAKUAN HAM WARGANEGARA PALESTINA

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan


Dosen Pengampu : Intan Pelangi, S.H.,LLM

OLEH :

NAMA : EVIANA SHINTA DEWI


NPM : 19630068

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH METRO


FAKULTAS STUDI AKUNTANSI B
TA. 2019/2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas izin dan
kehendak-Nya. Makalah ini dapat saya selesaikan pada waktunya.

Penulisan dan pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata
kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.Adapun yang saya bahas dalam makalah ini
mengenai PENGARUH HILANGNYA PALESTINA dari PETA DUNIA TERHADAP
EKSISTENSI BANTUAN KEMANUSIAN dan PENGAKUAN HAM WARGA
NEGARA PALESTINA .Dalam penulisan makalah ini saya menemui berbagai hambatan
yang dikarenakan terbatasnya ilmu pengetahuan saya mengenai hal yang berkenaan
dengan penulisan makalah ini. Oleh karena itu, sudah sepatutnya sayaberterima kasih
kepada dosen pengampu yakni Ibu Intan Pelangi, S.H.,LLM.yang telah memberikan
limpahan ilmu yang berguna kepada saya.

Saya menyadari akan kemampuan saya yang masih amatir. Dalam makalah ini
saya sudah berusaha untuk dapat menyusunnya dengan baik. Tapi saya yakin makalah ini
masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, saya mengharapkan saran dan juga kritik
untuk menyempurnakan makalah ini.

Saya berharap makalah ini dapat menjadi referensi dan berguna bagi kami dan
siapapun yang membacanya.

Metro, Agustus 2020

Penyusun

.............................

DAFTAR ISI

ii
HALAMAN JUDUL .............................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar elakang ..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengaruh Hilangnya Palestina dari Peta Dunia Terhadap
Ekstensi Bantuan Kemanusiaan......................................... 3
B. Pengakuan HAM Warga Negara Palestina........................ 6
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................... 16
B. Saran .................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Palestina adalah satu-satunya negara peserta Konferensi Asia-Afrika tahun
1955 yang hingga kini belum merdeka. Pendudukan Israel atas Palestina masih
berlangsung dan berbagai pelanggaran terhadap warga Palestina masih dilakukan.
Secara bilateral, Palestina terus berupaya untuk menggalang pengakuan dari
berbagai negara. Hingga 14 September 2015, tercatat 136 negara dari 193 anggota
PBB telah mengakui Palestina sebagai negara. Di Eropa, pengakuan dan
dukungan terhadap Palestina pun semakin meningkat. Sebanyak 7 parlemen
negara Eropa (Inggris, Irlandia, Spanyol, Perancis, Portugal, Luxemburg, dan
Belgia) ditambah Parlemen Uni Eropa telah mengeluarkan mosi rekomendasi
kepada pemerintah masing-masing untuk mengakui Negara Palestina. Sebanyak 9
dari 28 negara anggota Uni Eropa juga telah mengakui Negara Palestina (Malta,
Siprus, Ceko, Slovakia, Hungaria, Rumania, Bulgaria, Polandia dan Swedia).
Sedangkan pada forum multilateral, pada tanggal 29 November 2012,
Palestina resmi disahkan sebagai non-member observer statePBB melalui
Resolusi Majelis Umum PBB No. 67/19 (Indonesia sebagai co-sponsor resolusi).
Hal ini memiliki arti simbolis sekaligus strategis bagi Palestina, yaitu
menunjukkan pengakuan dunia internasional atas statehood Palestina, dan
memberikan kesempatan bagi Palestina untuk berperan aktif dalam pelbagai
forum PBB, termasuk aktif dalam pemilihan tertentu.
Lebih lanjut, pada tanggal 30 September 2015, bendera Palestina juga secara
resmi berkibar di Markas Besar PBB di New York, berkat dukungan mayoritas
negara-negara anggota PBB.
Palestina juga merupakan anggota UNESCO sejak tahun 2011, INTERPOL sejak
2017, dan Organisation for the Prohibition of Chemical Weapon (OPCW) sejak
Mei 2018.
Konflik berkepanjangan yang terjadi antara Israel dan Palestina telah
lama menjadi sorotan dunia internasional. Konflik yang bermula ditahun 1967
ini seperti tidak ada akhirnya. Berbagai anggapan muncul sebagai penyebab

1
dari pecahnya konflik sengit antara Israel dan Palestina, mulai dari adanya
kepentingan suatu kelompok agama atas sebuah wilayah, serta keinginan
Israel untuk diakui oleh dunia Internasional. Keberadaan Israel di tanah
Palestina adalah sebuah tindakan illegal yang banyak menimbulkan
pelanggaran Hak Asasi Manusia bagi rakyat Palestina itu sendiri.
Berbagai serangan yang telah dilancarkan Israel terhadap Palestina telah
menimbulkan ratusan bahkan ribuan korban yang tidak lain adalah warga sipil
yang seharusnya dilindungi. Beberapa pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
dilakukan Israel terhadap Palestina adalah pembangunan permukiman ilegal
Yahudi, penghancuran, dan penggusuran rumah warga sipil Palestina,
pembunuhan dan pembantaian terhadap warga sipil serta penangkapan
terhadap anak-anak dan penyiksaan di penjara. Pelanggaran lain yang
dilakukan Israel adalah membatasi ruang gerak warga Palestina. Hak-hak
warga Palestina dalam akses kesehatan, melanjutkan pendidikan, medapatkan
pekerjaan, perjalanan ke luar negeri, mengunjungi keluarga, mendapatkan air
bersih dan penerangan, serta mengakses lahan yang mereka miliki merupakan
bentuk pembatasan yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina
Hak Asasi Manusia merupakan hal penting yang harus dijamin oleh
pemerintah suatu negara atas tiap rakyatnya. Hal tersebut selaras dengan salah
satu isi dari Magna Carta yang dibentuk pada 15 juni 1215 di Inggris, yaitu
Hak Asasi Manusia (HAM) lebih penting daripada kedaulatan, hukum atau
kekuasaan (Dharma, 2017). Pemerintah Palestina berusaha untuk memenuhi
hak-hak tiap rakyatnya, sekalipun posisi Palestina itu sendiri sedang
memperjuangkan kedaulatan negaranya. Namun, keterbatasan ruang gerak
akibat serangan dan kecaman yang dilakukan oleh Israel membuat pemerintah
Palestina tidak bisa mempertahankan hak-hak rakyatnya secara utuh, sehingga
bantuan dan dukungan dari masyarakat internasional juga menjadi hal yang
penting bagi masyarakat Palestina. Dalam piagam PBB, terdapat pengulangan
pada pasal 1 ayat 3 Piagam, pasal 13 ayat 1b, pasal 55c, pasal 62 ayat 2, pasal
68, dan pasal 76c yang berisi bahwa PBB akan mendorong, mengembangkan,
dan mendukung penghormatan secara universal dan efektif hak-hak asasi dan
kebebasan-kebebasan pokok bagi semua tanpa membedakan suku, kelamin,

2
bahasa, dan agama Keberadaan pengulanga pernyataan tersebut seolah
menunjukkan bahwa Hak Asasi Manusia perlu dijunjung tinggi, ditegakkan,
serta diperjuangkan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar Belakang diatas penulis merumuskan masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana pengaruh hilangnya palestina dari peta dunia terhadap ekstensi
Bantuan Kemanusiaan ?
2. Bagaimana pengakuan HAM Warga Negara Palestina ?

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengaruh Hilangnya Palestina dari Peta Dunia Terhadap Eksitensi


Bantuan Kemanusian
Isu Palestina sudah tidak diragukan lagi, Terlebih melihat sikap tegas
terhadap hak berdaulat Palestina, di tengah konflik panjang dengan Israel. tak
ada satu pihak pun yang bisa menghapus eksistensi Palestina.
“Tidak ada hak orang lain, siapa pun dia, untuk begitu saja menghapus
hak eksistensi Palestina, termasuk banyak negara yang akan terus berusaha
membela eksistensi Palestina,”
“That’s all,” tegasnya. “It’s very obvious.”
Pembelaan terhadap Palestina menjadi salah satu agenda dalam
kepemimpinan sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang telah memasuki tahun kedua.Belakangan ini, tegas
mendesak Israel untuk menghentikan rencana aneksasi atau pengambilan
paksa wilayah Palestina di Tepi Barat (West Bank) di bawah kepemimpinan
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.Rencana aneksasi sepihak dianggap
sebagai pelanggaran hukum internasional dan tindakan ilegal oleh banyak
negara di dunia.1
Seperti diketahui pencaplokan wilayah Tepi Barat yang masih berada di
tengah konflik Palestina dengan Israel merupakan salah satu janji yang
dilontarkan oleh Perdana Menteri Netanyahu, yang kerap disapa Bibi, saat
berkampanye untuk pemilihan umum pada bulan September 2019.”Dengan
bantuan Tuhan, kami akan memperluas kedaulatan negara Yahudi ke semua
permukiman untuk menjadi bagian dari Israel,” kata Netanyahu saat
menghadiri upacara pembukaan tahun ajaran baru di permukiman Elkana di
Tepi Barat.
Menurut laporan BBC, Israel mengklaim hak secara historis dan religius
atas Tepi Barat sebagai tanah leluhur orang-orang Yahudi. Israel juga

1
Dharma, S. (2017, Juni 15). HISTORIPEDIA: Magna Carta Lahir dari
Perseteruan Antara Raja John, Paus dan Baron.

4
mengatakan bahwa kehadirannya di wilayah tersebut, terutama di Lembah
Yordan, merupakan bagian penting bagi pertahanan negara itu.
Tepi Barat sendiri berada di bawah pendudukan Israel sejak perang
Timur Tengah pada tahun 1967. Sebelumnya, telah ada tapal batas 1967 (1967
Green Line) yang merupakan garis yang ditetapkan saat gencatan senjata
sebelum Israel mengadakan serangan selama 6 hari ke daerah-daerah yang
dihuni oleh rakyat Palestina, termasuk di antaranya di Tepi Barat, Jalur Gaza,
dan Yerusalem Timur.
Sebanyak dua juta hingga tiga juta warga Palestina hidup di wilayah
Tepi Barat. Sementara itu, sekitar 430.000 warga Israel juga tinggal di area
yang sama di 132 permukiman yang dibangun di bawah okupasi Israel.
Benjamin Netanyahu telah lama memperjuangkan permukiman-
permukiman tersebut dan ingin menghilangkan ketidakpastian atas nasib
warganya yang tinggal di sana dengan melakukan aneksasi. Hal tersebut
dikatakan sangat menarik bagi basis politiknya. “Ini tanah kami,” kata
Netanyahu dalam pidato masa kampanye di Elkana, Tepi Barat, pada
September 2019.
“Tidak akan ada lagi pemindahan. Kami akan membangun Elkana
lainnya,” katanya seperti dikutip dari Reuters.
Meski sikap agresif atas pencaplokan wilayah Tepi Barat telah sering
digunakan pihak Israel dalam menyikapi konflik tersebut, janji kampanye
yang dilontarkan orang nomor satu di Israel itu membuat komunitas
internasional khawatir. Pasalnya, hal tersebut bertolak belakang hukum
internasional.
Tak hanya itu, janji tersebut pun sangat terkait dengan isu kemanusiaan
dan keberlanjutan hidup jutaan warga Palestina yang tinggal di wilayah Tepi
Barat. Selama ini, mereka disebut sebagai pemukim ilegal oleh Israel.
Palestina, dan banyak negara lainnya, menyatakan bahwa konvensi
Jenewa melarang permukiman dibangun di atas tanah yang direbut dalam
perang. Namun, seperti dijelaskan sebelumnya, Israel berdalih bahwa
pembangunan permukiman tersebut adalah untuk kebutuhan kemanan,
historis, dan politis.

5
Perdamaian ala Trump, Meski berbagai negara menentang rencana Israel
atas Tepi Barat, Amerika Serikat, di bawah kepemimpinan Presiden Donald
Trump, telah secara gamblang menyatakan dukungan bagi permukiman-
permukiman Israel di wilayah Tepi Barat.
Di akhir Januari 2020, Presiden AS Donald Trump mengajukan bagian
lain dari Rencana Perdamaian Timur Tengah (Middle East Peace Plan), yang
digadangnya sebagai Deal of the Century atau Kesepakatan Abad Ini.
Trump menyampaikan keinginan agar kesepakatan perdamaian yang dia
ajukan itu dapat menjadi sesuatu yang menguntungkan, tidak hanya bagi
Israel, tetapi juga bagi Palestina, sebagaimana tercantum di laman resmi
Gedung Putih.
Dalam pernyataan yang disampaikan bersama PM Israel Benjamin
Netanyahu, Trump menyebut kesepakatan itu bisa menjadi “kesempatan
terakhir” yang dapat diambil oleh Palestina dalam upaya membentuk negara
independen.
Pengakuan AS terhadap permukiman-permukiman Israel di Tepi Barat,
yang tercantum dalam proposal tersebut, menjadi sorotan. Netanyahu
mengatakan bahwa pengumuman Trump pada bulan Januari lalu merupakan
hari yang bersejarah.
Dia pun menyandingkan rencana perdamaian ala Trump itu dengan
pengakuan Presiden AS Harry Truman pada tahun 1948 atas negara Israel.
Namun, kontras dari tanggapan Netanyahu atas rencana itu, Presiden Palestina
Mahmoud Abbas menyebutnya sebagai “tamparan abad ini”.
“Semua hak-hak kami tidak dapat dibeli dan tidak dapat ditawar.
Kesepakatan dan konspirasi (Trump dan Netanyahu) tidak akan dibiarkan
begitu saja,” kata Abbas menegaskan.
Palestina, yang tetap menginginkan solusi dua negara (two-state
solution) menganggap Washington tak lagi dapat dianggap sebagai mediator
dalam upaya pencarian resolusi atas konflik itu.
Terutama setelah sejumlah keputusan Trump yang cenderung berpihak
pada keinginan Israel, dan membuat Palestina murka, termasuk pemindahan

6
Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem, dan menghentikan bantuan
kemanusiaan senilai jutaan dolar bagi rakyat Palestina.
Menurut laporan Reuters, penghentian bantuan itu dianggap sebagai
upaya untuk mendorong kepemimpinan Palestina agar kembali ke meja
negosiasi, usai pembicaraan terkait dengan perdamaian antara Israel dan
Palestina yang terakhir ambruk pada tahun 2014.
Tanggal 1 Juli, tanggal yang direncanakan sebagai hari eksekusi
aneksasi Israel terhadap Tepi Barat berlalu. Pada hari itu, Israel menyebut
pencaplokan dapat terjadi dalam beberapa pekan atau bulan ke depan.Dalam
potret persatuan, sekitar 3.000 warga Palestina berkumpul di Jalur Gaza,
termasuk anggota partai mayoritas Fatah dan rivalnya dari Hamas, bersatu
dalam protes antianeksasi tersebut. Semua dalam perjuangan untuk
mempertahankan hak eksistensi dan berdaulat negaranya.

B. Pengakuan HAM Warga Negara Palestina


HAM (Hak Asasi Manusia) dan masalah kemanusiaan menandai ciri
khas era globalisasi, bersamaan dengan masalah-masalah kelaparan, degradasi
lingkungan, penipisan ozon dan lain-lain. Dalam isu-isu ini, termuat
kepentingan- kepentingan yang lebih besar dari sekadar kepentingan nasional
yang sempit. Bahwa isu HAM tersebut, dihadapi oleh semua umat manusia
(problem global), yang sering dipertentangkan dengan postulat tradisional
mengenai kepentingan nasional, yaitu negara hanya mengejar kepentingan
yang menjadi masalah warga negaranya. Beberapa kasus pelanggaran Hak
Asasi Manusia, seperti yang terjadi di Palestina, merupakan masalah
kemanusiaan yang berhasil diungkap dalam studi Hubungan Internasional.
Sebagian masyarakat internasional berupaya keras agar pelanggaran-
pelanggaran tersebut bisa diminimalisir. Pada sisi lain, meluasnya isu tentang
Hak Asasi Manusia telah menumbuhkan semacam moral- interconnectedness
yang mampu mendorong aktivitas-aktivitas kemanusiaan.
Pembangunan kini dipandang tidak hanya berhubungan dengan
kemajuan materiil, melainkan juga dengan segi-segi spiritual yang mencakup
kebebasan Pembangunan kini dipandang tidak hanya berhubungan dengan

7
kemajuan materiil, melainkan juga dengan segi-segi spiritual yang mencakup
kebebasan manusia, jati diri, dan keamanan pribadi. Segi yang terakhir dapat
diperoleh dibawah payung HAM, khususnya apa yang dikenal sebagai hak-
hak sipil dan politik. Ini meliputi unsur-unsur seperti perlindungan terhadap
penyiksaan, hak akan peradilan yang bebas dan tidak berpihak serta
kedudukan yang sama di depan hukum, kebebasan dari penahanan sewenang-
wenang, kebebasan bergerak dan bertempat tinggal, kebebasan berpikir dan
beragama, serta kebebasan berpendapat.
Bahwa peran PBB sangatlah penting bagi proses penegakan hukum bagi
segala macam permasalahan yang timbul baik dalam tingkat regional maupun
di tingkat internasional, khususnya masalah pelanggaran HAM yang terjadi di
Palestina.2
Kepedulian internasional terhadap hak asasi manusia merupakan gejala
yang relatif baru. Kita dapat menunjuk pada sejumlah traktat atau perjanjian
internasional yang mempengaruhi isu kemanusiaan sebelum Perang Dunia II,
setelah dimasukkan ke dalam Piagam PBB pada tahun 1945, mengenai adanya
perlindungan hak asasi manusia yang sistematis di dalam sistem internasional.
Pasal 2 Deklarasi menyatakan, bahwa "sasaran setiap asosiasi politik adalah
pelestarian hak-hak manusia yang kodrati dan tidak dapat dicabut. Hak-hak ini
adalah hak atas Kebebasan (Liberty), Harta (Property), Keamanan (Safety),
dan Perlawanan Terhadap Penindasan (Resistance to Oppression).3
Masalah Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerussalem Timur muncul sebagai
akibat dari Perang Enam Hari pada tahun 1967. Perang 1967 adalah yang
ketiga dalam konflik Arab-Israel, dan yang paling sukses bagi Israel. 5 Israel
meraih semua sasaran perangnya, dan menduduki seluruh tanah Palestina,
termasuk Jerusalem Timur milik Arab, Semenanjung Sinai milik Mesir, dan
Dataran Tinggi Golan milik Syria. Wilayah yang direbut meningkatkan
kontrol Israel atas tanah dari semula 5.900 mil persegi yang diserahkan dalam
Rencana Pembagian PBB tahun 1947 menjadi 20.870 mil persegi. Meskipun

2
Scott Davidson. 1994. Hak Asasi Manusia: Sejarah, Teori, dan Praktek dalam Pergaulan
Internasional. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti
3
Paul Findley. 1995. Diplomasi Munafik Ala Yahudi, Mengungkap Fakta Hubungan AS-
Israel. Bandung: Penerbit Mizan Anggota IKAPI. hlm:67

8
pada awalnya Israel berjanji tidak berusaha meluaskan wilayah, namun ia
segera bertindak dengan mengusir orang Palestina dan mendirikan pemukiman
Yahudi di wilayah-wilayah pendudukan, termasuk Jerussalem Timur Arab.
Dikeluarkannya Resolusi 242 oleh Dewan Keamanan PBB pada 22
November 1967, merupakan suatu prestasi diplomatic dalam konflik Arab-
Israel. Resolusi itu menekankan "tidak dapat diterimanya perebutan wilayah
melalui perang" dan memuat rumusan yang sejak itu mendasari semua inisiatif
perdamaian, tanah bagi perdamaian. Sebagai ganti ditariknya pasukan dari
wilayah Mesir, Yordania, dan Syria yang direbut dalam perang 1967, Israel
diberi janji perdamaian oleh negara-negara Arab. Perjuangan rakyat Palestina
untuk merebut kembali wilayahnya bergabung dalam suatu organisasi yaitu
PLO.4
Pada tanggal 9 Juni 1970, Menteri Luar Negeri William Rogers
(Amerika Serikat) mengecam pendirian Israel dengan mengatakan: "Israel
harus menjelaskan bahwa ia menerima prinsip penarikan sebagaimana
dinyatakan dalam resolusi Dewan Keamanan pada bulan November 1967, dan
bahwa ia tidak lagi mendesakkan rumusan perundingan-perundingan langsung
tanpa prasyarat." Perang pecah pada tahun 1973, ketika Mesir dan Syria
berusaha mendobrak kemacetan diplomatik dengan serangan militer atas
wilayah Arab yang dikuasai Israel. Masalah perundingan-perundingan awal
akhirnya terselesaikan pada akhir perang 1973, dengan keluarnya Resolusi
PBB 338, yang menyatakan bahwa "perundingan-perundingan akan dimulai
oleh kedua belah pihak yang berkepentingan dengan dukungan selayaknya
demi tercapainya perdamaian yang adil dan abadi di Timur Tengah.
Masuknya pasukan Israel ke Lebanon pada tahun 1982 adalah suatu
invasi yang berskala penuh yang melibatkan persenjataan berat, pesawat-
pesawat, dan kapal-kapal, yang sebagian besar buatan AS. Nama Operasi itu
adalah Peace for Galilee, yang mengisyaratkan bahwa sasaran Israel adalah
mendorong para gerilyawan Palestina mundur dari perbatasan untuk
mencegah serangan-serangan didalam wilayah Israel. Pada bulan September
tahun 1982 terjadi pembantaian besar-besaran atas pengungsi Palestina di
4
M. Riza Sihbudi. 1992. Eksistensi Palestina: Di Mata Teheran dan Washington.
Bandung: Penerbit Mizan Anggota IKAPI. hlm:41

9
kamp pengungsian Sabra dan Shatila yang menewaskan 2700 pengungsi
hanya dalam waktu satu jam. Palestina sendiri akhirnya membentuk milisi
yang dikenal dengan intifada. Sejak perang tahun 1982, kekuatan militer
Palestina di Lebanon sebenarnya sudah mengalami kemunduran. Secara
beruntun mereka di gempur oleh Israel pada tahun (1982), di Suriah (1983), di
milisi Amal (1985), dan terakhir oleh pasukan Lebanon sendiri.9 Perlawanan
dari rakyat Palestina bergulir sejak tahun 1987. Israel sendiri berusaha untuk
meredam dengan upaya memberikan konsensi pada Perjanjian Oslo di tahun
1993, mengenai kesepakatan antara Israel dan Palestina yang akan
memberikan kesempatan kemerdekaan bagi bangsa Palestina telah dilanggar
pada tahun 1998. Sebaliknya dengan perjanjian tersebut semakin
memperjelas kuatnya kontrol Israel atas daerah Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Perlawanan intifada bergolak pada akhir September 2001, setelah terjadinya
bentrokan antara Palestina dan Israel dipicu oleh kedatangan Ariel Sharon
yang dianggap bertanggungjawab atas pembantaian di kamp pengungsian
Sabra dan Shatila di tahun 1982.5
Hingga pada tahun 2008 telah terjadi konflik yang penuh kekerasan, dan
melanggar hak asasi manusia, seperti yang dilakukan oleh Israel pada
Palestina, yang mengakibatkan bangsa Palestina kehilangan rumah-rumah dan
tanah mereka, ladang dan bisnis, kebun-kebun zaitun dan sitrus, karena direbut
orang- orang Israel.
Beberapa lembaga PBB yang bertanggungjawab dalam bidang hak asasi
manusia diantaranya adalah ECOSOC (United Nations Economic and Social
Council) dan OHCHR (Office of the High Comissioner for Human Right).
Dewan Ekonomi dan Sosial merupakan organ politik PBB yang mempunyai
54 anggota. Dalam bidang hak asasi manusia, dewan ini bertugas membuat
rekomendasi dalam rangka kebebasan asasi dan menyerahkan draf konvensi
kepada Majelis Umum. ECOSOC juga merupakan organisasi yang
bertanggung jawab untuk menerima laporan dari, mengkoordinasi kegiatan,
dan menandatangani persetujuan dengan badan-badan khusus PBB yang
mempunyai kewenangan hak asasi manusia tertentu seperti ILO (International
5
Jurnal Politik dalam “Konflik Israel-Palestin Dari Aspek Sejarah Modern dan Langkah
Pembebasan Dari Cengkeraman Zionis” Oleh Mohd Roslan Mohd Nor

10
Labor Organization), UNESCO dan WHO. ECOSOC juga bertanggung jawab
atas kegiatan koordinasi dengan LSM-LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
atau NGO (Non-Governmental Organization).
Pembentukan OHCHR direkomendasikan oleh Komisi Persiapan PBB
pada tahun 1945, untuk menangani isu-isu hak asasi manusia yang belum
diselesaikan dan tidak dapat diatasi selama penyusunan Piagam PBB. Pada
sidangnya yang pertama dalam tahun 1946, ECOSOC membentuk CHR, yang
sekarang terdiri dari 43 orang yang dipilih dari anggota-anggota PBB.
Ketentuan mengenai batas-batas permasalahan yang ditangani CHR,
ditetapkan oleh ECOSOC pada tahun 1946. Ketentuan-ketentuan ini
menyatakan bahwa Komisi HAM (CHR) harus menyampaikan kepada
ECOSOC, proposal, rekomendasi, dan hasil laporan. Hal ini tidak dilakukan
oleh seluruh Komisi, melainkan oleh seorang rapporteur (pelapor) atau
seorang anggota Komisi yang secara individual melakukan peninjauan
kembali terhadap fakta-fakta dan melaporkannya kembali kepada Komisi.
Mandat OHCHR menyelesaikan misi di Palestina ke Jalur Gaza, yaitu
bertujuan untuk menyelidiki isu-isu yang berkaitan dengan pelanggaran hak
asasi manusia di Gaza, yang telah menerima banyak perhatian sejak
pertengahan 2007 dengan Pelapor Khusus (Special Rapporteur) John Dugard.6
Masalah Palestina, yaitu terbentuknya Negara Merdeka sampai saat ini
belum terwujud. Perjuangan rakyat Palestina untuk mewujudkan cita-citanya
telah ditempuh baik melalui perjuangan senjata maupun dengan jalan
diplomasi. Masalah Palestina muncul secara terbuka di dunia internasional
sejak didirikannya negara Israel oleh Inggris pada tahun 1947. Dan setelah
enam dekade belum terselesaikan. Masalahnya, karena negara Israel yang
didirikannya tersebut menempati tanah atau territorial yang diakui milik
bangsa Palestina.
Diawali dengan perang pada tahun 1948, dimana bangsa Palestina
menjadi satu dengan negara Arab yang mendukungnya. Membentuk
kelompok-kelompok untuk bergerilya, selanjutnya membentuk wadah
perjuangan bersama, yaitu PLO (Palestine Liberation Organization) pada

6
Special Rapporteur on the situation of human rights on Palestinian territories occupied since

11
tahun 1958. Maksud pembentukan PLO adalah untuk menggalang dan
mempersatukan semua kelompok serta melakukan upaya yang terarah dalam
perjuangannya. Sepanjang perjuangannya yang cukup panjang, bangsa
Palestina telah mengalami berbagai bentuk perlakuan diantaranya
diperlakukan sebagai teroris, bangsa yang terusir, dari tanah airnya serta
perlakuan yang tidak baik disertai penekanan dengan kekerasan selama
pengungsian di negara tetangga.
PLO dibentuk pada tahun 1958 sebagai wadah perjuangan bersama
antara kelompok-kelompok organisasi perjuangan bangsa Palestina yang
mempunyai aliran dan pandangan yang masing-masing mendapat dukungan
dari negara- negara Timur Tengah. Kelompok-kelompok dalam PLO adalah
Al Fatah pimpinan Yasser Arafat, Popular Front for the Liberation of Palestine
(PFLP) yang beraliran marxis Dr George Habash, PFLP pimpinan Ahmed
Jibril, People's Democratic for the Liberation of Palestine (PDLFP) pimpinan
Naif Hawatmeh, Sai'qa yang didukung oleh Bath Siria, Palestine Liberation
Army (PLA) dan Arab Liberation Front (ALF) yang didukung oleh Irak.
Pimpinan PLO adalah Yasser Arafat yang dipilih sebagai Ketua Sentral
Palestina semacam pemerintahan sementara dari PLO.
Menurut J.G. Starke istilah "sengketa internasional" (international
despute) bukan saja sengketa antara negara-negara, melainkan juga kasus-
kasus lain yang berada pada lingkup pengaturan internasional, yakni beberapa
kategori sengketa tertentu antara negara di satu pihak dan individu-individu,
badan-badan korporasi serta badan-badan bukan negara di pihak lain.
Sengketa bersenjata Palestina-Israel muncul pertama kali berbentuk
peperangan yang terjadi pada tahun 1947. Penyulut peperangan adalah
dikeluarkannya Resolusi PBB No.181 Tahun 1947, dimana pokok-pokok
isinya adalah pembentukan negara Israel dan penegasan pembagian wilayah
Palestina. Apabila diperhatikan, pemaksaan berdirinya negara Israel dapat
terlihat dari klausul yang mendasarinya yaitu "ditekannya adanya kemampuan
mengadakan hubungan dengan negara lain dan adanya pengakuan dari negara
lain". Klausul ini
merupakan unsur yang ke (4) yang tercantum dalam Konvensi

12
Montevideo, Tahun 1993. Profesor Jessup, yang berbicara sebagai perwakilan
Amerika di Dewan Keamanan PBB (yang kemudian menjadi hakim
internasional pada Court of Justice), menyatakan pada tanggal 2 Desember
1948, berkenaan dengan syarat Israel untuk dizinkan menjadi anggota PBB.
Sengketa bersenjata kedua terjadi pada tahun 1958, Presiden Gamal
Abdul Nasser dari Mesir membentuk PLO sebagai wadah perjuangan bangsa
Palestina. Latar belakang dibentuknya PLO adalah karena Jalur Gaza dan Tepi
Barat yang diperuntukkan Palestina dibawah pengawasan Mesir dan Jordania
diduduku Israel sebagai reaksi adanya tindakan nasionalisasi Terusan Suez
dari memblokade kapal-kapal Israel oleh Mesir pada tahun 1958. Sengketa
bersenjata ketiga terjadi pada tahun 1967, yang dikenal dengan "the six-day
war" Republik Arab Persuyuan (Mesir, Suriah, Jordania) melawan Israel yang
didukung Amerika Serikat, dan Inggris. Penyebab peperangan ini adalah
eksistensi negara Israel diganggu terus menerus terutama di front perbatasan
negara, di samping itu belum satu pun negara Arab yang mengakui negara
Israel sebagai tanah air bangsa Yahudi.
Sengketa bersenjata keempat terjadi pada tahun 1973 antara RPA
melawan Israel yang dikenal dengan perang Yom Kippur, dalam peperangan
ini pihak RPA mengalami kekalahan. Keberhasilan pertama diplomasi PLO
pada Konferensi Negara-negara Arab di Rabat pada tahun 1974 dimana
Yasser Arafat dapat meyakinkan para Kepala Negara Arab yang hadir, bahwa
PLO sebagai perwakilan resmi bangsa Palestina yang sedang berjuang.
Konferensi ini mengandung arti yang penting sekali bagi PLO, yaitu adanya
kepercayaan dan pengakuan dari Negara-negara Arab bahwa PLO merupakan
satu-satunya perwakilan resmi dari Bangsa Palestina.
Disamping itu merupakan kemenangan ke dalam PLO atas
kepemimpinan Yasser Arafat yang moderat. Setelah KTT Arab di Rabat,
maka diplomasi Yasser Arafat makin intensif ke negara-negara di luar Timur
Tengah, baik secara bilateral maupun melalui organisasi masyarakat
internasional seperti Organisasi Konverensi Negara Islam (OKI), Konverensi
Asia Afrika.
Keberhasilan besar bagi PLO adalah memperoleh pengakuan "status

13
pengamat" di siding Majelis Umum PBB. Hal ini menunjukkan cerminan dari
PBB dan negara-negara anggotanya mengakui keberadaan bangsa Palestina
yang sedang berjuang. Keberhasilan dari diplomasi Yasser Arafat ini
membawa konsekuensi yaitu keharusan mentaati ketentuan-ketentuan PBB
meskipun menghadapi hambatan dan tantangan. Sesuai pasal 2 ayat 6 Piagam
PBB maka PLO telah mempunyai hak dan kewajiban untuk bertindak sesuai
asas-asas persamaan kedaulatan serta bertindak untuk menjaga perdamaian
dan keamanan internasional. Sesuai pasal 33 ayat 2 Piagam PBB, maka setiap
pertikaian khususnya dengan pihak Israel terikat keharusan diselesaikan secara
damai, yang berarti melalui perundingan.
Dan pada tahun 1994, merupakan babak baru bagi perjuangan Palestina
dalam mewujudkan cita-citanya. Hal ini mulai terwujud dimana pada tahun
yang sama Israel mulai menyerahkan beberapa kekuasaannya seperti
penyerahan keamanan di wilayah Palestina kepada polisi Palestina,
dizinkannya Yasser Arafat
kembali ke Jalur Gaza dari tempat pengasingan. Selanjutnya disepakati
bersama untuk memperluas otonomi Palestina dimana tanggal 29 Januari 1996
warga Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat mengadakan pemilihan umum
yang pertama untuk memilih presiden dan Parlemen Palestina. Yasser terpilih
menjadi Presiden dan Parlemen terbentuk. Peristiwa ini merupakan pengakuan
pihak Israel adanya pemerintahan Palestina sebagai persiapan adanya negara
Palestina Merdeka. Perjuangan Bangsa Palestina melalui tahapan sesuai
ketentuan-ketentuan hukum internasional yaitu upaya memperoleh pengakuan
dari masyarakat internasional sebagai subyek hukum sehingga mempunyai
tingkat yang sejajar dalam perundingan.
perjuangan Palestina untuk diakui di mata dunia internasional dengan
membentuk wadah perjuangan bersama yaitu PLO, namun pada perjuangan
Palestina yang ingin merdeka telah mendapatkan perlakuan buruk dan
melanggar hak asasi manusia warga Palestina yang telah dilakukan oleh Israel.
Konflik berkepanjangan yang terjadi antara Israel dan Palestina telah
lama menjadi sorotan dunia internasional. Konflik yang bermula ditahun 1967
ini seperti tidak ada akhirnya. Berbagai anggapan muncul sebagai penyebab

14
dari pecahnya konflik sengit antara Israel dan Palestina, mulai dari adanya
kepentingan suatu kelompok agama atas sebuah wilayah, serta keinginan
Israel untuk diakui oleh dunia Internasional. Keberadaan Israel di tanah
Palestina adalah sebuah tindakan illegal yang banyak menimbulkan
pelanggaran Hak Asasi Manusia bagi rakyat Palestina itu sendiri.
Berbagai serangan yang telah dilancarkan Israel terhadap Palestina telah
menimbulkan ratusan bahkan ribuan korban yang tidak lain adalah warga sipil
yang seharusnya dilindungi. Beberapa pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
dilakukan Israel terhadap Palestina adalah pembangunan permukiman ilegal
Yahudi, penghancuran, dan penggusuran rumah warga sipil Palestina,
pembunuhan dan pembantaian terhadap warga sipil serta penangkapan
terhadap anak-anak dan penyiksaan di penjara. Pelanggaran lain yang
dilakukan Israel adalah membatasi ruang gerak warga Palestina. Hak-hak
warga Palestina dalam akses kesehatan, melanjutkan pendidikan, medapatkan
pekerjaan, perjalanan ke luar negeri, mengunjungi keluarga, mendapatkan air
bersih dan penerangan, serta mengakses lahan yang mereka miliki merupakan
bentuk pembatasan yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina
Momen yang cukup mengusik stabilitas di kawasan negara teluk, setelah
pernyataan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang mengakui
Jerussalem sebagai ibukota Israel. Pernyataan tersebut mendapat kecaman
keras dari masyarakat internasional. Dalam sebuah diskusi forum yang
diselenggarakan oleh FPCI, Duta Besar Jordan untuk Indonesia, Walid Al-
Hadid menjelaskan bahwa krisis Jerussalem yang terjadi merupakan isu yang
menjadi kepentingan semua komunitas, kelompok dan kalangan serta menjadi
isu bagi seluruh umat manusia. Pernyataan tersebut memperkuat bahwa
konflik yang terjadi di Palestina bukan hanya isu domestik semata, melainkan
masalah bagi dunia internasional karena menyangkut Hak Asasi Manusia
seluruh penduduk Palestina.
Hak Asasi Manusia merupakan hal penting yang harus dijamin oleh
pemerintah suatu negara atas tiap rakyatnya. Hal tersebut selaras dengan salah
satu isi dari Magna Carta yang dibentuk pada 15 juni 1215 di Inggris, yaitu
Hak Asasi Manusia (HAM) lebih penting daripada kedaulatan, hukum atau

15
kekuasaan (Dharma, 2017). Pemerintah Palestina berusaha untuk memenuhi
hak-hak tiap rakyatnya, sekalipun posisi Palestina itu sendiri sedang
memperjuangkan kedaulatan negaranya. Namun, keterbatasan ruang gerak
akibat serangan dan kecaman yang dilakukan oleh Israel membuat pemerintah
Palestina tidak bisa mempertahankan hak-hak rakyatnya secara utuh, sehingga
bantuan dan dukungan dari masyarakat internasional juga menjadi hal yang
penting bagi masyarakat Palestina. Dalam piagam PBB, terdapat pengulangan
pada pasal 1 ayat 3 Piagam, pasal 13 ayat 1b, pasal 55c, pasal 62 ayat 2, pasal
68, dan pasal 76c yang berisi bahwa PBB akan mendorong, mengembangkan,
dan mendukung penghormatan secara universal dan efektif hak-hak asasi dan
kebebasan-kebebasan pokok bagi semua tanpa membedakan suku, kelamin,
bahasa, dan agama Keberadaan pengulanga pernyataan tersebut seolah
menunjukkan bahwa Hak Asasi Manusia perlu dijunjung tinggi, ditegakkan,
serta diperjuangkan.

BAB III
PENUTUP

16
A. Kesimpulan
“Tidak ada hak orang lain, siapa pun dia, untuk begitu saja menghapus
hak eksistensi Palestina, termasuk banyak negara yang akan terus berusaha
membela eksistensi Palestina,”
“That’s all,” tegasnya. “It’s very obvious.”
Pembelaan terhadap Palestina menjadi salah satu agenda dalam
kepemimpinan sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang telah memasuki tahun kedua.Belakangan ini, tegas
mendesak Israel untuk menghentikan rencana aneksasi atau pengambilan
paksa wilayah Palestina di Tepi Barat (West Bank) di bawah kepemimpinan
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.Rencana aneksasi sepihak dianggap
sebagai pelanggaran hukum internasional dan tindakan ilegal oleh banyak
negara di dunia.
Hak Asasi Manusia merupakan hal penting yang harus dijamin oleh
pemerintah suatu negara atas tiap rakyatnya. Hal tersebut selaras dengan salah
satu isi dari Magna Carta yang dibentuk pada 15 juni 1215 di Inggris, yaitu
Hak Asasi Manusia (HAM) lebih penting daripada kedaulatan, hukum atau
kekuasaan. Pemerintah Palestina berusaha untuk memenuhi hak-hak tiap
rakyatnya, sekalipun posisi Palestina itu sendiri sedang memperjuangkan
kedaulatan negaranya.

B. Saran
Penulis tentunya masih menyadari jika makalah diatas masih terdapat
banyak kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki
makalah tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber serta kritik yang
membangun dari para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

17
Hasan, R. A. (2017, Desember 15). Dubes Yordania: Yerusalem Isu Islam,
Kristen, Arab, RI dan Semua.
Salengke, H. H. (2017, November 1). Setengah Abad Pelanggaran HAM Israel
atas Palestina.
Sinaga, T. B. (2013). PERANAN HUKUM INTERNASIONAL DALAM
PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA. Journal UNSRAT, 95 vol.I no.2.
Sinaga, T. B. (2013). PERANAN HUKUM INTERNASIONAL DALAM
PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA. Journal UNSRAT, 99-100 vol.I no.2.
Yulianto, A. (2017, Maret 22). HAM Internasional: Israel melanggar Hak Asasi
Manusia di Palestina.

18

Anda mungkin juga menyukai