Anda di halaman 1dari 25

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Injeksi Air (Waterflooding)


Willhite (1986) mengemukakan, waterflooding merupakan metode
perolehan minyak tahap kedua (secondary recovery) dengan cara menginjeksikan
air melalui sumur injeksi ke dalam reservoir dengan maksud untuk
mempertahankan tekanan reservoir (pressure maintenance) dan sebagai fluida
pendesak minyak untuk mendapatkan tambahan perolehan minyak yang bergerak
dari reservoir menuju ke sumur produksi, setelah reservoir tersebut mendekati
batas ekonomis produktif melalui perolehan minyak tahap pertama (primary
recovery).
Injeksi air pada secondary recovery, menggunakan pola sumur injeksi-
produksi, hal ini disebabkan karena air memiliki sifat keefektifan untuk mendesak
minyak dalam berbagai kondisi reservoir, jenis batuan maupun sifat-sifat
fluidanya. Air yang diinjeksikan dengan sistem terpola ini diharapkan akan
mendesak minyak mengikuti jalur-jalur arus yang dimulai dari sumur injeksi dan
berakhir pada sumur-sumur produksi. Pada saat air yang telah diinjeksikan sampai
di sumur produksi, maka produksi air akan meningkat dengan cepat, yang dikenal
dengan breakthrough. Setelah breakthrough saturasi air di dalam reservoir
menjadi sangat tinggi sehingga pada akhir proses ini fluida yang diproduksikan
didominasi oleh air, ditunjukkan oleh tingginya harga WOR (Water Oil Ratio) dan
tidak ekonomis lagi.
Didalam metode waterflooding, ada beberapa faktor yang perlu
dipertimbangkan, yaitu (Latil, Marcel., 1980) :
a. Geometri reservoir
Luas area geometri reservoir perlu diketahui, karena hal ini berpengaruh
pada pemilihan lokasi dari sumur. Selain itu, melalui geometri reservoir ini
lah dapat menentukan reservoir mana yang dapat dilakukan proses injeksi
air.
b. Sifat-sifat fluida

4 Universitas Sriwijaya
5

Sifat fluida yang perlu diperhatikan adalah viskositas minyak. Viskositas


dari minyak berpengaruh pada tingkat keberhasilan dari proses injeksi air
ini. Selain itu viskositas minyak sangat berpengaruh pada penentuan
mobilitas ratio, yang mana akan berpengaruh pada efisiensi penyapuan
(sweep efficiency).
c. Kedalaman reservoir
Kedalaman dari suatu reservoir akan berpengaruh baik itu dari segi teknis
maupun ekonomis. Tekanan maksimum injeksi akan semakin meningkat
seiring dengan makin dalamnya reservoir. Tekanan injeksi yang diberikan
pada reservoir harus lebih kecil dari tekanan rekah reservoir, apabila
tekanan injeksi melebihi tekanan rekah, maka batuan reservoir akan
merekah. Hal tersebut dapat menyebabkan berkurangnya efisiensi dari
pelaksanaan injeksi air. Dari segi ekonomis, makin dalam suatu reservoir
maka biaya yang diperlukan dalam melakukan proses injeksi air akan
semakin besar.
d. Litologi dan sifat batuan
Karakteristik dan litologi batuan reservoir akan berpengaruh pada
kemampuan pengairan dan keberhasilan dari proses EOR. Adapun
karakteristik yang berpengaruh pada proses EOR antara lain porositas,
permeabilitas, kandungan lempung (clay content) dan ketebalan lapisan.
e. Saturasi fluida
Salah satu kriteria keberhasilan dari operasi injeksi air dapat dilihat dari
nilai saturasi minyaknya. Apabila pada awal operasi injeksi air, nilai saturasi
minyak tinggi, berarti mobilitas dari minyak meningkat. Meningkatnya
mobilitas dari minyak memberikan efisiensi perolehan yang lebih tinggi.
f. Keseragaman reservoir (reservoir uniformity)
Keseragaman reservoir merupakan kriteria utama dalam keberhasilan
operasi injeksi air. Sebagai contoh, apabila terdapat lapisan dengan
ketebalan tertentu mempunyai nilai permeabilitas yang tinggi, maka akan
terbentuk suatu channeling.
g. Mekanisme pendorong utama reservoir

Universitas Sriwijaya
6

Jenis tenaga pendorong dari suatu reservoir juga berpengaruh dalam


keberhasilan proses injeksi air. Jenis pendorong yang paling baik untuk
diterapkan pada injeksi air adalah solution-gas cap drive, karena biasanya
primary recoverynya kecil sehingga berpotensi adanya peningkatan
perolehan dengan injeksi air. Dengan dilakukannya injeksi air ini
diharapkan recovery minyak yang didapatkan menjadi lebih besar.
Keuntungan dari pelaksanaan injeksi air dibanding dengan metode
secondary recovery lainnya, yaitu :
a. Tersedianya air dalam jumlah yang melimpah.
b. Relatif mudah diinjeksikan dan mampu menyebar dalam reservoir.
c. Lebih efisien dalam mendesak minyak dan menguntungkan secara
ekonomis.
Walaupun memiliki banyak keunggulan, tetapi dalam penerapan injeksi air
dilapangan mempunyai batasan-batasan, karena tidak semua reservoir baik untuk
dilakukan sistem injeksi air. Adapun kriteria-kriteria yang dapat menyebabkan
kegagalan dalam penerapan injeksi air antara lain :
a. Jenis minyak berat, lebih optimal jika dilakukan injeksi uap.
b. Mekanisme pendorongnya gas cap reservoir, lebih optimal menggunakan
injeksi gas.
c. Swc terlalu tinggi.
d. Dari segi teknis, seperti casing sumur bocor dan penyemenan yang jelek
menyebabkan air keluar dari reservoir.
Untuk menghindari kegagalan penerapan injeksi air maka ada beberapa
pertimbangan yang perlu diperhatikan sebelum dilaksanakannya operasi injeksi
air pada suatu reservoir, yaitu (Rukmana, D., 2012) :
a. Recovery factor dari reservoir masih rendah, berarti sisa cadangan dari
initial oil in place masih tinggi.
b. Gas oil ratio masih rendah, berarti fluida reservoir berada pada
undersaturated phase.
c. Batuan reservoir bersifat water wet.
d. Reservoir dengan Swc rendah.
e. Viskositas minyak rendah.

Universitas Sriwijaya
7

2.2 Mekanisme Pendesakan Minyak Oleh Air Pada Waterflooding


Prinsip dasar mekanisme pendesakan minyak oleh air adalah air bergerak
dari daerah saturasi air yang tinggi ke daerah saturasi air yang lebih rendah,
karena itu air akan mendesak minyak dan mengubah daerah yang telah
didesaknya menjadi daerah bersaturasi air tinggi. Bagian reservoir yang terisi
oleh air akan terus bertambah dan minyak terus berkurang, karena sebagian telah
terproduksikan. Air mendesak minyak dalam pori-pori batuan dalam proses
penginjeksian air (Willhite, 1986).
Konsep pendesakan fluida reservoir berhubungan dengan karakteristik
batuan reservoir. Secara garis besar karakteristik batuan reservoir dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu sifat dasar batuan itu sendiri seperti
porositas, permeabilitas, dan distribusi ukuran pori, serta sifat yang terbentuk
dengan adanya terbentuk dengan adanya interaksi antara batuan dengan
fluida seperti wettabilitas, tekanan kapiler dan distribusi saturasi fluida. Pada
proses pendesakan minyak oleh air akan terdapat suatu zona transisi diantara
keduanya.
Proses pendesakan dikenal ada dua konsep, yaitu pendesakan torak dan
pendesakan desaturasi (John Lee W., 1995). Dua konsep pendesakan tersebut
dapat dijelaskan yaitu :
2.2.1 Pendesakan Torak (Piston Like Displacement)
Pendesakan torak menganggap bahwa dibelakang front hanya fluida
pendesak (air) yang mengalir sedangkan dimuka front hanya fluida yang didesak
(minyak) yang mengalir (John Lee W., 1995). Profil pendesakan torak
diperlihatkan pada (Gambar 2.1).

Universitas Sriwijaya
8

Gambar 2.1. Profil Pendesakan Torak Dalam Pendesakan Air-Minyak (John


Lee W., 1995)
2.2.2 Pendesakan Desaturasi (Leaky Piston Like Displacement)
Pendesakan desaturasi menganggap bahwa saturasi air dizona minyak
yang telah didesak bervariasi dari 1−S ¿ hingga Swf . Nilai Sw =1−S¿ merupakan

saturasi air pada titik masuk (sumur injeksi), sedangkan Sw =S wf merupakan


saturasi air pada batas front minyak-air. Pada Gambar 2.2 memperlihatkan profil
pendesakan desaturasi. Titik masuk (x=0) saturasi minyak berkisar dari saturasi
residual (S¿) hingga So =1−Swf pada belakang front, hal ini berarti minyak masih
mengalir bersama-sama air dibelakang front. Pendesakan desaturasi lebih realistik
di lapangan dibandingkan pendesakan torak.

Gambar 2.2. Profil Pendesakan Desaturasi Dalam Pendesakan Air-Minyak


(John Lee W., 1995)

Universitas Sriwijaya
9

Teori pergerakan front (frontal advance theory) didasarkan pada beberapa


anggapan, yaitu (Buckley-Leverett, 1942) :
a. Aliran yang mantap (steady state).
b. Sistem pendesakan tidak bercampur (immiscible).
c. Fluida tidak dapat dimampatkan (incompressible).
d. Aliran terjadi pada media berpori yang homogen.

2.3 Parameter dalam Waterflooding


Adapun parameter-parameter yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan
injeksi air antara lain (Willhite, 1986) :
2.3.1 Fractional Flow
Persamaan aliran fraksional (fractional flow) adalah fraksi dari air yang
mengalir terhadap aliran total fluida dalam reservoir yang linear (John Lee W.,
1995). Model ini memberikan pengetahuan kedalam proses pendesakan injeksi air
yang tak tercampur dan efek relatif dari perbedaan batuan, fluida, dan operasional
pada efisiensi pendesakan. Beberapa asumsi dari teori fractional flow yaitu :
a. Pendesakan adalah linear.
Aliran fluida hanya satu arah, Model 1-D dengan tidak mempertimbangkan
aliran streamlines, disajikan secara simetri antara injector dan producer dari
model line drive.
b. Pendesakan tak tercampur.
Fluida tidak saling bercampur.
c. Fluida tidak termampatkan (fluida incompressible).
Kondisi steady state (mantap) dengan perbedaan tekanan yang konstan
antara sumur injeksi dan produksi.
d. Proses Pendesakan
Air sebagai media pendesak minyak dalam reservoir water wet dan laju alir
total konstan.
e. Kesetimbangan vertikal

Universitas Sriwijaya
10

Distribusi saturasi adalah sebuah fungsi dari tekanan kapiler dan tinggi serta
kesetimbangan berada antara gaya kapiler dan gravitasi.
f. Persamaan aliran
Mendekati persamaan Darcy (1850) dimana mengalirnya antara minyak dan
air.
Persamaan fractional flow untuk pendesakan linear tak tercampur dalam
media berpori ditunjukkan dalam unit lapangan dengan persamaan aliran Darcy
(1850) yaitu :
ko A ∂ Pc

f w=
1+ 0,0001127
μ o qt ∂L([ −0,433 ∆ γ sinα ])
…(2.1)
μw ko
1+
μo kw

Fraksi dari persamaan ini menyatakan dari total air yang mengalir.
fw = 1 (100% mengalir air, tidak ada minyak mengalir).
fw = 0 (100% mengalir minyak, tidak ada air mengalir).
Dimana :
fw = fraksi air yang mengalir disetiap titik batuan (water cut), fraksi
k = permeabilitas batuan, mD
ko = permeabilitas efektif minyak, mD
kw = permeabilitas efektif air, mD
μo = viskositas minyak, cp
μw = viskositas air, cp
∆ Pc = perbedaan tekanan kapiler (Poil – Pwater), psi
qt = laju aliran total (minyak dan air), RB/D
A = luas penampang batuan atau reservoir, acre
L = jarak pergerakan front, ft
∆γ = perbedaan spesific gravity (γwater – γoil), fraksi
α = sudut kemiringan formasi, derajat.
(harga positif = air mendesak minyak pada kondisi up dip)
(harga negatif = air mendesak minyak pada kondisi down dip)
Persamaan diatas memperlihatkan bahwa fraksi aliran ( f w) yang diberikan

Universitas Sriwijaya
11

batuan formasi dan kondisi pendesakan merupakan fungsi saturasi air, karena
permeabilitas relatif dan tekanan kapiler adalah fungsi-fungsi dari saturasi itu
sendiri. Faktor yang diperlukan untuk menghitung harga f w secara lengkap
telah tersedia kecuali gradient tekanan kapiler. Gradient ini diformulasikan
sebagai berikut :

∂ P c ∂ Pc ∂ Sw
=
∂ L ∂ Sw ∂ L
Harga (∂ Pc ¿ ∂ S w) dapat ditentukan secara tepat dari kurva tekanan kapiler
air-minyak dan harga gradient saturasi (dS w /dL) tidak tersedia. Prakteknya
digunakan istilah tekanan kapiler seperti (Persamaan 2.1) diabaikan. Jika
pendesakan terjadi dalam sistem sumur horizontal dengan menggunakan harga
permeabilitas efektif maka (Persamaan 2.1) disederhanakan menjadi :

1
f w= …(2.2)
μw k o
1+
μo k w

Dimana :
k o=k . k ro
k w =k . k rw
Persamaan tersebut diperoleh kedalam bentuk yang sederhana dari
persamaan fraksi aliran, dimana permeabilitasnya relatif minyak dan air juga
termasuk di dalamnya, yaitu :

1
f w= …( 2.3)
μ w k ro
1+
μo k rw

Keterangan :
K rw = permeabilitas relatif air, mD
K ro = permeabilitas relatif minyak, mD
k = permeabilitas absolut, mD

Universitas Sriwijaya
12

2.3.2 Mobilitas Ratio


Mobilitas ratio merupakan elemen yang berpengaruh dalam mengontrol
efisiensi penyapuan areal dalam operasi injeksi air (John Lee W., 1995). Mobilitas
ratio didefinisikan sebagai perbandingan dari mobilitas fluida pendesak dengan
fluida yang didesak, dan dituliskan dalam suatu persamaan sebagai berikut (John
Lee W., 1995) :
k
λ
M= =
(D μ)
pendesak

λ d
( kμ ) didesak
Dimana :
λD = mobilitas fasa pendesak (displacing) dibelakang front.
λd = mobilitas fasa yang didesak (displaced) didepan front.
Mobilitas fluida injeksi haruslah rendah dan mobilitas minyak haruslah
cukup tinggi agar didapatkan efisiensi penyapuan areal yang tinggi dan hal
tersebut yang mempengaruhi peningkatan perolehan minyak. Mobilitas ratio akan
tetap konstan sampai terjadinya breakthrough (penerobosan air), sehingga saturasi
air rata-rata di belakang front tetap konstan dan permeabilitas relatif air tidak
berubah. After breakthrough, mobilitas ratio tidak lagi konstan melainkan
meningkat sejalan dengan saturasi air rata-rata sehingga permeabilitas air pun
meningkat. Hasil perhitungan yang diperoleh, dapat diperoleh kesimpulan sebagai
berikut :
a. Apabila M > 1, maka tidak akan menguntungkan dalam proses penyapuan.
Kondisi ini, air mengalir lebih cepat daripada minyak. Air yang mengalir di
belakang front lebih cepat dibandingkan minyak yang didepan front.
Akibatnya air tidak dapat mendesak minyak secara efisien sehingga air lebih
dahulu terproduksi pada sumur produksi.
b. Apabila M = 1, ketahanan mengalir di dalam reservoir untuk kedua macam
fluida yang sama.

Universitas Sriwijaya
13

c. Apabila M < 1, menguntungkan untuk proses penyapuan. Air dapat


menyapu minyak lebih efisien sehingga dapat meningkatkan perolehan
minyak.
Proyek waterflooding dengan kondisi mobilitas ratio (M < 1) maka pola
yang digunakan didesain dengan sumur injeksi yang lebih banyak dibandingkan
sumur produksi. Efisiensi perpindahan pada suatu proses pendesakan bervariasi
terhadap jenis fluida dan sifat-sifat batuan. Oleh sebab itu, sulit untuk
membandingkan kelakuan pendesakan jika parameter-parameter ini berubah.
Persamaan mobilitas ratio untuk pendesakan torak (piston like
displacement) sebagai berikut (John Lee W., 1995) :
k rw

M=
( )
μw ¿
S
…(2.4)
k ro
( ) S
μ o wi

Dimana :
k rw = permeabilitas relatif air, mD
k ro = permeabilitas relatif minyak, mD
μw = viskositas air, cp
μo = viskositas minyak, cp
S¿ = saturasi minyak residual, fraksi
Swi = saturasi air awal, fraksi
Craig (1971) menganggap bahwa ada gradien saturasi di belakang flood
front karena pada kondisi lapangan yang sebenarnya pendesakan minyak oleh air
bukanlah pendesakan torak. Craig mengemukakan mobilitas apparent untuk fasa
pendesak dengan menggunakan saturasi air rata-rata dibelakang flood front pada
saat breakthrough ( Śwbt ). Persamaan mobilitas yang dikemukakan oleh Craig
sebagai berikut (John Lee W., 1995) :

Universitas Sriwijaya
14

k rw

M=
( ) Ś
μ w wbt
…( 2.5)
k ro
( )
μo wi
S

Dimana :
K rw = permeabilitas relatif air, mD
K ro = permeabilitas relatif minyak, mD
μw = viskositas air, cp
μo = viskositas minyak, cp
Śwbt = saturasi air rata-rata saat breakthrough, fraksi
Swi = saturasi air awal, fraksi

2.4 Jenis Pola Injeksi Pada Waterflooding


Pada prinsipnya, pola penginjeksian diterapkan pada reservoir yang
kemiringannya (dip) kecil dan area permukaannya yang luas. Dalam halnya untuk
memastikan penyapuan dari sumur injeksi terdistribusi antar sumur-sumur
produksi. Ini dilakukan dengan mengubah sumur-sumur produksi menjadi sumur
injeksi atau dengan membuat sumur-sumur injeksi baru. Willhite (1986)
mengemukakan bahwa dalam melakukan pemilihan pola injeksi ada beberapa
faktor yang perlu dipertimbangkan, yaitu :
a. Heterogenitas reservoir dan arah permeabilitas
b. Arah dari rekahan.
c. Ketersediaan fluida injeksi.
d. Lamanya masa injeksi yang diinginkan.
e. Perolehan minyak maksimumnya.
f. Jarak sumur, produktivitas dan injektivitasnya.
2.4.1 Pola Pendesakan (Flood Pattern) Pada Waterflooding
Langkah pertama perencaanan proyek waterflooding adalah pemilihan pola
pendesakan. Pemilihan pola yang tepat yaitu menyediakan fluida injeksi yang
maksimum yang langsung berhubungan dengan sistem fluida minyak. Pemilihan
ini dapat mencapai dengan mengkonversikan sumur produksi ke sumur injeksi

Universitas Sriwijaya
15

atau mengebor sumur-sumur infill untuk injeksi disamping itu faktor yang
dipertimbangkan yaitu (Ahmed, Tarek., 1989) :
a. Keheterogenitas reservoir dan arah rekahan formasi.
b. Tersedianya fluida injeksi (gas atau air).
c. Injektifitas, produktifitas, dan well spacing.
d. Perolehan minyak maksimum.
Secara umum pemilihan pola pendesakan yang cocok untuk reservoir
tergantung pada jumlah dan lokasi sumur-sumur yang telah ada. Pada beberapa
kasus, sumur-sumur produksi dapat diubah menjadi sumur injeksi. Secara umum,
pola injeksi terbagi menjadi tiga, yaitu (Willhite, 1986) :
a. Pola injeksi irregular (tak beraturan)
Willhite (1986) mengemukakan topologi atau kemiringan dari lubang bor
kemungkinan hasil dari sumur injeksi atau sumur produksi dengan
lokasi yang tidak seragam. Daerah yang dipengaruhi oleh sumur injeksi
bisa jadi berbeda untuk setiap sumur injeksi. Beberapa reservoir yang
kecil (small) yang dikembangkan untuk produksi primary dengan
dibatasi jumlah sumur dan dari segi ekonomi yang sedikit mungkin hanya
sedikit sumur produksi yang dikonversikan kedalam sumur injector pada
pola yang tidak seragam. Patahan (faulting) dan hal yang sudah pasti variasi
dalam porositas dan permeabilitas.
b. Pola injeksi peripheral
Pada pendesakan peripheral sumur injeksi ditempatkan dibatas luar dari
reservoir yang ditunjukkan pada (Gambar 2.3).

Universitas Sriwijaya
16

Gambar 2.3. Tipe Pola Injeksi Peripheral Pada Waterflooding (Ahmed,


Tarek., 1989)

Karakteristik utama pada pendesakan ini adalah :


1. Secara umum pendesakan peripheral memiliki nilai maksimum dalam
perolehan minyak dengan air yang diproduksikan minimum.
2. Untuk pendesakan peripheral yang sukses, permeabilitas formasi harus
cukup besar untuk memudahkan pergerakan air yang diinjeksikan.
3. Karena tidak biasanya sedikit jumlah sumur injector dibandingkan dengan
jumlah produksi, sehingga air yang dinjeksikan hingga fill-up
membutuhkan waktu yang lama.
4. Hasil pendesakan peripheral lebih sukar diprediksi. Fluida yang
mendesak oil bank cenderung lewat (past) hingga ke sumur produksi.
5. Secara umum laju injeksi sebuah masalah karena sumur injeksi terus
menerus mendorong air yang lebih besar.
c. Pola injeksi regular (beraturan)
Pengembangan disetiap lapangan yang umum digunakan dalam proyek
injeksi air menggunakan penyusunan pola yang beraturan (Ahmed, Tarek.,
1989), yang mana ditunjukkan pada (Gambar 2.4).

Universitas Sriwijaya
17

Gambar 2.4. Macam-macam Tipe Pola Injeksi Regular (Beraturan)


(Ahmed, Tarek., 1989)

1. Direct line drive. Jalur (lines) dari injeksi dan produksi adalah saling
berlawanan arah satu sama lainnya. Pola ini dicirikan dengan dua
parameter yaitu a adalah jarak antar sumur yang sama, dan d adalah jarak
antara lines dari injector dan producer, penyapuan kurang baik dan well
spacing seragam.
2. Staggered line drive. Pada pola ini, sumur-sumur yang sejenis berada dalam
baris yang sama, akan tetapi antara sumur injeksi dan sumur produksinya
berada pada arah yang saling berlawanan dengan posisi diagonal.
3. Five spot. Ini adalah seperti kotak dengan jarak antar semua sumur tetap
(constant) yaitu a=2 d, dengan empat sumur injeksi dalam sebuah persegi
empat terhadap satu sumur produksi terletak dipusat, pola yang biasanya
digunakan, well spacing seragam, efisiensi penyapuan tinggi, dan respon
injeksi yang baik untuk reservoir dengan dibatasi tekanan injeksi hingga
daerah tekanan formasi yang rendah.
4. Seven spot. Sumur-sumur injeksi yang ditempatkan dipojok dari sebuah
hexagonal dengan satu sumur produksi yang terletak dipusat, biasanya

Universitas Sriwijaya
18

tidak digunakan pada irregular spacing dan jika digunakan lebih suka pada
pola inverted, boleh jadi digunakan untuk pilot floods dalam pola regular
untuk mengontrol aliran yang baik selama test flood.
5. Nine spot. Pola ini serupa dari five spot tetapi dengan penambahan sumur
injeksi yang dibor ditengah dari setiap sisi persegi empat. Pada dasarnya
pola ini terdiri dari delapan injector yang menggelilingi satu producer. Ciri
dari pola ini adalah penyapuan baik, well spacing seragam yang
dikembangkan dari persegi empat, pattern yang biasanya digunakan, bila
regular 9-spot dimanfaatkan untuk injektifitas fluida yang rendah-
digunakan pilot test dan bila inverted 9-spot dimanfaatkan untuk
injektifitas fluida yang tinggi.
Pola yang diistilahkan dengan inverted yaitu hanya memiliki satu sumur
injeksi per pattern.
Perubahan fungsi sumur produksi menjadi sumur injeksi akan berpengaruh
pada jumlah produksi minyak yang dihasilkan, dimana kapasitas produksi
dari lapangan akan berkurang. Keputusan untuk membuat sumur injeksi
baru atau menggunakan sumur yang lama dilakukan dengan berdasarkan
analisa ekonomi dengan ketentuan tidak dibatasi secara teknis.

2.5 Peralatan Injeksi Air


Dalam pelaksanaannya, pelaksanaan injeksi air menggunakan dua jenis
sumur yang berbeda fungsinya yaitu sumur injeksi dan sumur produksi. Kedua
jenis sumur ini masing-masing dilengkapi dengan peralatan permukaan dan
peralatan bawah permukaan (lubang sumur). Peralatan untuk sumur injeksi dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian besar yaitu berupa fasilitas injeksi dan
komplesi injeksi. Fasilitas injeksi yang dimaksud mencakup pompa, tangki
penyimpanan air (storage), sistem preparasi air (water treatment), saringan-
saringan dan pipa-pipa salur (Ahmed, Tarek., 1989).
Peralatan sumur produksi juga dikelompokkan menjadi dua, yaitu fasilitas
produksi dan komplesi produksi. Fasilitas produksi dimaksudkan peralatan-
peralatan yang digunakan untuk mengalirkan minyak yang berasal dari dasar
lubang sumur sampai ke penyimpanan sementara. Peralatan mencakup kepala

Universitas Sriwijaya
19

sumur, pipa salur (flowline), tangki pemisah dan lain-lain. Komplesi sumur
produksi pada proyek injeksi air sama dengan komplesi sumur-sumur pada
umumnya, antara lain dalam hal formasi (Ahmed, Tarek., 1989).
Peralatan untuk operasi injeksi air ini terdiri dari (Ahmed, Tarek., 1989) :
a. Pompa
Pompa merupakan alat yang memberikan tekanan masuk injeksi air. Pompa
pada pelaksanaan injeksi air ini dapat berupa pompa sentrifugal atau
dengan menggunakan pompa reciprocating.
b. Storage Tank
Storage tank merupakan tempat pengumpul air bersih yang disiapkan untuk
diinjeksikan kedalam sumur setelah mengalami penanganan pada bagian
yang khusus untuk membersihkannya. Air yang digunakan dalam operasi
injeksi air adalah fresh water (air dari sungai atau danau serta air aquifer)
dan salt water (air laut) dan juga dapat menggunakan air yang terproduksi
dari sumur produksi yang telah diberi perlakuan khusus terlebih dahulu
(treatment).
c. Pipa Alir
Pipa alir merupakan pipa yang dipakai sebagai media alir untuk fluida
injeksi yang akan dimasukkan kedalam reservoir setelah dipompakan.
Pemakaian dan pemilihannya tergantung pada debit injeksi dari fluida yang
direncanakan serta tekanan dan faktor ekonomi.

2.6 Deskripsi Metode Buckley-Leverett


Metode Buckley-Leverett merupakan metode prediksi klasik. Dengan
demikian, metode ini tidak memerlukan penggunaan simulator numerik atau
bahkan komputer. Perhitungan dapat dilakukan dalam beberapa jam, paling
banyak hanya dengan menggunakan kalkulator. Metode ini seperti dengan
metode klasik lainnya, dengan cepat memberikan perkiraan pertama dari kinerja
suatu pola tunggal (single pattern). Kinerja ini kemudian dapat dijadwalkan
sesuai dengan konversi suatu lapangan dari tahap primary sampai secondary
recovery (John Lee W., 1995).
Metode ini terutama berkaitan dengan mekanisme pendesakan minyak

Universitas Sriwijaya
20

dengan air dalam sebuah sistem linear ketika memprediksikan kinerja injeksi air.
Dalam metode Buckley-Leverett mengasumsikan (John Lee W., 1995) :
a. Linear dan aliran mantap (steady state).
b. Pendesakan tidak tercampur.
c. Ketebalan konstan dari sistem lapisan single (single layer).
d. Fluida tidak termampatkan.
e. Laju alir total konstan.
f. Kesetimbangan vertikal.
g. Distribusi fluida awal seragam diseluruh reservoir.
h. Saturasi gas yang terperangkap dapat diperkirakan.
i. Reservoir linier homogeny dengan batuan konstan dan sifat fluida.

2.7 Perhitungan Permeabilitas Rata-rata


Untuk menerapkan Metode Buckley-Leverett ke dalam sistem lapisan,
perlu menghitung permeabilitas rata-rata dan menggunakannya ketika
memprediksi kinerja injeksi air (John Lee W., 1995).
Untuk sebuah sistem horizontal linier dengan lapisan paralel,
permeabilitas rata-rata mungkin dapat dicari dengan menggunakan cara
sebagai berikut (John Lee W., 1995) :

q t=q1 +q 2+ q3 …(2.6)
ht =h 1+ h2+ h3 …(2.7)
∆ pt =∆ p2 =∆ p3 dan A=( w ) ( ht ) … (2.8)
k avg wh t ∆ p t k 1 w1 h1 ∆ p1 k 2 w2 h2 ∆ p2 k 3 w 3 h 3 ∆ p3
q t= = = = …(2.9)
μL μL μL μL
k avg h t=k 1 h1+ k 2 h2+ k 3 h3 …(2.10)
3

∑ k jh j
k avg= j =1 … (2.11)
ht

2.8 Prediksi Kinerja Injeksi Air Menggunakan Metode Buckley-Leverett


Metode untuk memprediksikan kinerja injeksi air dengan menggunakan

Universitas Sriwijaya
21

Metode Buckley-Leverett dapat dibagi kedalam tiga kelompok perhitungan


untuk mewakili tiga tahap dasar proses pendesakan. ketiganya tersebut
adalah (John Lee W., 1995) :
a. Dari awal sampai fill-up.
b. Fill-up sampai breakthrough.
c. After breakthrough sampai watered out.
Setelah tiga langkah tersebut dilakukan, hasilnya dapat diplot untuk
membantu menampilkan prediksi kinerja dari injeksi air.
2.8.1 Tahap Awal Sampai Fill-up
Pada tahapan ini, air yang diinjeksikan mulai mengisi pori-pori batuan yang
telah ditinggalkan oleh minyak bumi. Tahap awal dimulai dengan langkah-
langkah sebagai berikut (John Lee W., 1995) :
Step 1. Hitung laju injeksi air ( I w ), menggunakan persamaan yang sesuai
untuk pola yang dimodelkan, dalam penelitian ini menggunakan pola
direct line drive. Jika pola yang dimodelkan terdiri dari lapisan-
lapisan maka, hitung permeabilitas rata-rata untuk sistem tersebut.
Step 2. Hitung volume pori-pori dari pola dan kandungan minyak di
tempat (oil in place) dengan menggunakan persamaan berikut :

V p=7758 ( A )( h ) ( Φ ) …(2.12)
V p S oi
OIP= …(2.13)
Boi

Dimana :
Vp = Volume pori pada pattern, RB.
A = Luas pola (pattern boundary), ft 2.
OIP = Kandungan minyak mula-mula pada pattern, STB.
Step 3. Hitung fractional flow dan plot kurva fractional flow terhadap saturasi
air dengan persamaan.

1
f w= …( 2.14)
μ w k ro
1+
μo k rw

Universitas Sriwijaya
22

Step 4. Tentukan saturasi air dari flood front ( Swf ) dengan mengambil
kemiringan dari saturasi air mula-mula ( Swi ) pada kurva fractional
flow. Tentukan juga fractional flow pada flood front ( f wf ) dan saturasi
air rata-rata dibelakang front pada saat breakthrough ( Swbt ).
Persamaan di bawah ini dapat digunakan :

f wf −0,00
f ' wbt = …(2.15)
S wf −Swi
1
S´wbt = + S … (2.16)
f ' wbt wi

Dimana :
Swf = Saturasi air dari flood front, fraksi.
Swi = Saturasi air mula-mula, fraksi.
f wf = Fractional flow air pada flood front.
S´wbt = Saturasi air rata-rata dibelakang front saat breakthrough,
fraksi.
Step 5. Perkirakan efisiensi areal pada saat breakthrough ( E Abt ) untuk model
direct line drive dapat menggunakan persamaan yang berdasarkan
referensi dari Ahmed Tarek (second edition-1946) yang
menghadirkan grafik hubungan efisiensi areal penyapuan untuk
semua pola sumur. Fassihi (1986) menggunakan persamaan untuk
menghitung efisiensi penyapuan areal dengan persamaan berikut
(Ahmed, Tarek., 1946) :

1
EA= …(2.17)
1−( [ a1 Ln ( M +a 2) + a3 ] f w + a4 Ln [ M +a 5 ] + a6 )

Dimana :
M = Mobilitas ratio.
fw = Fractional flow air pada flood front.
a 1 , a2 , a3 , a4 , a5 , a6 = koefisien, dapat dilihat pada Tabel 2.1

Universitas Sriwijaya
23

Tabel 2.1 Koefisien Dalam Korelasi Areal Penyapuan (Ahmed,


Tarek., 1946)

Coefficients in Areal Sweep Efficiency Correlations


Coefficients Five Spot Direct Line Staggered Line
a1 - 0.2062 - 0.3014 - 0.2077
a2 - 0.0712 - 0.1568 - 0.1059
a3 - 0.511 - 0.9402 - 0.3526
a4 0.3048 0.3714 0.2608
a5 0.123 - 0.0865 0.2444
a6 0.4394 0.8805 0.3158

Step 6. Hitung jumlah air yang akan diinjeksikan guna mengisi saturasi gas
pada saat penyapuan dan sebelum tersapu dengan air atau minyak.
Persamaan berikut dapat digunakan :

W if =V p [ E Abt ( S gi −S grs ) + ( 1−E Abt ) ( S gi −S gru ) ] …(2.18)

Dimana :
E Abt = Daerah efisiensi penyapuan pada saat breakthrough.
S grs = Saturasi gas tersisa pada daerah penyapuan.
S gru = Saturasi gas tersisa pada daerah yang belum tersapu.
Nilai untuk saturasi gas tersisa pada daerah penyapuan ( S grs) dan
Saturasi gas tersisa pada daerah yang belum tersapu ( S gru) adalah
diperkirakan atau diasumsikan.
Step 7. Hitung volume pengisian (fill-up) (V fu ) pada daerah yang belum
tersapu menggunakan persamaan berikut :

V fu =V p ( 1−E Abt ) ( S gi −S gru ) …(2.19)

Step 8. Waktu yang dibutuhkan untuk fill-up (∆ t f ) sekarang dapat dihitung


sebagai berikut :

Universitas Sriwijaya
24

W if
∆ tf = …(2.20)
Iw

2.8.2 Tahap Fill-up Sampai Breakthrough


Pada tahapan ini, fluida pendesak (air) mulai menembus pori-pori batuan.
Pada tahap breakthrough ini, minyak didesak oleh air yang menembus melalui
pori-pori batuan. Adapun langkah-langkah perhitungan pada tahapan ini adalah
sebagai berikut (John Lee W., 1995) :
Step 1. Hitung jumlah air yang diinjeksikan sampai breakthrough (W ibt ). Ini
dapat dihitung dengan menggunakan satu atau dua persamaan.
a. Diasumsikan bahwa minyak yang didesak mengisi volume gas
pada daerah yang belum tersapu.

W ibt =V p [ E Abt ( S´wbt −S wi ) ] …(2.21)

b. Diasumsikan air yang diinjeksikan atau didesak mengisi volume


gas pada daerah yang belum tersapu.

W ibt =V p [ E Abt ( S´wbt −S wi ) ] +V fu …(2.22)

Step 2. Hitung jumlah air yang diinjeksikan dari fill-up sampai breakthrough
(∆ W ibt).
∆ W ibt ¿ W ibt −W if …(2.23)

Step 3. Jumlah dari waktu yang dibutuhkan untuk injeksi sampai fluida
injeksi breakthrough (∆ t tb) dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan:

W ibt
∆ t tb = …( 2.24)
Iw

Universitas Sriwijaya
25

Step 4. Hitung produksi kumulatif minyak dengan mengasumsikan tidak ada


produksi air sampai breakthrough. Hal ini dapat dihitung dengan
menggunakan satu atau dua persamaan berikut :
a. Asumsikan bahwa minyak yang belum terdesak mengisi volume
gas pada daerah yang belum tersapu.

∆ W ibt
N Pbt = … (2.25)
Bo

b. Asumsikan bahwa fluida air yang mengisi volume gas pada daerah
yang belum tersapu.

∆ W ibt +V fu
N Pbt = … (2.26)
Bo

Step 5. Hitung recovery pada saat breakthrough menggunakan persamaan :

N Pbt
REC bt = …( 2.27)
OIP

Step 6. Model ini mengasumsikan aliran incomprecible. Karena laju injeksi


mempengaruhi laju produksi minyak. Untuk menghitung laju alir
minyak dipermukaan, ubah laju injeksi (RB/D) ke kondisi permukaan
(STB/D) dan dapat dihitung laju minyak di permukaan dari fill-up
sampai breakthrough.
iw
q o= …( 2.28)
Bo

2.8.3 Tahap After Breakthrough Sampai Watered Out


Pada tahapan ini merupakan tahapan dimana minyak mengalami
pendesakan oleh air. Adanya pendesakan minyak oleh air ini secara berkelanjutan
(continue), dan akan menyebabkan produksi minyak akan meningkat. Adapun

Universitas Sriwijaya
26

langkah-langkah perhitungan pada tahap ini adalah sebagai berikut (John Lee W.,
1995) :
Step 1. Bagi range saturasi (dari saturasi flood front pada saat breakthrough
sampai 100% mengisi air) menjadi kenaikkan saturasi (∆ S w). Hal ini
mewakili kenaikkan saturasi pada sumur produksi.

S w max−S wf
∆ S w= …(2.29)
N

N adalah Jumlah kenaikan saturasi yang diinginkan dan n digunakan


sebagai indeks setiap langkah (step).

Sw 1=S wbt + ∆ S w … (2.30)


Sw 2=S w1 + ∆ S w
.=.+ .
.=.+ .
Swn =Swn−1+ ∆ S w
SwN =S wN −1+ ∆ S w …(2.31)

Step 2. Hitung nilai kurva fractional flow ( f wn), penurunan dari fractional
flow ( f wn ' ), dan volume pori air yang diinjeksikan (Q ¿), untuk
perhitungan ini (after breakthrough) menghasilkan langkah dari tiap
saturasi air :

Q¿ =( f 1' ) E
wn
Abt …(2.32)

Universitas Sriwijaya
27

Gambar 2.5. Kurva Fractional Flow Dalam Menentukan Nilai f wn,


f ' wn, dan Q ¿ After Breakthrough (Willhite, 1986)

Catatan : notasi dari sumber berbeda dari penulis pada gambar diatas.
Dibawah ini adalah “equivalent” istilahnya.

Se Ś w , f w 2 f w , dan Sw 2 S wf

Step 3. Hitung kenaikkan jumlah air injeksi (∆ Q ¿ ) dan waktu after


breakthrough (∆ t n) menggunakan persamaan berikut :

∆ Q¿ =Q¿ −Q¿−1 …(2.33)


V p ∆ Q¿
∆ t n= …(2.34)
iw

Step 4. Hitung saturasi air rata-rata after breakthrough ( Śwn ) :

Universitas Sriwijaya
28

Śwn =Swn + ( Q ¿ / E Abt ) ( 1−f wn ) …(2.35)

Step 5. Hitung produksi kumulatif minyak ( N pn). Ini dapat dihitung


menggunakan satu atau dua persamaan. Persamaannya adalah :
a. Asumsikan bahwa minyak yang mengisi volume gas pada daerah
yang belum tersapu.

N pn=
{V p E Abt [ S oi −( 1− Ś wn−S grs ) ]−V fu } … (2.36)
Bo

b. Asumsikan bahwa air injeksi mengisi volume gas pada daerah yang
belum tersapu.

V p E Abt [ S oi−( 1− Ś wn −S grs ) ]


N pn= …(2.37)
Bo

Step 6. Selanjutnya, hitung jumlah minyak yang dapat diambil ( REC n)


dengan menggunakan persamaan dibawah ini :

N pn
REC n= … (2.38)
OIP

Step 7. Laju produksi air, produksi minyak dan water oil ratio (WOR)
sekarang dapat dihitung :

q wn =i w −q on …(2.39)
N pn−N pn−1
q on= …(2.40)
∆ tn
q wn
WOR sn= …(2.41)
q on

Universitas Sriwijaya

Anda mungkin juga menyukai