Anda di halaman 1dari 24

ISSN : 2087-8850

ANALISIS FRAMING SEBUAH KONFLIK ANTARBUDAYA DI MEDIA

Tuti Widiastuti

Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Bakrie


Kampus Universitas Bakrie
Jl. HR. Rasuna Said Kav. C-22, Kuningan, Jakarta Selatan 12920
Telp: 021-526 1448 ext. 247, Faks: 021-526 3191
E-mail: tuti.widiastuti@bakrie.ac.id

Abstrak

Masalah utama antarmanusia di abad ke-20 adalah kebencian yang ditekankan kepada
anggota dari budaya dan kelompok ras yang berbeda. Kebencian pada budaya dan kelompok
ras yang berbeda tampak pada polarisasi komunikasi antarbudaya. Komunikasi merupakan
medium di mana konflik diciptakan dan diatasi. Ketika melakukan komunikasi dengan
orang-orang dari budaya lain, maka identitas sosial lebih memegang peranan penting.
Pada saat mengobservasi tingkah laku orang lain, orang berusaha untuk membuat atribusi
mengenai efek lingkungan pada tingkah laku mereka dengan penjelasan tingkah laku
individu, yang berdasar pada stereotip dan prasangka yang diperparah dengan adanya
etnosentrisme. Bahayanya, penilaian yang cenderung mengedepankan etnosentrisme
sering kali salah, semena-mena dan tidak ada dasarnya sama sekali. Dalam masyarakat
yang semakin individual dan heterogen ini, media memainkan peranan penting sebagai
salah satu atau bahkan satu-satunya sumber sosialisasi dari realitas sosial di masyarakat.
Alih-alih membentuk realitas obyektif di masyarakat, media bahkan memelihara dan
menginstitusikan kenyataan subyektif berdasarkan stereotip yang berkembang di
masyarakat, dan bukan yang obyektif.

Kata kunci: konflik antarbudaya, budaya individualistik, budaya kolektivistik,


etnosentrisme, stereotip dan prasangka

Abstract

The main interpersonal problem in the twentieth century is hatred which is emphasized
to members from different culture and race. It’s observable through the polarization of
intercultural communication. Communication is a medium where conflict is created and
handled. When we communicate with people from different cultures, then social identity
takes a more dominant role. When we observe others behavior, we attempt to create
attribution about environmental effect to their behavior within individual behavior
explanation, that is based on stereotype and prejudice which is worsened by the existence
of ethnocentrism. The hazard of this is the prejudice within ethnocentrism is frequently
dangerous and moreover incorrect, careless and based with no basic explanation. Recently
our society has become more individualistic and heterogenic, and then media plays major
core role as one or even the only one source of socialization by giving social reality in the
community. Instead of establishing an objective reality in society, media maintains and
institutionalizes subjective reality based on stereotype and not based on objective reality.

Keywords: intercultural conflict, individualistic cultural, collectivistic cultural,


ethnocentrism, stereotype and prejudice

147
Journal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011 - Januari 2012

Pendahuluan Misalnya kasus yang sedang hangat dibicarakan


Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dalam media yaitu kasus kematian praja Cliff
atas beraneka ragam suku yang memiliki ciri Muntu di IPDN (Institut Pemerintahan Dalam
dan kekhasan budaya masing-masing. Aneka Negeri).
ragam suku yang ada bukan suatu hal yang Tradisi melengkapi masyarakat dengan
mudah untuh dipahami dan bukanlah suatu hal suatu tatanan mental yang berpengaruh kuat
yang mudah untuk diseragamkan begitu saja. atas sistem moral untuk menilai apa yang
Sifat masyarakat Indonesia yang heterogen atau dianggap benar atau salah, baik atau buruk,
multikultur ini rentan terhadap kemungkinan menyenangkan atau tidak menyenangkan.
terjadinya berbagai konflik antarbudaya di Suatu budaya diekspresikan dalam tradisi,
dalamnya. Dengan kata lain dapat dikatakan tradisi yang memberikan para anggotanya suatu
faktor perbedaan budaya, potensial untuk rasa memiliki dalam suatu keunikan budaya.
menimbulkan kesalahpahaman, pertentangan, Tradisi juga dimiliki oleh suatu organisasi sipil,
perselisihan, pertikaian, peperangan, bahkan militer, agama dan suatu kelompok masyarakat.
tidak mustahil juga menjadi pemicu dan Tradisi merupakan norma dan prosedur yang
memegang peranan penting bagi munculnya harus ditaati bersama, juga harus
konflik antarbudaya tersebut. menyesuaikan dengan perkembangan jaman,
Menurut Kriesberg (1973), pengertian pengetahuan dan teknologi menuju terciptanya
konflik sosial yaitu hubungan dua atau lebih budaya global. Perbedaan-perbedaan tradisi
pihak yang memiliki keyakinan bahwa mereka dengan segala keunikannya, merupakan pemicu
masing-masing mempunyai tujuan berbeda. “benturan budaya”.
Konflik antarbudaya pada dasarnya sama Dalam kenyataan kehidupan seperti ini,
dengan definisi sebelumnya, hanya sejatinya konflik antarbudaya dalam
ditambahkan faktor bahwa pihak-pihak yang masyarakat Indonesia seharusnya mudah
terlibat di dalamnya berasal dari latar belakang diselesaikan. Namun demikian pada
budaya berbeda. Dan budaya merupakan hal kenyataannya justru tak terkendalikan dan
yang paling berperan di dalam perbedaan antara berubah menjadi sebuah “perang wacana” di
kedua belah pihak (dalam Sunarwinadi, 2007 : media. Perang wacana antarkepentingan terjadi
1). Karena pada kenyataannya karakter budaya karena masing-masing pihak merasa bahwa
cenderung memperkenalkan seseorang kepada wacana merekalah yang dianggap paling benar.
pengalaman–pengalaman yang berbeda Dalam upaya untuk memahami konflik yang
sehingga membawa kepada persepsi yang terjadi dalam tradisi pembinaan praja di IPDN,
berbeda-beda atas dunia eksternal. beberapa konsep komunikasi antarbudaya dapat
Di Indonesia sering terjadi konflik yang digunakan untuk menelusuri akar
utamanya disebabkan oleh perbedaan budaya, permasalahan, antara lain dengan menjelaskan
di antaranya pertikaian etnis seperti Madura, konsep mengenai ingroup vs outgroup,
Makassar, Banten, Dayak, Melayu di Kalimantan prasangka dan stereotip, dan variabilitas
Barat, dan suku-suku di Papua. Bahkan kini, kebudayaan.
konflikpun terjadi dalam berbagai lapisan sosial Kasus meninggalnya praja Cliff Muntu
di masyarakat, dengan tidak memandang seperti mengulang sejarah tewasnya beberapa
perbedaan etnis sebagai dasar masalah. praja IPDN pada tahun-tahun sebelumnya.
Masalah yang kini muncul adalah adanya Peristiwa ini mengingatkan semua bahwa ada
kecenderungan berbagai pihak memandang suatu masalah yang belum diselesaikan dengan
budaya yang tercermin dalam tradisi suatu tuntas di antara sekian banyak masalah-
kelompok dianggap lebih baik dibandingkan masalah lainnya yang juga belum terselesaikan.
dengan tradisi kelompok lainnya, yang bisa Kasus kematian praja IPDN bisa dikategorikan
menimbulkan etnosentrisme kelompok. ke dalam konflik antarbudaya karena dianggap

148
Tuti Widiastuti, Analisis Framing Sebuah Konflik ...

komunitas IPDN memiliki budaya sendiri dalam 1. konflik selalu terjadi dalam masyarakat
mendidik praja-praja mereka yang berbeda apapun,
caranya dengan budaya lembaga pendidikan 2. dominasi konflik sosial sebagai subyek
lainnya. dalam berita media, dan
Sebuah lembaga pendidikan yang dibangun 3. asumsi bahwa media massa memainkan
untuk menciptakan tenaga pemerintahan yang peranan penting dalam perkembangan dan
profesional, sebaliknya malah dijadikan sebagai pengaturan tentang konflik sosial.
arena untuk menciptakan dan memelihara
tradisi kekerasan. Misalnya tradisi yang diberi Konflik berasal dari bahasa Latin yaitu ‘com’
nama “Wahana Bina Praja” disebut-sebut artinya bersama-sama, dan ‘fligere’ yang
sebagai salah satu wahana pemelihara artinya menyerang. Dengan kata lain diartikan
kekerasan di lembaga tersebut. Wahana Bina sebagai “bersama-sama (saling) menyerang”.
Praja adalah kegiatan yang dilakukan praja Konflik pada kenyataannya merupakan suatu
IPDN dengan mengacu pada sistem hal yang terjadi apabila ada dua atau lebih
pemerintahan. Di sana ada gubernur, wali kota, kepentingan yang saling berbenturan dalam
bupati, hingga kepala desa. Mereka biasanya pencapaian tujuan masing-masing. Keadaan
bertanggung jawab terhadap kelompok, sesuai perbenturan ini dapat dinyatakan secara
hierarkinya, sedangkan mereka yang tidak terbuka (eksplisit) maupun secara terselubung
termasuk dalam struktur pemerintahan (implisit). Olsen (1978, dalam Sunarwinadi,
dianggap masyarakat biasa. 1999) menyatakan bahwa konflik terjadi dari
sumber experssive atau instrumental. Expressive
Pada prakteknya justru kegiatan-kegiatan
conflicts berasal dari keinginan untuk
pembinaan praja ini bisa disalahartikan oleh
melepaskan ketegangan, biasanya berasal dari
beberapa pihak yang mengambil keuntungan
perasaan bermusuhan. Instrumental conflicts
dari posisi dan kemampuannya dalam kelompok-
sebaliknya, berasal dari tujuan atau praktek
kelompok tersebut. Misalnya menerapkan
yang berbeda.
tradisi-tradisi yang mensyarakatkan yunior
harus patuh pada senior, layaknya sebuah Berdasarkan asal kata konflik di atas, dalam
institusi militer, dan menjadikan praja yunior konteks antarbudaya: konflik didefinisikan
sebagai pihak yang diperlakukan sebagaimana sebagai ketidakcocokan antara nilai,
atasan memperlakukan bawahan dengan ekspektasi, proses-proses atau hasilnya, baik
semena-mena seperti praja yunior menjadi yang dipersepsikan maupun aktual, antara dua
korban pukulan dan tendangan seniornya. Tentu atau lebih pihak yang berbeda kebudayaannya
saja praktek-praktek seperti ini rawan untuk mengenai masalah-masalah substantif maupun
disalahgunakan, yang dapat berakibat pada relasional. Konflik antarbudaya ini biasanya
kekerasan fisik dan bahkan kematian. diawali dengan misinterpretasi dan
miskomunikasi antarbudaya, yang disebabkan
Maraknya pemberitaan di media mengenai
kasus-kasus kekerasan yang berakibat pada oleh adanya perbedaan kebudayaan tadi.
kematian beberapa praja IPDN, menimbulkan Kebudayaan di sini diartikan sebagai suatu
amarah publik yang tidak setuju dengan tradisi- sistem pengetahuan, makna dan pola tindakan
tradisi kekerasan di lembaga pendidikan. Hal ini simbolik yang dimiliki bersama oleh mayoritas
berlanjut pada munculnya konflik dalam anggota suatu kelompok masyarakat
masyarakat. Merujuk pada pendapat Gurr (1980, (Sunarwinadi, 1999 : 1).
dalam Mendatu, 2009 : 1) mengenai tindakan Konflik antarbudaya ini didefinisikan oleh
kolektif, maka konflik di sini khusus Samuel P. Huntington (1993, dalam Rifai, 2006
dimaksudkan dalam konteks sosial, bukan yang : 2) sebagai benturan antarperadaban yang
menyangkut tujuan dan motivasi pribadi. dikatakan olehnya akan mendominasi politik
Karakteristik konflik sosial, yaitu: global. Mengutip artikel yang ditulisnya:

149
Journal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011 - Januari 2012

“Identitas peradaban akan semakin penting masyarakat. Sasaran yang ingin dicapai
pada masa akan datang, konflik yang paling teori ini adalah meningkatkan komunikasi
penting ada di masa akan datang yang terjadi dan saling pengertian antara kelompok-
di antara garis budaya yang memisahkan satu kelompok yang mengalami konflik, dan
peradaban dengan yang lain”. mengusahakan toleransi dan agar
Ellie Wiesel, peraih hadiah Nobel masyarakat lebih bisa saling menerima
Perdamaian, percaya bahwa masalah utama keragaman yang ada di dalamnya.
antarmanusia di abad ke-20 adalah kebencian 2. Teori Negosiasi Prinsip
yang ditekankan kepada anggota dari budaya Menganggap bahwa konflik disebabkan
dan kelompok ras yang berbeda, sebagaimana oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan
pada anggota politik dan ideologi yang berbeda. perbedaan pandangan tentang konflik oleh
Kebencian pada budaya dan kelompok ras yang pihak-pihak yang mengalami konflik.
berbeda tampak pada polarisasi komunikasi Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah
antarbudaya. Polarisasi komunikasi terjadi membantu pihak-pihak yang mengalami
ketika komunikator tidak memiliki kemampuan konflik untuk memisahkan perasaan pribadi
untuk meyakini atau mempertimbangkan secara dengan berbagai masalah dan isu, dan
serius pendapat seseorang sebagai suatu yang memampukan mereka untuk melakukan
salah dan opini yang lainnya sebagai sesuatu negosiasi berdasarkan kepentingan-
yang benar. Polarisasi komunikasi kemudian ada kepentingan mereka daripada posisi
ketika kelompok atau individu melihat tertentu yang sudah tetap, dan melancarkan
kepentingannya sendiri dan memiliki sedikit proses pencapaian kesepakatan yang
atau tidak sama sekali perhatian pada menguntungkan kedua belah pihak atau
kepentingan orang lain. semua pihak.
Komunikasi merupakan medium dimana 3. Teori Kebutuhan Manusia
konflik diciptakan dan diatasi. Roloff (1987,
dalam Sunarwinadi, 1999) mengelompokkan Berasumsi bahwa konflik yang berakar
berbagai sumber yang dapat menjadi konflik, dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar
yaitu: Pertama, konflik terjadi ketika orang salah manusia–fisik, mental, dan sosial–yang
menginterpretasikan perilaku satu sama lain. tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan,
Kedua, konflik muncul dari persepsi yang tidak identitas, pengakuan, partisipasi, dan
sesuai. Ketiga, konflik muncul ketika orang tidak otonomi sering merupakan inti
setuju pada sebab-sebab perilaku dirinya sendiri pembicaraan. Sasaran yang ingin dicapai
atau orang lain. teori ini adalah membantu pihak-pihak yang
mengalami konflik untuk mengidentifikasi
dan mengupayakan bersama kebutuhan
Tinjauan Pustaka mereka yang tidak terpenuhi, dan
Teori Konflik menghasilkan pilihan-pilihan untuk
Teori-teori mengenai berbagai penyebab memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu, dan
konflik dinyatakan oleh Simon Fisher, dkk. (2001) agar pihak-pihak yang mengalami konflik
dalam bukunya berjudul Mengelola Konflik: mencapai kesepakatan untuk memenuhi
Keterampilan & Strategi untuk Bertindak kebutuhan dasar semua pihak.
(www.tempo.co.id), yaitu: 4. Teori Identitas
1. Teori Hubungan Masyarakat Berasumsi bahwa konflik disebabkan karena
Menganggap bahwa konflik disebabkan identitas yang terancam, yang sering
oleh polarisasi yang terus terjadi, berakar pada hilangnya sesuatu atau
ketidakpercayaan dan permusuhan di penderitaan di masa lalu yang tidak
antara kelompok yang berbeda dalam suatu diselesaikan. Sasaran yang ingin dicapai

150
Tuti Widiastuti, Analisis Framing Sebuah Konflik ...

teori ini adalah melalui fasilitas lokakarya dan penciptaan norma baru, sedangkan konflik
dan dialog antara pihak-pihak yang dengan kelompok luar dapat mempererat batas-
mengalami konflik mereka diharapkan batas sosial dan meningkatkan kohesivitas.
dapat mengidentifikasi ancaman-ancaman Terdapat asumsi bahwa ada hubungan
dan ketakutan yang mereka rasakan masing- antara konflik eksternal dan konflik internal.
masing dan untuk membangun empati dan Salah satu hipotesis umum tentang hubungan
rekonsiliasi di antara mereka, dan meraih ingroup dan outgroup menawarkan bahwa
kesepakatan bersama yang mengakui konflik eksternal mengurangi ketegangan konflik
kebutuhan identitas pokok semua pihak. internal. Belum ada konsensus mengenai hal ini
5. Teori Kesalahpahaman Antarbudaya namun ilmuwan telah sependapat bahwa hal
ini merupakan masalah penting untuk diteliti
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh
(Sunarwinadi, 2007 : 2).
ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi
di antara berbagai budaya yang berbeda.
Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah: Ingroup vs. Outgroup
menambah pengetahuan pihak-pihak yang Ingroup atau kelompok-dalam adalah
mengalami konflik mengenai budaya pihak kelompok manusia dengan siapa seseorang mau
lain, mengurangi stereotip negatif yang bekerja sama tanpa pamrih, dan terpisah dari
mereka miliki tentang pihak lain, dan siapa yang mengarah pada ketidaknyamanan
meningkatkan keefektifan komunikasi atau rasa sakit sekalipun. Outgroup atau
antarbudaya. kelompok-luar adalah kelompok manusia
6. Teori Transformasi Konflik mengenai kepada siapa seseorang tidak perduli
kesejahteraannya, dan kelompok dengan siapa
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh seseorang mengharapkan imbalan yang
masalah-masalah ketidaksetaraan dan setimpal dalam bekerja sama (Triandis, 1988 :
ketidakadilan yang muncul sebagai 75).
masalah-masalah sosial, budaya dan
ekonomi. Sasaran yang ingin dicapai teori Beberapa konsekuensi dari formasi ingroup
ini adalah mengubah berbagai struktur dan dan outgroup, yaitu :
kerangka kerja yang menyebabkan 1. Seseorang cenderung mengharapkan
ketidaksetaraan dan ketidakadilan, anggota kelompok untuk berperilaku dan
termasuk kesenjangan ekonomi, berpikir sama dengan apa yang dilakukan
meningkatkan jalinan hubungan dan sikap (Tajfel, 1969).
jangka panjang di antara pihak-pihak yang 2. Sebagai anggota ingroup, seseorang
mengalami konflik, dan mengembangkan cenderung menempatkan kelompok dalam
berbagai proses dan sistem untuk posisi yang menguntungkan dalam
mempromosikan pemberdayaan, keadilan, komparasi dengan outgroup (Brewer, 1979).
perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi
dan pengakuan. 3. Orang kurang merasa cemas dalam
berinteraksi dengan anggota kelompoknya
Coser (1965) dan Dahrendorf (1959) daripada interaksi dengan anggota outgroup
(www.tempo.co.id) menyatakan bahwa konflik (Stephan & Stephan, 1985).
sosial pada kenyataannya memiliki fungsi
adaptif bagi masyarakat untuk memungkinkan 4. Orang cenderung lebih akurat dalam
terjadinya perubahan sosial, yang biasanya memprediksi perilaku anggota ingroup
memberikan tantangan-tantangan bagi institusi daripada memprediksi perilaku anggota
outgroup (Gudykunst, 1995).
dan keyakinan yang ada dan telah mapan.
Misalnya konflik di dalam sistem dapat Berdasarkan pengertian dan konsekuensi
mengerahkan pada pembaharuan norma lama dari formasi ingroup dan outgroup (Gudykunst

151
Journal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011 - Januari 2012

& Kim, 1992 : 112-118), orang sering kali profesi, agama, ideology, sementara involuntary
menggangap pandangan positif yang berlebihan identity adalah suatu identitas dimana
kepada ingroup-nya dan sebaliknya seseorang tidak mempunyai keleluasaan untuk
mengesampingkan outgroup secara berlebihan memilih seperti kelompok ras, etnis, keluarga,
pula. Ingroup merupakan kelompok sosial umur, jender, dan lain sebagainya. Diserable
dimana seseorang merasa sama satu dengan identities adalah suatu identitas yang dianggap
yang lainnya. Kelompok sosial adalah dua atau positif, dan undiserable identities adalah suatu
lebih individu yang berbagi indentifikasi sosial identitas yang dianggap negatif. Identitas
yang sama di antara mereka atau menganggap sosial seseorang relatif konsisten dari waktu ke
diri mereka sebagai anggota dari kategori sosial waktu.
yang sama (Turner, 1982). Dalam kelompok Ting-Toomey (1989, dalam Gudykunst &
sosial terdapat interaksi di antara anggotanya Kim, 1992 : 112-118) mengemukakan empat
yang melibatkan proses kategorisasi sosial kemungkinan pilihan untuk hubungan antara
yaitu aturan dalam lingkungan sosial mengenai bagaimana identitas individu dengan kelompok
pengelompokkan orang dalam sebuah aturan dan cara mereka berperilaku, yaitu: a) individu
perilaku yang masuk akal bagi individu (Tajfel, bisa jadi melihat diri mereka sebagai tipikal
1978). Kategori sosial kemudian akan anggota kelompok dan berperilaku secara khas,
menentukan pola perilaku anggota kelompok b) individu bisa jadi melihat diri sendiri sebagai
sosial tertentu yang pada akhirnya akan anggota kelompok yang khas dan berperilaku
membentuk identitas sosial kelompok tersebut. tidak secara khas, c) individu bisa jadi melihat
Identitas adalah perbedaan cara orang diri sendiri sebagai anggota kelompok yang
memandang diri sendiri. Menurut J.C. Turner tidak khas dan berperilaku secara tidak khas,
(1987), identitas seseorang dapat dan d) individu bisa jadi melihat diri sendiri
dikelompokkan ke dalam tiga kategori: Pertama, sebagai anggota kelompok yang tidak khas dan
sebagai manusia yaitu identitas sebagai berperilaku secara khas.
makhluk ciptaan yang terkait dengan manusia Ketika melakukan komunikasi dengan
lainnya, misalnya identitas terkait dengan orang-orang dari budaya lain, maka identitas
identitas laki-laki dan perempuan dalam budaya. sosial lebih memegang peranan penting. Kelley
Kedua, sebagai makhluk sosial yaitu (1967) berpendapat ketika mengobservasi
berdasarkan peran yang dimainkan seperti tingkah laku orang lain, orang berusaha untuk
sebagai pelajar, profesor atau orang tua. Ketiga, membuat atribusi mengenai efek lingkungan
sebagai personal yaitu menggambarkan pada tingkah laku mereka dengan penjelasan
keunikan seseorang sebagai individu dalam tingkah laku individu. Atribusi sosial perhatian
kelompok seperti kebangsaan, etnis, jender, atau pada bagaimana anggota sebuah kelompok
usia. Identitas pribadi merupakan konsep diri sosial menjelaskan tingkah laku sebagaimana
individu yang unik satu sama lain. Identitas anggota kelompoknya dan anggota dari
sosial adalah bagian dari konsep diri individu kelompok sosial lain. Hewstone dan Jaspars
yang berasal dari pengetahuannya mengenai berpendapat bahwa seseorang menjunjung
keanggotaan kelompok sosial yang terkait identitas sosialnya ketika ia membuat atribusi
dengan nilai dan emosi yang signifikan yang sosial. Atribusi sosial seseorang didasarkan
ada pada keanggotaan tersebut (Tajfel, 1978). pada stereotip sosial dan juga etnosentrisme.
Deaux (1991, dalam Gudykunst & Kim : 112- Mengenai atribusi sosial, Ehrenhaus (1983)
118) menyatakan bahwa identitas sosial menyatakan bahwa tipe atribusi seseorang
memiliki dua dimensi yang berbeda, yaitu membuat budaya individualistik dan
voluntary-involuntary, dan desirable- kolektivistik berbeda. Anggota dari budaya
undesirable. Voluntary identity adalah suatu kolektivistik sensitif pada ciri dan penjelasan
identitas yang dapat dipilih, seperti kelompok situasional, dan cenderung mengatribusikan

152
Tuti Widiastuti, Analisis Framing Sebuah Konflik ...

perilaku orang lain pada konteks, situasi, atau dikategorikan sebagai masyarakat kolektivisme
faktor eksternal lain individu. Anggota budaya dibandingkan dengan individulisme. Menurut
individualistik, sebaliknya, sensitif pada Gudykunst dan Kim, dalam budaya
karakteristik disposisional dan cenderung untuk individualistik dan kolektivistik dimensi
mengatribusikan perilaku orang lain untuk variabilitas kebudayaan digunakan untuk
mengkarakteristikkan internal individu menjelaskan komunikasi antarbudaya.
(misalnya kepribadian). Atribusi sosial yang Komunikasi low-context mendominasi model
berdasar pada stereotip dan etnosentrisme bisa komunikasi dalam budaya individualistik. Dan
memunculkan apa yang dinamakan kelompok komunikasi high-context mendominasi model
minoritas yaitu sekelompok orang yang komunikasi dalam budaya kolektivistik.
tersingkirkan karena perbedaannya dengan Pengaruh budaya individualisme-kolektivisme
kebanyakan anggota kelompok sosial yang ada. pada komunikasi dimediasi oleh kepribadian,
nilai, dan konsep diri yang dimilikinya.
Variabilitas Kebudayaan Secara ringkas perbedaan karakteristik
Dengan melihat dimensi dari variabilitas utama budaya individualistik dan budaya
budaya, masyarakat Indonesia dapat kolektivistik, adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Perbedaan Karakteristik Budaya Individualistik dan Kolektivistik

Individualistik Kolektivistik

Katakteristik Utama

Menekankan tujuan individual Menekankan pada tujuan ingroup


Realisasi pribadi Menyesuaikan diri dengan ingroup
Berbeda tipis antara komunikasi ingroup dan Berbeda jauh antara komunikasi ingroup
outgroup dan outgroup
Konsep diri independen Konsep diri interdependen
Identitas “I” Identitas “We”
Mengatakan apa yang dipikirkan Menghindari konfrontasi dalam ingroup
Komunikasi low-contexs seperti langsung, tepat, Komunikasi high-context seperti tidak
dan mutlak langsung, tidak tepat, dan berandai-andai

(Sumber: Triandis, dalam Gudykunst & Kim, 1992 : 69-81)

Dalam masyarakat dengan budaya yang mengikutinya (Pelto, 1968).


bersifat kolektivistik, setiap perilaku anggota
Triandis (1994, dalam Gudykunst & Kim
diatur berdasarkan norma dan aturan yang
1992, 69 : 81) menyatakan bahwa
disepakati bersama. Budaya kolektivistik
homogenitas budaya (kesamaan orang)
menekankan unsur structural tightness yang
fokus pada norma, aturan, dan membatasi cenderung mengarahkan structural tightness.
budaya pada perilaku anggotanya. Norma Sedangkan Mosel (1973) menyatakan bahwa
didefinisikan sebagai petunjuk perilaku lebih mudah memprediksi dalam tight social
berdasarkan kode moral. Aturan (rules) structure daripada dalam loose social
didefinisikan sebagai petunjuk perilaku tidak structure. Structural tightness pada akhirnya
berdasarkan kode moral (Olsen, 1978). dapat digunakan dalam memprediksi lawan
Dalam tight cultural, norma dan rules budaya bicara, sehingga efektivitas komunikasi dapat
cenderung jelas dan orang diharapkan tercapai.

153
Journal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011 - Januari 2012

Yang uniknya, masyarakat Indonesia di satu diwujudkan melalui perilaku. Sikap atau
sisi kerap dikatakan sebagai masyarakat yang attitude adalah predisposisi yang dipelajari
bersifat kolektivistik karena terdiri atas untuk respon dalam evaluatif tingkah laku (dari
beragam suku budaya yang bersumber pada sangat menyenangkan sampai sangat tidak
budaya daerah masing-masing dimana pola menyenangkan) pada beberapa objek
perilaku masing-masing anggotanya diatur (Davidson & Thompson, 1980). Sikap
sedemikian rupa berdasarkan identitas sosial memengaruhi seseorang untuk berperilaku
kelompoknya. Di lain sisi, pada suatu dalam tingkah laku yang positif atau negatif
masyarakat di daerah tertentu dan dalam kondisi pada beberapa objek atau manusia. Sikap
tertentu di Indonesia, dapat pula dikatakan umumnya dikonseptualisasikan memiliki tiga
sebagai masyarakat yang sifatnya komponen yaitu kognitif, afektif, dan konatif
individualistik. Karena terdiri atas latar belakang (McGuire, 1969). Komponen kognitif meliputi
agama, keyakinan, kepentingan, dan sistem kepercayaan mengenai objek sikap. Komponen
nilai yang berbeda, maka ciri-ciri kolektivistik afektif sikap meliputi emosional atau reaksi
biasanya akan memudar. Misalnya saja ketika evaluatif pada objek sikap. Komponen konatif
seseorang yang menganut ideologi tertentu dari sikap meliputi maksud tindakan pada
dihadapkan pada solidaritas kelompok untuk objek sikap.
turut berkonflik dengan orang dari kelompok lain, Ting-Toomey (1985, dalam Gudykunst &
kemudian dia menolaknya dengan alasan konflik Kim, 1992 : 119-132) membedakan kondisi
antarkelompok tersebut tidak sesuai dengan konflik pada budaya individualistik dan
kepentingan dan nilai-nilai yang diyakininya. kolektivistik, yang merupakan cerminan sikap
Keyakinan dan nilai-nilai yang dianut oleh anggota masyarakat dari masing-masing
seseorang merupakan “sikap” yang budaya tersebut mengenai konflik, yaitu:

Tabel 2. Sikap Masyarakat dari Budaya Individualistik dan Kolektivistik terhadap Konflik

Individualistik Koletivistik
- Menganggap konflik sifatnya instrumental - Lebih menggangap konflik yang
sifatnya expressive
- Memisahkan isu konflik dari orang yang - Tidak memisahkan isu konflik dengan
terlibat dalam konflik orangnya
- Konflik terjadi jika ekspektasi individu - Konflik terjadi jika ekspektasi normatif
mengenai perilaku yang pantas dilanggar kelompok pada perilaku dilanggar
- Konteks kurang penting karena informasi - Konteks memainkan peran yang
lebih banyak terdapat dalam pesan penting dalam menciptakan makna
pada pesan komunikasi
- Lebih menyukai konfrontasi, sikap langsung - Tidak menyukai konfrontasi, sikap
pada konflik tidak langsung pada konflik
- Penafsiran pribadi memandu pengaturan - Penafsiran antarpribadi saling
konflik memengaruhi pengaturan konflik
- Mengutamakan pengaturan konflik untuk - Mengutamakan pengaturan konflik
jangka pendek untuk jangka panjang
- Kurang menyukai penggunaan mediator - Lebih menyukai penggunaan mediator
- Mediator formal, seperti pengacara - Mediator informal, seperti kepala suku
- Memakai metode factual-inductive dan - Lebih menyukai metode affective-
axiomatic-deductive dalam menyelesaikan intuitive dalam menyelesaikan konflik
konflik

(Sumber: Ting-Toomey, dalam Gudykunst & Kim, 1992 : 119-132)

154
Tuti Widiastuti, Analisis Framing Sebuah Konflik ...

Ting-Toomey (1988) memprediksikan konflik kolektivistik menghindari keakraban dengan


di antara budaya yang berbeda berdasarkan orang lain. Selain itu orang dalam budaya jarak
lima gaya konflik dari Rahim (1983; yang kekuasaan yang tinggi akan menampilkan emosi
berdasar pada derajat perhatian pada diri sendiri untuk mempertahankan perbedaan status.
dan orang lain yang melekat pada cara individu Pada masyarakat yang memiliki budaya
mencoba untuk mengatasi konflik), yaitu: kolektvistik seperti kebanyakan tipe masyarakat
1. integrating style, yaitu meliputi perhatian di Indonesia, menganggap konflik sebagai
yang tinggi pada diri sendiri dan orang lain; expressive conflicts yaitu keinginan untuk
melepaskan ketegangan, biasanya berasal dari
2. compromising style, yaitu meliputi level
perasaan bermusuhan, tidak bisa membedakan
perhatian yang moderat pada diri sendiri
antara masalah dengan orang yang terlibat
dan pada orang lain;
konflik. Konflik bisa jadi dipicu karena aturan
3. dominating style, yaitu merefleksikan ingroup dilanggar oleh outgroup, sehingga
perhatian yang tinggi pada diri sendiri dan sering kali konflik tidak hanya melibatkan dua
perhatian yang rendah pada orang lain; orang saja tapi konflik melibatkan dua kelompok
4. obliging style,yaitu perhatian rendah pada yang berbeda dimana penafsiran antarpribadi
diri sendiri dan perhatian yang tinggi pada memengaruhi pengaturan konflik. Dalam hal ini
orang lain; dan konteks di mana konflik terjadi memainkan
peranan penting.
5. avoiding style, yaitu perhatian yang rendah
pada diri sendiri dan pada orang lain. Dalam hal ini konflik sifatnya implisit
dibandingkan eksplisit. Masalah konflik lebih
Dalam budaya kolektivistik, ada bersifat laten daripada manifes, yang apabila
kecenderungan perhatian yang tinggi pada diri dipicu oleh sedikit kesalahan saja dapat
sendiri dan pada orang lain (integrating style). berakibat fatal bagi seluruh sendi pemersatu
Besarnya perhatian kepada orang lain, masyarakat. Rusaknya tatanan pemersatu
umumnya dikarenakan orang dalam budaya masyarakat yang berbeda budaya ini
kolektivistik menemukan perbedaan antara berimplikasi pada berlarut-larutnya
perilakunya dengan perilaku orang yang diamati penyelesaian konflik. Oleh karenanya untuk
berdasarkan kategorisasi kelompoknya. Apabila menjembatani dua kelompok budaya yang
tindakan mengamati tersebut tidak disenangani berbeda diperlukan mediator yang mampu
atau dianggap sebagai sikap menantang oleh memfasilitasi kepentingan-kepentingan yang
orang yang diamati, maka dapat menimbulkan berbeda ini. Mediator yang diminati oleh
emosi. masyarakat budaya kolektivistik yaitu yang
Matsumoto (1991) secara teoritis sifatnya informal, seperti kepala suku, ketua
menghubungkan individualisme-kolektivisme adat, pemuka masyarakat, dan tokoh agama.
dan jarak kekuasaan untuk mengekspresikan Karena umumnya mereka lebih menyukai
emosi. Menurutnya, anggota kelompok budaya penyelesaian masalah yang sifatnya
kolektivistik akan menekankan tampilan musyawarah dan kekeluargaan, dibandingkan
emosional untuk memfasilitasi kerjasama dengan menggunakan jalur hukum formal
kelompok, harmoni, dan kepaduan daripada seperti melalui pengacara. Sehingga
pada anggota budaya individualistik. Selain itu penyelesaian masalah pun lebih menyukai yang
menurut Matsumoto (1991), anggota budaya cenderung menggunakan pesan-pesan
individualistik menampilkan lebih besar variasi emosional atau afeksi (effective-intuitive style).
perilaku emosional daripada anggota budaya Namun demikian sebagai catatan,
kolektivistik. Budaya kolektivistik tidak individualisme-kolektivisme dan jarak
mentolerir besarnya variasi individu, dan tidak kekuasaan tidak secara langsung memengaruhi
menyukai variasi emosi. Anggota budaya tampilan emosi, tapi lebih memengaruhi cara

155
Journal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011 - Januari 2012

orang menilai situasi dimana mereka berubah, sekalipun ada informasi atau
mengekspresikan emosinya. Persepsi situasi, pengetahuan baru yang kontradiktif dengan apa
pada gilirannya akan memengaruhi tampilan yang diyakininya semula. Prasangka dibentuk
emosi. Jika seseorang secara kaku memegang melalui proses sosialisasi stereotip negatif yang
teguh etnosentrisme dan stereotip dan tanpa sudah terhayati dari generasi ke generasi.
mau mempertanyakannya, ia tidak akan pernah Dalam proses ini, maka emosi, bukan akal sehat
membuat prediksi psikokultural secara tepat yang menguasai penentuan sikap mengenai apa
mengenai perilaku orang lain, atribusinya yang baik dan apa yang buruk, serta bagaimana
mengenai perilaku individu orang lain akan bersikap terhadap outgroup.
terus tidak tepat, dan emosi akan mendominasi Selanjutnya, Lippman (1922) merujuk
penilaiannya terhadap perilaku orang lain. stereotip sebagai ‘gambar dalam kepala’.
Stereotip merupakan representasi kognitif pada
Etnosentrisme, Stereotip dan Prasangka kelompok lain yang memengaruhi perasaan pada
Kata ethnocentrism berasal dari kata Yunani: anggota kelompok tersebut. Hewstone dan
‘ethnos’ atau ‘natio’, dan ‘kentron’ atau ‘center’. Brown (1986), mengemukakan ada tiga aspek
Summer (1940, dalam Gudykunst & Kim, 1992 : dalam stereotip sebagai representasi mental
382) mendefinisikan etnosentrisme sebagai yaitu: Pertama, seringkali individu dikategorikan
teknik pemberian nama untuk cara pandang berdasarkan karakteristik yang dapat
diidentifikasi secara mudah seperti jenis
dimana kelompok seseorang merupakan pusat
kelamin atau etnis. Kedua, seperangkat atribut
dari segalanya, dan semua yang lain diukur dan
dianggap ada untuk semua anggota kategori
dirata-rata berdasarkan hal tersebut. Fakta yang
tersebut. Lalu ketiga, seperangkat atribut
paling penting adalah bahwa etnosentrisme
dianggap ada untuk individu anggota kategori
mengarahkan orang pada melebih-lebihkan dan
tersebut.
memperhebat segala sesuatunya dalam cerita
mereka yang tidak umum dan yang berbeda Vassiliou (1972) membedakan antara
dengan yang lainnya. Etnosentrisme dapat stereotip normatif dan non-normatif yang
menciptakan prasangka yang berlebihan dan dibentuk oleh anggota sebuah ingroup yang
stereotip yang cenderung negatif pada pernah melakukan kontak dengan outgroup.
outgroup. Normatif stereotip adalah norma kognitif untuk
berpikirmengenai kelompok manusia
Prasangka atau prejudice berasal dari
berdasarkan informasi yang diperoleh dari
kata Latin ‘praejudicium’ yang artinya
pendidikan, media massa, dan/atau peristiwa
‘preseden’ atau ‘penilaian berdasarkan
sejarah. Non-normatif stereotip, sebaliknya,
keputusan dan pengalaman sebelumnya’
sifatnya proyektif seperti anggota kelompok
(Allport, 1954, dalam Gudykunst & Kim, 1992 :
mulai berpikir mengenai kelompok lain sebagai
384). Allport mendefinisikan negatif ‘ethnic
‘seperti kita’. Dalam diri setiap individu terdapat
prejudice’ sebagai sebuah antipati berdasarkan
stereotip normatif dan non-normatif yang
kesalahan dan generalisasi yang tidak fleksibel.
memengaruhi kultur subjektifnya. Adapun
Smith, di lain sisi melihat prasangka sebagai
unsur-unsur terpenting dari kultur subjektif yang
sebuah emosi, prasangka adalah emosi sosial
disusun oleh Triandis adalah: kategorisasi
yang dilekatkan pada identitas sosial
(konsep), evaluasi, asosiasi dan struktur kognitif
seseorang.
elementer, keyakinan atau percaya, sikap,
Prasangka merupakan suatu konsep yang stereotip, harapan, norma, ideal, peranan,
lebih luas dari stereotip. Dengan berprasangka tugas, dan nilai-nilai. Dari keduabelas unsur itu,
terhadap suatu kelompok, maka seseorang telah Triandis berpendapat bahwa stereotip adalah
memiliki semacam pra-penilaian sebelum ia konsep sentral, sedangkan kategorisasi
mengenal orang tersebut lebih dalam lagi. merupakan unsur dasar lain yang penting
Prapenilaian ini pun sifatnya tidak mudah (Warnaen, 2002 : 56, dalam Sarlito’s Site).

156
Tuti Widiastuti, Analisis Framing Sebuah Konflik ...

Sementara itu, dengan masih tetap argumen-argumen yang dijadikan dasar menilai
mengutip Triandis, Warnaen mensinyalir bahwa kasus IPDN tidak sekedar berkaitan dengan
seperti halnya di Indonesia, sampai permulaan norma-norma yang semestinya ada dalam suatu
tahun 1960-an berbagai studi yang mencari, komunitas. Sehingga bisa dikatakan bahwa
mengukur dan menyajikan stereotip, jarak sosial stereotip normatif dan non-normatif digunakan
dan hal-hal lain yang serupa, dianggap akan oleh outgroup dalam menilai kasus di IPDN.
meningkatkan konflik. Baru pada akhir tahun
1960, orang mulai sadar bahwa konflik tidak bisa Metode
direduksi dengan tidak menghiraukannya,
melainkan dengan jalan mempelajari, Dalam mengkritisi pemberitaan kasus IPDN
menganalisis dan memahaminya. Sekarang menurut paradigma kritikal (Adorno &
sudah waktunya, untuk menghadapi masalah Horkheimer, 1972), media mendukung tatanan
perbedaan kultur secara terbuka. Penelitian sosial yang sudah mapan dengan bertindak
Warnaen mengenai ‘Stereotip Etnis ke Konflik sebagai sarana kontrol sosial dan dengan
Etnis’, dipicu oleh kenyataan bahwa bangsa demikian melakukan legitimasi status quo.
Indonesia adalah bangsa yang multietnik Penggambaran tentang masyarakat oleh media
(Koentjaraningrat, 1969) dan bahwa saling cenderung meminimalisir pentingnya konflik
curiga bisa menghambat integrasi sosial dan dengan cara demikian menjamin dan
(Koentjaraningrat, 1976). Selain itu ia mengutip mempertahankan status quo sosial dan politik
Triandis (1972) yang mengatakan bahwa: (Sunarwinadi, 2007 : 4).
“Sebagian besar konflik antargolongan yang Menurut pandangan Gramsci (1971), semua
telah terjadi diakibatkan oleh kultur subyektif institusi saling berinteraksi dan tergantung satu
yang berbeda-beda” (Warnaen, 2002: 52). sama lain dalam keseluruhan bentuk sosial.
Yang menarik dari hasil penelitian di atas Interaksi ini ditafsirkan melalui “common sense”
adalah bahwa secara umum bangsa Indonesia (akal sehat), yaitu asumsi bersama dari orang-
distereotipkan sebagai masyarakat yang orang yang hidup dalam formasi sosial tersebut.
mempunyai beberapa sifat yang baik, tetapi Common sense bertindak sebagai ideologi yang
dalam kenyataannya justru tidak sesuai dengan hegemonik, yang mengikat masyarakat
fakta yang sesungguhnya. Misalnya yang terjadi manapun, tetapi selalu dikontrol dengan
di IPDN, ditemukan fakta bahwa tradisi berbagai cara oleh sistem kerja internalnya.
kekerasan digunakan sebagai cara untuk Althusser (1971) meneruskan pemikiran
mendidik calon aparat pemerintahan. Semakin Gramsci, menyatakan bahwa negara
banyak informasi yang disampaikan kepada mempertahankan kekuasaannya tidak saja
masyarakat mengenai kondisi dalam IPDN melalui aparat negara yang represif seperti
tersebut, memunculkan stereotip bahwa tentara dan polisi, tetapi juga melalui aparat
komunitas di dalamnya terdiri atas orang-orang ideologi negara seperti sistem hukum, institusi
yang kasar, emosional, agresif, cepat pendidikan, agama, dan media. Foucault (1977)
tersinggung, dan menggunakan cara-cara meneruskan lebih jauh pemikiran Althusser,
kekerasan untuk mencapai suatu tujuan. dengan berpendapat bahwa setiap interaksi
melibatkan kekuasaan yang biasanya
Stereotip seperti ini digunakan oleh
menunjang struktur kekuasaan yang ada.
berbagai kalangan dalam menilai dan
Pemikiran Gramsci tentang common sense
berkomentar atas kasus-kasus yang terjadi di
merupakan alat untuk mewujudkan kekuasaan
IPDN. Stereotip ini kemudian sangat mungkin
tersebut.
berkembang menjadi prasangka. Masyarakat
mulai berprasangka bahwa tradisi-tradisi yang Dalam kenyataannya kekuasaan kerap
dilakukan dalam komunitas IPDN dinilai sebagai digunakan untuk memainkan realitas yang ada,
suatu hal yang melanggar normatif. Tapi justru guna memaksakan dan memelihara suatu

157
Journal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011 - Januari 2012

realitas subyektif agar dapat diterima tipologi teori kritis dalam komuni kasi
menjadi realitas obyektif. Oleh karena itu, menurut Dennis K. Mumby dalam bukunya
perlu kiranya pandangan kritikal digunakan berjudul Modernism, Postmodernism, and
dalam upaya memahami konflik antarbudaya Communication Studies: A Reading of an
di IPDN dan perang wacana di media. Berikut Ongoing Debate (1997):

Tabel 3. Tipologi Teori Kritis dalam Komunikasi

Modern Postmodern
Positivism Interpretive Critical (Structural) PostStructural
Discourse of Discourse of Discourse of Discourse of
representation understanding suspicion vulnerability

Pemisahan antara Pemisahan antara Fokus pada struktur- Tidak ada makna
peneliti dan dunia peneliti dan dunia struktur sosial opresif sentral atau struktur
secara tajam. tidak tajam. yang dianggap ada, nyata objektif.
bertahan dan Struktur opresif
Realita di luar peneliti
disembunyikan dari bersifat sementara.
dan direpresentasikan
kesadaran orang. Terdapat perjuangan
melalui bahasa.
antara gagasan-
Bersifat sangat
gagasan dan
teoritis.
kepentingan-
kepentingan yang
cair, dan bukan
ideologi-ideologi
monolitik.
Bersifat anti teori.
Semiotika: Simbolik Marxisme (Marx, Cultural studies,
sebagaimana resepsi interaksionisme, Althusser, Gramsci). Michel Foucault,
dan produksi pesan. konstruksi sosial, Feminisme.
Neo-Marxisme
interpretasi, budaya.
(Frankfurt School).
Feminisme.

(Sumber: Stephen W. Littlejohn, 2002 : 208-209)

Setelah itu item berita yang telah dipilih latar informasi, kutipan sumber, pernyataan,
mengenai kasus kekerasan di IPDN dilakukan, dan penutup), skrip (berkaitan kelengkapan
kemudian dianalisis dengan pendekatan dan teks yaitu who, what, whom, when, where,
cara yang pernah digunakan oleh Pan dan why, dan how), tematik (berkaitan detail,
Kosicki (dalam Eriyantyo, 2002 : 251-266). maksud, nominalisasi, koherensi, bentuk
Analisis framing dari Pan dan Kosicki dipilih kalimat, dan kata ganti, paragraf, proposisi,
atas pertimbangan bahwa cara-cara yang kalimat, dan hubungan antarkalimat), dan
pernah mereka lakukan lebih tepat dan lebih retoris (berkaitan dengan leksikon, grafis,
luas dalam menganalisis setiap bagian dari isi metafora, pengandaian, kata, idiom, gambar,
teks media, karena memunculkan banyak foto, dan grafis).
“framing device” yang bisa digali dari keempat Subyek penelitian yaitu berita-berita
struktur analisisnya, yaitu: sintaksis (berkaitan mengenai kasus kekerasan di IPDN pada
dengan skema teks antara lain headline, lead, situs Internet Tempo

158
Tuti Widiastuti, Analisis Framing Sebuah Konflik ...

(www.tempointeraktif.com). Tempo dipilih penerbitannya. Oleh karena itu, penulis ingin


sebagai subyek penelitian dengan mengetahui bagaimana Tempo mengemas
pertimbangan bahwa institusi ini pernah kasus kekerasan di IPDN, atau bagaimana
mengalami kekerasan yang dilakukan oleh Tempo memberitakan penyimpangan yang
pemerintahan Orde Baru sebelumnya, yaitu dilakukan dalam sebuah lembaga pendidikan
dengan ‘dibredel’ alias dibekukan usaha milik pemerintah ini.

Hasil dan Pembahasan


Framing Teks Media

Tabel 4. Framing Device Kasus Kekerasan di IPDN

Sintaksis Skrip Tematik Retoris

− Headline: Portal − Who: Wicaksono − Isi pesan − Setting: sebuah


Kekerasan di IPDN dimaksudkan ring tinju
− What: menyindir
untuk bertuliskan IPDN.
− Latar informasi: kampus calon
menyatakan
meninggalnya Cliff pejabat − Gambar seorang
bahwa telah
Muntu mahasiswa pemerintah mahasiswa senior
terjadi kasus
IPDN. daerah yang IPDN diibaratkan
kekerasan di
mencatat rekor petinju berbadan
− Kutipan sumber: IPDN.
kekerasan besar dengan
karikatur karya
tertinggi di − Gaya topeng dan sarung
Imam Yunni yang
Indonesia. penyampaian tinju yang siap
menggambarkan
pesan meng-KO
lembaga − Whom:
menggunakan mahasiswa yunior
pendidikan IPDN masyarakat.
gaya bahasa IPDN.
layaknya sebuah
− When: pada saat informal, dan
ring tinju. − Seorang
mahasiswa cenderung
mahasiswa yunior
menerima menggunakan
yang nampak
pendidikan di gaya bicara
babak belur
IPDN. sehari-hari untuk
setelah ditinju
menyindir.
− Where: di IPDN. oleh seniornya.
− Why: karena − Sederet antrian
lembaga mahasiswa yunior
pendidikan seperti IPDN yang siap
IPDN mestinya menjadi sasaran
bukan tempat tinju dari
penganiayaan. seniornya.
− How: dengan cara
menyatakan
pendapat disertai
ilustrasi gambar.

− Headline: Portal − Who: Wicaksono − Isi pesan − Setting: lembaga


Pembekuan dimaksudkan pendidikan IPDN
− What: mengutip
Sementara IPDN untuk yang dibekukan
pernyataan

159
Journal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011 - Januari 2012

− Latar informasi: Presiden Susilo menyatakan semua kegiatan


pembekuan semua Bambang bahwa Presiden internal
kegiatan internal Yudhoyono Susilo Bambang mahasiswa atau
mahasiswa atau mengenai Yudhoyono telah wahana bina praja
wahana bina praja pembekuan pembekuan dan pembekuan
di kampus IPDN. semua kegiatan semua kegiatan proses
internal internal penerimaan
− Kutipan sumber:
mahasiswa atau mahasiswa atau mahasiswa untuk
Presiden Susilo
wahana bina praja wahana bina praja sementara.
Bambang
di kampus IPDN. di kampus IPDN.
Yudhoyono − Lembaga
memutuskan − Whom: − Gaya pendidikan IPDN
seluruh kegiatan di masyarakat. penyampaian diibaratkan
dalam ataupun di pesan sebagai sebuah
− When: setelah
luar kampus menggunakan sasana
kasus kematian
dibekukan, IPDN gaya bahasa pembentukan
Cliff Muntu.
tak boleh informal, dan petinju, dengan
menerima praja − Where: di IPDN. cenderung mengandaikan
baru, dan meminta menggunakan mahasiswa
− Why: karena
pengawasan gaya bicara lulusannya akan
Presiden Susilo
seluruh kegiatan sehari-hari untuk mengikuti jejak
Bambang
praja dilakukan menyindir Chris Jhon sebagai
Yudhoyono
lembaga secara juara tinju.
membekukan dan
penuh.
menghentikan
sementara
kegiatan di IPDN.
− How: dengan cara
menyatakan
pendapat.

− Headline: Profesor − Who: Ahmad Fikri − Isi pesan − Setting: apel pagi
Lexie Ikut Apel dimaksudkan di IPDN.
− What:
Pagi di Kampus untuk
kemunculan − Dalam tulisan
IPDN menyatakan
Profesor Lexie di digambarkan
bahwa Profesor
− Latar informasi: IPDN setelah bagaimana
Lexie terkait
kehadiran Profesor dinyatakan terkait seorang terdakwa
dengan
Lexie pada apel dengan kasus kematian
penyuntikan
pagi di IPDN penyuntikan praja Cliff Muntu,
formalin pada
setelah formalin ke dalam Profesor Lexie,
jenazah praja Cliff
pemerikaan tubuh praja Cliff dapat dengan
Muntu, namun
dirinya terkait Muntu. tenang mengikuti
masih bebas
kematian Cliff apel pagi di IPDN.
− Whom: berkeliaran.
Muntu.
masyarakat.
− Gaya
− Kutipan sumber:
− When: apel pagi di penyampaian
Profesor Lexie
IPDN. pesan
yang menyatakan
menggunakan
dirinya telah − Where: di IPDN.
gaya bahasa
menandatangani
− Why: karena formal, dan
berita acara
walaupun cenderung
pemeriksaan
Profesor Lexie menggunakan

160
Tuti Widiastuti, Analisis Framing Sebuah Konflik ...

pemeriksaan sudah dinyatakan standar gaya


sehingga terkait dengan penulisan
diperbolehkan kasus penyuntikan jurnalistik.
datang ke IPDN. formalin pada
jenazah Cliff
Muntu, tapi masih
bisa hadir pada
apel pagi di IPDN.
− How:
menyampaikan
informasi disertai
dengan
keterangan dari
Profesor Lexie.

− Headline: Kuburan − Who: Ahmad Fikri − Isi pesan − Setting:


di IPDN akan & C. Aminudin dimaksudkan penyelidikan
Dibongkar untuk kasus tindak
− What:
menyatakan kekerasan di IPDN.
− Latar informasi: menyatakan
bahwa ada
upaya untuk bahwa ada − Dalam tulisan
kuburan di
mencari bukti atas kuburan di lokasi digambarkan
kampus IPDN,
tindak kampus IPDN, bagaimana
yang diduga telah
penyimpangan Jatinangor, Jawa masing-masing
digunakan untuk
sistem pendidikan Barat. narasumber
menguburkan
dan mentafsirkan
− Whom: mahasiswa
manajemennya. bukti tindak
masyarakat. korban tindak
kekerasan di IPDN
− Kutipan sumber: kekerasan di
− When: ketika baik dalam bentuk
Ketua Tim Evaluasi IPDN.
ditemukan ada aktivitas (kegiatan
Institut
kuburan di lokasi − Gaya ekstrakulikuler
Pemerintahan
kampus IPDN. penyampaian drum band Abdi
Dalam Negeri
pesan Gita Praja),
(IPDN) Ryass − Where: di IPDN.
menggunakan maupun dengan
Rasyid yang
− Why: karena gaya bahasa ditemukannya
menyatakan akan
curiga ada formal, dan bukti fisik lokasi
membongkar
mahasiswa korban cenderung kuburan di
kasus-kasus
tindak kekerasan menggunakan kampus IPDN.
kekerasan yang
telah dikuburkan standar gaya
pernah terjadi di
di kampus IPDN. penulisan
kampus IPDN
jurnalistik.
Jatinangor, − How: dengan cara
Sumedang, Jawa menyatakan
Barat, Kepala uraian fakta yang
Bidang disertai dengan
Pengasuhan IPDN pendapat tiga
Ilhami Bisri orang
mengatakan narasumber.
kekerasan itu
ciptaan para praja
sendiri, dan
seorang pegawai
IPDN yang enggan

161
Journal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011 - Januari 2012

disebutkan
namanya
membenarkan
adanya kuburan di
IPDN, tapi dia
membantah ada
praja yang dikubur
di tempat itu.

− Headline: Komisi − Who: Pramono − Isi pesan − Setting: sistem


Nasional HAM dimaksudkan pendidikan di
− What:
Siap Kirim Staf untuk kampus IPDN,
menyatakan
Mengajar di IPDN menyatakan Jatinangor, Jawa
bahwa ada yang
bahwa sistem Barat.
− Latar informasi: salah dalam
pendidikan di
meninggalnya Cliff sistem pendidikan − Dalam tulisan
IPDN tidak
Muntu mahasiswa di IPDN, yang digambarkan
memiliki wawasan
IPDN. tidak memiliki seorang
mengenai hak
wawasan narasumber dari
− Kutipan sumber: asasi manusia.
mengenai hak Komisi Nasional
Zumrotin Susilo,
asasi manusia. − Gaya Hak Asasi
Wakil Ketua
penyampaian Manusia,
Komisi Nasional − Whom:
pesan mengomentari
Hak Asasi masyarakat.
menggunakan kasus tindak
Manusia,
− When: kampus gaya bahasa kekerasan di IPDN
menyatakan
IPDN di formal, dan yang dinilai salah
bahwa mahasiswa
Jatinangor, cenderung dengan telah
perlu mendapat
Sumedang, Jawa menggunakan menerapkan
pelajaran hak asasi
Barat, kembali standar gaya kekerasan dalam
manusia dan
menjadi perhatian penulisan sistem
alumnus IPDN
karena tewasnya jurnalistik. pendidikannya.
yang terjun ke
praja asal
masyarakat harus
Sulawesi Utara,
bisa melayani
Cliff Muntu.
warga dengan
hati, bukan − Where: di IPDN.
dengan
− Why: karena ada
tendangan, dan
anggapan bahwa
sistem pendidikan
kampus IPDN
di IPDN sama
telah menerapkan
sekali tak
kekerasan yang
berwawasan hak
tidak manusiawi
asasi manusia.
dalam mendidikan
para
mahasiswanya.
− How: dengan cara
menyatakan
berupa uraian
fakta yang disertai
dengan pendapat
seorang
narasumber.

162
Tuti Widiastuti, Analisis Framing Sebuah Konflik ...

− Headline: Masalah − Who: Choirul − Isi pesan − Setting: sistem


Keuangan IPDN Aminuddin. dimaksudkan manajemen
Sangat Tertutup untuk pengelolaan
− What:
menyatakan keuangan di
− Latar informasi: pengelolaan
bahwa ada yang kampus IPDN,
investigasi dari manajemen
salah dalam Jatinangor, Jawa
Tim Evaluasi keuangan di IPDN
manajemen Barat.
mengenai yang dinilai
pengelolaan
pengelolaan tertutup. − Dalam tulisan
keuangan di IPDN.
keuangan di digambarkan
− Whom:
kampus IPDN. − Gaya Ketua Tim Evaluasi
masyarakat.
penyampaian merasa tidak puas
− Kutipan sumber:
− When: pada saat pesan dengan jawaban-
Ketua Tim Evaluasi
Tim Evaluasi menggunakan jawaban yang
Institut
melakukan gaya bahasa dikeluarkan oleh
Pemerintahan
penyelidikan pada formal, dan pihak IPDN
Dalam Negeri
manajemen cenderung berkaitan dengan
(IPDN), Ryaas
pengelolaan menggunakan investigasi
Rasyid
keuangan di IPDN. standar gaya manajemen
mengeluhkan
penulisan pengelolaan
ketertutupan − Where: di IPDN.
jurnalistik. keuangan
pengelolaan
− Why: karena IPDN kampus.
keuangan pada
dinilai tidak
lembaga
terbuka, tidak
pendidikan
jujur, dan tidak
kedinasan di
transparan dalam
Jatinangor,
manajemen
Sumedang, Jawa
pengelolaan
Barat.
keuangan
umumnya dan
khususnya pada
pelelangan barang
dan tender
pakaian
mahasiswa.
− How: dengan cara
menyatakan
berupa uraian
fakta yang disertai
dengan pendapat
seorang
narasumber.

Analisis Framing Teks Media kematian praja Cliff Muntu, setelah itu baru
Sintaksis dalam framing teks media yang dikembangkan pada latar informasi lainnya
telah dilakukan oleh Tempo, ada yang saling berkaitan. Sedangkan untuk
kecenderungan bahwa headline yang kutipan sumber, diambil dari pernyataan-
ditampilkan umumnya lebih pada sisi negatif pernyataan narasumber yang lebih banyak
pemberitaan kasus kekerasan di IPDN. Latar melihat sisi negatif dari kasus kekerasan di
informasi pada umumnya fokus pada peristiwa IPDN.

163
Journal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011 - Januari 2012

Skrip yang dimunculkan dalam framing teks memojokkan pihak IPDN. Hal-hal yang sifatnya
media yang telah dilakukan oleh Tempo ada negatif lebih banyak ditampilkan untuk
kesan memang memojokkan pihak IPDN. Hal ini menambah kesan bahwa komunitas IPDN
terlihat dari penekanan unsur-unsur berita, yaitu: berbeda dengan masyarakat Indonesia pada
who adalah wartawan Tempo, what berkaitan umumnya. Ditambah dengan ilustrasi gambar,
dengan hal-hal negatif yang terjadi seputar semakin memperburuk pencitraan IPDN di
kasus kekerasan di IPDN, whom disampaikan media. Paling tidak dari gambar yang
agar masyarakat tahu mengenai kasus ditampilkan Tempo, memperlihatkan bahwa
kekerasan ini, when mulai dari kasus kematian kebudayaan di IPDN lebih buruk dari kebudayaan
praja Cliff Muntu sampai menyentuh pada hal- masyarakat umum.
hal terkait pada pengelolaan sistem pendidikan Menurut Kim (1979 : 435), kebudayaan
di IPDN, where semuanya terjadi di IPDN, why
merupakan kumpulan pola-pola kehidupan yang
karena media Tempo menilai bahwa ada yang
dipelajari oleh sekelompok manusia tertentu
salah dengan sistem pendidikan milik
dari generasi-generasi sebelumnya dan akan
pemerintah ini, dan how dengan menuliskan
diteruskan ke generasi mendatang; kebudayaan
berita yang mengungkap fakta seputar kasus
tertanam dalam diri individu sebagai pola-pola
kekerasan di IPDN disertai dengan ilustrasi
persepsi yang diakui dan diharapkan oleh orang-
gambar bila perlu.
orang lainnya dalam masyarakat. Ditegaskan
Tematik berkaitan dengan isi pesan yang lagi oleh Samovar (et. al., 1981 : 25) bahwa
ingin disampaikan oleh Tempo berdasarkan sebagai suatu teladan bagi kehidupan,
narasumber yang dipilih untuk memperkuat kebudayaan mengkondisikan manusia secara
informasi yang disampaikan. Di sini ada tidak sadar menuju cara-cara khusus bertingkah
kecenderungan bahwa narasumber dari pihak laku dan berkomunikasi.
IPDN nampak mempersepsikan kasus kekerasan
Kalau ingin dikaji lebih dalam lagi, Dood
di sana sebagai suatu hal yang dilakukan oleh
(1982 : 27) melihat kebudayaan sebagai konsep
para mahasiswa, atau mereka sendiri sebagai
yang bergerak melalui suatu kontinum. Mulai
pengelola lembaga pendidikan tidak terlibat
dari kognisi dan keyakinan mengenai orang-
sama sekali. Selain itu, pihak IPDN kelihatannya
orang lain dan diri sendiri, termasuk nilai-nilai,
tidak melihat ada yang salah dengan
sampai dengan pola-pola tingkah laku. Adat
kebudayaan yang terwujud dalam sistem
kebiasaan (norms) dan praktek-praktek kegiatan
pendidikan yang mereka selenggarakan.
(activities) merupakan bagian dari norma-norma
Namun hal berbeda disampaikan oleh para dan keyakinan-keyakinan, yakni model-model
narasumber dari luar IPDN. Umumnya mereka perilaku yang sudah diakui dan diharuskan. Pola
menyatakan bahwa ada yang salah dengan tingkah laku yang paling umum yaitu bahasa
kebudayaan sistem pendidikan di IPDN. Sebuah (linguistik), dalam hal penggunaan pesan-pesan
sistem pendidikan diidealkan oleh para verbal dan nonverbal mencerminkan satu segi
narasumber di luar IPDN, sebagai suatu kehidupan sehari-hari. Anggota-anggota
kebudayaan yang penuh tata krama, mendidik kebudayaan pun dapat diidentifikasikan serta
dengan santun, dan menghindari unsur-unsur mereka sendiri dapat melihat dirinya sebagai
kekerasan. Sehingga, mereka menilai bahwa anggota dari suatu kelompok yang memiliki
apa yang terjadi di IPDN merupakan suatu suatu kebudayaan. Singkatnya, kebudayaan
bentuk penyimpangan dari kebudayaan yang merupakan pola hidup yang bersifat mencakup
mereka miliki. segalanya. Selain itu kebudayaan bersifat
Retoris berkaitan dengan setting yang kompleks, abstrak dan merasuki semua aspek
digunakan untuk menekankan pesan apa yang dan segi kehidupan anggotanya.
ingin disampaikan oleh Tempo, ada Salah satu fungsi kebudayaan ialah sebagai
kecenderungan pemilihan setting yang penyaring yang sangat selektif bagi manusia

164
Tuti Widiastuti, Analisis Framing Sebuah Konflik ...

dalam menghadapi dunia luar. Kebudayaan dengan komunikasi antarpribadi, media massa
menentukan apa yang perlu diperhatikan atau kurang besar pengaruhnya dalam persuasi
sebaliknya perlu dihindari oleh manusia, yang untuk pengambilan keputusan, terutama dalam
pada akhirnya akan berpengaruh pada masyarakat yang belum maju atau sedang
bagaimana orang berpersepsi. Perspesi berkembang. Keenam, media massa dapat
merupakan proses internal yang dilalui individu merangsang timbulnya desas-desus, sebab
dalam menyeleksi, mengevaluasi, dan dengan sifat beritanya yang harus singkat, dan
mengatur stimuli yang datang dari luar. Melalui padat, kadang-kadang malah menimbulkan
persepsi, menciptakan stabilitas, struktur dan ketidakjelasan dan keragu-raguan pada
makna bagi lingkungan. Orang belajar untuk khalayak.
menamai dan mengembangkan kategori-
kategori di sekeliling, salah satunya dengan Media Memelihara Stereotip
stereotip dan prasangka.
Belakangan ramai media massa
Stereotip dan prasangka merupakan konsep memberitakan dan mengungkit kembali kasus-
yang saling berhubungan dan biasanya terjadi kasus kecelakaan dan kematian yang pernah
bersama-sama. Stereotip merupakan suatu terjadi di IPDN. Gelombang pro dan kontra atas
keyakinan yang terlalu digeneralisir, terlalu pembubaran lembaga ini pun semakin banyak
dibuat mudah, disederhanakan atau dilebih- bermunculan di media, yang berakibat pada
lebihkan mengenai suatu kategori atau dinonaktifkannya kegiatan belajar-mengajar di
kelompok orang tertentu (Samovar, Porter, Jain, kampus IPDN ini. Berbagai pihak berebut
1981, dalam Sunarwinadi, 1999). Sedangkan mengeluarkan opininya, yang belum tentu
prasangka dirumuskan sebagai sikap kaku mereka tahu apa yang diperjuangkan.
terhadap suatu kelompok manusia, berdasarkan
keyakinan atau prakonsepsi yang salah. Dalam masyarakat yang semakin individual
Seseorang yang mempunyai stereotip tertentu dan heterogen ini, media memainkan peranan
tentang suatu kelompok juga cenderung untuk penting sebagai salah satu atau bahkan satu-
mempunyai prasangka terhadap kelompok satunya sumber sosialisasi dari realitas sosial
tersebut. Baik stereotip maupun prasangka di masyarakat. Sementara realitas yang
merupakan hal yang dipelajari, salah satunya disampaikan oleh media berasal dari sumber-
melalui media massa. sumber komunikasi yang secara nyata
mengedepankan realitas subyektifnya. Alih-alih
Menurut Dodd (1982 : 27, dalam membentuk realitas obyektif di masyarakat,
Sunarwinadi, 2007), secara keseluruhan media media malahan memelihara dan
massa memiliki efek sebagai berikut: Pertama, menginstitusionalkan kenyataan subyektif
media massa menjalankan fungsi memberi berdasarkan stereotip yang berkembang di
kesadaran, membangkitkan minat terhadap masyarakat, dan bukan yang obyektif;
suatu peristiwa atau gagasan melalui kenyataan sebagaimana yang dipahami dalam
penerangan langsung tentang eksistensinya. kesadaran individu dan bukan kenyataan
Kedua, media massa mengembangkan agenda, sebagaimana yang ditentukan secara
dalam arti menjaring perhatian khalayak akan
kelembagaan (masyarakat).
topik-topik kemasyarakatan yang dianggapnya
penting. Ketiga, media massa berperan sebagai Dalam pandangan Berger dan Luckmann,
pendorong perubahan, dengan menciptakan masyarakat mesti dipahami dalam suatu proses
iklim yang memudahkan terjadinya perubahan. dialektis yang berlangsung secara terus
Keempat, media massa bekerja bersama-sama menerus dan terdiri dari tiga moment, yaitu
dengan dan melalui sarana-sarana antarpribadi, eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi.
hal mana tentunya tergantung pada situasi dan Dialektika ketiga momen ini berlangsung tidak
kondisi khalayaknya. Kelima, dibandingkan dalam proses yang terpisah satu sama lain, tapi

165
Journal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011 - Januari 2012

dia berlangsung dalam proses bersamaan dan Pembentukannya dalam kesadaran berarti
saling membentuk. Sehingga, suatu fakta sosial bahwa individu sekarang mengidentifikasikan
yang terlahir dalam suatu masyarakat belum dirinya tidak hanya dengan orang lain yang
serta-merta menjadi milik semua anggota kongkrit, melainkan dengan orang lain pada
masyarakat. Tapi fakta sosial berada pada umumnya.
tahap pra-disposisi (kecenderungan) ke arah Berkat identifikasi yang digeneralisasikan
sosialitas, melalui proses sosialisasi kemudian inilah maka identifikasi dirinya sendiri
baru menjadi milik anggota masyarakat. memperoleh kestabilan dan kesinambungan.
Sosialisasi didefinisikan sebagai pengimbasan Sekarang ia mempunyai tidak hanya suatu
individu secara komprehensif dan konsisten ke identitas tertentu dengan significant others yang
dalam dunia obyektif suatu masyarakat atau ini atau yang itu, tetapi suatu identitas secara
satu sektornya. umum, yang secara subyektif dipahami sebagai
Berger membagi sosialisasi menjadi dua tetap tak berubah, tak peduli ada significant
yaitu ‘sosialisasi primer ’ dan ‘sosialisasi others atau tidak. Significant other bukanlah
sekunder’. Primary socialization is the first satu-satunya yang dapat mempertahankan
childhood one through which we become kenyataan subyektif, walaupun dia punya peran
members of society. Secondary socialization is sentral. Disamping itu significant others juga
subsequent and inducts the person into a new merupakan agen utama untuk mempertahankan
sector (Berger & Luckmann, 1979 : 149-157). kenyataan subyektifnya.
Sosialisasi primer adalah sosialisasi yang Sosialisasi sekunder adalah internalisasi
pertama yang dialami individu dalam masa sejumlah ‘sub-dunia’ kelembagaan atau yang
kanak-kanak, yang dengan itu ia menjadi berlandaskan lembaga. Karena itu lingkup
anggota masyarakat. Sosialisasi sekunder jangkauan dan sifatnya ditentukan oleh
adalah setiap proses berikutnya yang kompleksitas pembagian kerja dan distribusi
mengimbas individu yang sudah disosialisasikan pengetahuan dalam masyarakat yang
itu ke dalam sektor-sektor baru dunia obyektif menyertainya. Sudah tentu, pengetahuan yang
masyarakatnya. relevan secara umum pun bisa didistribusikan
Dalam sosialisasi primer relatif tidak ada secara sosial, tetapi yang dimaksudkan di sini
masalah identifikasi. Significant others yang ialah ‘pengetahuan khusus’ sebagai
berpengaruh untuk membentuk realitas sosial pengetahuan yang timbul sebagai akibat
seorang anak, tidak dapat dipilih. Masyarakat pembagian kerja dan yang pengembangan-
menyediakan sekelompok significant others pengembangannya ditentukan secara
tertentu bagi sosialisasi anak yang harus ia kelembagaan.
terima sebagaimana adanya tanpa kemungkinan Dengan melupakan sejenak dimensi-
untuk memilih. Karena itulah maka dunia yang dimensi lain, dapat dikatakan bahwa sosialisasi
diinternalisasikan dalam sosialisasi primer jauh sekunder adalah proses memperoleh
lebih kuat tertanam dalam kesadaran pengetahuan khusus sesuai dengan peranannya
dibandingkan dengan dunia-dunia yang (role-spesific knowledge), dimana peranan-
diinternalisasikan dalam sosialisasi sekunder. peranan secara langsung atau tidak langsung
Sosialisasi primer menciptakan di dalam berakar dalam pembagian kerja. Ada beberapa
kesadaran anak suatu abstraksi yang semakin alasan untuk membenarkan definisi sempit ini,
tinggi dari peranan-peranan dan sikap orang tetapi sama sekali belum mencakup seluruh
lain tertentu ke peranan-peranan dan sikap- persoalannya. Sosialisasi sekunder memerlukan
sikap pada umumnya. Abstaksi berbagai proses memperoleh kosa kata khusus
peranan dan sikap orang yang secara kongkrit berdasarkan peranan, yang berarti antara lain
berpengaruh dinamakan orang lain pada internalisasi bidang-bidang semantik yang
umumnya (generalized others). menstrukturkan penafsiran dan perilaku rutin di

166
Tuti Widiastuti, Analisis Framing Sebuah Konflik ...

dalam suatu wilayah kelembagaan. Dalam dalam kondisi-kondisi seperti itu menghasilkan
waktu yang bersamaan diperlukan juga identitas yang secara sosial sudah didefinisikan
‘pemahaman tersirat’, evaluasi-evaluasi dan lebih dulu dan garis-garis besarnya sudah
pewarnaan afektif dari bidang-bidang semantik ditetapkan dengan sangat seksama. Karena tiap
itu. Sub-dunia yang diinternalisasikan dalam individu dihadapkan pada program
sosialisasi sekunder pada umumnya merupakan kelembagaan yang pada pokoknya sama bagi
kenyataan-kenyataan parsial, berbeda dengan kehidupannya dalam masyarakat, maka
‘dunia-dasar’ yang diperoleh dalam sosialisasi segenap kekuatan tatanan kelembagaan
primer. Walaupun demikian, sub-dunia itu pun dikerahkan dengan bobot yang kurang lebih
merupakan kenyataan yang sedikit banyaknya sama untuk memengaruhi tiap individu,
kohesif, bercirikan komponen normatif dan sehingga menghasilkan suatu kemasifan yang
afektif maupun kognitif. memaksa bagi kenyataan obyektif yang hendak
diinternalisasikan.
Selain itu, sub-dunia itu pun memerlukan
setidak-tidaknya dasar perangkat legitimasi Sosialisasi sekunder melalui media
yang sering diiringi simbol-simbol ritual atau merupakan suatu proses pembentukan sub-
material. Sifat sosialisasi sekunder seperti itu dunia di masyarakat yang lebih bersifat
tergantung pada status perangkat pengetahuan memaksa atau meminjam istilah Foucault yaitu
yang bersangkutan di dalam universum simbolis mendisiplinkan pengetahuan dengan
secara keseluruhan. Proses-proses formal dalam kekuasaan. Michel Foucault dalam The History
sosialisasi sekunder ditentukan oleh masalah of Sexuality (Best and Kellner, 1991), mengkritisi
dasarnya: ia selalu mengandaikan suatu proses bahwa pengetahuan sesuai pada jamannya, dan
sosialisasi primer yang mendahuluinya; artinya pengetahuan merupakan produk pemaksaan
ia berurusan dengan suatu diri yang sudah dari orang-orang yang memiliki pengetahuan
terbentuk dan suatu dunia yang sudah kepada mereka yang awam. Sehingga dalam
diinternalisasi. kasus IPDN dapat dikatakan bahwa media
memelihara dan menginstitusionalkan stereotip
Berdasarkan sosialisasi primer dan
yang berkembang di masyarakat dengan
sekunder tersebut, ada dua cara membedakan
menghiraukan realitas sesungguhnya (obyektif)
bagaimana memelihara dan
yang selama ini ada dalam komunitas IPDN.
mentransformasikan kenyataan, yaitu cara
pemeliharaan rutin dan cara pemeliharaan Fakta sosial merupakan unsur kunci dari
dalam keadaan krisis. Hal pertama adalah kenyataan subyektif dan berhubungan secara
dimaksudkan untuk mempertahankan dialektis dengan masyarakat. Realitas subyektif
kenyataan yang sudah diinternalisasi dalam dibentuk oleh proses sosial dan tipe-tipe realitas
kehidupan sehari-hari, sedangkan yang disebut merupakan produk sosial. Ia tidak berdiri sendiri
belakangan dimaksudkan untuk mengatasi melainkan sangat dipengaruhi oleh relasi
situasi-situasi krisis. Keduanya melibatkan berbagai unsur dalam kehidupan masyarakat.
proses-proses sosial yang pada dasarnya sama, Begitu memperoleh wujudnya, ia dipelihara,
meskipun perlu dicatat adanya beberapa dimodifikasi, atau dibentuk ulang oleh hubungan
perbedaan. sosial.
Sosialisasi selalu berlangsung dalam Bangunan dasar sebuah realitas subyektif
konteks suatu struktur sosial tertentu. Tidak adalah fakta sosial. Fakta sosial merupakan
hanya isinya, tetapi juga tingkat sekumpulan data yang diperoleh melalui
‘keberhasilannya’, mempunyai kondisi dan pengamatan pada suatu waktu tertentu
konsekuensi sosial kultural. Keberhasilan yang berdasarkan pada kebenaran yang sangat relatif
maksimal dalam sosialisasi agaknya akan sifatnya. Seseorang memperoleh realitasnyanya
terjadi dalam masyarakat-masyarakat dengan dari hasil pengamatan apa yang ada di
pembagian kerja yang masih minim. Sosialisasi sekitarnya, apa yang membuatnya menjadi

167
Journal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011 - Januari 2012

sama dan berbeda dengan orang-orang di dipelajari pada tingkat ketidaksadaran dan
sekelilingnya. diwujudkan pada tingkat kesadaran. Bahayanya,
Ketika fakta sosial diangkat ke media, penilaian yang cenderung mengedepankan
tentulah tidak mungkin untuk menampilkannya etnosentrisme sering kali salah, semena-mena
secara utuh karena adanya keterbatasan konsep dan tidak ada dasarnya sama sekali.
dan teknis. Hal-hal apa saja yang dianggap Untuk memperkuat etnosentrisme,
penting untuk disampaikan dan bagaimana seseorang biasanya mengandalkan stereotip
penataan ulang (rekonstruksi) dari fakta-fakta yang meliputi keyakinan mengenai kelompok-
sosial tersebut, akan berpengaruh pada sudut kelompok individu berdasarkan pendapat,
pandang sumber pesan. Sebaliknya bagaimana persepsi, dan sikap yang dibentuk sebelumnya.
fakta sosial disajikan akan juga berpengaruh Stereotip juga dikatakan sebagai ‘metode malas
pada pemahaman, sikap dan perilaku penerima. dari interaksi’, karena dilakukan berdasarkan
Media dalam hal ini merupakan salah satu pengetahuan atau pengalaman kontak sedikit
wadah yang melembagakan realitas subyektif saja sebelumnya dan pengambilan kesimpulan
supaya dapat diterima oleh setiap diri individu tentang orang lain dilakukan tanpa susah payah
yang dituju. Dalam kaitan dengan dan relatif cepat.
penggambaran kasus IPDN di media, yang Selain itu, stereotip merupakan mekanisme
kelihatan adalah bahwa media memelihara ciri- untuk pertahanan diri dan sarana untuk
ciri kelompok yang diinginkan oleh masyarakat mengurangi kegelisahan. Misalnya ketika
umum. Komunitas IPDN secara keseluruhan seseorang mengalami culture shock, akan lebih
digambarkan sebagai kelompok yang tidak lazim mudah baginya untuk melakukan stereotyping
karena tradisi-tradisi mereka yang berbeda daripada terus menerus menghadapai
dengan lembaga pendidikan umum lainnya. ketidakpastian. Dibandingkan dengan harus
melakukan usaha khusus untuk memahami
Simpulan situasi, maka untuk mengurangi kebingungan
seseorang akan menerima informasi yang belum
Di samping efek membangkitkan kesadaran tentu benar.
pada khalayak, media massa nampaknya
mempunyai pengaruh yang tanpa dimaksudkan Sikap dan keterampilan yang dibutuhkan
sebelumnya (unintentional). Penayangan media untuk mengembangkan strategi untuk
massa secara tidak disengaja atau tanpa mengurangi konflik antarbudaya, berikut ini ada
maksud justru mempunyai efek yang lebih besar beberapa teknik, kiat dan falsafah yang dapat
daripada pesan media massa yang memang membantu pengembangan sikap dan
direncanakan untuk memengaruhi perubahan. keterampilan berkomunikasi, yaitu:
Dalam situasi antarbudaya, media dapat - Mengenali diri sendiri Intinya meng-
menciptakan dan menggambarkan karakter- identifikasi sikap, nilai, pendapat,
karakter serta tipe-tipe kebudayaan yang pada kecenderungan diri sendiri, dan mengetahui
akhirnya memengaruhi kepribadian dan tingkah citra diri yang dipersepsikan orang lain.
laku khalayaknya. Dengan demikian dapat menentukan apa
Kebanyakan orang beranggapan bahwa saja yang dikatakan, juga apa yang didengar
caranya melakukan persepsi terhadap hal-hal dari orang lain katakan.
di sekelilingnya adalah satu-satunya yang paling - Menggunakan kode yang sama Karena
tepat dan benar. Inilah yang dinamakan makna terletak pada orang dan bukan pada
‘etnosentrisme’ yaitu kecenderungan untuk kata-kata, maka untuk meningkatkan
menafsirkan atau menilai kelompok-kelompok komunikasi, seseorang harus mengetahui
orang lain berdasarkan keadaan lingkungan kode khusus yang digunakan orang lain
kebudayaan sendiri. Etnosentrisme biasanya atau kelompok-kelompok tertentu.

168
Tuti Widiastuti, Analisis Framing Sebuah Konflik ...

- Jangan terburu-buru ada dua hal yang dapat Daftar Pustaka


dilakukan yaitu menunda penilaian dengan Aminuddin, Choirul. 2004. Masalah Keuangan
tidak terlalu cepat dalam menarik di IPDN Sangat Tertutup.
kesimpulan sebelum orang lain menyatakan www.tempointeraktif.com, 19 Juni 2004,
seluruh pikiran dan perasaannya, dan diakses 30 April 2007.
memberi waktu yang cukup pada orang lain
untuk mencapai tujuan pembicaraannya. Berger, P. L., & Luckmann, T. 1979. The Social
Construction of Reality. Harmondsworth:
- Memperhitungkan lingkungan fisik dan Penguin Books.
manusia menyadari lingkungan atau
konteks tempat dimana peristiwa Eriyanto. 2002. Analisis Framing: Konstruksi,
komunikasi terjadi. Dengan memperhatikan Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta:
lingkungan fisik, akan menyadari makna- PT LKiS Pelangi Aksara.
makna yang dilekatkan oleh macam-macam Fikri, Ahmad. 16 April 2007. Profesor Lexie Ikut
kebudayaan pada simbol-simbol yang ada, Apel Pagi di IPDN.
yang berpengaruh pada sikap dan perilaku www.tempointeraktif.com, diakses 30
orang-orang di sekitarnya. April 2007.
- Meningkatkan keterampilan berkomunikasi Fikri, Ahmad, dan C. Aminudin. 17 April 2007.
hal-hal yang berkaitan dengan kelancaran Kuburan di IPDN Akan Dibongkar.
proses penyampaian dan penerimaan www.tempointeraktif.com, diakses 30
pesan, seharusnya diperhatikan berdasar April 2007.
pada dampak yang mungkin timbul akibat Gudykunst, William B. & Young Yun Kim (eds).
dari proses tersebut. Karenanya pemilihan 1992. Reading on Communicating With
topik dan gaya penyampaian pesan perlu Stranger: An Approach to Intercultural
disesuaikan dengan siapa berkomunikasi. Communication. Boston, Massachusetts:
- Mendorong umpan balik idealnya dalam McGraw Hill.
sebuah proses komunikasi, bisa mendorong Gudykunst, William B. and Young Yun Kim. 1997.
terlaksananya umpan balik. Memahami Communicating W ith Stranger: An
kuantitas dan kualitas umpan balik berbeda Approach to Intercultural Communication.
antara satu kebudayaan dengan Third Edition. Boston, Massachusetts:
kebudayaan lainnya. McGraw Hill.
- Mengembangkan empati ketidakmampuan Komnas HAM. 17 Juni 2004. Empat Tahap
untuk memahami dan menghargai Resolusi Konflik. www.tempointeraktif.com,
pandangan dan orientasi orang lain sering diakses 23 April 2004.
kali menghambat komunikasi yang efektif.
Mendatu, Achmanto. 13 Juli 2009. Peranan
Oleh karena itu sebaiknya menerima
prasangka dalam konflik antar etnik. http:/
adanya perbedaan dan berusaha untuk
/ p s i ko l o g i - o n l i n e . c o m / p e r a n a n -
menempatkan diri pada posisi orang yang
prasangkan-dalam-konflik-antar-etnik,
diajak berkomunikasi.
diakses 2 September 2009.
- Mencari persamaan-persamaan di antara
Pramono. 18 April 2007. Komisi Nasional HAM
kebudayaan-kebudayaan berbeda meskipun
Siap Kirim Staf Mengajar ke IPDN.
diharuskan untuk memahami adanya
www.tempointeraktif.com, diakses 30
perbedaan-perbedaan latar belakang sosial
April 2007.
budaya yang memengaruhi komunikasi, tetapi
dalam banyak hal ternyata persamaan- Republika Online. 22 Desember 2003. Konflik
persamaanlah yang memungkinkan Etnis Pelajaran Berharga.
seseorang untuk menjalin hubungan. www.republika.co.id, diakses 23 April 2007.

169
Journal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011 - Januari 2012

Rifai, Agus. 2006. Perpustakaan dan Pendidikan Sosial/Antarbudaya: Pendekatan Teoritik.


Multikulturalisme. www. Jakarta: Program Pasca Ilmu Komunikasi,
lspma.blogspot.com/.../benturan-antar- Universitas Indonesia.
peradaban-ii-ssmuel-p.ht..., diakses 4 Surwandono. 24 Januari 2007. Konflik Poso dan
September 2009. Public Trust. www.republika.co.id, diakses
Sarlito’sSite. Juni 2003. Dari Stereotip Etnis ke 26 April 2007.
Konflik Etnis. Sarlito.NET.ms, diakses 23 Wicaksono. 5 April 2007. Portal Kekerasan di
April 2007. IPDN. www.tempointeraktif.com, diakses
Simon Fisher, dkk. 17 Juni 2004. Mengelola 30 April 2007.
Konflik: Keterampilan & Strategi Untuk _________ 11 April 2007. Portal Pembekuan
Bertindak.www.tempo.co.id, diakses 26 Sementara IPDN.
April 2007. www.tempointeraktif.com, 30 April 2007.
Sunarwinadi, Ilya Revianti. 1999. Mengusut Wiradi, Gunawan. 17 Oktober 2003. Konflik
Benang Kusut Konflik Antarbudaya di Agraria. www.pustaka-agraria.org/
Indonesia. Depok: Universitas modules/download_gallery/
Indonesia. dl.php?file=341, diakses 4 September
___________________ 2007. Berita dan Konflik 2009.

170

Anda mungkin juga menyukai