SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya
dan komitmen dalam memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia” . Anggaran Dasar
BAB IV Pasal 4
Historitas PMII
Sejarah masa lalu adalah cermin masa kini dan masa mendatang. Dokumen historis,
merupakan instrumen penting untuk membaca diri. Tidak terkecuali PMII (Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia). Meski dokumen yang disajikan dalam tulisan ini terbilang
kurang komplit, sosok organisasi mahasiswa tersebut sudah tergambar dengan jelas. Berikut
pemikiran dan sikapsikapnya.
PMII, yang sering kali disebut Indonesian Moslem Student Movement atau
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, adalah anak cucu NU (Nahdlatul Ulama) yang
terlahir dari kandungan Departemen Perguruan Tinggi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama
(IPNU) yang juga anak dari NU. Status anak cucu ini pun diabadikan dalam sebuah dokumen
yang dibuat di Surabaya, tepatnya di Taman Pendidikan Putri Khadijah pada tanggal 17 April
1960 bertepatan dengan tanggal 21 Syawal 1379 H.
Meski begitu, bukan berarti lahirnya PMII berjalan mulus, banyak sekali hambatan
dan rintangan yang dihadapinya. Hasrat untuk mendirikan organisasi kemahasiswaan
memang sudah lama bergejolak di kalangan pemuda NU, namun pihak PBNU belum
memberikan lampu hijau (green light), mereka menganggap belum perlu adanya suatu
organisasi tersendiri untuk mewadahi anak-anak NU yang belajar di Perguruan Tinggi.
Namun semangat anak-anak muda itu tak pernah kendor, bahkan terus berkobar dari
kampus ke kampus. Kondisi ini adalah hal yang niscaya mengingat kondisi sosial politik pada
dasawarsa ‘50-an memang sangat memungkinkan untuk melahirkan organisasi baru. Banyak
organisasi mahasiswa bermunculan di bawah payung induknya, seperti SEMMI (dengan
PSII), KAMMI (dengan PERTI), HMI (lebih dekat ke MASYUMI), IMM (dengan
Muhammadiyah), dan HIMMAH (dengan al-Washliyah). Wajar jika anak-anak NU
khususnya yang berada di perguruan tinggi kemudian ingin mendirikan wadah sendiri dan
bernaung di bawah panji dunia. Di Jakarta pada bulan Desember 1955, berdirilah Ikatan
Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) yang dipelopori oleh Wa’il Harits
Sugianto.Sedangkan di Surakarta berdiri KMNU (Keluarga
Mahasiswa Nahdhatul Ulama) yang dipelopori oleh Mustahal Ahmad.
Baru setelah wadah "departemen" itu dinilai tidak efektif, tidak cukup kuat untuk
menampung aspirasi mahasiswa NU, hal ini kemudian menjadi gagasan legislasi untuk
mendirikan organisasi mahasiswa NU kembali. Tepat pada konferensi besar IPNU I (14-16
Maret 1960 di Kaliurang) merupakan puncak dari semua ambisi tersebut. Hasil dari konfrensi
tersebut ialah kesepakatan mendirikan organisasi sendiri. Selain memutuskan akan perlu
didirikannya organisasi khusus di perguruan tinggi konfrensi tersebut juga menghasilkan
keputusan penunjukan tim perumus pendirian organisasi yang terdiri dari 13 orang tokoh
mahasiswa NU dengan jangkah waktu kerja 1 bulan, adapun 13 tokoh mahasiswa NU
tersebut diataranya:
5. Hilman (Bandung)
Keputusan lainnya adalah tiga mahasiswa yaitu Hizbulloh Huda, M. Said Budairy,
dan Makmun Syukri untuk sowan ke Ketua Umum PBNU kala itu, KH. Idham Kholid.
Bertepatan dengan itu, Ketua Umum PBNU, KH. Idham Cholid, memberikan lampu
hijau (green light). Bahkan KH. Idham Cholid membakar semangat pula agar mahasiswa NU
menjadi kader partai, menjadi mahasiswa yang berprinsip ilmu untuk diamalkan, bukan ilmu
untuk ilmu.
Perguruan Tinggi IPNU. Dan bayi yang baru lahir itu diberi nama “Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia” (PMII).
Dengan demikian, ide dasar bendirinya PMII adalah murni dari anak-anak muda NU
sendiri. Selanjutnya, harus bernaung di bawah panji NU, itu bukan berarti sekedar
pertimbangan praktis temporal, misalnya karena kondisi politik saat itu yang nyaris
menciptakan iklim dependensi sebagai suatu kemutlakan. Lebih dari itu, keterikatan PMII
pada NU memang sudah terbentuk dan memang sengaja dibangun atas dasar kesamaan nilai,
kultur, akidah, cita-cita, bahkan pola berpikir, bertindak, dan berperilaku.