Anda di halaman 1dari 31

ALIRAN PENDIDIKAN

A. Aliran Klasik Pendidikan


Secara umum, pendidikan diartikan sebagai usaha manusia untuk
membina ke-pribadiannya sesuai dengan nilai-nilai dan budaya
masyarakat. Bagaimana pun sederhananya peradaban suatu
masyarakat, di dalamnya pasti berlangsung suatu proses pendidikan,
sehingga sering dikatakan bahwa pendidikan telah ada sepanjang
peradaban umat manusia (Samad, 2013). Proses pendidikan berada
dan berkembang bersama perkembangan hidup dan kehidupan
manusia, bahkan keduanya merupakan proses yang satu (Nanuru,
2013).
Sejak manusia menghendaki kemajuan dalam kehidupan, maka
sejak itu timbul gagasan untuk melakukan pengalihan, pelestarian dan
pengembangan kebudayaan melalui pendidikan. Pendidikan di dalam
masyarakat senantiasa menjadi perhatian utama dalam rangka
memajukan kehidupan generasi yang sejalan dengan tuntutan,
perkembangan dan kemajuan masyarakat dari zaman ke zaman
(Nadirah, 2013). Mengingat perkembangan kehidupan dan pelaksanaan
pendidikan bersifat dinamis, maka gagasan-gagasan yang muncul pun
bersifat dinamis (sesuai dengan alam pikir dan dinamika manusianya).
Kondisi akhirnya mendorong lahirnya aliran-aliran dalam pendidikan

85
Aliran Pendidikan 86

Aliran-aliran dalam pendidikan perlu dikuasai oleh para calon


pendidik karena pendidikan tidak cukup dipahami hanya melalui
pendekatan ilmiah yang bersifat parsial dan deskriptif saja, melainkan
perlu dipandang pula secara holistik (menyeluruh). Menurut
Tirtarahardja & Sulo (2005) aliran-aliran pendidikan telah dimulai sejak
awal hidup manusia, karena setiap kelompok manusia selalu dihadapkan
dengan generasi muda keturunannya yang memerlukan pendidikan
yang lebih baik dari orang tuanya. Di dalam kepustakaan tentang aliran-
aliran pendidikan, pemikiran-pemikiran tentang pendidikan telah dimulai
dari zaman Yunani kuno sampai kini, dikenal dengan istilah rumpun
aliran klasik dan aliran (gerakan) baru.
Bahasan bagian ini hanya dibatasi pada beberapa rumpun aliran
klasik. Aliran-aliran klasik yang dimaksud adalah aliran empirisme,
nativisme, naturalisme, dan konvergensi. Sampai saat ini aliran aliran
tersebut masih sering digunakan walaupun dengan pengembangan-
pengembangan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.

1. Aliran Empirisme
Empirisme berasal dari kata empire, artinya pengalaman. Tokoh
utama aliran ini ialah John Locke (1632-1704). Nama asli aliran ini
adalah “The School of British Empiricism” (aliran empirisme Inggris).
Namun aliran ini lebih berpengaruh terhadap para pemikir Amerika
Serikat, sehingga melahirkan sebuah aliran filsafat bernama
“environmentalisme” (aliran lingkungan) dan psikologi bernama
“environmental psychology” (psikologi lingkungan) yang relatif masih
baru (Syah, 2002). Selain Locke, terdapat juga ahli pendidikan lain yang
mempunyai pandangan hampir sama, yaitu Helvatus, ahli filsafat Yunani
yang berpendapat, bahwa manusia dilahirkan dengan jiwa dan watak
yang hampir sama yaitu suci dan bersih. Pendidikan dan lingkungan
yang akan membuat manusia berbeda-beda (Djumransjah, 2004).
Locke memandang bahwa anak yang dilahirkan itu ibaratnya meja
lilin putih bersih yang masih kosong belum terisi tulisan apa-apa,
karenanya aliran atau teori ini disebut juga Tabularasa, yang berarti
meja lilin putih. Masa perkembangan anak menjadi dewasa itu sangat
dipengaruhi oleh lingkungan atau pengalaman dan pendidikan yang
diterimanya sejak kecil. Pada dasarnya manusia itu bisa didik apa saja
menurut kehendak lingkungan (dalam arti luas), pengalaman dari
lingkungan itulah yang menentukan pribadi seseorang (Ahmadi &
Uhbiyati, 1991; Thoib, 2008).
Manusia-manusia dapat dididik apa saja (ke arah yang baik dan ke
arah yang buruk) menurut kehendak lingkungan atau pendidikan.
Dalam hal ini, alamlah yang membentuknya. Pendapat kaum empiris
ini terkenal dengan nama optimisme paedagogis, karena upaya
pendidikan hasilnya sangat optimis dapat mempengaruhi perkembangan
anak, sedangkan pembawaan tidak berpengaruh sama sekali (Suryabrata,
2002; Purwanto, 2004).
Aliran ini mengandaikan bahwa pertumbuhan dan perkembangan
hidup manusia ditentukan sepenuhnya oleh faktor-faktor pengalaman
yang berada di luar diri manusia, baik yang sengaja di desain melalui
pendidikan formal maupun pengalaman-pengalaman tidak disengaja
yang diterima melalui pendidikan informal, non formal, dan alam
sekitar. Aliran ini berpendapat bahwa pendidikanlah yang menentukan
masa depan manusia, sedangkan faktor-faktor yang berasal dari
dalam, seperti bakat dan keturunan tidak mempunyai pengaruh sama
sekali dalam menentukan masa depan manusia (Setianingsih, 2008).
Menurut Mudyahardjo et al (1992) empirisme dipandang sebagai
hal yang paling produktif, karena dalam dunia pendidikan
lingkunganlah yang berperan besar untuk membentuk potensi dan
pengetahuan peserta didik. Ada beberapa lingkungan yang berperan
dalam proses pendidikan, diantaranya adalah lingkungan sekolah,
keluarga, dan masyarakat. Dalam proses ini inderawi sepenuhnya
sangat berperan dalam berlangsungnya proses pendidikan dan
menjadi hal yang nyata dalam praktek pendidikan.
Aliran empirisme berkembang luas di dunia Barat terutama Amerika
Serikat. Aliran ini dalam perkembangannya menjelma menjadi aliran/
teori belajar behaviorisme yang dipelopori oleh William James dan
Large. Banyak pula pengaruh aliran ini terhadap pandangan tokoh
pendidikan Barat lainnya, seperti Watson, Skinner, Dewey, dan
sebagainya.

2. Aliran Nativisme
Aliran nativisme berlawanan 180o dengan aliran empirisme.
Nativisme berasal dari kata nativus yang berarti kelahiran atau native
yang artinya asli atau asal. Tokoh utama aliran ini adalah Arthur
Schopenhauer (1788-1860) seorang filosof Jerman (Ilyas, 1997).
Dalam artinya yang terbatas, juga dapat dimasukkan dalam golongan
Plato, Descartes, Lomborso, dan pengikut-pengikutnya yang lain.
Nativisme
berpendapat bahwa sejak lahir anak telah memiliki/membawa sifat-sifat
dan dasar-dasar tertentu, yang bersifat pembawaan atau keturunan. Sifat-
sifat dan dasar-dasar tertentu yang bersifat keturunan (herediter) inilah
yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan anak, serta hasil
pendidikan sepenuhnya (Nadirah, 2013).
Aliran nativisme mengesampingkan peranan lingkungan sosial,
pembinaan dan pendidikan. Aliran nativisme ini nampaknya begitu
yakin terhadap potensi batin yang ada dalam diri manusia dan aliran
ini erat kaitannya dengan aliran intuisme dalam penentuan baik dan
buruk manusia. Aliran ini tampak kurang menghargai atau
kurang memperhitungkan peran pembinaan dan pendidikan (Nata,
2002). Nativisme menganggap pendidikan dan lingkungan boleh
dikatakan tidak berarti, tidak mempengaruhi perkembangan anak
didik, kecuali hanya sebagai wadah dan memberikan rangsangan saja.
Apabila seorang anak berbakat jahat, maka ia akan menjadi jahat,
begitu pula sebaliknya. Apabila seorang anak mempunyai potensi
intelektual rendah maka akan tetap rendah (Djumransjah, 2004).
Pandangan tersebut dikenal dengan pesimisme paedagogis, karena
sangat pesimis terhadap upaya- upaya dan hasil pendidikan.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, aliran nativisme
menolak dengan tegas adanya pengaruh eksternal. Pendidikan tidak
berpengaruh sama sekali dalam membentuk manusia menjadi baik.
Pendidikan tidak bermanfaat sama sekali. Sebaliknya, kalau kita
menginginkan manusia menjadi baik, maka yang perlu dilakukan
adalah memperbaiki kedua orang tuanya karena merekalah yang
mewariskan faktor-faktor bawaan kepada anak-anaknya. Nativisme
jelas merupakan aliran yang mengakui adanya daya-daya asli yang
telah terbentuk sejak lahirnya manusia ke dunia. Daya-daya tersebut
ada yang dapat tumbuh dan berkembang sampai pada titik maksimal
kemampuan manusia dan ada yang dapat tumbuh berkembang hanya
sampai pada titik tertentu sesuai dengan kemampuan individual
manusia (Setianingsih, 2008). Para ahli yang berpendirian Nativis
biasanya mempertahankan kebenaran konsep ini dengan menunjukkan
berbagai kesamaan atau kemiripan antara orang tua dengan anak-
anaknya (Sabri, 1996).
Beberapa tokoh yang berhubungan dengan aliran nativisme adalah
Rochacher, Rosear, dan Basedow. Rochacher mengatakan bahwa manusia
adalah hasil proses alam yang berjalan menurut hukum tertentu.
Manusia tidak dapat mengubah hukum-hukum tersebut. Rosear
mengatakan
bahwa manusia tidak dapat dididik. Pendidik malah akan merusak
perkembangan anak. Pendidikan adalah persoalan yang membiarkan
atau membebaskan pertumbuhan anak secara kodrati. Sementara itu,
Basedow mengatakan bahwa pendidikan adalah pelanggaran atas
kecenderungan berkembang yang wajar dari anak. Aliran ini juga
disebut predestinatif yang menyatakan bahwa perkembangan atas
nasib manusia telah ditentukan sebelumnya, yakni tergantung pada
bawaan dan bakat yang dimilikinya.
Aliran ini masih memungkinkan adanya pendidikan. Namun,
mendidik menurut aliran ini membiarkan anak tumbuh berdasarkan
pembawaannya. Berhasil tidaknya perkembangan anak tergantung
kepada tinggi rendahnya dan jenis pembawaan yang dimiliki anak.
Apa yang patut dihargai dari pendidikan atau manfaat yang diberikan
oleh pendidikan, tidak lebih dari sekadar memoles permukaan
peradaban dan tingkah laku sosial, sedangkan lapis yang mendalam
dan kepribadian anak, tidak perlu ditentukan.

3. Aliran Naturalisme
Natur atau natura artinya alam, atau apa yang dibawa sejak lahir.
Aliran ini ada persamaannya dengan aliran nativisme (beberapa ahli
menyebut dengan istilah “sama”, “hampir sama” dan “senada”. Istilah
natura telah dipakai dalam filsafat dengan bermacam-macam arti, dari
dunia fisika yang dapat dilihat oleh manusia, sampai kepada sistem
total dari fenomena ruang dan waktu.
Aliran Naturalisme dipelopori oleh Jean Jaquest Rousseau. Ia
mengatakan, “Segala sesuatu adalah baik ketika ia baru keluar dari
alam, dan segala sesuatu menjadi jelek manakala ia sudah berada di
tangan manusia ”. Seorang anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi
anak yang baik, maka anak tersebut harus diserahkan ke alam. Kekuatan
alam akan mengajarkan kebaikan-kebaikan yang terlahir secara alamiah
sejak kelahiran anak tersebut. Dengan kata lain Rousseaue menginginkan
perkembangan anak dikembalikan ke alam yang mengembangkan anak
secara wajar karena hanya alamlah yang paling tepat menjadi guru.
Menurut Ilyas (1997) naturalisme bependapat bahwa pada
hakekatnya semua anak manusia adalah baik pada waktu dilahirkan
yaitu dari sejak tangan sang pencipta, tetapi akhirnya rusak sewaktu
berada di tangan manusia. Oleh karena itu, Rousseau menciptakan
konsep pendidikan alam, artinya anak hendaklah dibiarkan tumbuh
dan berkembang sendiri menurut alamnya, manusia jangan banyak
mencampurinya. Rousseau juga berpendapat bahwa jika anak
melakukan pelanggaran terhadap norma-norma, hendaklah orang tua
atau pendidik tidak perlu untuk memberikan hukuman, biarlah
alam yang menghukumnya. Jika seorang anak bermain pisau, atau
bermain api kemudian terbakar atau tersayat tangannya, atau bermain
air kemudian ia gatal-gatal atau masuk angin. Ini adalah bentuk
hukuman alam. Biarlah anak itu merasakan sendiri akibatnya yang
sewajarnya dari perbuatannya itu yang nantinya menjadi insaf dengan
sendirinya.

4. Aliran Konvergensi
Salah satu tokoh pendidikan bernama William Stern (1871-1939)
telah menggabungkan pandangan yang dikenal dengan teori atau
aliran konvergensi. Aliran ini ingin mengompromikan dua macam
aliran yang eksterm, yaitu aliran empirisme dan aliran nativisme,
dimana pembawaan dan lingkungan sama pentingnya, kedua-duanya
sama berpengaruh terhadap hasil perkembangan anak didik.
Stern berpendapat bahwa pembawaan dan lingkungan merupakan dua
garis yang menuju kepada suatu titik pertemuan (garis pengumpul),
oleh karena itu perkembangan pribadi sesungguhnya merupakan hasil
proses kerjasama antara potensi heriditas (internal) dan lingkungan,
serta pendidikan (eksternal) (Djumaranjah, 2004).
Aliran konvergensi menyatakan bahwa pembawaan tanpa
dipengaruhi oleh faktor lingkungan tidak akan bisa berkembang,
demikian juga sebaliknya. Potensi yang ada pada pembawaan dari
seorang anak akan berkembang ketika mendapat pendidikan dan
pengalaman dari lingkungan. Sedangkan secara psikis untuk
mengetahui potensi yang ada pada anak didik yaitu dengan cara
melihat potensi yang dimunculkan pada anak tersebut. Pembawaan
yang disertai disposisi telah ada pada masing-masing individu yang
membutuhkan tempat untuk merealisasikan dan mengembangkannya.
Pada dasarnya pembawaan adalah seluruh kemungkinan-
kemungkinan atau kesanggupan-kesanggupan (potensi) yang
terdapat pada suatu individu dan ayang selama masa
perkembangannya benar-benar dapat direalisasikan.
Aliran konvergensi pada prinsipnya berpendapat bahwa
pembawaan dan lingkungan sama pentingnya. Perkembangan jiwa
seseorang tergantung pada bakat sejak lahir dan lingkungannya,
khususnya pendidikan. Peran pendidikan adalah memberi pengalaman
belajar agar anak dapat berkembang secara optimal. Menurut aliran
konvergensi perkembangan pribadi merupakan hasil proses kerjasama
antara potensi hereditas (internal) dan lingkungan (eksternal). Jadi
menurut aliran konvergensi: (1) pendidikan dapat diberikan kepada
semua orang, (2) pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang
diberikan kepada peserta didik untuk mengembangkan
pembawaannya yang baik dan mencegah pembawaan yang buruk, (3)
hasil pendidikan tergantung dari pembawaan dan lingkungan
(Moerdiyanto, 2011).
Banyak bukti yang menunjukkan, bahwa watak dan bakat seseorang
yang tidak sama dengan orang tuanya itu, setelah ditelusuri ternyata
waktu dan bakat orang tersebut sama dengan kakek atau ayah/ibu
kakeknya. Dengan demikian, tidak semua bakat dan watak seseorang
dapat diturunkan langsung kepada anak-anaknya, tetapi mungkin
kepada cucunya atau anak-anaknya cucunya. Alhasil, bakat dan watak
dapat tersembunyi sampai beberapa generasi (Syah, 2002).
Teori konvergensi ini pada umumnya diterima secara luas sebagai
pandangan yang tepat dalam memahami tumbuh-kembang manusia
(Tirtarahardja & Sulo, 2005), meskipun masih ada juga beberapa
kritik terhadapnya. Aliran konvergensi dikritik sebagai aliran yang
cocok untuk hewan dan tumbuhan, kalau bibitnya baik dan
lingkungannya baik maka hasilnya pasti baik. Padahal bagi manusia
itu belum tentu, karena masih ada faktor lain yang mempengaruhi,
yaitu pilihan atau seleksi dari yang bersangkutan.

5. Pengaruh Aliran Klasik Terhadap Dunia Pendidikan Indonensia


Awalnya atau sebelum sistem persekolahan ‘modern’ seperti yang
semula diperkenalkan oleh kolonialis Belanda, terdapat berbagai
‘institusi’ pendidikan dalam lingkup masyarakat-masyarakat tradisional,
baik dalam keterkaitannya dengan berbagai kebudayaan etnik maupun
dengan berbagai sistem pemerintahan tradisional yang dalam banyak
hal juga sedikit-banyak terkait dengan etnisitas (Tim Paradigma
Pendidikan BSNP, 2010). Pendidikan di Nusantara sebenarnya telah ada
sebelum pemerintah colonial Belanda mencetuskan trias politika. Ketika
pengaruh Hindu-Buda masih kental di Nusantara, pendidikan dikenal
dengan istilah padepokan, kemudian pada saat pengaruh Islam masuk,
pendidikan dikenal dengan pesantren. Kedua model pendidikan tersebut
merupakan pendidikan agama. Pendidikan disampaikan secara
tradisional dan belum memiliki kurikulum formal. Sebelum abad ke-20
umat Islam Indonesia hanya mengenal satu jenis lembaga pendidikan
yang disebut “lembaga pengajaran asli”, pengajaran ini dalam berbagai
bentuk,1 yaitu pendidikan di langgar dan di pesantren (Poerbakawatja,
1970).
Awalnya pendidikan di Indonesia terutama diselenggarakan oleh
keluarga dan masyarakat, misalnya kelompok belajar/padepokan,
lembaga keagamaan/pesantren, dan lain-lain. Pendidikan oleh
keluarga dan masyarakat dalam konteks ini diasosiasikan dengan
pendidikan di pondok pesantren (sistem asrama). Hal ini karena pada
umumnya, pondok pesantren adalah milik kyai atau sekelompok
keluarga. Tak jarang pondok pesantren didirikan atas prakarsa
penguasa, raja-raja, atau orang kaya lain. Pondok pesantren sebagai
lembaga bagi pendidikan dan penyebaran agama Islam lahir dan
berkembang semenjak masa- masa permulaan kedatangan Islam di
Indonesia.
Aliran-aliran pendidikan klasik mulai di kenal di Indonesia melalui
upaya-upaya pendidikan, utamanya persekolahan, dari penguasa
penjajah Belanda dan kemudian disusul oleh adanya orang-orang Indo-
nesia yang belajar di negeri Belanda. Dunia pendidikan Indonesia
dikelola secara modern baru dikenal setelah kedatangan bangsa Barat,
terutama setelah pemerintah Hindia Belanda melaksanakan kebijakan
baru dalam politiknya yang dibuktikan dengan diterapkannya politik
etis di Indonesia pada awal abad ke-20. Tujuan dari kebijakan ini adalah
untuk memperbaiki taraf hidup rakyat Indonesia, salah satu cara untuk
mencapai sasaran tersebut adalah dengan memberikan pendidikan
pada rakyat Indonesia. Selain itu alasan pemerintah Hindia Belanda
adalah untuk mempertahankan posisinya sebagai penguasa dan dapat
memenuhi kebutuhan dalam pemerintahnya. Selanjutnya, menurut
Tirtarahardja & Sulo (2005) pasca kemerdekaan, gagasan-gagasan dari
aliran-aliran pendidikan itu masuk ke Indonesia melalui orang-orang
Indonesia yang belajar di berbagai Negara di Eropa, Amerika, dan lain-
lain. Seperti diketahui, sistem persekolahan diperkenalkan oleh
pemerintah kolonial Belanda di Indonesia.
Penjajah Belanda pada masa itu tidak hanya menghegemoni
secara langsung melalui kebijakannya namun juga melalui buku
bacaan, koran, dan sejenisnya. Seiring waktu berlalu, persebaran
media cetak dan hubungan internasional oleh pemerintahan yang
terjadi dengan negara- negara di Eropa dan Amerika kemudian
menjadi acuan dalam penetapan kebijakan di bidang pendidikan di
Indonesia. Salah satu organisasi massa keagaaman yang cepat
merespon dan kemudian mengembangkan sistem persekolahan itu
adalah Muhammadiyah.
Semua aliran klasik pendidikan pada dasarnya telah
mempengaruhi dunia pendidikan di Indonesia. Keempat aliran klasik
tersebut banyak diadopsi dalam mengatur sistem pendidikan di
sekolah-sekolah di berbagai negara termasuk Indonesia. Aliran-aliran
tersebut memiliki kecenderungan untuk mengemukakan satu faktor
dominan saja dalam mengembangkan manusia. Sebagai hasilnya,
penganut aliran klasik, sebagaimana kebanyakan sekolah formal yang
ada di Indonesia, belum mampu untuk mensinergikan yang dididik
dengan lingkungannya serta memposisikan yang dididik menjadi
subyek pendidik juga, sebagaimana yang dilakukan oleh penganut
aliran baru dalam pendidikan.
Aliran empirisme misalnya, menurut Suyitno (2009) pada
perkembangnnya spirit empirisme telah banyak mempengaruhi
pendidikan. Empirisme menganjurkan agar kita kembali ke alam
untuk mendapatkan pengetahuan. Menurut mereka pengetahuan ini
tidak ada secara apriori di benak kita, melainkan harus diperoleh dari
pengalaman. Berkembanglah pola berpikir empiris, yang semula
berasal dari sarjana- sarjana Islam dan kemudian terkenal di dunia
Barat lewat tulisan Francis Bacon (1561-1626) dalam bukunya Novum
Organum. Rasionalisme dikenal oleh ahli-ahli fikir Barat lewat hasil-
hasil karya filosof Islam terhadap filsafat Yunani, yaitu oleh Al-Kindi
(809 – 873), Al-Farabi (881- 961), Ibnu Sina (980-1037), dan Ibnu
Rusyd (1126-1198). Al-Khawarizmi sebagai ilmuwan Islam, telah
mengembangkan aljabar, Al-Batani menemukan goniometri dan
angka desimal. Dunia Timur lainnya seperti India telah menemukan
matematika dan angka nol, sementara Cina telah menemukan kompas,
mesiu, mesin cetak dan kertas. Semua hal itu kini telah berkembang
pesat dan mewarnai kehidupan bangsa Indonesia, tak terkecuali dunia
pendidikan Indonesia.
Sementara itu, menurut Darajat (2005) dalam perspektif aliran
konvergensi pendidik yang mempunyai tugas untuk mendidik dan
mengarahkan anak didik seharusnya mengetahui dan sadar akan
potensi yang telah dibawa oleh anak sejak lahir (nativisme dan
naturalisme), sehingga dalam mengarahkan akan menjadi lebih mudah
(empirisme). Akan tetapi dalam kenyataan, kebanyakan para
pendidik dalam mengasuh anak didik sering sekali mengabaikan
potensi yang ada pada anak didik, sehingga menghambat
perkembangan dan menjadikan matinya bakat yang telah dibawa sejak
lahir. Usaha-usaha tersebut di atas diharapkan dapat membantu
perkembangan potensi (pembawaan) yang telah ada pada diri anak
sejak anak itu dilahirkan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan
pendidikan. Dengan demikian implikasi aliran
konvergensi dalam pendidikan memberikan kemungkinan bagi
pendidik untuk dapat membantu perkembangan individu sesuai
dengan apa yang diharapkan, namun demikian pelaksanaan harus
tetap memperhatikan faktor-faktor hereditas peserta didik,
kematangan, bakat, kemampuan, keadaan mental dan sebagainya.
Menurut Pramudia (2006) dalam perkembangannya aliran-aliran
tersebut telah mengilhami pelaku pendidikan di Indonesia bahwa
pendidikan berarti suatu proses humanisasi, oleh sebab itu hak-hak
asasi manusia perlu dihormati. Anak didik bukanlah robot tetapi
manusia yang harus dibantu di dalam proses pendewasaannya agar dia
dapat mandiri dan berpikir kristis. Selain itu pendidikan merupakan
hak asasi manusia, oleh karena itu pemerataan pendidikan haruslah
dilaksanakan secara konsekuen.

B. “Aliran” Pendidikan Indonesia


Pada jaman penjajahan Belanda telah terdapat upaya-upaya pendirian
dan pelaksanaan lembaga-lembaga pendidikan tertentu. Oleh
pemerintahan kolonial pada waktu itu masalah pendidikan dianggap
penting sehingga dimasukkan dalam Undang-Undang Tahun 1848, dan
dianggarkan 25.000 gulden untuk sektor pendidikan. Pada tahun 1851
didirikan sekolah “dokter Jawa” yang didirikan untuk suatu alasan
praktis, yaitu melatih kaum pribumi untuk menjadi “mantri cacar”
karena ketika itu penyakit cacar sedang mewabah. Tahun 1851 itu juga
dibuka dua kweekschool untuk melatih guru bantu bagi sekolah-sekolah
modern sistem barat. Pembukaan lembaga-lembaga pendidikan itu,
sebagaimana dikatakan oleh seorang tokoh Belanda, adalah untuk
“membentengi Belanda dari “vulcano Islam”. Pada tahun 1867
pemerintah kolonial membentuk departemen sendiri untuk masalah
mendidikan, yaitu yang disebut Departeman Pendidikan, Agama, dan
Industri. Dari pengaturan itu tumbuhlah sekitar 300 sekolah pribumi di
Jawa dan sekitar 400 di luar Jawa (Tim Paradigma Pendidikan BSNP,
2010).
Selanjutnya pada tahun 1902 di Batavia dibuka sekolah kedokteran
yang dinamakan School tot Opleiding voor Indische Artsen (STOVIA)
dan sekolah sejenis didirikan pula pada tahun 1913 di Surabaya,
dinamakan Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS). Pada tahun
1927 STOVIA ditingkatkan menjadi pendidikan tinggi, dengan nama
Geneeskundige Hogeschool, bertempat di Jalan Salemba 6, Jakarta. Ini
menjadi cikalbakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Kemudian didirikan pula Rechtkundige Hogeschool yang menjadi cikal-
bakal Fakultas Hukum Universitas Indonesia, kemudian juga Faculteit
der Letteren en Wijsbegeerte yang menjadi cikal-bakal Fakultas Sastra
(kemudian Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) Universitas Indonesia.
Technische Hogeschool yang didirikan pada tahun 1920 di Bandung
merupakan cikal-bakal Institut Teknologi Bandung, sedangkan
Landbouwkundige Fakulteit merupakan cikal-bakal Institut Pertanian
Bogor. Adapun Bestuurs Academie yang didirikan tahun 1930-an
tentulah merupakan awal dari Institut
Pemerintahan Dalam Negeri yang di kemudian hari diselenggarakan
oleh Pemerintah Indonesia.
Pendidikan yang diselenggarakan pemerintah hanyalah untuk
mencetak pegawai-pegawai berpendidikan yang murah, sehingga
pendidikan tersebut tidak memperhatikan pendidikan moral bagi
murid- murid pribumi, yang diutamakan adalah bisa membaca,
menulis, dan berhitung. Pendidikan diukur dan diarahkan kepada
pembentukan suatu elite sosial untuk selanjutnya dipergunakan
sebagai alat bagi kepentingan supremasi politik dan ekonomi Belanda
di Nusantara. Kondisi pendidikan semacam ini menggerakkan
seseorang dan beberapa badan swasta (di luar pemerintrah Hindia
Belanda) untuk mendirikan pendidikan yang juga mengajarkan agama
serta ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.
Mengingat ciri-ciri pendidikan yang diselenggarakan pemerintah
kolonial Belanda yang tidak memungkinkan bangsa Indonesia untuk
menjadi cerdas, bebas, bersatu, dan merdeka, maka kaum pergerakan
semakin menyadari bahwa pendidikan yang bersifat nasional harus
segera dimasukkan ke dalam program perjuangannya. Oleh karena itu,
sejak Kebangkitan Nasional (1908) sifat perjuangan rakyat Indonesia
dilakukan melalui berbagai partai dan organisasi, baik melalui jalur
politik praktis, jalur ekonomi, sosial-budaya. dan khususnya melalui
jalur pendidikan. Sifat perjuangan bangsa kita saat itu tidak lagi hanya
menitikberatkan pada perjuangan fisik. Usaha-usaha kaum pergerakan
melalui jalur pendidikan demi kemerdekaan dan rintisan ke arah
pendidikan nasional tampak jelas. Hampir setiap organisasi pergerakan
nasional mencantumkan dan melaksanakan pendidikan dalam anggaran
dasar dan/atau dalam program kerjanya (Tatang, 2010).
Djumhur & Danasuparta (1976) mengemukakan bahwa setelah
tahun 1900 usaha-usaha partikelir di bidang pendidikan berlangsung
dengan sangat giatnya. Untuk mengubah keadaan akibat penjajahan,
kaum pergerakan memasukan pendidikan ke dalam program
perjuanganya. Lahirlah sekolah-sekolah partikelir (perguruan nasional)
yang diselenggarakan para perintis kemerdekaan. Sekolah-sekolah itu
mula-mula bercorak dua: 1) Sekolah-sekolah yang sesuai haluan politik,
seperti yang diselenggarakan oleh: Ki Hadjar Dewantara (Taman Siswa),
Dr. Douwes Dekker atau Dr. Setyabudhi (Ksatrian Institut), Mohammad
Sjafe’i (INS Kayutanam) dan sebagainya. 2) Sekolah-sekolah yang sesuai
tuntutan agama (Islam), seperti yang diselenggarakan oleh:
Muhammadiyah (dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan), Nahdlatul Ulama
(dipelopori oleh KH. Hasyim Asy’ari), Sumatera Tawalib di
Padangpanjang, dan lain sebagainya. Selain itu, sebelumnya telah
diselenggarakan pula pendidikan oleh tokoh-tokoh wanita seperti R.A.
Kartini (di Jepara), Rd. Dewi Sartika (di Bandung), dan Rohana Kuddus
(di Sumatera).
Umumnya dalam buku-buku Pengantar Pendidikan hanya
menguraikan dua “aliran” pokok yaitu Perguruan Kebangsaan Taman
Siswa dan INS Kayutanam. Mengingat kiprah, pengaruh, dan
perkembangnya saat ini maka kami memasukkan pembahasan tentang
Gerakan Pendidikan Muhammadiyah. Hal ini didasari pandangan
Raharja (2008) bahwa perjuangan pendidikan Perguruan Kebangsaan
Taman Siswa, INS Kayutanam dan Muhammadiyah berkembang
beriringan dan secara signifikan berpengaruh terhadap pola pikir
masyarakat pada saat itu hingga kini. Gerakan ketiganya sangat
berguna bagi masyarakat pada zaman perjuangan melawan penjajah
saat itu. Ketiganya secara bersama-sama berupaya untuk membawa
para pemuda Indonesia menjadi warga yang tidak buta huruf,
membela bangsa dan negaranya, serta mampu mandiri untuk hidup di
masyarakat (corak dan ciri nasionalisme).

1. Perguruan Kebangsaan Taman Siswa


Sementara berlangsung pemerintahan kolonial itu, ada pula dua
tokoh pemuka Indonesia sendiri yang merintis suatu sistem persekolahan
tersendiri, yang secara teknis bersifat modern seperti sekolah-sekolah
yang diperkenalkan oleh Belanda, namun dalam semangat dan isi
pelajaran sangat berjiwa ketimuran dengan membawa cita-cita
kemandirian bangsa. Tokoh pertama adalah R.M. Soewardi
Soerjaningrat, atau lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara. Perguruan
Kebangsaan Taman Siswa didirikan pada tahun 1921 atau tahun Caka
1852 yang memiliki semboyan “Lawan Sastra Ngesti Mulia”. Setahun
kemudian pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta muncul organisasi baru benama
Persatuan Taman Siswa yang memiliki semboyan “Suci Tata Ngesti
Tunggal”. Secara lengkap nama perguruan itu adalah “Nationaal
Onderwijs Instituut Taman Siswa”.
Sebagai tokoh pergerakan nasional, Ki Hajar Dewantara tidak
ragu mencantumkan kata “nationaal” pada nama perguruannya, dan
dengan itu yang dimaksudkannya tentulah kenasionalan Indonesia
yang bersatu untuk mengupayakan kemerdekaan bangsa dari belenggu
penjajahan.
Falsafah pendidikan yang dikembangkannya bertolak dari penekanan
kepada pembentukan kemandirian dalam hubungan yang
berkomunikasi hangat antara guru dan murid.
Pada tanggal 6 Januari 1923, dalam National Onderwijs Instituut
Taman Siswa dibentuk majelis yang disebut “Instituutraad”, yang
bertugas memperlancar jalannya pendidikan. Dalam konferensinya
di Yogyakarta tanggal 20-22 Oktober 1923, perguruan ini memperluas
Institut menjadi Hoofdraat (Majelis Luhur). Pada tahun 1930,
National Onderwijs Instituut Tamansiswa diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia menjadi Perguruan Nasional Taman Siswa.
Dalam menjalankan proses pendidikannya dengan menggunakan
“Sistem Among” yang mendasarkan pada: Pertama, kemerdekaan
sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakan kekuatan lahir
batin, sehingga dapat hidup berdiri sendiri. Kedua, kodrat alam
sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan
secepat- cepatnya dan sebaik-baiknya (Sulistya, 2002).
Tercatat bahwa pada tahun 1942 cabang Taman Siswa berjumlah
199 sekolah tersebar di beberapa daerah, terutama di pulau-pulau Jawa,
Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku, dengan pada waktu
itu mempunyai sekitar 650 orang guru (Hassan, 2005; Tim Paradigma
Pendidikan BSNP, 2010). Menurut Tirtarahardja & Sulo (2005) awalnya
Perguruan Kebangsaan Taman Siswa dalam bentuk yayasan, selanjutnya
mulai didirikan Taman Indria (Taman Kanak-Kanak) dan Kursus Guru,
selanjutnya Taman Muda (SD), disusul Taman Dewasa merangkap
Taman Guru (Mulo-Kweekschool). Sekarang ini, telah dikembangkan
sehingga meliputi pula Taman Madya, Prasarjana, dan Sarjana Wiyata.
Dengan demikian, Taman Siswa telah meliputi semua jenjang
persekolahan, dari pendidikan prasekolah, pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi.
Falsafah pendidikan Ki Hajar Dewantara yang terkenal yang
diungkapkan dalam bahasa Jawa berbunyai: “ing ngarsa sung tuladha,
ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”, sebagai pedoman
perilaku bagi guru yang artinya: “di depan memberi teladan, di tengah
menyemangati, dan mengiringkan dari belakang sambil memberi
kekuatan”. Tokoh ini mendorong diberikannya juga bahan-bahan ajar
yang digali dari kebudayaan setempat, sehingga dapat dikatakan bahwa
kiprahnya dalam penyelenggaraan pendidikan itu adalah juga merupakan
suatu gerakan budaya.
a. Konsep Pendidikan Taman Siswa
Menurut Suprayoko (2006) ada tujuh konsep pendidikan dalam
pandangan Taman siswa, yaitu
1) Pendidikan adalah Badan Perjuangan
Tamansiswa adalah badan perjuangan kebudayaan dan
pembangunan masyarakat yang menggunakan pendidikan
dalam arti luas untuk mencapai cita-citanya. Bagi
Tamansiswa, pendidikan bukanlah tujuan tetapi media untuk
mencapai tujuan perjuangan, yaitu mewujudkan manusia
Indonesia yang merdeka lahir dan batinnya. Merdeka lahiriah
artinya tidak dijajah secara fisik, ekonomi, politik, dan
sebagainya; sedangkan merdeka secara batiniah adalah mampu
mengendalikan keadaan.
2) Anti Intelektualisme
Tamansiswa anti intelektualisme; artinya siapa pun tidak boleh
hanya mengagungkan kecerdasan dengan mengabaikan faktor-
faktor lainnya. Tamansiswa mengajarkan azas keseimbangan
(balancing), yaitu antara intelektualitas di satu sisi dan
personalitas di sisi yang lain. Maksudnya agar setiap anak
didik itu berkembang kecerdasan dan kepribadiannya secara
seimbang.
3) Asas Pancadarma
Pendidikan Tamansiswa berciri khas Pancadarma, yaitu
Kodrat Alam (memperhatikan sunatullah), Kebudayaan
(menerapkan teori Trikon), Kemerdekaan (memperhatikan
potensi dan minat maing- masing indi-vidu dan kelompok),
Kebangsaan (berorientasi pada keutuhan bangsa dengan
berbagai ragam suku), dan Kemanusiaan (menjunjung harkat
dan martabat setiap orang).
4) Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan Tamansiswa adalah membangun anak didik
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, merdeka lahir batin, luhur akal budinya, cerdas
dan berketerampilan, serta sehat jasmani dan rohaninya untuk
menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung
jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air, serta manusia pada
umumnya. Meskipun dengan susunan kalimat yang berbeda
namun tujuan pendidikan Tamansiswa ini sejalan dengan tujuan
pendidikan nasional.
5) Konsep Tringa
Kalau di Barat ada “Teori Domein” yang diciptakan oleh
Benjamin S. Bloom yang terdiri dari kognitif, afektif dan
psikomotorik maka di Tamansiswa ada “Konsep Tringa” yang
terdiri dari ngerti (mengetahui), ngrasa (memahami) dan
nglakoni (melakukan). Maknanya ialah, tujuan belajar itu pada
dasarnya ialah meningkatkan pengetahuan anak didik tentang
apa yang dipelajarinya, mengasah rasa untuk meningkat-kan
pemahaman tentang apa yang diketahuinya, serta meningkatkan
kemampuan untuk melaksanakan apa yang dipelajarinya.
6) Sistem Among
Pendidikan Tamansiswa dilaksanakan berdasar Sistem
Among, yaitu suatu sistem pendidikan yang berjiwa
kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan.
Dalam sistem ini setiap pendidik harus meluangkan waktu
sebanyak 24 jam setiap harinya untuk memberikan
pelayanan kepada anak didik sebagaimana orang tua yang
memberikan pelayanan kepada anaknya. Sistem Among
tersebut berdasarkan cara berlakunya disebut Sistem Tutwuri
Handayani. Dalam sistem ini orientasi pendidikan adalah pada
anak didik, yang dalam terminologi baru disebut student
centered. Di dalam sistem ini pelaksanaan pendidikan
lebih didasarkan pada minat dan potensi apa yang perlu
dikembangkan pada anak didik, bukan pada minat dan
kemampuan apa yang dimiliki oleh pendidik. Apabila minat
anak didik ternyata akan ke luar “rel” atau pengembangan
potensi anak didik di jalan yang salah maka pendidik
berhak untuk meluruskannya.
7) Kerjasama
Untuk mencapai tujuan pendidikannya, Tamansiswa
menyelanggarakan kerja sama yang selaras antartiga pusat
pendidikan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan perguruan,
dan lingkungan masyarakat. Pusat pendidikan yang satu
dengan yang lain hendaknya saling berkoordinasi dan saling
mengisi kekurangan yang ada.
b. Asas dan Tujuan Taman Siswa
Menurut Tirtarahardja & Sulo (2005) Perguruan Kebangsaan
Taman Siswa mempunyai tujuh asas perjuangan untuk
menghadapi pemerintah Kolonial Belanda serta sekaligus untuk
mempertahankan kelangsungan hidup bersifat nasional, dan
demokrasi. Ketujuh asas tersebut dikenal dengan “asas 1922”,
sebagai berikut:
1) Bahwa setiap orang mempunyai hak mengatur dirinya sendiri
(zelf besschikkingsrecht) dengan mengingat terbitnya persatuan
dalam peri kehidupan umum.
2) Bahwa pengajaran harus memberi pengetahuan yang
berfaedah yang dalam arti lahir dan batin dapat
memerdekakan diri.
3) Bahwa pengajaran harus berdasar pada kebudayaan dan
kebangsaan sendiri.
4) Bahwa pengajaran harus tersebar luas sampai dapat
menjangkau kepada seluruh rakyat.
5) Bahwa sebagai konsekuensi hidup dengan kekuatan sendiri
maka mutlak harus membelanjai sendiri segala usaha yang
dilakukan (zelfbegrotings-system).
6) Bahwa sebagai konsekuensi hidup dengan kekuatan sendiri
maka mutlak harus membelanjai sendiri segala usaha yang
dilakukan (Zelfbegrotings-system).
7) Bahwa dalam mendidik anak-anak perlu adanya keikhlasan
lahir dan batin untuk mengorbankan segala kepentingan
pribadi demi keselamatan dan kebahagiaan anak-anak
(berhamba pada anak didik).
Didirikannya perguruan Taman siswa disebabkan karena keadaan
pendidikan bagi rakyat Indonesia yang sangat kurangnya pengajaran
yang diberikan oleh Belanda kepada bangsa Indonesia, pendidikannya
sangat tidak sesuai dengan kepentingan hidup bangsa Indonesia sendiri,
dan bahkan meracuni jiwa anak, menanamkan jiwa budak pengabdi
kepentingan kolonial sehingga sangat mengecewakan rakyat Indonesia.
Seperti diketahui, ketika Pemerintah Kolonial melaksanakan politik etis,
jumlah sekolah yang didirikan bertambah banyak. Walaupun jumlah
sekolah dibandingkan dengan jumlah anak usia sekolah masih sangat
jauh dari cukup. Sekolah-sekolah tersebut dimaksudkan untuk memenuhi
kepentingan kolonial, baik kepentingan dalam bidang politik, ekonomi
maupun administrasi yang sama sekali tidak ditujukan untuk
kepentingan rakyat Indonesia (Setiono et al., 2013).
Menurut Tirtaraharda & Sulo (2005) tujuan Taman Siswa adalah
sebagai badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat
yang tertib dan damai. Tertib yang sebenarnya tidak akan ada jika
tidak ada damai antara manusia. Damai antara manusia hanya akan
ada dalam keadilan sosial sebagai wujud berlakunya kedaulatan adab
kemanusiaan, yang menghilangkan segala rintangan oleh manusia
terhadap sesamanya dalam sarat-sarat hidupnya, serta menjamin
terbaginya sarat-sarat hidup lahir batin, secara sama rata sama rasa.
Sedangkan tujuan pendidikan Taman Siswa ialah membangun anak
didik beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjadi
manusia yang merdeka lahir dan batin, luhur akal budinya, , cerdas dan
berketerampilan serta sehat jasmaninya untuk menjadi anggota
masyarakat yang berguna dan bertanggung jawab atas keserasian bangsa,
tanah air, serta manusia pada umumnya. Oleh karena itu, menurut
Setiono et al (2013) tujuan didirikannya Taman Siswa tidak lain adalah
untuk mendidik dan menggembleng golongan muda serta menanamkan
rasa cinta tanah air dan semangat anti penjajahan. Taman Siswa berperan
dalam menumbuhkan rasa nasionalisme bangsa Indonesia. Meskipun
menggunakan sistem pendidikan modern Belanda, tetapi taman siswa
tidak mengambil kepribadian Belanda.
Taman Siswa berusaha untuk mencapai tujuannya, di lingkungan
perguruan, dengan berbagai jalan, yaitu (1) menyelenggarakan tugas
pendidikan dalam bentuk perguruan dari tingkat dasar sampai tingkat
tinggi; (2) mengikuti dan mempelajari perkembangan dunia di luar
Taman Siswa; (3) menumbuhkan lingkungan hidup keluraga Taman
Siswa, sehingga dapat tampak wujud masyarakat Taman Siswa yang
dicita-citakan; (4) meluaskan kehidupan ke Taman Siswa-an di luar
lingkungan masyarakat perguruan, (5) menjalankan kerja pendidikan
untuk masyarakat umum dengan dasar-dasar dan hidup Taman Siswa;
(6) menyelenggarakan usaha-usaha kemasyarakatan dalam masyarakat
dalam bentuk-bentuk badan sosial, Usaha-usaha pembentukan kesatuan
hidup kekeluargaan sebagai pola masyarakat baru Indonesia, usaha
pendidikan kader pembangunan, dan (7) mengusahakan terbentuknya
pusat – pusat kegiatan kemasyarakatan dalam berbagai bidang kehidupan
dan penghidupan masyarakat. Berbagai hal seperti pemikiran tentang
pendidikan nasional, lembaga-lembaga pendidikan dari Taman Indria
sampai dengan Sarjana Wiyata, dan sejumlah besar alumni perguruan.
Ketiga pencapaian itu merupakan pencapaian sebagai suatu yayasan
pendidikan (Tirtarahardja & Sulo, 2005).

2. Ruang Pendidik INS Kayutanam


Sumatera Barat telah melahirkan pemikir-pemikir yang memiliki
jiwa-jiwa besar dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia dan memiliki
peran penting di bidang pendidikan, salah satunya adalah Engku
Mohammad Sjafe’i (Zubir, 2001). Mohammad Sjafe’i lahir di Matan,
Kalimantan Barat tahun 1895 (Tirtarahardja & Sulo, 2005). Mohammad
Sjafe’i, seorang anak yatim yang ditinggalkan Ayahnya semasa kecil dan
diasuh ibunya bernama Sjafia, buta huruf yang pekerjaannya membuat
kue untuk dijajakan Sjafe’i. Ibu Sjafe’i tidak dapat menentukan hari dan
tanggal lahir anaknya, namun dapat diperkirakan tanggal 31 Oktober
1893 (Baihaqi, 2007). Mohammad Sjafe’i dijadikan anak angkat oleh
Ibrahim Mara Sutan (seorang guru negeri yang berpindah tugas ke
beberapa tempat di Sumatera, kemudian juga ke Pontianak,
Kalimantan Barat) dan Andung Chalidjah (Navis, 1996; Zed, 2012).
Mohammad Sjafe’i mendirikan Ruang Pendidik INS Kayutanam
pada tanggal 31 Oktober 1926 di Kabupaten Padang Pariaman
Sumater Barat. INS Kayutanam adalah satu sekolah modern bercorak
nasional yang peranannya cukup besar pada perkembangan dunia
pendidikan Indonesia, khususnya di Sumatera Barat (Halimah, 2012).
Setidaknya ada 3 alasan mengapa kita memberikan perhatian khusus
pada pemikiran pendidikan Mohammad Sjafe’i, yaitu (1) tak
diragukan lagi ia termasuk salah seorang di antara sedikit tokoh
pemikir besar dan praktisi di bidang pendidikan bangsa yang telah
menunjukkan reputasinya di masa lalu lewat ”ruang pendidikan INS”
yang dibinanya sejak tahun 1926; (2) ia telah menanam dan buah
pendidikan yang dihasilkannya tidak hanya melahirkan orang-orang
ber-keahlian di bidangnya masing- masing, melainkan juga
menelorkan generasi terpelajar yang telah tercerahkan dan
mencerahkan kesadaran kebangsaan di zaman penjajahan; (3) buah
pendidikan para pendahulu ini, pada gilirannya telah menjadi bagian
dari mata-rantai center of excellence (”pusat keunggulan”) yang
diperlukan bangsa Indonesia dalam membangun harga diri bangsa,
lewat “pendidikan yang memerdekakan” (Zed, 2012).
Pendidikan ini berkembang beriringan dengan perjuangan
pendidikan Muhammadiyah maupun Taman Siswa. Pendidikan INS
Kayu Taman ini berpengaruh secara signifikan terhadap pola pikir
masyarakat pada saat itu. INS Kayutanam pada mulanya dipimpin
oleh ayah angkatnya, kemudian diambil alih oleh Mohammad
Sjafe’i (Rahardja, 2008). Terletak di atas lahan erfpacht seluas 18 ha,
komplek INS mulanya sangat sederhana. Saat pertama kali dibuka,
minggu 31 Oktober 1926, yakni satu tahun setelah Sjafe’i pulang dari
pendidikan di Belanda, bangunan sekolah itu masih menggunakan
rumah penduduk yang disewa, terletak di tengah-tengah Nagari
Kayutanam, tidak jauh dari stasiun kereta api. Murid angkatan
pertama berjumlah 79 orang. Mereka datang dari berbagai daerah.
Gurunya hanya Sjafe’i seorang, sehingga murid dibagi dalam 2 kelas,
belajar berganti hari. Waktu itu belum punya bangku dan meja dalam
ruangan. Para murid belajar di lantai beralas tikar, sedangkan papan tulis
disandarkan pada kursi (Zed, 2012).
Lahirnya Ruang Pendidik INS Kayutanam tidak terlepas dari
upaya Mohammad Sjafe’i mewujudkan cita-cita dari kedua orang tua
angkatnya. Ia juga didukung oleh sebuah organisasi perkumpulan
buruh kereta api yang bernama Vereeniging Bumi Poetra Staats-Spoors
(VBPSS) berkedudukan di Padang yang dipimpin oleh Abdul Rachman.
Tujuan awal pendidikan Ruang Pendidik INS Kayutanam adalah
mendidik manusia supaya menjadi manusia, membimbing anak didik
kepada diri, dan bakat yang dimilikinya. Ruang Pendidik INS
Kayutanam lebih di kenal sebagai “Sekolah Ahli Tukang”,
maksudnya lulusan Ruang Pendidik INS Kayutanam ini setiap
muridnya memiliki talenta dan kemauan untuk berkarya. Seperti kata
Mohammad Sjafe’i, murid yang datang ke INS masuk dengan satu
pintu dan keluar dengan banyak pintu.
Barnadib (1983) dan Raharja (2008) menjelaskan bahwa sekolah dari
Mohammad Sjafe’i sebagai bentuk reaksi dari sekolah-sekolah
Pemerintah Hindia Belanda. Sekolah ini memang kurang terkenal karena
tidak mempunyai cabang seperti sekolah-sekolah Muhammadiyah
maupun Taman Siswa. Perkembangan sekolah ini mengalami pasang
surut, sesuai dengan keadaan Indonesia saat itu. Pada bulan Desember
1948 sewaktu Belanda menyerang ke Kayutanam, seluruh gedung INS
dihanguskan, termasuk ruang pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan di
Padang Panjang. INS bangkit lagi pada bulan Mei 1950, dengan 30
murid.
Menurut Fhadilla (2014) pada awal berdiri nama perguruan ini
memakai bahasa Belanda yakni Indonesisch Nederlandsch School
dengan kependekan INS. Maksud nama ini menggunakan bahasa
Belanda dikarenakan sewaktu berdiri negara Indonesia berada di
bawah kekuasaan Belanda agar tidak menimbulkan rasa curiga terhadap
sekolah yang didirikan oleh Mohammad Sjafe’i. Sebelumnya sekolah-
sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda dalam pemberian nama
selalu mendahulukan kata Hollandsch baru setelah itu kata Indonesisch.
Pada masa pendudukan Jepang, kependekan dari INS berganti arti yakni
Indonesia Nippon School. Penamaan ini bertujuan sebagai pelindung diri
atas kekejaman tentara Jepang. Pada periode kemerdekaan Indonesia,
kependekan dari INS berubah menjadi Indonesia National School, nama
ini sesuai dengan kondisi daerah Kayutanam saat itu. Pada tahun 1972
dalam rapat Munas di Jakarta, atas usulan dari Prof. Dr. Deliar Noer
mengusulkan agar kepanjangan dari INS diganti menjadi Institut
Nasional Sjafe’i dan masyarakat Kayutanam sendiri menyebut sekolah
ini dengan sebutan “INS Kayutanam”. Pada tahun 1975 Ruang Pendidik
SMA INS Kayutanam memakai kurikulum nasional yang diintegrasikan
dengan kurikulum Mohammad Sjafe’i.
Mohammad Sjafe’i terkenal dengan falsafahnya “Alam Takambang
Jadi Guru” yang menekan pada keseimbangan otak, hati dan tangan.
Beberapa ungkapan lain yang bermuatan falsafah pendidikan dari tokoh
ini antara lain adalah: “Jangan minta buah mangga kepada pohon
rambutan, tapi jadikanlah setiap pohon menghasilkan buah yang manis”;
“Salah satu alat besar yang bisa mengubah keadaan kita dan menolong
mengejar ketinggalan-ketinggalan adalah Pendidikan yang bersifat aktif
positif dan belajar menurut bakat”; “Barang siapa yang mengeluh, ia
kalah”; “Bangsa Indonesia tak dapat tidak akan mendapat manfaat
yang sangat besar apabila juga berpikir kritis dan logis”; “Pelajaran
pekerjaan tangan tidak hanya mengenai ketrampilan saja, banyak lagi
sangkutannya dengan perkembangan jiwa si pelajar”, “Jadilah engkau,
menjadi engkau”, dan lain-lain. Kiranya kutipan-kutipan itu dapat
menggambarkan pendekatannya dalam melaksanakan upaya
pendidikan. Dapat pula dikatakan bahwa Mohammad Sjafe’i telah lebih
dahulu menerapkan pendekatan pendidikan yang jauh di kemudian
hari dirumuskan orang sebagai “student-centered learning” (Tim
Paradigma Pendidikan BSNP, 2010).
a. Dasar dan Tujuan Pendidikan INS Kayutanam
Pada awal didirikan, Pendidikan INS Kayutanam memiliki asas-asas,
yaitu (1) berfikir dan rasional, (2) keaktifan dan kegiatan, (3)
pendidikan msyarakat, (4) memperhatikan pembawaan anak, dan (5)
menentang intelektualisme (Tirtarahardja & Sulo, 2005). Menurut
Raharja (2008) setelah kemerdekaan, asas-asas tersebut
dikembangkan menjadi dasar-dasar pendidikan yang mencakup
sebagai berikut.
1) Ketuhanan yang mahaesa.
2) Kemanusiaan.
3) Kesusilaan.
4) Kerakyatan.
5) Kebangsaan.
6) Gabungan antara pendidikan ilmu umum dan kejuruan.
7) Percaya diri sendiri juga pada Tuhan.
8) Berakhlak (bersusila) setinggi mungkin.
9) Bertanggung jawab atas keselamatan nusa dan bangsa.
10) Berjiwa aktif positif dan aktif negatif.
11) Mempunyai daya cipta.
12) Cerdas, logis, dan rasional.
13) Berperasaan tajam, halus, dan estetis.
14) Gigih atau ulet yang sehat.
15) Correct atau tepat.
16) Emosional atau terharu.
17) Jasmani sehat dan kuat.
18) Cakap berbahasa Indonesia, Inggris, dan Arab.
19) Sanggup hidup sederhana dan bersusah payah.
20) Sanggup mengerjakan sesuatu pekerjaan dengan alat serba
kurang.
21) Sebanyak mungkin memakai kebudayaan nasional waktu
mendidik.
22) Waktu mengajar, para guru sebanyak mungkin menjadi objek,
dan murid-murid menjadi subjek. Bila hal ini tidak mungkin
barulah para guru menjadi subjek dan murid menjadi objek.
23) Sebanyak mungkin para guru mencontohkan pelajaran-
pelajarannya, tidak hanya pandai menyuruh saja.
24) Diusahakan supaya pelajar mempunyai darah ksatria; berani
karena benar.
25) Mempunyai jiwa konsentrasi.
26) Pemeliharaan (perawatan) sesuatu usaha.
27) Menepati janji. Sebelum pekerjaan dimulai dibiasakan
menimbangnya dulu sebaik-baiknya. Kewajiban harus
dipenuhi.
28) Hemat.
Menurut Raharja (2008) sesuai dengan asas dan dasar pendidikan
tersebut di atas, pendidikan INS Kayutanam memiliki tujuan sebagai
berikut.
1) Mendidik rakyat ke arah kemerdekaan.
2) Memberi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat.
3) Mendidik para pemuda agar berguna untuk masyarakat.
4) Menanamkan kepercayaan terhadap diri sendiri dan berani
bertanggung jawab.
5) Mengusahakan mandiri dalam pembiayaan.
Sehubungan dengan itu, menurut Tim Paradigma Pendidikan
BSNP (2010) ada lima garapan utama yang dikembangkan dalam
INS Kayutanam tersebut, yaitu
1) kemerdekaan berpikir (dalam bentuk inovasi/kreativitas),
2) pengembangan ilmu pengetahuan, talenta/bakat (sebagai
rakhmat Tuhan), dan potensi diri,
3) kemandirian dan entrepreneurship,
4) etos kerja, serta
5) akhlak mulia (sebagai pengejawantahan dari agama, etika, dan
estetika).
b. Program Pendidikan dan Kurikulum Pendidikan INS Kayutanam
Menurut Tirtarahardja & Sulo (2005) terdapat beberapa program
yang dilakukan oleh Mohammad Sjafe’i dan kawan-kawan
dalam mengembangan pendidikan nasional, antara lain:
1) memantapkan dan menyebarluaskan gagasan-gagasan tentang
pendidikan nasional;
2) pengembangan kelembagaan, sarana prasarana pendidikan;
3) pemberantasan buta huruf; dan
4) penerbitan majalah anak-anak.
Menurut Raharja (2008) dalam bidang kelembagaan, antara lain INS
Kayutanam menyelenggarakan berbagai jenjang pendidikan, seperti:
1) ruang rendah (7 tahun, setara sekolah dasar),
2) ruang dewasa (4 tahun sesudah ruang rendah, setara sekolah
menengah).
3) program khusus untuk menjadi guru, yaitu tambahan 1 tahun
setelah ruang dewasa untuk pembekalan kemampuan
mengajar dan praktik mengajar.
INS Kayutanam telah mempraktikkan “community oriented project”
di sekolahnya, sebelum perumusan itu menjadi seluas sekarang dalam
pembangunan pendidikan di Indonesia. Dengan demikian, tidaklah
berlebihan jika Mohammad Sjafe’i dianggap sebagai salah satu pelopor
aliran modern dalam pendidikan di Indonesia. Pengajaran dan pendidikan
di sekolah harus berdasarkan kebutuhan masyarakat, antara sekolah dan
masyarakat harus ada hubungan yang erat, sekolah adalah bagian yang
hidup dari masyarakat. Program pendidikannya mengutamakan
pendidikan ketarampilan-kerajinan dengan mengutamakan menggambar,
pekerjaan tangan, dan sejenisnya.
Mohammad Sjafe’i melengkapi pendidikan dan pengajaran
dengan mengutamakan “pelajaran ekspresi” yaitu menggambar,
menyanyi, dan pekerjaan tangan. Pelajaran olah raga dan kesenian
sangat dipentingkan.
Rencana pelajaran dan metode pendidikan sekolah Mohammad Sjafe’i
mendekati rancangan John Dewey di Amerika Serikat dan
Kerschensteiner di Jerman (Raharja, 2008).
Lebih lanjut menurut Rahardja (2008) di INS Kayutanam, para
siswanya mendapat banyak latihan mempergunakan tangannya dan
membuat barang-barang yang berguna bagi keperluan hidup sehari-
hari. Mohammad Sjafe’i sependapat dengan Dewey dan menganggap
corak pendidikan seperti itu (belajar dan bekerja) akan membentuk
watak, rasa sosial dan saling menolong anak didik. Anak didik
diajarkan suatu pekerjaan yang sesuai dengan pembawaan dan
kemauannya untuk penghidupannya nanti, dengan harapan dapat
membentuk pemuda-pemuda Indonesia yang tegak sendiri, berusaha
sendiri, hidup bebas dan tidak bergantung buat seumur hidupnya pada
pemerintah. Mohammad Sjafei berpendapat bahwa inisiatif seseorang
dan perasaan tanggung jawab adalah sifat watak yang terpenting
yang harus dikembangkan. Usaha lain INS Kayutanam adalah
menerbitkan “Sendi” (majalah anak-anak), buku bacaan dalam
rangka pemberantasan buta huruf atau aksara dan angka “Kunci 13”,
serta mencetak buku-buku pelajaran. Semua upaya tersebut
dilakukan sebagai usaha mandiri, menolak bantuan-bantuan yang
mungkin membatasi kebebasannya.
INS Kayutanam juga mengupayakan gagasan-gagasan tentang
pendidikan nasional, terutama pendidikan keterampilan atau kerajinan,
beberapa jenjang pendidikan, dan sejumlah alumni. INS Kayutanam
juga berupaya dapat melakukan penyegaran dan dinamisasi, seiring
dengan perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Di samping itu, upaya-upaya pengembangan pendidikan INS Kayutanam
ini diarahkan dalam kerangka pengembangan dan kemajuan sistem
pendidikan nasional sebagai bagian dari usaha mewujudkan cita-citanya,
yaitu mencerdaskan seluruh rakyat Indonesia.
Prinsip pertama yang dipegang teguh oleh Mohammad Sjafe’i
dalam pendidikannya adalah “belajar, bekerja, dan berbuat”. Apabila
murid hanya mendengarkan saja ilmu pengetahuan yang diajarkan
guru melalui kata-kata yang kadang-kadang tidak dimengerti, tidak
akan berguna bagi murid karena mereka tidak tahu dan tidak akan
pandai mempergunakan pengetahuan tersebut dalam kehidupannya
atau untuk memperbaiki tingkat kehidupannya kelak di kemudian hari
sesudah tamat belajar.
Menurut Mohammad Sjafe’i pada setiap manusia terdapat tiga hal
pokok yang dapat dikembangkan untuk mendidik manusia itu ke arah
yang dikehendaki, yaitu: melihat (45%), mendengar (25%) dan
bergerak (35%). Apabila melihat saja yang dilatih selama masa
pendidikan, murid akan merupakan orang yang tidak berdaya dalam
kehidupan masyarakat di kemudian hari, karena mereka tidak akan
dapat berbuat. Begitu juga dengan mendengar saja, akan membentuk
manusia peniru yang baik tanpa kesadaran. Dengan sistem yang
demikian, Mohammad Sjafe’i berusaha menanamkan watak yang
teguh dan pendirian yang kuat terhadap murid-muridnya serta
merupakan pekerja yang ulet dan pantang menyerah. Hal demikianlah
yang menyebabkan tamatan INS selalu berhasil dalam setiap bidang
usahanya dalam masyarakat (Halimah, 2012).

3. Gerakan Pendidikan Muhammadiyah


Muhammadiyah lahir di Kampung Kauman Yogyakarta, pada 18
November 1912 bertepatan dengan tanggal 18 Dzuhijjah 1330 Hijriah
dengan diprakarsai oleh KH. Ahmad Dahlan (Hambali, 2006;
Fakhruddin, 2005). KH. Ahmad Dahlan (waktu mudanya bernama
Raden Ngabehi Muhammad Darwis), lahir pada tanggal 1 Agustus
1868 di Kampung Kauman Yogyakarta. Ayahnya seorang alim
bernama K.H. Haji Abu Bakar, pejabat Khatib di Masjid Agung
Kesultanan Yogyakarta. Ibunya adalah putri Haji Ibrahim, pejabat
penghulu kesultanan (Burhani, 2004). Dalam silsilah ia termasuk
keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang
wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang
merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan
Islam di Tanah Jawa.
KH. Ahmad Dahlan tidak mengenyam pendidikan formal sebab
orang-orang Islam melarang anaknya masuk sekolah Gubernemen
Belanda. Ia mendapat didikan dari ayahnya sendiri selanjutnya mengaji
Bahasa Arab, Tafsir, Hadis dan Fikih kepada Ulama-ulama di
Yogyakarta. Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Mekah
selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi
dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti
Muhammad Abduh, al-Afghani, Rashid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Pada
tahun 1903, beliau bertolak kembali ke Makkah dan menetap selama dua
tahun. Pada masa ini, beliau sempat berguru kepada Syekh Ahmad
Khatib Al- Minanagkabawi yang juga guru dari pendiri NU yakni
Hasyim Asy’ari. Dua kali di Mekah belajar pada Syekh Ahmad Khatib
Al-Minanagkabawi,
belajar Ilmu Tauhid, Fikih, Tasawuf, Falah dan yang menarik hatinya
adalah Tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh. Keprihatinan Ahmad
Dahlan melihat pengalaman Islam di Indonesia membuat ia bertekad
untuk bekerja keras mengembalikan Islam sebagaimana landasan aslinya
yaitu Al-Quran dan Al-Hadis (Salam, 1968; Jurdi, 2010).
Muhammadiyah itu bahasa Arab, berasal dari kata-kata
“Muhammad” kemudian mendapat tambahan kata “iyyah”. “iyyah” itu
menurut tata bahasa Arab (Nahwu) bernama ya’ nisby, artinya untuk
menjeniskan. Jadi Muhammadiyah berarti sejenis dari Muhammad.
Tegasnya golongan-golongan yang berkemauan mengikuti Sunnah
Nabi Muhammad SAW (Fakhruddin, 2005). Secara terminologi,
Muhammadiyah merupakan gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi
munkar, berazaskan Islam, bersumber pada Al-Qur’an dan Sunah
(Hadis). Pemberian nama Muhammadiyah dengan maksud
berpengharapan baik (bertafa’ul), mencontoh dan menteladani jejak
perjuangan Nabi Muhammad SAW. Semua ditujukan demi terwujudnya
kejayaan Islam, sebagai idealitas dan kemuliaan hidup umat Islam
sebagai realitas (Pasha & Darban, 2000).
Setting sosial yang mengitari KH. Ahmad Dahlan telah
memberikan inspirasi cemerlang untuk mendirikan Muhammadiyah.
Berdirinya Muhammadiyah di samping merupakan hasil dan telaah
terhadap ajaran Al-Quran juga tidak terlepas dari kondisi sosial
masyarakat pada waktu itu. Pada saat kondisi yang tidak menentu
K.H. Ahmad Dahlan muncul sebagai salah seorang yang peduli
terhadap kondisi yang dihadapi oleh masyarakat pribumi secara umum
atau masyarakat Muslim secara khusus.
Sejak kelahirannya, Muhammadiyah telah menetapkan garis
perjuangan (khittah) untuk bergerak di bidang da‘wah, sosial, dan
pendidikan. Gagasan pendidikan yang dipelopori kyai Ahmad Dahlan,
merupakan pembaruan karena mampu mengintegrasikan aspek “iman”
dan “kemajuan”, sehingga dihasilkan sosok generasi muslim terpelajar
yang mampu hidup di zaman modern tanpa terpecah kepribadiannya
(Kuntowijoyo, 1985). Apresiasi sejarah terhadap Muhammadiyah tidak
bisa dilepaskan oleh faktor besarnya partisipasi organisasi ini dalam
dunia Pendidikan. Partisipasi Muhammadiyah dalam memperkuat
bangsa ini dalam konteks Pendidikan dimulai sejak Muhammadiyah
lahir pada tahun 1912. Hal ini mengingat bahwa salah satu faktor yang
mendorong lahirnya Muhammadiyah adalah adanya realitas obyektif
yang menunjukkan bahwa kondisi Pendidikan bangsa ini di awal abad
20-an cukup memprihatinkan alias tertinggal. Setidaknya salah satu
problem yang dihadapi umat Islam pada fase awal abad ke- 20 adalah
adanya kemunduran Islam yang berpusat di pondok pesantren karena
terisolasi dari perkembangan ilmu dan masyarakat modern. Salah satu
yang melatarbelakangi lahirnya Muhammadiyah adalah realitas sosial-
pendidikan di Indonesia (Rokhim, 2014).
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa pada zaman
kolonial Belanda, pendidikan yang diselenggarakan pemerintah
hanyalah untuk mencetak pegawai pegawai berpendidikan yang
murah, sehingga pendidikan tersebut tidak memperhatikan pendidikan
moral dan agama bagi murid-murid pribumi. Sementara nasib
pesantren yang mendalami ilmu agama mengalami kemunduran pada
akhir abad ke-19, karena pemerintah mengawasi dengan ketat
perkembangan pesantren. Pemerintah menganggap, pesantren
merupakan sumber perlawanan terhadap pemerintah, karena
pemerintah melihat perlawanan yang dilakukan tokoh-tokoh ulama
seperti: Tuanku Imam Bonjol, Teuku Cik di Tiro dan Pangeran
Diponegoro. Ordonansi pengawasan terhadap sekolah-sekolah yang
mengajarkan agama dikeluarkan pada 1905. Guru- guru agama yang
akan mengajar harus mendapatkan izin mengajar dari pemerintahan
setempat. Sementara itu dari pihak pesantren, selalu menolak bentuk-
bentuk intervensi dari pihak Barat (Belanda) dan sikap nonkooperatif
inilah yang kemudian mengakibatkan isolasi dalam kehidupan
pesantren dan membuat pesantren mengalami kemunduran yang
diakibatkan oleh dikeluarkannya peraturan itu.
Kondisi pendidikan semacam ini menggerakkan seseorang dan
beberapa badan swasta untuk mendirikan pendidikan yang juga
mengajarkan agama serta ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Salah satu
badan swasta tersebut adalah Muhammadiyah. KH. Ahmad Dahlan
mempersiapkan sekolah-sekolah yang dapat menjadi penengah di
antara dua model sekolah tersebut, yaitu yang mengajarkan
pengetahuan agama dan umum secara bersama-sama.
Buku Muhammadiyah 100 Tahun Menyinari Negeri (Febriansyah et
al., 2013) menjelaskan bahwa Perkembangan Muhammadiyah ternyata
sangat cepat. Beberapa tahun setelah berdiri saja, telah berdiri cabang-
cabang Muhammadiyah. Di Srandakan, Wonosari, Imogiri, dan lain
sebagainya. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi–
saat itu Pemerintah Hindia Belanda tidak merestui perkembangan
Muhammadiyah, karena awalnya hanya diberikan izin untuk bergerak
di daerah Yogyakarta saja– akhirnya di luar Yogyakarta, cabang
Muhammadiyah berdiri dengan nama lain. Sebut saja Nurul Islam di
Pekalongan, Al-Munir di Makassar, Ahmadiyah di Garut, dan
perkumpulan SATF (Shiddiq, Amanah, Tabligh, Fathonah) di
Surakarta.
Mulailah berturut-turut, Muhammadiyah mendirikan sekolah. Di
Karangkajen, Yogyakarta pada 1913, di Lempuyangan tahun 1915, di
Pasar Gede (Kota Gede) tahun 1916, dan seterusnya. Tahun 1918
didirikanlah sekolah bagi calon guru agama yang dinamakan Qismul
Arqa (sempat berganti nama menjadi Kweekschool Muhammadiyah
dan Kweekschool Isteri). Qismul Arqa ini yang kemudian kelak
menjadi Madrasah Mu’allimin dan Mu’allimaat Muhammadiyah
Yogyakarta (berganti nama lagi pada kongres Muhammadiyah ke 23
di Yogyakarta pada tahun 1935), sekolah kader enam tahun yang
dikelola langsung oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Menyadari bahwa Muhammadiyah harus tumbuh berkembang
terus, tidak hanya di Yogyakarta saja, K.H. Ahmad Dahlan
mengajukan permohonan untuk diizinkan mendirikan cabang-
cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta. Permohonan itu diajukan
pada 7 Mei 1921 dan dikabulkan baru pada 2 September 1921. Setelah
keluarnya izin tersebut, baru mulailah terbentuk Cabang-cabang
Muhammadiyah di luar Yogyakarta. Berkembangnya Cabang-cabang
Muhammadiyah di luar Yogyakarta ini erat kaitannya dengan dakwah
dan perdagangan. Meski pada awalnya beberapa cabang berdiri tidak
dengan nama Muhammadiyah karena memang tidak diperbolehkan
oleh Pemerintah Kolonial Belanda, namun perlahan tapi pasti
Muhammadiyah mulai berani menunjukkan eksistensinya di luar
Yogyakarta.
Tercatat dalam sejarah bahwa Cabang Muhammadiyah yang
pertama berdiri di luar Yogyakarta adalah di wilayah timur Jawa
yakni di Surabaya dan Blora pada 27 November 1921. Menyusul tidak
terlalu lama kemudian adalah Cabang Muhammadiyah di Kepanjen
Malang pada 21 Desember 1921. Pada tahun 1922 Muhammadiyah
mulai menggeliat di daerah Jakarta, Surakarta, Purwokerto,
Pekalongan, dan Pekajangan. Tercatat pada tahun 1923
Muhammadiyah melebarkan sayapnya ke daerah Jawa Barat
khususnya di Garut. Namun demikian, pada tahun 1920 pengaruh
Muhammadiyah sudah mulai dirasakan di daerah Minangkabau
dimana pada tahun itulah Muhammadiyah mulai dikenal oleh
masyarakat di luar Pulau Jawa. Berturut-turut kemudian,
pada tahun 1925 Muhammadiyah berdiri di Sungai Batang dan Agam.
Diawali dari Sumatera inilah mulainya Muhammadiyah berkembang
di daerah Sulawesi dan Kalimantan. Pada tahun 1927 Muhammadiyah
dirasakan juga di daerah Bengkulu dan Banjarmasin. Pada tahun 1930,
Muhammadiyah menancapkan panjinya di ujung timur negeri ini
yakni dengan resmi terbentuknya Muhammadiyah cabang Merauke.
Baru kemudian pada tahun 1938 secara masif Muhammadiyah
mengepakkan sayapnya di seluruh bumi Nusantara.
Muhammadiyah telah melakukan proses-proses pencerahan,
perubahan dan pengembangan masyarakat melalui jalan modernisasi.
Maksudnya, modernisasi dalam masyarakat muslim Indonesia sebagai
sebuah model untuk melihat fenomena-fenomena yang terjadi di
Nusantara. Dengan modernisasi ini, Muhammadiyah telah meningkatkan
harkat dan martabat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang modern.
Sebab model-model tradisional yang pernah menjadi bagian kehidupan
bangsa ini, perlahan-lahan berubah. Modernisasi Muhammadiyah
sebenarnya yang paling terang dapat dilihat dari model-model
pendidikan yang dikembangkan Muhammadiyah sejak awalnya. Model
pendidikan Muhammadiyah, sebenarnya merupakan model pendidikan
ala Barat Kristen yang diadopsi untuk kemudian disesuaikan dengan
kondisi masyarakat Indonesia. Modernisasi Muhammadiyah juga terlihat
dalam bentuk pembangunan rumah sakit dan panti asuhan, yang
merupakan karakteristik pelayanan sosial yang dilakukan oleh Barat
Kristen dalam melakukan pelayanan gerejawi. Di saat para Kiai masih
menganggap sekolah yang memakai kursi dan meja untuk belajar itu
merupakan sekolah orang kafir, Ahmad Dahlan melampaui pemikiran
itu dengan mendirikan sekolah yang bahkan tidak hanya mengajarkan
ilmu agama saja, tetapi juga ilmu-ilmu umum.
Menurut Febriansyah et al (2013) sesungguhnya, pendidikan yang
digagas oleh Muhammadiyah sejak awal organisasi ini didirikan
adalah pendidikan yang diletakkan pada dasar/asas Islam dengan
berpedoman Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Pendidikan
Muhammadiyah ditujukan untuk membentuk manusia yang alim
dalam ilmu agama, berpandangan luas dengan memiliki pengetahuan
umum, serta siap berjuang mengabdi dalam rangka menyantuni nilai-
nilai keutamaan pada masyarakat. Tujuan pendidikan Muhammadiyah
dapat diperjelas antara lain sebagai berikut:
a. Untuk membentuk pribadi berakhlak mulia;
b. Sebagai persiapan bekal menuju kehidupan dunia dan akhirat;
c. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi manfaat;
d. Menumbuhkan semangat ilmiah bagi para pelajar;
e. Menyiapkan pelajar dari segi profesi dan teknik agar dapat
menguasai profesi atau ketrampilan tertentu;
f. Menumbuhkan potensi dan bakat asal pada anak didik;
g. Menumbuhkan kesadaran manusia untuk mengabdi, dan takut
kepada Allah;
h. Menguatkan ukhuwah islamiyah dikalangan kaum muslim; dan
i. Untuk mencapai keridhaan Allah, menjauhkan murka dan
siksaan- Nya serta melaksanakan pengabdian yang tulus ikhlas
kepada-Nya.
Sementara itu, menurut Qaidah PTM, Perguruan Tinggi
Muhammadiyah merupakan lembaga pendidikan yang menyelenggarakan
pendidikan tinggi di lingkungan Persyarikatan Muhammadiyah, bertugas
menyelenggarakan pembinaan ketakwaan dan keimanan kepada Allah
SWT, melaksanakan pendidikan dan pengajaran, penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat menurut tuntunan ajaran Islam.
Pendidikan Muhammadiyah terus berkembang. Tidak hanya di
Jawa saja, bahkan hingga ke seluruh pelosok tanah air. Perlahan tapi
pasti, di masing-masing daerah didirikan Sekolah. Menurut data Laporan
Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam Muktamar 1 Abad
Muhammadiyah, sampai Mei 2010 tercatat jumlah lembaga pendidikan
yang dikelola oleh Muhammadiyah dan Aisyiyah sebagai berikut: Taman
Kanak-Kanak 4.623 buah, PAUD 6.723 buah, SLB 15 buah, SD 1.370
buah, Madrasah Ibtidaiyah 1.079 buah, Madrasah Diniyah 347 buah,
SMP 1.178 buah, Madrasah Tsanawiyah 507 buah, SMA 589 buah,
Madrasah Aliyah 158 buah, SMK 396 buah, Madrasah Muallimin/
Muallimat 7 buah, Pondok Pesantrem 107 buah, dan Sekolah Menengah
Farmasi 3 buah. Dalam data Majelis Pendidikan Tinggi PP
Muhammadiyah, sampai Oktober 2012 tercatat sebanyak 158 Perguruan
Tinggi Muhammadiyah, terdiri dari 40 Universitas, 97 Sekolah Tinggi
(terutama Sekolah Tinggi Ilmu Pendidikan, Ilmu Ekonomi, Agama
Islam, Ilmu Tarbiyah, Ilmu Kesehatan), 17 Akademi (terutama Akademi
Kebidanan dan Keperawatan), dan 4 Politeknik Muhammadiyah
(Magelang, Pekalongan, Tegal dan Yogyakarta).
Muhammadiyah merupakan gerakan modernis Islam yang
mempunyai dampak paling luas di Indonesia bahkan di dunia. Melihat
pada skala amal usaha yang demikian besar, maka dapat dikatakan
Muhammadiyah adalah sebuah gerakan modernis di dunia yang
menuai
keberhasilan yang signifikan. Gerakan Ikhwanul Muslimin yang dipimpin Sayyid Qutb di
Mesir dan Jama’at Islam pimpinan Abdul A’la Al- Maududi di Pakistan, yang keduanya juga
termasuk gerakan Islam modernis, jika diukur segi ini, tertinggal jauh dibanding
Muhammadiyah.
Patut disadari bahwa pada mulanya organisasi ini mendapat tantangan dan hambatan,
terutama dari kaum adat dan ulama tradisional. Muncul tuduhan bahwa Muhammadiyah
menyimpang dari garis ahlus-sunnah wal-jama‘ah. Lambat laun masyarakat mengalami
“pencerahan pemikiran” bahwa modernisasi memang suatu keharusan. Kegiatan
Muhammadiyah yang dahulu dicela kini ditiru dan diikuti diam-diam. Sekolah-sekolah
modern yang dahulu menjadi tuduhan kepada Muhammadiyah meniru Belanda terpaksa
didirikan oleh orang lain atau lembaga-lembaga dan ormas lain juga. Golongan-golongan yang
dahulu menghambat langkah Muhammadiyah akhirnya tidak mendapat jalan lain kecuali
meniru, mengikuti, dan bergabung dalam jejak Muhammadiyah.

Anda mungkin juga menyukai