Anda di halaman 1dari 28

Tugas Kelompok Mata Kuliah Filsafat Hukum

THEORIES OF JUSTICE

Dosen :
Dr. A. Brotosusilo S.H., M.A.

Oleh Kelompok 7:
1. Mohammad Prianto (0806478014)
2. Thomas Oloan Siregar (0806478260)

Filsafat Hukum
Program Magister Hukum - Hukum Ekonomi (Sore)
Universitas Indonesia
Fakultas Hukum
Oktober 2009
THEORIES OF JUSTICE
(Teori-Teori Keadilan)

I. Pendahuluan

Apabila memperhatikan apa yang dikemukakan Aristotle dalam “Nicomachean Ethics


– Natural and Legal Justice”,1 teori keadilan dapat dilihat dari 2 (dua) sudut pandang, yaitu:
(i) dari sudut pandang “dapat atau tidak dapatnya dirubah sesuatu yang dikatakan
adil”; dan
(ii) dari sudut pandang “sama atau tidaknya daya keberlakuan suatu keadilan di setiap
tempat”.
Beberapa orang menilai bahwa keadilan seharusnya merupakan sesuatu yang lazim,
yaitu sesuatu yang mempunyai daya keberlakuan yang sama dimanapun tempatnya dan
bukanlah lahir dari pemikiran masyarakat yang bersangkutan. Bahkan keadilan secara
alamiah tidak dapat dirubah dan dimanapun mempunyai daya keberlakuan yang sama,
meskipun mereka melihat adanya perubahan di dalam keadilan itu sendiri. Namun demikian
Aristotle menganggap bahwa pendapat tersebut tidaklah benar bila orang-orang tersebut
menggunakan cara pandang “tanpa syarat” seperti itu (unqualified way – semua dipukul
rata). Apabila dengan menggunakan cara pandang kita sebagai manusia, beberapa hal bisa
dikatakan adil meskipun seluruhnya secara alamiah dapat dirubah.2 Hal yang diuraikan di atas
merupakan teori keadilan yang dilihat dari sudut pandang “dapat atau tidak dapatnya dirubah
sesuatu yang dikatakan adil”.

Aristotle, “Nicomachean Ethics – Natural and Legal Justice” dalam Materi Kuliah Program Sarjana
1

Hukum Filsafat Hukum Jilid 1 (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008), hal. 130.
2
Ibid.; lihat kalimat asli dimana tercantum: Of political justice part is natural, part legal – natural,
that which everywhere has the same force and does not eXist by people’s thinking this or that; legal, that which
is originally indifferent, but when it has been laid down is not indifferent,….. Now some think that all justice is
of this sort, because that which is by nature is unchangeable and has everywhere the same force (as fire burns
both here and in Persia), while they see change in the things recognized as just. This, however, is not true in
this unqualified way, but is true in a sense; or rather, with the gods it is perhaps not true at all, while with us
there is something that is just even by nature, yet all of it is changeable.

1
Sedangkan apabila dilihat dari sudut pandang “sama atau tidaknya daya keberlakuan
suatu keadilan di setiap tempat”, sesuatu yang dikatakan adil menurut perundang-undangan
tidaklah sama di setiap tempat karena konstitusinya juga berbeda.3
Dengan demikian sementara ini penulis memahami bahwa keadilan itu tidak bersifat
statis atau kaku, dia dapat berubah dan dapat pula berbeda antara satu tempat dengan tempat
yang lain.

II. Prinsip Keadilan dan Teori Posisi Asli (Original Position)

John Rawls mengemukakan bahwa pada awalnya terdapat 2 (dua) prinsip keadilan
sebagai berikut:4
(i) pertama: prinsip yang mensyaratkan adanya kesamaan dalam hak-hak dan
kewajiban-kewajiban dasar/asasi; dan
(ii) kedua: prinsip yang mengakui bahwa perbedaan sosial dan ekonomi masih
merupakan sesuatu yang adil sepanjang perbedaan tersebut memberikan
keuntungan bagi setiap orang.
Dalam memilih prinsip keadilan yang digunakan, Rawls mengemukakan teori “posisi
asli” (original position), yang mana “posisi asli” merupakan suatu situasi awal yang wajar
dimana dapat dipastikan bahwa segala kesepakatan-kesepakatan mendasar yang dicapai
dalam komunitas tersebut adalah adil.5 Penulis dalam hal ini mengartikan bahwa
kesepakatan-kesepakatan mendasar yang dimaksud di atas adalah persetujuan-persetujuan
awal mengenai prinsip-prinsip keadilan yang diberlakukan dalam komunitas yang
bersangkutan. Sehingga dengan memperhatikan pengertian dari “posisi asli” tersebut, maka
dapat diduga bahwa pihak-pihak dalam “posisi asli” adalah sama, yaitu setiap pihak
mempunyai hak yang sama dalam memilih prinsip-prinsip keadilan, memberikan usulan-
usulan mengenai prinsip-prinsip keadilan, mengajukan alasan-alasan mengenai kesepakatan
mereka atas prinsip-prinsip keadilan dan lain-lainnya.6
3
Ibid.; lihat kalimat asli dimana tercantum: Similarly, the things which are just not by nature but by
human enactment are not everywhere the same, since constitutions also are not the same, though there is but
one which is everywhere by nature the best.

John Rawls, “A Theory of Justice (1972)” dalam Materi Kuliah Program Sarjana Hukum Filsafat
4

Hukum Jilid 1 (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008), hal. 466.
5
Ibid., hal. 467; lihat kalimat asli dimana tercantum: …..the original position is the appropriate initial
status quo which insures that the fundamental agreements reached in it are fair.

6
Ibid., hal. 468.

2
Sebagaimana telah diungkapkan di atas, Rawls menyakini adanya 2 (dua) prinsip
keadilan dalam ”posisi asli”, namun lebih lanjut dikembangkan menjadi sebagai berikut:7
1. prinsip pertama: setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan
mendasar yang harmonis dengan kebebasan yang sama yang dimiliki oleh orang
lain.
2. prinsip kedua: perbedaan-perbedaan sosial dan ekonomi akan dikelola sedemikian
rupa sehingga (i) perbedaan-perbedaan tersebut diharapkan dengan alasan yang
wajar dapat memberikan keuntungan bagi setiap orang dan (ii) perbedaan-
perbedaan tersebut dapat dipantau dari posisi-posisi dan jabatan-jabatan yang
terbuka untuk umum.
Prinsip keadilan yang pertama di atas mensyaratkan kebebasan yang sama pada
setiap warga negaranya, seperti: kebebasan politik (hak memberikan suara dan hak atas
jabatan publik), kebebasan berpendapat, kebebasan berpikir, kebebasan atas hak kepemilikan,
dan kebebasan atas penyitaan. Setiap warna negara dalam suatu komunitas yang adil
mempunyai hak-hak asasi yang sama.8 Namun penulis melihat bahwa meskipun dalam
prinsip keadilan yang pertama ini setiap warga negara mempunyai kebebasan dan hak-hak
asasi yang sama, pelaksanaan/perwujudan dari kebebasan dan hak-hak asasi setiap orang
tersebut mensyaratkan harmonisasi dengan pelaksanaan/perwujudan dari kebebasan dan hak-
hak asasi orang lainnya. Bila harmonisasi tersebut tercapai, maka di saat itulah dapat
dikatakan keadilan terwujud.
Sedangkan prinsip keadilan yang kedua di atas berlaku (i) terhadap pendistribusian
pendapatan dan kekayaan serta (ii) terhadap bentuk-bentuk organisasi yang membuat
perbedaan-perbedaan dalam kewenangan dan tanggung jawab atau rangkaian perintah. Ketika
distribusi kekayaan dan pendapatan tidak sama, maka hal ini harus diperuntukkan demi
keuntungan setiap orang dan, pada saat yang bersamaan, segala posisi yang mempunyai
kewenangan dan jabatan-jabatan yang dapat memberikan perintah, harus terbuka untuk
umum.9 Dalam hal ini penulis mencoba mengartikan bahwa setiap orang di dalam komunitas
yang memberlakukan prinsip keadilan yang kedua ini dapat mempunyai akses langsung

7
Ibid.; lihat kalimat asli dimana tercantum: First: each person is to have an equal right to the most
eXtensive basic liberty compatible with a similar liberty for others. Second: social and economic inequalities
are to be arranged so that they are both (a) reasonably eXpected to be to everyone’s advantage, and (b)
attached to positions and offices open to all…

8
Ibid., hal. 469.

9
Ibid.

3
kepada posisi-posisi dan jabatan-jabatan yang mempunyai kewenangan atau dapat
memberikan perintah agar distribusi kekayaan dan pendapatan berbeda satu dengan lainnya,
sehingga dengan akses tersebut setiap orang dapat memastikan apakah perbedaan tersebut
diperuntukan bagi keuntungan setiap orang atau tidak.
Secara konseptual Rawls menegaskan: “All social values – liberty and opportunity,
income and wealth, and the bases of self-respect – are to be distributed equally unless an
unequal distribution of any, or all, of these values is to everyone’s advantage”, dan
selanjutnya dia menegaskan “injustice, then, is simply inequalities that are not to the
benefit of all….”.10

III. Konsep Keadilan – Konsep Secara Politis

John Rawls mengemukakan bahwa oleh karena tidak adanya ajaran/doktrin mengenai
religius, filosofis atau moral yang diakui oleh seluruh warga negara, maka konsep/dasar
mengenai keadilan yang diakui dalam suatu komunitas masyarakat yang demokrasi haruslah
merupakan suatu konsep yang disebut “konsep keadilan secara politis”.11 Rawls
mengasumsikan bahwa pandangan warga negara mengenai konsep keadilan dalam suatu
komunitas terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu:
(a) satu bagian dapat dilihat sebagai konsep/dasar mengenai keadilan secara politis
yang dikenal secara umum; dan
(b) bagian lain yang merupakan ajaran/doktrin lengkap mengenai keadilan.12
Sehubungan dengan asumsi di atas, Rawls menegaskan bahwa masing-masing warga negara
akan menentukan sendiri bagaimana cara mengkaitkan antara konsep/dasar mengenai
keadilan secara politis yang dikenal secara umum dengan cara pandang mereka masing-
masing atas ajaran/doktrin lengkap mengenai keadilan.13

10
Ibid.

11
John Rawls, “Political Liberalism (1993)” dalam Materi Kuliah Program Sarjana Hukum Filsafat
Hukum Jilid 1 (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008), hal. 477; lihat kalimat asli dimana
tercantum: Since there is no reasonable religious, philosophical, or moral doctrine affirmed by all citizens, the
conception of justice affirmed in a well-ordered democratic society must be a conception limited to what I shall
call “the domain of the political” and its values.

12
Ibid.

13
Ibid.; lihat kalimat asli dimana tercantum: The point to stress is that, as I have said, citizens
individually decide for themselves in what way the public political conception all affirm is related to their own
more comprehensive views.

4
Namun penulis memahami bahwa di sisi lain Rawls juga menegaskan bahwa suatu
komunitas dapat saja teratur secara baik hanya dengan konsep/dasar mengenai keadilan
secara politis (tanpa terikat pada ajaran/doktrin lengkap mengenai keadilan), dengan syarat:14
(i) pertama, warga negara-warga negara yang mengakui adanya ajaran/doktrin
lengkap tersebut, mempunyai kesepakatan (overlapping consensus) untuk tetap
mendukung adanya konsep/dasar mengenai keadilan yang mempengaruhi
keputusan politik mereka yang mendasar dalam komunitas tersebut; dan
(ii) kedua, ajaran/doktrin lengkap tersebut tidak dapat menggali asas-asas keadilan
dalam komunitas tersebut.
Dari pernyataan di atas, penulis menyimpulkan bahwa kondisi ini memungkinkan suatu
komunitas hanya mengakui adanya konsep/dasar yang sama atas keadilan yang berlaku
umum, tanpa harus mengakui ajaran/doktrin lengkap mengenai keadilan.
Sehubungan dengan “kesepakatan (overlapping consensus)” yang terkandung dalam
syarat pertama di atas, Rawls menjelaskan bahwa “kesepakatan (overlapping consensus)”
tersebut mempunyai 3 (tiga) aspek, yaitu:15
1. Aspek Pertama: objek dari kesepakatan tersebut adalah konsep keadilan secara
politis, yang mana konsep tersebut merupakan konsep moral. Sehingga penulis
berpendapat bahwa konsep keadilan bukanlah aturan-aturan positif yang
diciptakan.
2. Aspek Kedua: kesepakatan ini diakui pada tataran/tingkatan moral, yang mencakup
konsep mengenai (i) komunitas dan warga negara sebagai subjek, serta (ii)
prinsip-prinsip keadilan dan nilai dari suatu kebajikan, yang mana melalui nilai-
nilai itulah prinsip-prinsip keadilan tersebut diwujudkan dalam karakter manusia
dan dinyatakan dalam kehidupan umum. Oleh karenanya “kesepakatan
(overlapping consensus)” tersebut tidak sama dengan kesepakatan untuk
menerima kewenangan tertentu atau kesepakatan untuk memenuhi aturan-aturan
kelembagaan, yang mempertemukan kepentingan-kepentingan pribadi atau
golongan. Penulis dalam hal ini mencoba memahami aspek kedua yang
dinyatakan oleh Rawls ini dengan menyimpulkan bahwa konsep keadilan adalah
bukan untuk mempertemukan kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan.
Namun apabila merujuk kepada prinsip keadilan yang juga dikemukakan oleh

14
Ibid., hal. 477 dan 478.

15
Ibid., hal. 479.

5
John Rawls dalam sub-bagian sebelumnya di atas, yaitu: setiap orang mempunyai
hak yang sama atas kebebasan mendasar yang harmonis dengan kebebasan yang
sama yang dimiliki oleh orang lain, maka sebaliknya prinsip ini mengisyaratkan
adanya pertemuan atau harmonisasi antara kepentingan-kepentingan yang saling
bertentangan antara satu orang dengan orang lainnya dalam konsep keadilan.
3. Aspek Ketiga: stabilitas, yaitu: segala yang mengakui adanya pandangan-pandangan
yang beraneka ragam yang mendukung konsep keadilan secara politis tidak akan
membatalkan dukungan mereka apabila daya relatifitas (ketidak-pastian) dalam
pandangan mereka bertambah atau bahkan dominan.

IV. Hukum Masyarakat

Menurut John Rawls, pengaruh ide-ide liberalisasi atas konsep keadilan terhadap
hukum yang berlaku dalam masyarakat berjalan dalam 2 (dua) tahapan, yaitu:16
1. Tahapan Pertama: memperluas keberlakuan hukum masyarakat di dalam komunitas
liberal yang teratur secara baik;
2. Tahapan Kedua: menggambarkan bentuk komunitas selain komunitas liberal, yaitu
komunitas hirarkis, dan selanjutnya menguraikan kapan komunitas hirarkis ini dapat
teratur secara baik.
Rawls menegaskan bahwa tujuan dari tahapan-tahapan ini adalah untuk memperluas
keberlakuan hukum masyarakat ke arah komunitas hirarkis yang teratur secara baik dan untuk
menunjukkan bahwa komunitas hirarkis menerima hukum masyarakat yang sama halnya
dengan komunitas liberal.17
Syarat agar komunitas hirarkis dapat teratur secara baik, adalah:18
(a) Komunitas tersebut harus damai dan meraih tujuan-tujuannya yang sah melalui
langkah-langkah diplomasi, perdagangan dan langkah lainnya secara damai;
(b) Sistem hukum dalam komunitas hirarkis harus diarahkan dengan konsep umum
yang baik mengenai keadilan, dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan
dasar masyarakatnya (dimana kepentingan beberapa pihak tidak boleh diutamakan
dibanding kepentingan yang lainnya) dan memberlakukan segala kewajiban dan
16
John Rawls, “The Law of Peoples (1993)” dalam Materi Kuliah Program Sarjana Hukum Filsafat
Hukum Jilid 1 (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008), hal. 485.

17
Ibid.

18
Ibid., hal. 485 - 486.

6
tugas moral kepada seluruh orang dalam wilayah yang bersangkutan, meskipun
pelaksanaan kewajiban dan tugas moral tersebut disesuaikan dengan hirarki orang
yang bersangkutan;
(c) Komunitas hirarkis, termasuk hakim dan aparat, harus menghormati perbedaan
pendapat dan hak-hak asasi manusia.
Terciptanya komunitas hirarkis yang teratur secara baik, akan lebih menjamin penghormatan
terhadap hak-hak asasi manusia. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, hak-hak asasi manusia
memberikan standar minimal kepada seluruh masyarakat yang memiliki komunitas politik
yang adil.19 Dengan kata lain, hak-hak asasi manusia merupakan kondisi penting atas
keabsahan penguasa dalam suatu komunitas masyarakat dan aspek susila dari hukum yang
diciptakan penguasa tersebut.20
Dengan memperhatikan uraian di atas dimana komunitas hirarkis menerima hukum
masyarakat yang sama halnya dengan komunitas liberal, maka Penulis dalam hal ini melihat
bahwa prinsip-prinsip dan konsep-konsep keadilan diterapkan dengan cara yang sama baik
dalam komunitas internasional maupun dalam komunitas domestik dalam rangka
penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia.

V. Peran Negara

R. Nozick mengajak kita untuk membayangkan pengaturan sosial yang terjadi pada (i)
negara yang merupakan perkumpulan untuk melindungi orang-orang pribadi (sering disebut
ultraminimal state) dan (ii) “negara penjaga malam” (“night-watchman state” atau sering
disebut minimal state). Suatu ultraminimal state mempertahankan pemusatan kekuasaan,
kecuali penyerahan kekuasaan diperlukan secara mendesak dalam rangka melindungi negara
itu sendiri. Negara tersebut akan memberikan pelayanan perlindungan hanya terhadap mereka
yang membeli jasa perlindungan tersebut, tetapi perlindungan tersebut tidak diberikan dalam
rangka pembalasan dendam individu atau sekumpulan individu atas sesuatu yang salah atau
dalam rangka pemerasan ganti rugi. Orang-orang yang tidak membeli jasa perlindungan
tersebut tidak akan dilindungi oleh negara.

19
Ibid., hal. 489.

20
Ibid., hal. 490; lihat kalimat asli yang tercantum: Human rights have these three roles: 1. They are a
necessary condition of a regime’s legitimacy and of the decency of its legal order. 2…… 3……..

7
Sedangkan “negara penjaga malam” (minimal state) pada hakekatnya sama dengan
ultraminimal state, hanya saja pelayanan perlindungan dibiayai dari pendapatan pajak. 21 R.
Nozick menegaskan bahwa “negara penjaga malam” (“night-watchman state”) menurut teori
liberal klasik menganut sistem pembagian ulang (redistribusi) apabila ditinjau dari fungsi-
fungsi perlindungan atas seluruh warga negaranya dari kekerasan, pencurian dan kejahatan,
serta ditinjau pada pelaksanaan kontrak sosial dan lain-lain.22 Sistem pembagian ulang
(redistribusi) ini akan memaksa beberapa orang untuk juga membayar perlindungan bagi
orang-orang yang lain.23
Ketika negara melakukan pemusatan kekuasaan dalam suatu wilayah dan menghukum
orang yang melawan pemusatan kekuasaan itu (hal ini merupakan ciri ultraminimal state),
dan ketika negara melindungi seluruh warga negara namun dengan memaksa beberapa orang
untuk membayar perlindungan bagi orang lain (hal ini merupakan ciri minimal state), maka
negara dalam hal ini telah melanggar batas-batas moral mengenai bagaimana memperlakukan
setiap warga negara. Sehingga pada hakekatnya negara tersebut tidak bermoral. Namun
negara bisa saja mengatakan bahwa dalam beberapa situasi, negara dapat secara sah
menghukum orang-orang yang melanggar hak orang lain. Pertanyaannya adalah (i)
bagaimana cara bagi negara untuk mendapatkan hak untuk melarang pelanggaran keadilan
dari individu-individu yang haknya dilanggar, (ii) bagaimana agar negara tidak juga
dikatakan melanggar hak orang lain ketika negara melakukan penghukuman, dan (iii) dengan
hak apa negara dan aparat-aparatnya dapat mengklaim adanya hak utama untuk
melaksanakan pemusatan kekuasaan.24 Menurut penulis teori kontrak sosial dapat dijadikan
rujukan dalam menjawab kesemua pertanyaan tersebut di atas.
Saat memasuki komunitas masyarakat sipil berdasarkan teori kontrak sosial, manusia-
manusia tersebut tetap memegang hak-hak alaminya masing-masing dan tidak diserahkan
kepada negara. Namun manusia-manusia tersebut menyerahkan kepentingan-kepentingannya
untuk menegakkan hak-hak alaminya tersebut kepada negara dan di pihak lain negara terikat

21
R. Nozick, “Anarchy, State and Utopia (1974)” dalam Materi Kuliah Program Sarjana Hukum
Filsafat Hukum Jilid 1 (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008), hal. 491.

22
Ibid.; lihat kalimat asli yang tercantum: The night-watchman state of classical liberal theory, limited
to the functions of protecting all its ceitizens against violence, theft, and fraud, and to the enforcement of
contract, and so on, appears to be redistributive.

23
Ibid.

24
Ibid., hal. 492.

8
untuk mengamankan hak-hak alami manusia-manusia yang menjadi anggotanya. 25 Mengingat
hak-hak alami setiap manusia tidak pernah diserahkan kepada negara dan bahkan negara
wajib mengamankan hak-hak alami setiap manusia yang menjadi anggotanya, tetapi di sisi
lain kepentingan-kepentingan untuk menegakkan hak-hak alami tersebut telah diserahkan
kepada negara agar penegakan hak-hak alami setiap manusia tidak melanggar hak-hak alami
manusia yang lainnya, maka keberadaan hukum untuk mengatur kehidupan warga negara
menjadi penting dengan menghormati prinsip-prinsip kebebasan dan persamaan. Dalam
hubungannya dengan pembuatan hukum ini, peranan negara sebagai pembuat produk hukum
menjadi sangat penting.

VI. Hak-Hak

Menurut Ronald Dworkin, “hak” dipahami sebagai suatu “kunci” atau “kartu truf”
dari segala dasar yang digunakan dalam pembuatan keputusan-keputusan politik yang
mencantumkan suatu tujuan dari suatu komunitas secara keseluruhan.26 Menurut pemahaman
penulis, dalam hal ini Dworkin ingin menjelaskan bahwa segala keputusan-keputusan politik
yang dibuat oleh suatu komunitas masyarakat harus memperhatikan hak-hak setiap anggota
masyarakat tersebut. Namun pelaksanaan hak-hak anggota masyarakat tersebut tidak selalu
bebas, tetap terdapat pembatasan. Pembatasan ini tidak mengurangi nilai dari suatu keputusan
politik yang dibuat oleh komunitas masyarakat tersebut dan pembatasan tersebut tidaklah
dianggap sebagai sutau perlakuan yang tidak adil atau tidak sama. Dworkin beranggapan
bahwa suatu keputusan politik tetap bernilai dan mempunyai dasar apabila keputusan tersebut
menjanjikan akan membuat warga-warga negaranya menjadi lebih bahagia, dibanding dengan
keputusan lainnya.27
Pendapat Dworkin ini ditentang oleh Prof. H.L.A. Hart, yang mana Dworkin
mengasumsikan bahwa Hart tidak setuju dengan pendapat Dworkin karena pendapat Dworkin
mempunyai kelemahan, yaitu: apabila kebebasan seseorang dibatasi, maka hal ini harus
dipahami sebagai suatu penolakan untuk memperlakukan orang tersebut secara sama atau

25
Burns H. Weston, “Human Rights”, dalam Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi
Politik di Indonesia (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Cetakan
Ketiga, 2008), hal. 75.
26
Ronald Dworkin, “A Trump Over Utility (1981)” dalam Materi Kuliah Program Sarjana Hukum
Filsafat Hukum Jilid 1 (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008), hal. 434.

27
Ibid.

9
adil.28 Namun Dworkin menanggapinya bahwa pembatasan suatu kebebasan bukanlah
sebagai sesuatu yang pasti terjadi, tetapi hanya dapat terjadi ketika pembatasan tersebut
mempunyai dasar yang bergantung pada suatu kenyataan bahwa khalayak umum pun
menghukum pendirian orang yang dibatasi tersebut.29

VII. Persamaan terhadap Sumber-Sumber (Equality of Resources)

Ronald Dworkin juga mengenmukakan teori mengenai persamaan terhadap sumber-


sumber (equality of resources). Dworkin mengemukakan bahwa kepemilikan secara privat
bukan hanya merupakan hubungan tunggal dan unik antara seseorang dengan suatu sumber,
tetapi merupakan suatu hubungan terbuka yang aspek-aspeknya harus ditetapkan secara
politis.30 Oleh karenanya, untuk menjawab pertanyaan pembagian sumber-sumber yang
bagaimana yang merupakan pembagian yang sama/ setara, sampai pada suatu tingkat tertentu
perlu juga dipertanyakan berdasarkan kekuasaan-kekuasaan apa seseorang yang diberikan
suatu sumber, mendapatkan sumber-sumber tersebut, dan selanjutnya pertanyaan mengenai
hak yang dimilikinya untuk membatalkan perubahan-perubahan dalam kekuasaan-kekuasaan
yang diancamkan melalui politik.31
Dworkin berpendapat bahwa suatu pembagian sumber-sumber yang sama/ setara
mensyaratkan suatu ekonomi pasar dalam beberapa bentuk, terutama sebagai suatu alat
analisa dan juga dalam hal tertentu, sebagai suatu institusi politik yang nyata. 32 Namun
demikian, pada waktu yang bersamaan ekonomi pasar juga dianggap sebagai musuh dari
persamaan/ kesetaraan, karena sistem pasar bebas yang dibangun dan dijalankan di negara-
negara industri telah mengijinkan dan menyemangati ketidak samaan/ ketidak setaraan dalam
harta benda.33 Oleh karenanya, para filsuf politik dan rakyat biasa telah menggambarkan
persamaan/ kesetaraan sebagai suatu hal yang antagonis dan korban dari nilai-nilai efisiensi
dan kebebasan yang dijalankan oleh pasar sehingga guna mencari penyeimbang antara

28
Ibid., hal.439.

29
Ibid., hal.440.

30
R. Dworkin, “What is Equality? Part 2: Equality of Resources” dalam M.D.A Freeman, “Lloyd’s
Introduction to Jurisprudence” (London: Sweet & MaXwell Ltd, cetakan ketujuh, 2001), hal. 603.
31

Ibid.
32
Ibid.
33
Ibid.

10
persamaan/ kesetaraan dengan nilai-nilai lain tersebut, diterapkan pembatasan-pembatasan
dalam pasar atau dengan melakukan penggantian sistem, baik secara sebagian maupun
keseluruhan, dengan sistem ekonomi lain.34 Sehubungan dengan perbedaan persepsi
mengenai ekonomi pasar tersebut, Dworkin, secara berlawanan, mengusulkan agar pemikiran
mengenai ekonomi pasar, sebagai suatu alat untuk menentukan harga dari berbagai macam
barang dan jasa, diposisikan sebagai pusat dari pengembangan teori persamaan atas sumber-
sumber.35
Selain dari teori mengenai persamaan terhadap sumber-sumber, terdapat juga teori
mengenai persamaan terhadap kesejahteraan. Berdasarkan teori persamaan terhadap
kesejahteraan orang-orang diarahkan untuk menentukan kehidupan yang bagaimana yang
mereka inginkan secara bebas berdasarkan informasi yang relevan guna menentukan
bagaimana pilihan-pilihan akan mengurangi atau menambah kemampuan orang lain untuk
memperoleh apa yang mereka inginkan tersebut. Pada tingkat politik, para pengatur
kemudian akan mengumpulkan seluruh pilihan tersebut untuk melihat pembagian/ distribusi
seperti apa yang akan memberikan setiap dari pilihan-pilihan tersebut kesuksesan yang sama
berdasarkan konsep kesejahteraan.36 Dalam persamaan terhadap sumber-sumber, orang-orang
menentukan hidup seperti apa yang akan dikejar atas dasar informasi mengenai biaya yang
nyata dari pilihan yang dibuat oleh orang lain dan karenanya berdasarkan seluruh persediaan
sumber-sumber yang mungkin digunakan oleh mereka.37
Hal-hal lain yang menurut Dworkin berkaitan dengan persamaan adalah keuntungan/
kemujuran (luck). Dworkin membedakan keuntungan/ kemujuran tersebut atas Option Luck
dan Brute Luck. Option Luck yang berkaitan dengan masalah bagaimana perjudian yang
disengaja dan diperhitungkan dapat dilepaskan, apakah seseorang memperoleh keuntungan
atau kerugian melalui penerimaan resiko yang seharusnya telah dapat antisipasi dan dapat
38
dihindari. Brute Luck yang berkaitan dengan masalah bagaimana resiko-resiko dapat
dihindari yang bukan merupakan perjudian yang disengaja.39 Sehubungan dengan
keuntungan/ kemujuran ini maka timbul konsep asuransi. Asuransi, sejauh tersedia,
34
Ibid.
35
Ibid.
36
Ibid., hal. 606.
37
Ibid.
38
Ibid., hal 608.
39
Ibid.

11
memberikan mata rantai antara Option Luck dengan Brute Luck karena keputusan untuk
membeli atau menolak asuransi merupakan suatu perjudian yang diperhitungkan.

VIII. Mendefinisikan Ketidakadilan sebagai Penguasaan dan Penindasan

Berbicara mengenai keadilan akan secara eksplisit membatasi konsep pendistribusian


barang-barang seperti sumber-sumber alam atau uang. Pemikiran politik pada periode
modern ini telah mempersempit lingkup keadilan dari apa yang telah disusun oleh pemikiran
kuno dan jaman pertengahan. Pemikiran politik modern meninggalkan gagasan bahwa
terdapat suatu ketertiban alam dalam suatu masyarakat yang berhubungan dengan akhir yang
baik bagi manusia. Teori politik modern juga membatas lingkup keadilan terhadap masalah-
masalah distribusi dan pengaturan yang minimal dari tindakan diantara para individual. 40
Agnes Heller menyampaikan konsep keadilan bukan sebagai suatu prinsip
pendistribusian, tetapi lebih kurang sebagai suatu bentuk pendistribusian tertentu. Heller
mengemukakan bahwa keadilan sebagai suatu sifat utama dari kewarganegaraan, bagaimana
orang-orang bermusyawarah mengenai masalah-masalah yang dihadapi bersama dalam
institusi dan tindakan-tindakan mereka, berdasarkan keadaan-keadaan tanpa penguasaan atau
penindasan, dengan timbal bailk dan berdasarkan perbedaan yang ditoleransi bersama. 41
Pemikiran mengenai keadilan dalam hal ini berubah dari suatu fokus terhadap bentuk
pendistribusian menjadi masalah-masalah prosedur dari partisipasi dalam bermusyawarah dan
membuat keputusan. Untuk suatu norma disebut adil, setiap orang yang mengikutinya harus
secara prinsip memiliki suara yang efektif untuk dapat mempertimbangkan dan menyetujui
tanpa paksaan. Untuk suatu keadaan sosial disebut adil, maka hal tersebut harus dapat untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan menjalankan kebebasan karena keadilan
memerlukan seluruh masyarakat untuk dapat mengmukakan keperluan-keperluan mereka.42
Dari perspektif yang berbeda, Seylabenhabib mengemukakan bahwa teori sosial
normatif yang mengevaluasi institusi-institusi atas dasar apakah mereka bebas dari
penguasaan, memenuhi keperluan-keperluan dan memberikan keadaan-keadaan emansipasi
diluar keadilan sebagaimana dipahami berdasarkan tradisi modern. Oleh karena teori sosial

40
I.M. Young, “Defining Injustice as Domination and Oppression” dalam M.D.A Freeman, “Lloyd’s
Introduction to Jurisprudence” (London: Sweet & MaXwell Ltd, cetakan ketujuh, 2001), hal. 614.
41

Ibid., hal. 615.


42

Ibid.

12
normatif tersebut membawa kritik mengenai kebudayaan selain dari kritik-kritik mengenai
hak-hak formal, teori ini telah menggabungkan pertanyaan mengenai keadilan dengan
pertanyaan mengenai kehidupan yang baik.43
Semenjak Plato keadilan telah menimbulkan masyarakat yang teratur dan melanjutkan
untuk membawa gaung-gaung dalam diskusi-diskusi politik kontemporer seruan-seruan
mengenai keadilan tetap memiliki kekuatan untuk membangun gambaran moral dan motif
masyarakat untuk melihat masyarakat mereka secara kritis.44
C.B. Macpherson berargumen bahwa dalam mensyaratkan pandangan individualis
posesif atas manusia alam, para pemuka teori liberal asli menghipotesa nilai-nilai yang
diperoleh dari hubungan-hubungan sosial yang timbul dari para kapitalis. Kapitalisme
kontemporer, yang lebih bergantung kepada kegemaran berkonsumsi secara luas daripada
berhemat, melanjutkan untuk mensyaratkan pengertian manusia sebagai pihak yang
memaksimalkan kegunaan secara utama.45 Orang-orang adalah para pengolah dan konsumen,
dan setiap konsepsi keadilan harus memperhatikan nilai dari kebutuhan-kebutuhan material
yang dipenuhi, hidup di dalam lingkungan yang nyaman dan pengalaman-pengalaman yang
menyenangkan.
Keadilan tidaklah sama dengan realisasi konkrit dari nilai-nilai dalam kehidupan
individu; keadilan juga tidak sama dengan kehidupan yang baik. Keadilan sosial
memperhatikan tingkatan dimana suatu masyarakat terdiri dari dan menyokong kondisi-
kondisi institusional yang perlu untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai yang
terdapat dalam kehidupan yang baik dapat diringkas menjadi dua bagian utama: (1)
membangun dan menjalakan kapasitas-kapasitas seseorang dan mengemukakan pengalaman-
pengalaman seseorang, dan (2) berpartisipasi dalam menentukan tindakan-tindakan seseorang
dan keadaan-keadaan dari tindakan seseorang. Kedua nilai umum tersebut berhubungan
dengan keadaan-keadaan yang mendefinisikan ketidakadilan: penindasan, halangan-halangan
institusional untuk mengembangkan diri, penguasaan, halangan-halangan institusional untuk
menentukan sikap sendiri.46
Penindasan merupakan suatu proses institusional yang sistematis yang menghalangi
beberapa orang dari belajar dan menggunakan keahlian-keahlian yang memuaskan dan luas

43
Ibid., hal. 616.
44
Ibid.
45
Ibid., hal. 617.
46
Ibid., hal. 618.

13
dalam bentukkan yang dikenal secara sosial atau proses sosial yang melembaga yang
merintangi kemampuan orang-orang untuk bermain dan berkomunikasi dengan lainnya atau
untuk mengemukakan perasaan-perasaan dan perspektif mereka dalam kehidupan sosial
dalam konteks dimana orang lain dapat mendengar.47
Penguasaan merupakan keadaan-keadaan yang melembaga yang merintangi atau
menghalangi orang dari berpartisipasi dalam menentukan tindakan-tindakan mereka atau
kondisi-kondisi dari tindakan mereka. Orang-orang hidup dalam struktur penguasaan apabila
orang-orang atau grup lain dapat menentukan tanpa timbal balik keadaan-keadaan dari
tindakan-tindakan mereka baik secara langsung atau melalui konsekuensi-konsekuensi
struktural dari tindakan-tindakan mereka.48
Young berpendapat konsep-konsep mengenai penindasan dan penguasaan saling
tumpang tindih, namun demikian terdapat alasan untuk membedakan keduanya. Penindasan
biasanya termasuk atau membawa penguasaan, yaitu memaksa orang-orang yang ditindas
untuk mengikuti aturan-aturan yang dibuat oleh orang lain. Tetapi setiap bentuk penindasan
juga melibatkan rintangan-rintangan yang tidak diciptakan secara langsung oleh hubungan-
hubungan penguasaan.49

IX. Bentuk Penindasan

Eksploitasi
Fungsi utama dari teori Marx mengenai eksploitasi adalah untuk menjelaskan
bagaimana struktur kelas dapat hidup dalam ketiadaan dan sanksi-sanksi normatif perbedaan
kelas. Dalam masyarakat yang belum kapitalis penguasaan jelas dan dicapai melalui cara-cara
politik secara langsung. Masyarakat kapitalis, di sisi lain mengeluarkan perbedaan-perbedaan
kelas yang dilakukan secara yuridis tradisional dan mempromosikan suatu kepercayaan
dalam kebebasan hukum dari orang-orang.50
John Roemer mengembangkan suatu teori eksploitasi yang mengklaim melanjutkan
tujuan-tujuan teoritis dan praktis dari teori Marx tetapi tanpa mengasumsikan perbedaan
antara nilai-nilai dan penghargaan-penghargaan dan tanpa membatasi terhadap suatu konsep

47
Ibid.
48
Ibid.
49
Ibid.
50
Ibid.

14
abstrak, tenaga kerja yang sejenis (homogeneous labor).51 C. B. Macpherson merekonstruksi
teori eksploitasi dalam bentuk normatif yang lebih eksplisit. Ketidakadilan dari masyarakat
kapitalis terdapat dalam fakta bahwa beberapa orang melakukan kapasitasnya berdasarkan
kontrol sesuai dengan tujuan-tujuan dan untuk keuntungan orang lain.
Konsep Marxis mengenai kelas meninggalkan fenomena yang penting mengenai
penindasan seksual dan rasial yang tidak dapat dijelaskan. Sebagai ringkasan, perempuan
dieksploitasi menurut konsep Marxis dalam tingkatan bahwa mereka adalah pekerja-pekerja
yang dibayar. Beberapa berargumen bahwa tenaga kerja lokal perempuan juga
merepresentasi bentuk ekploitasi kelas kapitalis sepanjang tenaga kerja di cover oleh upah
yang diterima suatu keluarga. Sebagai suatu grup, bagaimanapun perempuan berada dalam
bentuk spesifik dari eksploitasi gender dimana tenaga-tenaga mereka dikeluarkan, sering
tidak diperhatikan dan diakui, biasanya untuk kepentingan pria dengan melepaskan mereka
untuk pekerjaan yang lebih penting dan kreatif, meningkatkan status mereka atau lingkungan
di sekitar mereka, atau memberikan mereka dengan pelayanan seksual atau emosional.52
Ketidakadilan dari eksploitasi lebih sering dimengerti sebagai model pendistribusian.
Sebagai contoh walaupun tidak menawarkan definisi yang jelas atas konsep eksploitasi Bruce
Ackerman mengartikan pendistribusian atas kekayaan, pendapatan dan sumber-sumber lain
yang tidak setara sebagai kelompok berdasarkan dan secara struktural berkepanjangan.
Definis John Roemer atas eksploitasi lebih sempit dan kaku: “suatu agen dieksploitasi ketika
jumlah tenaga kerja diwujudkan dalam suatu ikatan barang yang dapat diterima, dalam suatu
distribusi yang dimungkinkan dari produk bersih masyarakat, dikurangi dengan tenaga yang
dikeluarkan”. Jeffrey Reiman berpendapat pengertian pendistribusian dari eksploitasi
mengurangi ketidakadilan atas kelas yang di proses untuk suatu kegunaan dari
ketidaksetaraan aset-aset produktif yang dimiliki kelas-kelas.53
Ketidakadilan dari suatu eksploitasi terdapat dalam proses-proses sosial yang
membawa pengalihan tenaga-tenaga dari satu kelompok ke kelompok lain untuk menciptakan
pendistribusian yang tidak setara, dan dalam cara dimana institusi-institusi sosial
mendapatkan sedikit untuk akumulasi sementara mereka memaksa lebih banyak lagi.
Ketidakadilan dari eksploitasi tidak dapat dihilangkan dengan pendistribusian ulang barang-
barang, selama praktek-praktek yang melembaga dan hubungan-hubungan struktural tetap

51
Ibid., hal. 619.
52
Ibid., hal. 621.
53
Ibid., hal. 622.

15
tidak dirubah, proses dari pengalihan akan menghasilkan kembali pendistribusian yang tidak
setara dari keuntungan-keuntungan.54

Marjinalisasi
Para kaum marjinal adalah orang-orang yang dalam sistem ketenagakerjaan tidak
dapat atau tidak akan berguna. Marjinalisasi mungkin merupakan bentuk yang paling
berbahaya dari suatu penindasan. Semua orang dikecualikan dari partisipasi yang berguna
dalam kehidupan sosial sehingga secara potensial menjadi subyek atas perampasan materi
yang parah dan bahkan pembasmian. Perampasan materi marjinalisasi sering menyebabkan
ketidakadilan khususnya dalam masyarakat dimana yang lain berkecukupan. Masyarakat-
masyarakat kapitalis maju kontemporer secara prinsip telah mengakui ketidakadilan terhadap
perampasan materi yang disebabkan marjinalisasi, dan telah melakukan beberapa tindakan
untuk mengatasinya dengan memberikan pembayaran dan jasa kesejahteraan.55
Marjinalisasi tidak berhenti menjadi penindasan ketika seseorang memiliki tempat
tinggal dan makanan. Banyak orang tua, sebagai contoh, memiliki kecukupan untuk hidup
secara nyaman tetapi tetap tertindas dalam status marjinal mereka. Bahkan apabila para kaum
marjinal diberikan suatu kehidupan materi yang nyaman yang dalam institusi-institusi yang
menghormati kebebasan dan harga diri mereka, ketidakadilan dari marjinalisasi akan tetap
dalam bentuk ketidakbergunaan, kejemuan dan ketiadaan penghormatan diri. Jadi ketika
marjinalisasi secara pasti membawa masalah-masalah serius atas pendistribusian keadilan,
marjinalisasi juga melibatkan perampasan keadaan-keadaan budaya, praktek dan
kelembagaan untuk pelaksanaan kapasitas dalam konteks pengakuan dan interaksi. 56

Ketidakberdayaan (powerlessness)
Orang-orang yang tidak berdaya adalah mereka yang tidak memiliki kewenangan atau
kekuasaan, mereka yang terhadapnya kekuasaan dilaksanakan tanpa mereka menjalankannya;
orang-orang yang tidak berdaya disituasikan sehingga mereka harus menjalankan perintah
dan jarang memperoleh hak untuk diberikan kepada mereka. Orang-orang yang tidak berdaya

54
Ibid.
55
Ibid.
56
Ibid., hal. 623.

16
memiliki sedikit atau ketiadaan otonomi untuk bekerja menjalankan sedikit kreativitas atau
peniloaian dalam pekerjaan mereka, tidak memiliki keahlian teknis atau otoritas
mengekspresikan diri mereka sendiri secara janggal, terutama dalam publik atau birokrasi.
Ketidakberdayaan dijadikan bentuk situasi penindasan yang digambarkan oleh Sennett dan
Cobb dalam studi mereka yang terkenal mengenai pria kelas pekerja.57
Status ketidakberdayaan mungkin sangat baik digambarkan secara negatif: orang-
orang yang tidak berdaya tidak memiliki kewenangan, status dan rasa percaya diri yang para
profesional cenderung memiliki. Satus istimewa dari para profesional memiliki tiga aspek,
yang ketiadaan apek tersebut menyebabkan penindasan bagi para kaum non profesional.
Pertama, memperoleh dan mempraktekkan suatu profesi memiliki karakter yang luas dan
progresif. Kedua, sementara banyak profesional memiliki pengawas dan tidak dapat secara
langsung mempengaruhi banyak keputusan atau tindakan-tindakan dari banyak orang, namun
demikian memiliki otonomi bekerja hari per hari yang memadai. Ketiga, keistimewaan dari
profesional menjangkau diluar tempat kerja sampai kepada seluruh cara kehidupan.58
Young telah mendiskusikan beberapa ketidakadilan berkaitan dengan
ketidakberdayaan: rintangan dalam kemajuan kapasitas seseorang, ketiadaan kekeuasaan
untuk pengambilan keputusan dalam kehidupan kerja seseorang, dan kemungkinan perlakuan
yang tidak hormat karena status pekerjaan seseorang. Ketidakadilan tersebut memiliki
konsekuensi-konsekuensi pendistribusian tetapi merupakan hal-hal yang lebih fundamental
dari pembagian tenaga kerja.59

Imperialisme Kebudayaan
Imperialisme kebudayaan melibatkan secara universal pengalaman dan kebudayaan
kelompok dominan dan kemapanan mereka sebagai norma. Beberapa kelompok memiliki
akses eksklusif atau utama yang disebut Nancy Fraser sebagai bentuk-bentuk interpretasi dan
komunikasi dalam suatu masyarakat. Sebagai konsekuensi, produk-produk kebudayaan
dominan suatu masyarakat yakni produk-produk kebudayaan yang secara luas disebarkan,
menyatakan pengalaman, nilai-nilai, tujuan-tujuan dan pencapaian-pencapaian kelompok-
kelompok tersebut. Seringkali tanpa memperhatikan mereka melakukan hal tersebut,

57
Ibid., hal. 624
58

Ibid., hal. 625.


59

Ibid.

17
kelompok-kelompok dominan memproyeksikan pengalaman-pengalaman mereka sendiri
sebagai perwakilan dari kemanusiaan. 60
Dominasi kebudayaan membawa penindasan yang berlawanan asas, dimana mereka
ditandai dengan stereotip-stereotip dan pada saat yang bersamaan tidak terlihat. Imperialisme
budaya melibatkan suatu paradoks atas suatu pengalaman yang tidak terlihat pada saat yang
bersamaan dengan sesuatu yang ditandai berbeda. Ketidakterlihatan datang ketika kelompok-
kelompok dominan gagal untuk mengenali perspektif yang diwujudkan dalam ekspresi-
ekspresi kebudayaan mereka sebagai suatu perspektif. Ekspresi-ekspresi kebudayaan
dominan tersebut sering secara sederhana memiliki sedikit tempat untuk pengalaman dari
kelompok lain paling banyak hanya mengemukakan atau merujuk dalam bentuk-bentuk
stereotip atau umum. Hal inilah yang merupakan ketidakadilan dari imperialisme budaya:
bahwa pengalaman dan interpretasi dari kehidupan sosial kelompok-kelompok yang tertindas
menemukan sedikit ekspresi yang menyentuh budaya yang dominan, sementara budaya yang
sama yang dikenakan terhadap kelompok yang tertindas.61

Kekerasan
Banyak kelompok menderita penindasan atas suatu kekerasan yang sistematis.
Anggota-anggota dari beberapa kelompok hidup dengan pengetahuan bahwa mereka harus
takut terhadap serangan-serangan acak, tidak terprovokasi terhadap orang-orang mereka dan
kekayaannya, yang tidak memiliki motif selain untuk merusak mempermalukan atau
menghancurkan orang. Kekerasan merupakan praktek sosial. Kekerasan merupakan suatu
pemberian sosial yang setiap orang mengetahui terjadi dan akan terjadi kembali. 62
Kekerasan merupakan bentuk ketidakadilan dimana pengertian pendistribusian
keadilan terlihat sakit. Hal inilah yang mungkin menyebabkan mengapa diskusi-diskusi
kontemporer mengenai keadilan jarang membicarakannya. Young berargumentasi bahwa
kekerasan kelompok adalah melembaga dan sistematis. Sampai pada tingkat dimana praktek-
praktek institusi dan sosial menyokong, mentolerir atau memungkinkan melakukan kekerasan
terhadap anggota-anggota dari kelompok-kelompok tertentu, praktek-praktek dan institusi-
institusi tersebut tidaklah adil dan harus direformasi. Reformasi tersebut mungkin
memerlukan pendistribusian uang atas sumber-sumber atau posisi-posisi tetapi dalam bagian

60
Ibid., hal. 626.
61

Ibid., hal. 627.


62

Ibid., hal. 628.

18
besar dapat terjadi hanya melalui perubahan dalam gambaran-gambaran, stereotip budaya dan
reproduksi atas hubungan-hubungan terhadap kekuasaan dan keengganan dalam sikap-sikap
kehidupan sehari-hari.63

X. Keadilan sebagai sesuatu yang adil: Untuk Siapa?

S.M. Okin memulai dari teori keadilan sebagai sesuatu yang adil yang dikemukakan
Rawls, guna menguji bukan saja apa yang secara eksplisit dikatakan dan tidak dikatakan,
tetapi juga apa yang tersirat, atas subyek-subyek berkaitan dengan gender, perempuan dan
keluarga.64 Terdapat indikasi atas sebagian besar theory of justice, bahwa masyarakat liberal
modern yang terhadapnya prinsip-prinsip keadilan diaplikasikan memiliki struktur gender
yang dalam dan meresap. Okin berargumen aplikasi yang konsisten dan keseluruhan atas
prinsip-prinsip keadilan liberal yang dikemukakan oleh Rawls dapat menuntun kita untuk
menantang secara fundamental sistem gender yang terdapat dalam masyarakat kita.
Rawls sama seperti kebanyakan para ahli teori politik sampai dengan baru-baru ini
65
diduga menggunakan dalam Theory of Justice referensi istilah laki-laki secara umum.
Penggunaan istilah linguistik tersebut mungkin tidak begitu signifikan apabila tidak untuk
fakta bahwa Rawls secara sadar mengikuti tradisi yang panjang dari filsafat moral dan politis
yang telah digunakan dalam argumennya baik istilah laki-laki secara umum atau referensi,
hanya untuk mengeluarkan perempuan dari lingkup kesimpulannya. Pembaca feminis
menemukan kesulitan untuk tidak tetap bertanya apakah Theory of Justice ini berlaku juga
bagi wanita. Kebingungan ini diperburuk dengan pernyataan bahwa orang-orang yang
memiliki moral bebas dan setara pada posisi awal, yang memformulasikan prinsip-prinsip
keadilan diajarkan tidak mengenai individu perorangan tetapi selaku kepala keluarga atau
perwakilan keluarga. Rawls mengatakan tidaklah perlu untuk memikirkan pihak-pihak
sebagai kepala keluarga tetapi mereka secara umum akan melakukannya. Alasan mereka
melakukan hal ini adalah untuk meyakinkan bahwa setiap orang dalam posisi aslinya perduli
mengenai menjadikan orang-orang lain lebih baik pada generasi berikutnya.66

63
Ibid., hal. 629.
64

S.M. Okin, “Justice as Fairness: For Whom?” dalam M.D.A Freeman, “Lloyd’s Introduction to
Jurisprudence” (London: Sweet & MaXwell Ltd, cetakan ketujuh, 2001), hal. 629.
65
Istilah yang biasa digunakan adalah men, mandkind, he dan his yang diselingi dengan istilah-istilah
gender secara netral seperti individual dan moral person. Lihat Ibid., hal. 630.
66
Ibid., hal. 630.

19
Rawls membuat asumsi kepala keluarga hanya untuk mengatasi permasalahan
keadilan diantara generasi-generasi dan tidak ditujukan sebagai asumsi seks. Oleh karenanya
Rawls terjebak dalam dikotomi publik dan mode konvensional dalam berpikir bahwa
kehidupan dalam keluarga dan hubungan-hubungan antara jenis kelamin tidak diperhitungkan
secara benar sebagai bagian dari masalah teori keadilan sosial. Dalam Theory of Justice yang
dikemukakannya Rawls tidak memberikan perhatian sama sekali terhadap keadilan internal di
dalam keluarga. Pada kenyataannya terlepas dari referensi-referensi yang diberikan keluarga
muncul dalam Theory of Justice hanya dalam tiga konteks: sebagai mata rantai antara para
generasi yang diperlukan untuk menyimpan prinsip; sebagai halangan terhadap persamaan
yang adil atas kesempatan; dan sebagai sekolah pertama untuk pembangunan moral.67
Asumsi mengenai kepala keluarga, yang jauh dari netralitas telah memberikan efek
untuk membuang bagian yang besar dalam kehidupan manusia dan secara khusus dari
kebanyakan hidup perempuan, dari lingkup teori tersebut. Belakangan dalam diskusinya
mengenai kewajiban warga negara asumsi Rawls bahwa keadilan disetujui oleh kepala
keluarga dalam posisi awal tampaknya menghalangi dirinya untuk mempertimbangkan
masalah krusial penting lainnya: pengecualian perempuan. Pengecualian perempuan secara
penuh dari keterlibatan utama dengan dasar kebebasan dasar dari persamaan kesetaraan
warga negara bahkan tidak diungkapkan.68
Bagi para pembaca feminis bagaimanapun masalah dari teori yang dikemukakan oleh
Rawls berada dalam kebingungan penggunaan rujukan dia sebagai laki-laki (he). Rawls gagal
secara keseluruhan untuk mengatasi keadilan dari sistem gender yang berakar pada peran
jenis kelamin dalam keluarga dan cabang-cabangnya dalam setiap sudut kehidupan.
Apabila dimungkinkan, sebagaimana dipertimbangkan oleh Rawls untuk
menghipotesa pemikiran moral mengenai representasi manusia, dengan mengabaikan jenis
kelamin sebagai mana yang lainnya disembunyikan dalam pengabaian maka jelas bahwa kita
harus secara konsisten mengambil posisi yang relevan atas kedua jenis kelamin dalam
memformulasi dan mengaplikasi prinsip-prinsip keadilan. Secara khusus, mereka yang
berada dalam posisi awal harus mempertimbangkan secara khusus perspektif perempuan
karena pengetahuan mereka mengenai fakta-fakta umum atas masyarakat manusia harus
termasuk pengetahuan bahwa perempuan telah dan tetap merupakan jenis kelamin yang

67

Ibid., hal. 632.


68

Ibid., ha.l. 633.

20
kurang menguntungkan dalam banyak penghormatan.69 Dengan demikian prinsip-prinsip
keadilan yang dikemukakan oleh Rawls inkonsisten dengan masyarat berstruktur gender dan
peran-peran keluarga tradisional. Oleh karena asumsi-asumsi yang dikemukakan Rawls
mengenai gender, dia tidak mengaplikasikan prinsip-prinsip keadilan dalam bidang
pengembangan manusia, suatu bidang yang esensi untuk pencapaian dan mempertahankan
keadilan.70

XI. Tiga Prinsip Pendistribusian

Tiga kriteria muncul untuk memenuhi persyaratan-persyaratan dari open ended


principle dan telah sering dipertahankan sebagai permulaan dan akhir dari keadilan. 71

Pertukaran Bebas
Pertukaran bebas secara jelas merupakan permulaan dan akhir: pertukaran bebas
menjamin tidak adanya hasil pendistribusian tertentu. Secara teori pertukaran bebas
membentuk suatu pasar yang didalamnya seluruh barang dapat ditukarkan dengan barang
lainnya melalui media yang netral berupa uang. Tidak terdapat barang-barang yang dominan
dan tidak terdapat monopoli. Disini pembagian-pembagian yang diperoleh akan secara
langsung mencerminkan nilai sosial dari barang-barang yang dibagi. Setiap pertukaran
membuka nilai-nilai sosial. Secara definisi maka tidak ada X yang pernah akan jatuh kepada
tangan-tangan seseorang yang memiliki y karena dia memiliki y dan tanpa memperhatikan
apa X secara nyata berarti bagi anggota masyarakat lainnya. Pasar secara radikal bersifat
pluralistis dalam operasionalnya dan hasilnya, yang sangat sensitif terhadap penilaian-
penilaian yang dibuat oleh individu-individu terhadap barang-barang.72
Tetapi dalam kehidupan sehari-hari di pasar, pengalaman nyata atas pertukaran bebas
sangatlah berbeda dengan apa yang disampaikan teori. Uang, yang seharusnya merupakan
media yang netral, dalam prakteknya merupakan barang yang dominan dan dimonopoli oleh
orang-orang yang memiliki talenta untuk menawar dan berdagang. Maka orang-orang lain
meminta distribusi ulang atas uang dan pembentukkan suatu rezim kesetaraan yang
69
Ibid., hal. 635.
70

Ibid., hal. 639.


71

M. Walzer, “Three Distributive Principles” dalam M.D.A Freeman, “Lloyd’s Introduction to


Jurisprudence” (London: Sweet & MaXwell Ltd, cetakan ketujuh, 2001), hal. 629.
72
Ibid., hal. 640.

21
sederhana. Dalam pertukaran bebas melepaskan pendistribusian kepada tangan-tangan
individu dan penilaian-penilaian sosial tidak menjadi subyek atau tidak selalu menjadi subyek
terhadap keputusan-keputusan individu pria dan wanita.73

Kepantasan (Desert)
Seperti pertukaran bebas kepantasan (desert) bersifat permulaan dan akhir serta
pluralistik. Seseorang mungkin menggambarkan suatu institusi netral yang menerapkan
penghargaan dan hukuman, yang sangat sensitif terhadap seluruh bentuk kepantasan (desert)
secara individual. Maka proses pendistribusian akan terpusat namun hasilnya tetap tidak
dapat diprediksi dan beragam. Tidak terdapat barang yang dominan. Tidak ada X yang akan
pernah didistribusikan tanpa memperhatikan pada penilaian-penilaian sosialnya; tanpa
perhatian apakah X tersebut, adalah secara konsepsual tidak mungkin untuk menyatakan
bahwa X pantas diterima. 74

Kebutuhan
Kriteria kebutuhan secara umum diambil dari teori pendistribusian yang dikemukakan
oleh Marx: kita akan mendistribusikan kekayaan masyarakat guna memenuhi kebutuhan-
kebutuhan dari anggota-anggotanya. Pada kenyataannya setengah teori maxim yang pertama
juga merupakan usulan pendistribusian dan tidaklah sesuai dengan aturan pada bagian kedua.
“Dari tiap-tiap berdasarkan kemampuannya” mengusulkan agar pekerjaan didistribusikan atas
dasar kualifikasi individu. Tetapi para individu-individu tidaklah secara nyata memerlukan
pekerjaan-pekerjaan yang mereka memiliki kualifikasi. Mungkin pekerjaan-pekerjaan
tersebut jarang dan terdapat jumlah kandidat yang memenuhi syarat dalam jumlah yang
besar: kandidat yang mana yang paling memerlukan? Apabila materi kebutuhan mereka telah
dipenuhi mungkin mereka tidak memerlukan pekerjaan sama sekali. Atau apabila dalam hal
non materi mereka seluruhnya butuh untuk bekerja maka kebutuhan tersebut tidak
membedakan antara mereka setidaknya tidak dengan mata telanjang.75
Keadilan bersifat relatif terhadap penilaian-penilaian sosial. Kerelatifan dari keadilan
mengikuti pengertian non relatif klasik, memberikan setiap orang haknya, mendistribusikan
barang-barang untuk alasan-alasan internal. Dalam suatu masyarakat dimana penilaian-
penilaian sosial terintegrasi dan bersifat hirarkis keadilan akan datang dalam bentuk bantuan
73
Ibid.
74

Ibid., hal. 641


75
Ibid., hal. 642.

22
dari ketidaksetaraan.76 Dalam hal ini akan berguna untuk kembali kepada pertanyaan-
pertanyaan yang dikemukakan oleh Walzer: atas dasar karakteristik apa kita dan yang lain
sama? Satu karakteristik diatas segalanya merupakan sentral dari argumen Walzer. Kita
semua adalah makhluk-makhluk yang menciptakan budaya; kita membuat dan menempati
dunia yang penuh arti. Oleh karena tidak terdapat cara untuk membuat peringkat dan
memerintahkan dunia-dunia ini berkaitan dengan pengertian-pengertian dari barang-barang
sosial, kita adil secara nyata terhadap laki-laki dan perempuan dengan menghormati ciptaan-
ciptaan mereka. Dan mereka mengklaim keadilan dan menghindari tirani dengan
memaksakan pengertian barang-barang sosial diantara mereka. Keadilan berakar dalam
pengertian-pengertian yang jelas terhadap tempat-tempat penghormatan, pekerjaan dan
lainnya yang merupakan cara berbagi dalam hidup. Untuk mengatasi penilaian-penilaian
tersebut adalah dengan bertindak secara tidak adil.77
Teori keadilan memperhatikan perbedaan-perbedaan, sensitif terhadap pembatasan-
pembatasan. Namun demikian masyarakat akan lebih adil apabila mereka lebih berbeda.
Keadilan secara sederhana memiliki lingkup yang lebih dalam masyarakat yang demikian
karena terdapat lebih banyak barang-barang yang berbeda, lebih banyak prinsip-prinsip
pendistribusian yang berbeda, lebih banyak agen, lebih banyak prosedur. Dan lebih banyak
lingkup keadilan maka yang lebih pasti bahwa persamaan yang kompleks akan dalam bentuk
keadilan yang diambil.78
Keadilan adalah lawan dari tirani, berdasarkan pengalaman-pengalaman yang
mengerikan pada abad dua puluh. Kesetaraaan yang kompleks adalah lawan dari
totalitarianism: perbedaan yang maksimum melawan pengkoordinasian yg maksimum.
Persamaan/kesetaraan tidak dapat menjadi tujuan politik kecuali hal tersebut dapat
digambarkan sebagai bentuk untuk melindungi terhadap tirani politik modern, terhadap
penguasaan dari partai/negara. Tetapi terdapat argumentasi umum bahwa tanpa harta benda
atau kuasa, kuasa itu sendiri menjadi sangat berbahaya. Pejabat-pejabat negara akan menjuadi
tiran, sebagaimana dikatakan apabila kekuasaan mereka tidak diimbangi dengan kekuasaan

76

Dalam hal ini Walzer memberikan contoh mengenai pendistribusian padi diantara orang-orang indian:
setiap penduduk kampung berpartisipasi dalam pembagian timbunan padi. Tidak terdapat penawaran dan
pembayaran atas pemberian jasa tertentu yang dilakukan. Tidak terdapat perhitungan, setiap pemberi kontribusi
terhadap kehidupan kampung memiliki klaim atas produknya dan seluruh produk secara mudah dan sukses
dibagi diantara para penduduk kampung. Lihat Ibid., hal.444.
77

Ibid., hal. 644.


78

Ibid., hal. 645.

23
uang, hal tersebut juga diikuti bahwa kaum kapitalis akan menjadi tiran apabila kekayaan
tidak diimbangi dengan pemerintahan yang kuat.79

XI. Dasar Etis dan Politis dari Pemaksimalan Kemakmuran (Wealth Maximization)

Superioritas Pareto diajarkan oleh Pareto untuk memecahkan masalah tradisional dari
praktek utilitarianism dimana pengukuran kebahagiaan terhadap orang-orang, melalui
pengukuran kebahagiaan terhadap orang-orang untuk menentukan kebijakan terhadap
80
kegunaan keseluruhan. Oleh karena tidaklah mungkin untuk mengukur kegunaan secara
langsung, secara normal satu-satunya acara untuk mendemonstrasikan Pareto superioritas dari
suatu perubahan dalam alokasi sumber-sumber adalah dengan menunjukkan bahwa setiap
orang terpengaruh dengan perubahan yang diizinkan.81
Apabila seseorang mempertimbangkan persetujuan sebagai suatu basis yang atraktif
secara etis guna mengizinkan perubahan-perubahan dalam pengalokasian sumber-sumber atas
dasar yang tidak terkait dengan fakta bahwa transaksi konsensual sepertinya akan menambah
kebahagiaan dari setidaknya pihak-pihak langsung, seseorang akan diarahkan dengan
pemikiran Nozick dan Ebstein, mengenai pembelaan etis dari transaksi pasar yang tidak
terkait dengan promosi mereka terhadap efisiensi baik berdasarkan Pareto atau pemaksimalan
kemakmuran (wealth-maximization). Secara pasti, dalam sebuah pasar yang bebas dari
pengaruh pihak ketiga, pelarangan terhadap transaksi-transaksi akan mengurangi
kemakmuran dari masyarakat dan pada saat yang bersamaan akan mengurangi kebebasan
atau otonomi; disini tujuan-tujuan dari pemaksimalan kemakmuran dan perlindungan
otonomi hanya kebetulan. Tetapi asumsi tidak terdapatnya pengaruh pihak ketiga adalah
sangat kaku dan apabila ditinggalkan keretakan antara persetujuan dan pemaksimalan
kemakmuran (wealth-maximization) akan tampak.82
79
Ibid., hal. 646.
80

R. Posner, “The Ethical and Political Basis of Wealth MaXimization” dalam M.D.A Freeman,
“Lloyd’s Introduction to Jurisprudence” (London: Sweet & MaXwell Ltd, cetakan ketujuh, 2001), dalam hal ini
Pareto mengungkapkan prinsip bahwa suatu alokasi sumber-sumber lebih superior terhadap sumber lain apabila
setidaknya seseorang memiliki posisi yang lebih baik berdasarkan yang pertama daripada yang kedua dan tidak
ada yang lebih buruk. hal. 647.
81

Sebagai contoh dikemukakan ilustrasi penjualan tomat, dimana apabila A menjual tomat kepada B
seharga dua dollar dan tidak ada pihak lain yang terpengaruh terhadap transaksi tersebut kita dapat meyakini
bahwa kegunaan bagi A terhadap dua dollar lebih besar daripada kegunaan tomat baginya dan sebaliknya bagi
B, walaupun kita tidak mengetahui berapa besar kegunaan A dan B telah bertambah dari transaksi tersebut.
Lihat Ibid.
82
Sebagai contoh dikemukakan apabila suatu perusahaan memutuskan untuk menutup pabriknya dikota
A dan membuka pabrik baru di kota B dan tidak dikedua lokasi tersebut terdapat polusi atau kemacetan yang

24
Sehubungan dengan Pareto superioritas, kriteria Kaldor-Hicks mensyaratkan tidak
adanya satupun pihak yang dibuat menjadi lebih buruk dalam perubahan alokasi sumber-
sumber tetapi hanya menambah nilai-nilai yang labih besar bagi para pihak yang kalah untuk
diberikan kompensasi. Kriteria Kaldor-Hicks tersebut banyak dikritik bahkan oleh para
ekonom, tepatnya karena tidak memastikan bahwa suatu kegunaan akan dimaksimalkan.
Namun demikian tidaklah tepat untuk menyatakan bahwa kriteria Pareto merupakan satu-
satunya pengertian profesional normal mengenai efisiensi. Sebagai contoh ketika para
ekonom mengatakan bahwa monopoli tidaklah efisien mereka mengartikan ketidakefisienan
dalam pengertian Kaldor-Hicks atau pemaksimalan kemakmuran (wealth-maximization) dan
bukanlah Pareto.83
Penggunaan kata efisiensi dalam pengertian Kaldor-Hicks dapat dipertahankan secara
sederhana sebagai suatu analisis yang memungkinkan masalah-masalah alokasi didiskusikan
secara terpisah dari masalah-masalah distribusi. Kaldor berargumentasi bahwa pemerintah
dapat selalu mentransformasi kemakmuran yang bertambah menjadi peningkatan Pareto
dengan memberikan kompensasi terhadap pihak-pihak yang kalah dari keuntungan yang
diperoleh oleh pemenang. Akankah hal ini dilakukan atau tidak adalah sebuah pertanyaaan
politis yang para ekonom akan sulit menyatakan pendapatnya. Kaldor sepertinya
menyarankan apabila pihak yang kalah berdasarkan kebijakan layak mendapat kompensasi,
pemerintah akan memberikannya kepada mereka dan dalam hal ini kemakmuran bertambah
dan akan ditransformasikan menjadi peningkatan Pareto kecuali terdapat alasan-alasan etika
yang independen untuk tidak mengikuti prinsip Pareto. Tetapi pendekatan kepuasan ini hanya
bila diasumsikan apabila pemerintah membuat keputusan-keputusan atas dasr etika. Apabila
pemerintah dilihat sebagai suatu arena dimana para kelompok yang berkepentingan berjuang
untuk suatu keuntungan tanpa memperhatikan pertimbangan-pertimbangan etika maka tidak
dapat dikatakan bahwa kegagalan dalam memberikan kompensasi bagi orang-orang tersebut
telah dipengaruhi oleh kebijakan efisien berdasarkan etika.84
Terdapat cara lain untuk mengharmonisasikan pendekatan Kaldor-Hicks atau
pemaksimalan kemakmuran (wealth-maximization), setidaknya dalam beberapa bentuk,
berarti atau teknologi luar lainnya diluar pabrik, maka perpindahan mungkin akan mengurangi nilai properti A
dan menambah di B, membuat pemilik tanah di A berada dalam situasi yang lebih buruk dan mereka di B dalam
situasi yang lebih baik. Oleh karenanya perpindahan tersebut bukan lah Pareto superior. Dalam contoh ini
pengaruh pihak ketiga adalah hal-hal yang berkaitan dengan keuangan secara eksternal, dalam artian bahwa hal
tersebut berasal secara sederhana dari perubahan dalam permintaan daripada konsumsi atas sumber-sumber
yang langka atau dinyatakan sebaliknya bahwa tidak terdapat pengaruh terhadap kemakmuran masyarakat;
tetapi fakta ini tidaklah relevan dengan posisi Pareto superioritas. Lihat Ibid., hal. 648.
83

Ibid., hal. 648.


84
Ibid., hal. 650.

25
dengan pendekatan Pareto. Hal tersebut dilakukan melalui referensi terhadap ide mengenai
persetujuan yang merupakan dasar operasional dari kriteria Pareto. Persetujuan yang
digunakan disini merupakan kompensasi ex ante. Konsep kompensasi ex ante memberikan
jawaban terhadap argumen bahwa kriteria pemaksimalan kemakmuran (wealth-
maximization), yang diaplikasikan tanpa mengingkari pengaturan-pengaturan dipasar, akan
melanggar prinsip persetujuan. Analisa yang dikemukakan oleh Prosner dapat dipertanyakan
atas dasar bahwa persetujuan yang dikemukakan oleh Posner secara prinsip setidaknya
menjustifikasi institusi-institusi bahwa sistem kesengajaan adalah khayalan karena tidak
diekspresikan. Tetapi keberatan ini didasarkan pada ketiadaan metode praktis guna
memperoleh persetujuan secara nyata tidak banyak untuk transaksi-transaksi pasar individual,
walaupun ada sebagaimana disampaikan oleh Posner persetujuan pihak ketiga yang
dipengaruhi oleh transaksi-transaksi tersebut seringkali tidak nyata diperoleh. Apabila tidak
terdapat mekanisme yang terpercaya untuk memperoleh persetujuan secara nyata maka hal
tersebut tidak diikuti dengan keharusan untuk meninggalkan prinsip persetujuan tetapi
seharusnya dapat dipuaskan dengan persetujuan yang tersirat apabila ada. 85
Keberatan lainnya untuk menggunakan persetujuan guna menjustifikasi kelembagaan
pemaksimalan kemakmuran adalah persetujuan jarang diperoleh secara bulat berlawanan
dengan asumsi terdahulu orang tidaklah identik secara ex ante.
Setiap teori persetujuan yang didasarkan pada pilihan pada posisi asli tidaklah
memuaskan bukan hanya dikarenakan kesulitan-kesulitan yang telah terkenal untuk
menggambarkan fungsi-fungsi istemewa dari orang-orang dalam posisi tersebut tetapi juga
karena posisi asli mendekati terbukanya pintu-pintu pada klaim-kalim yang tidak produktif.
Pada posisi asli tidak seorang pun mengetahui apakah dia memiliki kapabilitas produktif
sehingga pilihan-pilihan yang dibuat dalam posisi tersebut akan merefleksikan kemungkinan
bahwa individu akan membuat pilihan yang akan menjadikannya anggota masyarakat yang
tidak produktif. Pendekatan posisi asli mengaburkan pentingnya perbedaan moral antara
kapasitas untuk menikmati dan kapasitas memproduksi bagi orang lain.86
Argumen bahwa persetujuan dapat memberikan justifikasi etis bagi institusi sosial
yang memaksimalkan kemakmuran mensyaratkan kualifikasi dalam dua hal. Pertama dimana
pengaruh distribusi atas kebijakan pemaksimalan kemakmuran (wealth-maximization) adalah
substansial dan tidak acak maka sangatlah sulit untuk memperoleh atau menghubungkan
persetujuan secara luas tanpa kompensasi yang nyata. Kedua pengalihan awal dari hak atas
85

Ibid., hal 651.


86
Ibid., hal. 653.

26
kekayaan mungkin terlihat sebagai area yang subur untuk menumbuhkan konflik antara
pemaksimalan kemakmuran (wealth-maximization) dan pemberian persetujuan. 87

87

Ibid., hal. 654.

27

Anda mungkin juga menyukai