Anda di halaman 1dari 4

Sang Cahaya

Dikeseharian ku yang membosankan ini, kau datang. Menemaniku. Kita saling bercerita
tentang bagaimana caranya Tuhan menciptakan dunia ini beserta segala keindahannya. Kau
berkata padaku bahwa kamu begitu mengagumi dunia ini, padahal belum pernah sekalipun
kamu melihat dunia ini. Kamu aneh, tapi kamu benar-benar keren dimata ku. Kau berkata,
“Aku suka dunia ini. Dunia ini begitu indah, dunia ini begitu unik, begitu pula hati para
ciptaan ‘Sang Pencipta’ aku menyukainya! Aku mengaguminya”. Lalu kamu tersenyum
dengan lebarnya, menciptakan sebuah keindahan yang tak ada bandingannya di wajahmu.
Aku menyukainya.

Selama ini aku sangat bahagia. Aku menyukai tawamu, keceriaanmu, kekagumanmu, dan
juga caramu menyampaikan semua hal yang ingin kamu sampaikan. Aku sangat senang bisa
mendapatkan semua kehangatan yang kamu berikan. Namun, hari itu kamu berkata bahwa
kamu harus pergi. Lalu kamu berjanji, kamu akan kembali.

Beberapa hari kemudian, kamu tak pernah kembali. Lalu akhirnya aku tersadar, kamu
berbohong. Kebohonganmu begitu manis, hingga aku terjerumus kedalamnya. Kamu takkan
pernah kembali, kan? Tapi kenapa? Apa aku melakukan sebuah kesalahan? Maafkan aku.

Akhirnya aku tahu, kebohonganmu yang lainnya. Kamu sebenarnya membencinya, kan,
‘Sang Pencipta’ dan semua yang Ia ciptakan? Tentang kamu mengaguminya, mengagumi
dunia ini, dan para mahluk yang Ia ciptakan, kamu sebenarnya membencinya kan? Tapi
kenapa? Kenapa tak kamu ucapkan saja bila kamu membencinya? Kenapa tak kamu caci saja
bila kamu memang sangat tak menyukainya? Kenapa kamu harus berbohong kepadaku?
Kenapa kamu harus berbohong sembari tersenyum dengan begitu indahnya? Apa itu semua
karena aku yang terlahir cacat ini? Apa karena aku yang sebentar lagi pergi ke akhirat?
Kenapa? Jawab aku. Kenapa? Padahal aku mencintaimu. Sungguh. Aku sungguh-sungguh
mencintaimu, meski kamu pun sama sepertiku.

Aku tahu, kamu juga cacat sepertiku. Aku tahu, kok, kamu terlahir tanpa hati. Tapi meski
begitu aku pun tahu, kok, kamu itu selalu ingin disayangi dengan tulus, tapi semua orang
menyayangimu hanya karena kasihan. Aku tahu, kok. Sungguh. Karena aku pun begitu. Aku
tahu, kamu selalu mencoba memberikan rasa sayang yang tulus untuk orang-orang di
sekitarmu, teman-teman sekamarmu di rumah sakit yang pernah kamu kunjungi. Aku pun
tahu, kamu hanya ingin diperhatikan dan disayangi dengan tulus. Aku tahu, kamu pun
kesepian. Aku tahu, aku tahu semuanya. Aku juga merasakan apa yang kamu rasakan. Lalu
mengapa kamu harus berbohong padaku. Hatiku benar-benar hancur.

Kamu tak ingin ada satu pun orang yang menderita, kan? Kamu pun ingin seorang teman
saja, yang selalu ada disisi mu, yang menerima mu, apa adanya. Namun, untuk mencarinya
pun kamu tak bisa, dan kamu menyerah akan hal itu, kan? Meski tanpa sebuah hati, kamu
benar-benar tulus menolong semuanya, agar mereka tak merasakan kesepian.
Aku ingin membantumu, aku ingin menjadi temanmu, tapi kenapa kamu pergi? Kenapa
kamu tak mempercayaiku? Mungkin, jalan yang saat ini kamu tempuh sudah benar. Pergi
menjauh dari ku. Aku ini tak berdaya, kan? Kamu takkan membutuhkan aku. Kamu bisa
mendapat banyak teman saat kamu sembuh nanti. Aku hanya sebuah kerikil kecil yang
terlempar dan jatuh dalam kehidupanmu, bukan? Aku hanya bisa mendoakan
kebahagiaanmu. Hanya itu. Maaf.

Lima belas malam penuh kesedihan itu menghapus segalanya. Menghapus semua kenangan
tentangmu. Menghapus semua kebahagiaan dan kehangatan yang pernah kamu berikan.
Serta, menghapuskan keberadaanmu di dunia ini.

Kamu pergi meninggalkan semuanya. Dunia ini berserta keindahannya, semua ciptaan-Nya,
dan aku.

Mengapa Engkau membawa nya pergi, Tuhan? Padahal ia belum menepati janjinya padaku,
Tuhan. Mengapa Engkau membawa nya pergi, sebelum aku mengungkapkan isi hatiku,
Tuhan? Aku ingin memeluknya, Tuhan. Beritahu aku bagaimana caranya, Tuhan? Haruskah
aku menyusulnya? Bagaimana caranya, agar tanganku bisa meraih dirinya?

Di malam kelabu yag sendu itu kamu datang. Dalam mimpiku, namun kamu seperti sebuah
hologram. Aku bisa melihatmu, tapi kamu tak bisa kusentuh. Lalu aku teriakan, “aku
mencintaimu! Sungguh-sungguh mencintaimu! Jangan pergi! Kumohon!”. Kamu hanya
tersenyum, lalu membelaiku yang tanpa terasa sembari menghilang.

Lima belas malam penuh kesedihan itu, menyadarkan ku. Bahwa kamu telah menepati janji
mu, dan memberiku semangat untuk terus maju. Tapi aku, tak ingin lagi maju kedepan. Aku
sudah terlanjur hancur lebur.

Aku ingin marah pada ‘Sang Pencipta’. Mengapa Beliau harus membawa mu pergi?
Bukankah lebih baik aku yang Ia bawa pergi? Aku tak memiliki cita-cita, bahkan semangat
untuk hidup. Rasanya ini tidak adil untukmu, mengingat banyak sekali hal yang ingin kamu
lakukan ketika sembuh nanti. Tapi, apa dengan itu kamu bisa kembali ke sisi ku? Andai saja
aku seorang penyihir atau seorang malaikat. Maka, akan ku hidupkan lagi dirimu dan akan ku
sembuhkan dirimu. Namun, aku hanyalah manusia yang rapuh, berjalan pun tak bisa.

Aku hanyalah manusia yang penuh dengan penderitaan. Hal yang bisa kurasakan hanyalah
penderitaan, setelah kamu pergi dan membawa semua kehangatan mu. Aku menyesal tak bisa
ungkapkan perasaanku saat kamu masih disini, aku menyesal tidak bisa menjadi teman yang
baik untukmu, aku menyesal. Benar-benar menyesal. Kuharap kamu berbesar hati
memaafkan diriku yang rapuh ini.

Kumohon Tuhan, biarkan aku menemuinya lagi, biarkan aku bersamanya lagi, biarkan aku
menjadi teman baiknya. Biarkan aku menyusulnya setelah operasi ini, Tuhan.

Tapi, mengapa semua tak sesuai dengan apa yang aku harapkan. Operasi ku berhasil. Aku
sehat. Setelah ini aku harus apa? Aku menangis sejadinya. Setelah itu orangtua mu datang,
mereka memberiku sebuah surat yang kamu tulis, sehari sebelum kamu melakukan operasi.
Aku pun membukanya, dan membacanya.

Rumah Sakit Kasih, 29 September 2017

Untuk : Nadezhda Hopenamal Kiboespero

Selamat tinggal...

Ya.. meskipun kata ‘ selamat tinggal ‘ tidak akan cocok sebagai kata pembuka dalam sebuah
surat, tapi aku yakin. Saat kamu membaca surat ini aku sudah ada di tempat Tuhan berada,
kan? Hehehe. Dan aku belum mengucapkan kata ‘ selamat tinggal ‘ padamu, maka dari itu
aku ucapkan sekarang.

Pertama kali aku bertemu dengamu, aku sudah tahu, loh, bahwa kita sama. Kita tidak
memiliki satu hal yang dimiliki manusia sempurna. Aku tidak memiliki hati, dan kamu tidak
memiliki kesehatan, aku benar kan. Aku senang saat bertemu denganmu untuk pertama
kalinya, meski saat itu kamu benar-benar lemah. Tapi kamu itu teman ku satu-satunya!

Kamu tahu? Pendonormu itu aku, loh, aku ini sudah tidak memiliki harapan untuk hidup
lagi, sedangkan kamu masih ada, jadi aku memustuskan, membagikan bagian tubuhku
untukmu. Dan, sebenarnya aku meninggal setelah operasimu berhasil. Aku hanya semakin
parah saat itu, maka dari itu, aku menepati janji ku ketika kamu tidur. Aku tak ingin kamu
melihatku dalam keadaan seperti ini. Maaf karena aku selalu berbohong kepadamu. Tapi aku
tak sepenuhnya bohong, kok, setelah bertemu denganmu, aku menyukai semuanya. Semua
yang kukatkan padamu, bukanlah kebohongan, tapi ada beberapa hal yang memang aku
berbohong, sih. Aku tak perlu teman. Kamu saja sudah cukup untukku. Terima kasih.

Nadezhda, namamu unik. Benar-benar seperti doa dari orangtua mu. Nadezhda berarti
‘Harapan’, benar-benar doa. Aku harap, setelah ini kamu mau tinggal bersama orangtuaku,
menjadi adikku. Hehehe. Hiduplah, berbahagialah. Karena aku sudah menjadi bagian dari
dirimu.

Selamat Tinggal, Nadezhda. Jujur saja, aku juga mencintaimu. Sungguh. Maafkan aku yang
pergi lebih dahulu, dan terima kasih untuk mencintaiku dengan tulus. Selamat tinggal,
Nadezhda Hopenamal Kiboespero, sahabat terbaikku.

Sahabat terbaikmu

Raito Bichargia Lichtihe


Lagi-lagi aku menangis, tapi kali ini aku menangis sekeras-kerasnya, hingga orangtua mu
ikut menangis sambil memelukku. Setelah aku pulih, proses pengadopsian ku pun dimulai.
Dan sekarang jadi adikmu, loh.

Raito Bichargia Lichtihe,

Kamulah cahaya ku, penerang di jalan hidupku. Kamu adalah matahariku. Aku
menyayangimu lebih dari apapun. Kamu temanku, sahabatku, kakakku, guruku, serta
hidupku. Aku akan terus melangkah maju. Maju kedepan untukmu, juga untuku. Apapun
yang terjadi, aku tahu kamu akan selalu ada bersamaku. Meski sekarang kamu telah pergi
jauh meninggalkanku, tapi bagian dirimu masih ada dalam diriku. Kamu segalanya untukku,
kuharap kamu tahu itu. Sekarang, hingga akhir hayatku, aku akan hidup sembari
menganggapmu hidup. Karena dengan begitu aku bisa hidup dengan tenang dan bahagia.
Aku harap suatu saat nanti, aku bisa bertemu dengan seseorang yang sama seperti dirimu.
Aku takkan pernah melupakanmu. Karena aku begitu mencintaimu.

Terima kasih telah hadir didalam kehidupanku, Raito. Maafkan aku yang belum bisa
menjadi teman terbaik untukkumu, yaa... meski kamu sudah menganggapku sebagai shabat
terbaikmu, sih. Aku tahu kamu tak akan bisa membaca surat balasan ini, tapi hatiku benar-
benar ingin menulisnya. Raito berarti cahaya, kan. Itu pun doa dari orangtuamu. Dan doa
itu sudah terwujud, kamu adalah cahaya untukku, bahkan tidak hanya untukku, untuk orang-
orang disekitarmu juga. Sekarang aku akan hidup dengan bangga, dan akan aku jaga
orangtua tercinta kita. Aku akan menyayangi mereka seperti aku menyayangimu.

Aku berharap kamu bahagia dan berada di sisi Tuhan, karena kamu adalah anak yang baik.
Selamat tinggal, Raito. Terima kasih telah membalas perasaanku, tapi sekarang aku adikmu,
loh. Raito, aku benar-benar bersyukur bisa bertemu dan mencintaimu. Sekali lagi, Selamat
tinggal dan terima kasih, Raito Bichargia Lichtihe, cahayaku.

Adik tercintamu,

Nadezhda Hopenamal Kiboespero

Kutaruh surat ini diatas makam mu. Aku ingin kamu tahu semuanya, tentang aku dan
hidupku. Terima kasih untuk segala-galanya.

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai