Anda di halaman 1dari 23

Jurnal Ilmu Jurnalistik

Volume 3, Nomor 1, 2018, 90-112


Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Gunung Djati Bandung
https://jurnal.fdk.uinsgd.ac.id/index.php/jurnalistik

Gender dalam Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di


Media Online
Rissa Indrasty*, Darajat Wibawa, & Rojudin
Jurusan Ilmu Komunikasi Jurnalistik, UIN Sunan Gunung Djati, Bandung
*Email : icha_bajai@yahoo.com
ABSTRAK
Tulisan ini menjelaskan mengenai wanita pada kasus kekerasan terhadap
perempuan yang ditampilkan oleh media online Pojoksulsel.com, dimana wanita
kerap kali dijadikan pihak yang bersalah dalam kasus kekerasan yang
menimpanya. Penelitian akan melihat bagaimana posisi subjek-objek wanita
yang ditampilakan dalam teks, posisi penulis-pembaca yang ditampilkan
dalam teks pemberitaan, serta bagaimana penggambaran bentuk-bentuk
kekerasan terhadap perempuan yang ditampilkan dalam teks pemberitaan.
Metode penelitian menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan
kualitatif tradisi analisis wacana. Hasil penelitian menunjukkan posisi
perempuan dalam wacana pemberitaan di Pojoksulsel.com adalah sebagai
objek pemberitaan, sedangakan yang menjadi subjek pemberitaannya adalah
redaksi Pojoksulsel.com dan polisi. Posisi penulis atau Pojoksulsel.com lebih
dominan dalam teks, sedangkan posisi pembaca bersifat pasif, dengan teks
yang terbatas pembaca diarahkan untuk menerima stereotip yang diberikan
oleh Pojoksulsel.com yang mengarahkan pembaca untuk menyalahkan wanita
atas kemalangan yang menimpanya. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap
perempuan yang ditampilakan Pojoksulsel.com sangat mendetail dan sadis
dengan wanita digambarkan mendapat kekerasan fisik, seksual dan psikis.
Dapat disimpulakan terdapat ketidakseimbangan gender dalam pemberitaan
Kata Kunci : media online; wanita; kekerasan; gender

ABSTRACT
This study aims to find out how the discourse about women in cases of violence against
women is being developed by the online media Pojoksulsel.com, where women are often
used as the guilty party in cases of violence that happened to her. The study will look at
how the positions of female subjects are displayed in the text, the position of the author-

Diterima: Januari 2018. Disetujui: Maret 2018. Dipublikasikan: Maret 2018 90


Pemberitaan Konflik FPI dan GMBI

reader in the sense of text, and how the depiction of forms of violence against women in the
context of the news. The research method used descriptive method with qualitative
approach of discourse analysis tradition. The results showed the position of women in the
discourse of news in Pojoksulsel.com is as an object of news, while the subject will be the
news editorial Pojoksulsel.com and police. The writer's position or Pojoksulsel.com is
more dominant in the text, while the passive reader's position, with the reader's limited
text to accept the stereotype given by Pojoksulsel.com which directs the reader to blame the
woman for his misfortune. The forms of violence against women displayed by
Pojoksulsel.com are very detailed and sadistic with women getting violent, sexual and
psychological. The conclusion is that there is a gender imbalance in the news.
Keywords: Online Media; Women; Violence; News.

PENDAHULUAN
Kasus kekerasan terhadap perempuan kerap kali terjadi di tanah air, bahkan
menurut pengamatan Komnas Perempuan pada tahun 2015, angka
kekerasan terhadap perempuan meningkat 9% dari tahun sebelumnya
(bbc.com, diakses pada 24/20/2017). Kasus kekerasan terhadap perempuan
juga tidak luput mewarnai pemberitaan media massa di Indonesia. Media
massa sendiri memiliki kemampuan dalam mengkontruksi realitas dan media
merupakan salah satu instrumen utama dalam membentuk konstruksi isu
gender pada masyarakat.
Menurut Noelle-Neumann salah satu sifat media massa yaitu ubikuitas
(ubiquity) mengacu pada fakta bahwa media merupakan sumber
informasi yang sangat luas karena terdapat dimana saja, dengan kata
lain ubikuitas adalah kepercayaan bahwa media terdapat di mana-
mana. Karena media terdapat di mana saja maka media menjadi
instrumen yang sangat penting, diandalkan dan selalu tersedia ketika
orang membutuhkan informasi. Media berusaha mendapat dukungan
publik terhadap pandangan atau pendapat yang disampaikannya, dan
selama itu pula pandangan atau pendapat itu terdapat di mana-mana
(Morrison, 2013: 531).
Kelebihan media massa yang antara lain jangkauan yang luas, dengan
waktu yang tidak terbatas sangat efektif untuk menyebarkan isu, media pun
menjadi alat penyebaran isu gender kepada masyarakat. Maka, kemudian
media memiliki pilihan untuk memberitakan isu gender sebagai bentuk
pembelajaran kepada pembaca, sebagai kritik, atau bahkan menjadikan isu
gender ini sebagai komoditas (Jurnal Perempuan, 2010: 136).
Media Massa yang diminati masyarakat di zaman perkembangan ilmu
Jurnal Ilmu Jurnalistik Vol. 3 No. 1 (2018) 90-112 91
I. Aniatsari., D. E. S. Amin, dan E. Muhaimin
pengetahuan dan teknologi saat ini adalah media online (internet). Pengguna
internet menggatungkan pada situs untuk memperoleh berita. Menurut
Straubhar dan LaRose (2007: 149) dalam buku komunikasi massa yaitu dua
sampai tiga pengguna internet mengakses situs untuk mendapatkan berita
terbaru setiap minggunya. Media online memang lebih unggul dari media
lainnya karena dapat diakses kapan saja, di mana saja dan jenis penyajian
beritanya berupa gambar, gambar bergerak, teks maupun audio.
Media online dengan segala keunggulannya, tentu saja tidak luput dari
menyuguhkan berita kemalangan yang dialami kaum perempuan. Kejahatan
dan kekerasan yang bersifat sexist (berdasarkan jenis kelamin tertentu)
menjadi berita sehari-hari, dengan perempuan sebagai objek utamanya
(Esfand, 2012: 14), bahkan pemberitaan yang disajikan media khususnya
media online, cenderung menceritakan wanita dengan bahasa yang melewati
batasan etika dan kode etik. Beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa
wanita kerap kali dijadikan objek pemberitaan dan wanita digambarkan
negatif dalam pemberitaan yaitu penelitian berjudul Bias Gender dalam
Pemberitaan Perempuan-perempuan di Pusaran Korupsi “Liputan 6 SCTV,
28 Desember 2013” (Cinta, 2013), Citra Wanita dalam Media Massa
(Purwaningsih, 2012), Analisis Bias Gender di Media Massa (Askolani,
2013).
Beberapa contoh kasus kekerasan terhadap perempuan yang cukup
ramai dibicarakan masyarakat karena tersebar secara luas di media online di
tahun 2016 yaitu, kasus pemerkosaan dan pembunuhan Yuyun di Jawa
pos.com (3 Mei 2016), kasus kematian Farah yang tewas dimasukkan kedalam
kardus di Okezon.com (13 Juli 2016), kasus pemerkosaan dan pembunuhan
Eno di Pojosulsel.com (16 Mei 2016).
Salah satu pemberitaan kasus kekerasan terhadap perempuan yang
paling menggemparkan dan menghebohkan masyarakat di tahun 2016 yang
tersebar di situs dan media online adalah kasus tewasnya Eno. Masyarakat
terkejut dengan foto-foto kondisi kematian Eno yang sadis beredar tanpa
sensor di internet. Pemberitaan Eno di media online tidak hanya menampilkan
foto Eno dalam kondisi tewas mengenaskan, bahkan penyebutan nama
lengkap dan alamat lengkap korban menjadi trend wajib di media online saat
ini.
Selain itu, hal yang lebih parah lagi yaitu pemberitaan media seputar
kasus kekerasan terhadap perempuan yang terkadang menggunakan bahasa
yang “nyaris” sebelas-dua belas dengan buku-buku “stensilan”, banyak

92 Jurnal Ilmu Jurnalistik Vol. 3 No. 1 (2018) 90-112


Pemberitaan Konflik FPI dan GMBI

menyudutkan korban. Belum lagi stigma negatif yang kerap dilontarkan


masyarakat terhadap korban kekerasan terhadap perempuan. Sayangnya,
pandangan memojokkan perempuan sebagai penyebab terjadinya kekerasan
yang dialaminya tidak hanya keluar dari kalangan yang kurang berpendidikan,
tetapi dari pihak yang mengaku berasal dari status sosial dan berpendidikan
tinggi. Seolah-olah komentar yang umum terlontar adalah, “dia diperkosa?
Emang dia pakai baju yang gimana?” atau “makanya jaga pergaulan, jangan
terlalu kegenitan.” Wanita dalam pemberitaan sudah jadi korban, dijadikan
tersangka pula! (Esfand, 2012: 3-4). Isi pemberitaan media massa dikemas
dengan strategi pemilihan kata yang vulgar dan mengacu pada menyudutkan
korban, seakan-akan kasus kekerasan pada perempuan murni kesalahan
perempuan dan perempuan menjadi pihak atau tersangka yang bertanggung
jawab atas segala kemalangan yang menimpanya.
Pemberitaan kekerasan terhadap perempuan di media massa juga tidak
lepas dari minat masyarakat yang tinggi. Realitanya kita hidup di masyarakat
yang kental degan budaya partriarki, sehingga kadang kala masih
menempatkan perempuan sebagai kelas kedua (Esfand, 2012: 3). Bahkan,
sering kali masih menganggap perempuan tidak cukup kompeten untuk bisa
berpikir bagi kebaikan dirinya sendiri. Penyebab yang paling dominan
tentunya cara pandang terhadap perempuan yang dianggap selalu menjadi
kaum kelas kedua dengan segala pembatasan yang diberikan kepadanya
dikarenakan kelemahan fisik, mental, dan tingkat intelektualitas yang diyakini
menjadi sesuatu yang bersifat given (bawaan) pada diri setiap perempuan.
Sayangnya, cara pandang yang ini terwariskan dari generasi ke generasi.
Bahkan, menjadi suatu bentuk keyakinan yang telah terpatri pada diri
sebagian besar perempuan tanpa mereka sadari (Esfand, 2012: 14). Wanita
dalam pemberitaan media, benar-benar dieksploitasi pada pemberitaan kasus
kekerasan terhadap perempuan di media online, agar berita tersebut naik
rating, menjadi booming dikalangan masyarakat dan menjadi berita nomor
satu yang paling dicari pembaca.
Penelitian ini berfokus pada salah satu media online, yaitu
Pojoksulsel.com. Situs Pojoksulsel.com merupakan media online lokal Sulawesi
Selatan dari jaringan portal berita Pojoksatu.com, yang termasuk dalam Jawa
Pos Grup. Meski media online Pojoksulsel.com merupakan media online lokal,
bukan berarti kasus ketimpangan gender yang ditemukan pada pemberitaan
media online lokal menjadi suatu hal yang harus diabaikan atau dimaklumi,
karena hal ini berkaitan ketimpangan gender di mana wanita ditempatkan
dalam posisi negatif dalam pemberitaan. Selain itu, pembaca yang mengakses

Jurnal Ilmu Jurnalistik Vol. 3 No. 1 (2018) 90-112 93


I. Aniatsari., D. E. S. Amin, dan E. Muhaimin
media online bukan hanya dari pelosok tanah air saja, tentunya pembacanya
juga dari segala penjuru indonesia bahkan dunia.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut dapat dirumuskan
beberapa masalah dengan rumusan masalah: Bagaimana posisi subjek-objek
Eno, korban kekerasan perempuan yang ditampilkan dalam teks di situs
Pojoksulsel.com? Bagaimana posisi penulis-pembaca pada pemberitaan Eno,
korban kekerasan perempuan pada teks di situs Pojoksulsel.com? Bagaimana
penggambaran bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan terhadap Eno,
korban kekerasan pada perempuan ditampilkan dalam teks di situs
Pojoksulsel.com?
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
dengan pendekatan kualitatif tradisi analisis wacana. Metode ini berusaha
untuk mengungkapkan makna yang tersembunyi dalam pesan, yang
menyangkut bagaimana wanita ditampilkan dan dimarjinalkan dalam teks
berita yang tentu saja melibatkan wacana tertentu, sehingga ketika
ditampilkan dalam teks, wanita tergambarkan secara buruk. Penelitian ini
dilakukan dengan menganalisis bagaimana posisi subjek-objek aktor dalam
pemberitaan, posisi penulis-pembaca dalam pemberitaan, dan penggambaran
bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam pemberitaan yang
disajikan oleh Pojoksulsel.com, yang akan menghasilkan penggambaran gender
pada kasus tewasnya Eno dan hal-hal yang berkaitan dengan eksploitasi,
pornoaksi, sifat, kehormatan, tubuh perempuan dalam pemberitaan.

LANDASAN TEORITIS
Teori dan konsep yang dijadikan dalam penelitian ini adalah jurnalistik
online. Jurnalistik online adalah proses penyampaian informasi melalui media
internet, utamanya website. Karena merupakan perkembangan baru dalam
dunia media, website pun dikenal juga dengan sebutan “media baru”, media
konvensional koran, majalah, radio dan televisi. Hal terbaru dalam “new
media” antara lain informasi yang tersaji bisa diakses atau dibaca kapan saja
dan di mana pun, di seluruh dunia, selama ada komputer dan perangkat lain
yang memiliki koneksi internet (Romli, 2012: 11). Menurut Straubhar dan
LaRose dalam Komunikasi Massa 2007, dua sampai tiga pengguna internet
mengakses situs untuk mendapatkan berita terbaru setiap minggunya.
Pengguna internet menggantungkan pada situs untuk memperoleh berita
(Ardianto, Komala, Karlina, 2007: 149). Publikasi berita melalui media

94 Jurnal Ilmu Jurnalistik Vol. 3 No. 1 (2018) 90-112


Pemberitaan Konflik FPI dan GMBI

online sekarang ini banyak diminati masyarakat, karena memiliki kelebihan


bisa diakses kapan saja, di mana saja, dan tidak dipungut biaya. Pada
penelitian ini akan mengalisis berita-berita yang terdapat pada media online
Pojoksulsel.com.
Willard G. Bleyer (2004), mendefinisikan berita sebagai segala sesuatu
yang hangat dan menarik perhatian sejumlah pembaca, dan berita yang
terbaik ialah berita yang paling menarik perhatian bagi sejumlah pembaca
yang paling besar. Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan berita
(news) adalah laporan atau pemberitahuan tentang segala peristiwa aktual
yang menarik perhatian orang banyak (Suhandang, 2004: 103). Hal ini juga
diperkuat oleh Prof. Mitchel V. Charnley dalam bukunya “Reporting”, yang
berbunyi sebagai, “Berita adalah laporan tercepat mengenai fakta atau opini
yang mengandung hal yang menarik minat atau penting, atau kedua-duanya,
bagi sejumlah besar penduduk” (Effendy, 1994: 131).
Pemberitaan berdasarkan masalah yang dicakup memiliki beberapa
variasi, yaitu berita politik, ekonomi, kejahatan, kecelakaan, olahraga, militer,
ilmiah, pendidikan, agama, pengadilan, dunia wanita, manusia dan peristiwa
(Assegaff, 1990:39). Pada penelitian ini akan lebih ditekankan pada berita
Eno, korban kekerasan terhadap perempuan. Berita kekerasan terhadap
perempuan selalu menarik perhatian khalayak. Hal yang terjadi di media
massa di Indonesia, menyuguhkan secara sensasional. Padahal hal ini dapat
memberikan pengaruh yang signifikan, karena berita yang berlebihan bisa
merusak moral masyarakat dan memberi pengaruh yang buruk jika tidak
terkontrol. Walaupun ada petentangan antara setuju atau tidak setuju
pemberitaan kriminal kekerasan terhadap perempuan disuguhkan secara
sensasional atau tidak. Sebaiknya media massa tetap menjaga kelayakan isi
berita dan memberikan informasi yang dapat mendidik dan memberikan
dampak yang baik bagi masyarakat.
Dalam Collins Concise English Dictionary 1998, disebutkan wacana
sebagai komunikasi verbal, ucapan, percakapan, sebuah perlakuan formal
dari subjek dalam ucapan atau tulisan sebuah unit teks yang digunakan oleh
linguis untuk menganalisis satuan lebih dari kalimat (Eriyanto, 2001: 2).
Wacana adalah suatu upaya untuk mengungkapkan maksud yang
tersembunyi dari subjek dan mengemukakan suatu pernyataan kemudian
dilakukan dengan menempatkan posisi pembicara dan penafsiran supaya
mengentahui struktur dari pembicara. Selanjutnya kata digunakan dan makna
dari kata-kata menunjukkan posisi seseorang dalam kelas tertentu, kemudian
bahasa digunakan untuk medan pertarungan melalui mana berbagai

Jurnal Ilmu Jurnalistik Vol. 3 No. 1 (2018) 90-112 95


I. Aniatsari., D. E. S. Amin, dan E. Muhaimin
kelompok dan kelas sosial dan berusaha meyakinkan dan memahaminya
(Eriyanto, 2001: 5). Penelitian ini akan membahas mengenai maksut suatu
wacana pada pemberitaan kasus kekerasan terhadap perempuan, bagaimana
makna yang tersembunyi pada sebuah wacana yang menunjukkan bagaimana
posisi Eno sebagai korban kekerasan terhadap perempuan ditampilkan
dalam teks.
Sara Mills menitikberatkan kajiannya kajian analisis wacana pada
feminisme, bagaimana wanita ditampilkan dalam teks, baik novel, foto,
gambar ataupun dalam berita. Gagasan Sara Mills melihat pada bagaimana
posisi-posisi aktor ditampilkan dalam teks. Posisi-posisi ini dalam arti siapa
yang menjadi subjek penceritaan dan siapa yang menjadi objek penceritaan
akan menentukan bagaimana struktur teks dan bagaimana makna
diperlakukan dalam teks secara keseluruhan (Eriyanto, 2001: 199).. Selain
posisi-posisi aktor dalam teks, Sara Mills juga memusatkan perhatiannya
pada bagaimana pembaca dan penulis diperlakukan dalam teks. Mills
beranggapan bahwa teks adalah suatu negosiasi antara penulis dan pembaca
(Eriyanto, 2001: 203). Ketika wartawan menulis, secara tidak langsung
memperhitungkan keberadaan pembaca. Terkait pemberitaan Eno korban
kekerasan terhadap perempuan, penelitian ini akan mengungkapkan posisi
subjek-objek dan penulis-pembaca, yang nanti akan menunjukkan
bagaimana wanita ditampilkan dalam teks pemberitaan.
Menurut Yanti Muhtar dalam Pendidikan Berspektif Keadilan Gender
2002, gender dapat diartikan sebagai jenis kelamin sosial atau konotasi
masyarakat untuk menentukan peran sosial berdasarkan jenis kelamin
(Suryadi & Idris, 2014: 33). Begitu pula dalam buku Kiai dan Keadilan
Gender di Indonesia 2009, gender adalah suatu konsep yang digunakan
untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi
pengaruh sosial budaya (Purwaningsih, 2009: 66). Terkait pemberitaan Eno
sebagai korban kekerasan pada perempuan, penelitian ini akan berusaha
mengungkapkan bagaimana penggambaran wanita yang ditampilkan dalam
pemberitaan Eno korban kekerasan terhadap perempuan di Pojoksulsel.com.
Definisi kekerasan terhadap perempuan yang dirumuskan Departemen
Kesehatan RI (Depkes RI) tahun 2006 mengenai kekerasan perempuan
yaitu, “Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan yang
berkaitan atau mungkin berakibat kesengsaraa atau penderitaan perempuan,
secara fisik, seksual, psikologis, ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan, dan
perampasan kebebasan baik yang terjadi di lingkungan masyarakat maupun

96 Jurnal Ilmu Jurnalistik Vol. 3 No. 1 (2018) 90-112


Pemberitaan Konflik FPI dan GMBI

di lingkungan rumah tangga. Menurut Suyadi dan Idris dalam Kesetaraan


Gender dalam Bidang Pendidikan 2004, bentuk penyimpangan yang paling
mengerikan dari budaya patrialisme adalah terjadinya bentuk kekerasan
terhadap perempuan. Bentuk kekerasan itu dapat berupa kekerasan fisik dan
non-fisik. Dari segi pelakunya kekerasan terhadap perempuan itu bisa
dilakukan oleh laki-laki, suami, masyarakat dan pemerintahan (Esfand, 2012:
66-67). Pada kasus tewasnya Eno, akan diliaht bagaimana penggambaran
bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan terhadap Eno yang
ditampilkan dalam teks pemberitaan, baik itu secara fisik maupun non-fisik.
Budaya partriarki diyakini para pemikir abad ke-20 sebagai pandangan
dalam sistem masyarakat yang kemudian memunculkan subordinasi terhadap
kaum perempuan dan berujung pada ketidakadilan gender. Secara sederhana,
partriarki dapat diartikan sebagai suatu sistem yang bercirikan laki-laki.
Dalam sistem ini, laki-laki yang berkuasa untuk menentukan. Sistem ini
dianggap wajar sebab disejajarkan dengan pembagian kerja berdasarkan seks
(Murniarti, 2004: 81). Penelitian ini akan melihat kesenjangan terkait
bagaimana perempuan dan laki-laki digambarkan dalam teks pemberitaan.
Teori sudut pandang mengkaji bagaimana keadaan setiap individu
dalam memahami dan membentuk dunia sosial. Permulaan untuk
memahami pengalaman bukanlah kondisi sosial, ekspektasi peran, atau
definisi gender, tetapi cara khusus dimana individu membentuk kondisi
tersebut dan pengalaman mereka didalamnya (Littlejohn, 2008: 135).
Penelitian ini akan mengungkapkan dari sudut pandang siapa berita akan
dilihat, sudut pandang antara laki-laki atau perempuan atau seimbang antara
keduanya.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis pemberitaan yang
dipublikasikan oleh media Pojoksulsel.com. Pojoksulsel.com adalah media online
lokal, yang merupakan anak dari salah satu media online di Indonesia, yaitu
pojoksatu.id. Pojoksulsel.com lahir dari semangat pentingnya ketersebaran berita
terkini hingga pelosok Indonesia Timur secara umum, dan Sulawesi Selatan
secara khusus.
Pojoksulsel.com sendiri memiliki jaringan media online dan koran lokal
(Jawa Pos Grup) di seluruh Indonesia yang selalu menghadirkan berita
terbaru di Indonesia. Koran lokal jaringan Pojoksulsel.com yakni Radar Bogor,
Radar Sukabumi, Radar Bekasi, Radar Depok, Radar Bandung, Radar
Karawang, Metropolitan, Radar Cianjur, dan Sunda Urang.
Jurnal Ilmu Jurnalistik Vol. 3 No. 1 (2018) 90-112 97
I. Aniatsari., D. E. S. Amin, dan E. Muhaimin
Sedangkan jaringan media online pojoksulsel.com sendiri yakni Pojok
satu, Pojok Jabar, Pojok Bandung, Pojok Sumut, Go Bekasi, dan
Metropolitan.id. Berbekal kekuatan jaringan tersebut, Pojoksulsel.com
menghadirkan layanan portal berita terkini di Indonesia Timur
(Pojoksulsel.com). Alamat kantor Pojoksulsel.com berada di Jalan Boulevard,
Komplek Ruko Cempaka Nomor 32, Panakkukang Mas, Makassar.
Hasil penelitian ini menemukan tentang posisi subjek-objek, posisi
penulis-pembaca dan penggambaran bentuk-bentuk kekerasan terhadap
perempuan dalam teks pemberitaan (Pojoksulsel.com, diakses pada
12/12/2017).
Posisi Subjek-Objek
Melalui temuan-temuan yang didapatkan dari analisis pada posisi subjek-
objek, ditemukan bahwa aktor yang menjadi subjek pemberitaan adalah
redaksi Pojoksulsel.com dan polisi, dimana seluruh kronologi peristiwa
didapatkan dari tersangka laki-laki. Dalam pemberitaan ini, laki-laki
diuntungkan oleh sistem partriarki dimana Pojoksulsel.com sebagai pihak yang
bercerita menempatkan laki-laki pada posisi di atas perempuan yang
berakibat dominasi pihak laki-laki terhadap perempuan. Pada pemberitaan,
tersangka laki-laki yang memiliki kuasa dalam mendefinisikan segala kejadian
atau peristwa. Selain itu, keterangan peristiwa dari pihak laki-laki adalah
keterangan yang paling dipercaya dan diyakini kebenarannya oleh para pihak
polisi dan media, sehingga posisi, sifat dan perilaku wanita semata-mata
didapatkan dari pernyataan yang diberikan oleh laki-laki. Pihak tersangka
laki-laki memiliki kuasa penuh dalam mendeskripsikan dan mendefinisikan
wanita yang posisinya sebagai objek pemberitaan atau pihak yang
diceritakan. Meski disebutkan bahwa salah satu tersangka kerap memberikan
keterangan yang tidak konsisten, akan tetapi keterangan dari pihak laki-laki
tersebut tetap dijadikan sabagai satu-satunya acuan kebenaran apa adanya
kronologi peristiwa, tanpa adanya tindakan lain untuk mencari kebenaran
yang sebenarnya atas kematian Eno.
Menurut Sara Mills wacana media bukanlah sarana yang netral, tetapi
cenderung menampilkan aktor tertentu sebagai subjek yang mendefinisikan
peristiwa atau kelompok tertentu. Posisi itulah yang menentukan semua
bangunan unsur teks, dalam arti pihak yang mempunyai posisi tinggi untuk
mendefinisikan realitas akan menampilkan peristiwa atau kelompok lain ke
dalam struktur wacana tertentu yang akan hadir kepada khalayak. Sebagai

98 Jurnal Ilmu Jurnalistik Vol. 3 No. 1 (2018) 90-112


Pemberitaan Konflik FPI dan GMBI

subjek, pihak laki-laki akan menceritakan, tentu saja dengan perspektif dan
kepentingannya, mengenai proses perkosaan bahkan mengenai wanita yang
menjadi korban perkosaan sendiri (Eriyanto, 2001: 201-202).
Menurut Sandra Harding (2004) mengenai teori sudut pandang yaitu
langkah pertama memahami pengalaman adalah pada cara yang berbeda-
beda bagi setiap individu dalam mengonstruksi berbagai kondisi atau situasi
serta posisi dia pada suatu struktur sosial (Littlejohn, 2008: 135-136). Sandra
Harding menggagas bahwa salah satu cara terbaik untuk mengetahui
bagaimana keadaan dunia kita adalah dengan memulai penyelidikan dari
kaum perempuan dan kaum marginal lainnya. Menurut Harding, ketika
seseorang berbicara dari pihak oposisi dalam hubungan kekuasaan,
perspektif dari kehidupan orang-orang yang tidak memiliki kekuasaan
memiliki sudut pandangan yang lebih objektif daripada pandangan orang-
orang yang memiliki kekuasaan. Kelompok marginal tersebut memiliki
motivasi lebih besar untuk mengerti perspektif dari orang-orang dengan
kekuasaan yang lebih, sehingga kelompok tersebut dapat menampilkan
perspektif yang lebih menyeluruh, lebih tepat atau lebih benar. Tapi
kenyataan yang terlihat pada pemberitaan Pojoksulsel.com adalah kaum laki-
laki yang memang memiliki kuasa dalam mendefinisikan semua hal
kemudian dianut oleh masyarakat hingga saat ini. Selain itu, terkait teori
sudut pandang, sudut pandang pemberitaan diceritakan melalui sudut
pandang dari pihak laki-laki. Sedangkan yang menjadi objek pemberitaan
atau pihak yang diceritakan adalah Eno, korban kekerasan terhadap
perempuan.
Hasil analisis pemberitaan juga menunjukkan Eno digambarkan atau
diceritakan oleh subjek, yaitu redaksi Pojoksulsel.com, melalui sudut pandang
laki-laki dengan mengeksploitasi anggota tubuh perempuan yang
memanjakan fantasi pembaca laki-laki dengan menyebutkan “menggigit
payudara”, “kulit putih mulus”. Kemudian terdapat pesan tersembunyi yang
menggambarkan Eno memiliki sifat negatif terkait kehormatan dengan
memperlihatkan kesan bahwa Eno perempuan gampangan, misalnya pada
wacana “Eno membiarkan laki-laki ‘berleha-leha’ dikamarnya”. Melihat
sudut pandang laki-laki sehigga Eno disalahkan atas kematiannya dengan
menggambarkan Eno memiliki sifat negatif karena mencibir tersangka pada
wacana “Eno mengatakan Rahmat pahit dan jelek”, menyimpulkan sifat dan
perasaan Eno dengan wacana “Eno memberi signal pada RA”, “Eno
menaruh percaya pada RA”. Pojoksulsel.com sebagai subjek mengangakat
wacana pemberitaan yang tidak berimbang atau tidak setara yang merugikan

Jurnal Ilmu Jurnalistik Vol. 3 No. 1 (2018) 90-112 99


I. Aniatsari., D. E. S. Amin, dan E. Muhaimin
pihak wanita. Sudut pandang penceritaan dilihat dari pihak laki-laki sehingga
meguntungkan pihak laki-laki, menjadikan kasus kekerasan terhadap
perempuan sebagai nilai jual dengan mengumbar kata-kata vulgar dan
sadisme, dengan menggambarkan wanita sebagai pihak yang marginal atau
yang bersalah dan menjadikan wanita korban kekerasan terhadap perempuan
sebagai tersangka. Selain itu, Pojoksulsel.com dalam menceritakan wanita
sebagai objek pemberitaan juga membongkar secara terang-terangan
identitas korban susila, dari mulai nama lengkap, alamat lengkap tempat
tinggal korban dan alamat lengkap keluarga korban. Pemberitaan
Pojoksulsel.com mengandung unsur sadis dan terkesan jorok dengan bahasa
yang tidak sopan dan remeh, seperti “menggigit payudara”, “tangan RA
blusukan kedalam celana Eno”, “berciuman hot”, Eno masih hidup dan
menjerit kesakitan saat cangkul dimasukkan ke alat vital Eno“. Dalam hal ini
Pojoksulsel.com telah melanggar kode etik jurnalistik pasal 5 yang berbunyi
wartawan indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban
kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku
kejahatan, dan melanggar pasal 4 yang berbunyi wartawan indonesia tidak
membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Memarginalkan posisi korban dalam pemberitaan merupakan
penindasan berlipat yang dilakukan oleh pihak yang berposisi sebagai subjek
yang bercerita dalam berita. Korban kekerasan terhadap perempuan telah
dilecehkan oleh tersangka, ditambah dengan adanya pemberitaan yang
merugikan dirinya, membuat korban pelecehan dan pembunuhan menjadi
korban untuk kedua kalinya dalam pemberitaan mengenai dirinya melalui
pihak yang berposisi sebagai subjek, yaitu redaksi Pojoksulsel.com dan polisi
yang melihat dan meyakini segala kronologi peristiwa yang disampaikan oleh
keterangan tersangka laki-laki.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Aliansi Jurnalis Independen
(AJI) tentang penggambaran disejumlah media nasional mengenai berita
kategori kekerasan terhadap perempuan masih mendominasi, sementara
pemberitaan mengenai kiprah perempuan masih berada di bawahnya.
Pemberitaan media mengenai perempuan juga ditemukan AJI, masih
melanggar kode etik jurnalistik, terutama pada pemberitaan kekerasan
dengan perempuan sebagai korban. Perempuan korban kekerasan justru
mengalami kekerasan ganda, karena ditampilkan dalam pemberitaan secara
diskriminatif. Pemilihan narasumber dalam pemberitaan mengenai isu
perempuan juga lebih banyak memunculkan laki-laki, dan mengabaikan

100 Jurnal Ilmu Jurnalistik Vol. 3 No. 1 (2018) 90-112


Pemberitaan Konflik FPI dan GMBI

keberadaan dan kemampuan perempuan. Riset AJI menunjukkan, jumlah


narasumber yang diwawancarai oleh media masih lebih banyak laki-laki
daripada perempuan. Kondisi ini membuat suara perempuan terabaikan
dalam berbagai isu perempuan (kompas.com, diakses pada 15/1/2017).
Hal ini tak lepas karena budaya partriarki masyarakat yang masih
kental. Feminis radikal menyatakan bahwa sistem partriarkilah yang
meyebabkan wanita ditekan. Sistem partriarki merupakan sistem yang
memiliki karakter berkuasa, dominan, hierarkies, dan kompertitif
(Pembayun, 2010: 93). Sistem dominasi laki-laki sangat kental dalam
pemberitaan ini sehingga dengan bebas memarginalkan perempuan, dengan
lantang menyebutkan bahwa wanita adalah pihak yang salah.
Sepanjang sejarah peradaban manusia, segala hal yang berkaitan
dengan perempuan, pasti menarik dan menjadi sumber berita. Tak ada berita
tanpa perempuan, sama halnya dengan tak ada perempuan tanpa berita.
Diberbagai belahan dunia, perempuan dengan segala aktivitasnya selalu layak
muat, layak siar, layak tayang.
Selanjutnya pada pemberitaan perempuan dengan topik seksualitas
dalam bingkai kekerasan kerap kali menjadi berita yang dicari pembaca.
Segala macam berita tentang perempuan, tentang seks, selalu banyak
peminatnya. Selalu dinanti dan bahkan dicari. Seks tampil begitu seronok
lewat prilaku menyimpang remaja dalam berbagai kasus di kota-kota besar,
dari soal keperawanan sampai ke masalah hamil diluar nikah, perkosaan,
bunuh diri (Sumadiria, 2005: 91).
Tak bisa dipungkiri hampir setiap hari masyarakat disuguhi dengan
berbagai berita tentang kemalangan yang dialami perempuan, dari berita di
koran, portal online, televisi, jejaring sosial, sampai broadcast message entah dari
mana (Esfand, 2012: 4). Berita mengenai kekerasan pun menjadi salah satu
berita yang paling diminati oleh pembaca sehingga berita-berita mengenai
kekerasan menjadi sebuah daya tarik bagi wartawan guna meliputnya. Tentu
saja pemberitaan kejahatan dan kekerasan yang bersifat sexiest (berdasarkan
jenis kelamin tertentu) menjadi berita sehari-hari, dengan perempuan sebagai
objek pemberitaan yang digambarkan dalam berbagai sifat dan dengan
penggambaran tertentu.
Secara umum kaum laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang
sama dalam setiap aspek kehidupan seperti suruhan “untuk berbuat yang
ma’ruf dan menjauhkan yang munkar. Terlepas mana yang benar, akan tetapi
kita sepakat bahwa persoalan ini masih menempati ruang yang siap
diperdebatkan (Sa’diyah, 2008: 312). Namun, realitas luas asih menunjukkan

Jurnal Ilmu Jurnalistik Vol. 3 No. 1 (2018) 90-112 101


I. Aniatsari., D. E. S. Amin, dan E. Muhaimin
bahwa disana-sini terdapat kecenderungan yang sebaliknya (Esfand, 2012:
14).
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) di tahun 2009. Penelitian ini dilakukan untuk melihat
bagaimana media di Indonesia menuliskan tentang perempuan. Berikut hasil
penelitian AJI dari segi isi (ajiindonesia.co.id/Jurnalis-Perempuan): pertama, Jika
melihat pemberitaan media tentang perempuan, perempuan masih belum
ditempatkan sebagai subjek peliputan. Umumnya, berita tentang perempuan
dalam surat kabar daerah masih berkisar tentang kriminal dan gaya hidup.
Kedua, perempuan yang menjadi korban kriminalitas kadang menjadi
korban kedua kali akibat pemberitaan. Beberapa berita bahkan menuliskan
berita dengan bahasa yang tidak sopan dan sensasional. Media massa kerap
mengabaikan kode etik Jurnalistik Indonesia pasal 5 yang berbunyi:
“Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban
kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku
kejahatan”. Kenyataannya, masih banyak media yang menuliskan nama
lengkap bahkan ditampilkan foto perempuan yang menjadi korban
pelecehan seksual. Ketiga, Tubuh perempuan dalam media massa pun masih
menjadi objek yang menarik dan menjadi komoditas.
Posisi Penulis-Pembaca
Dilihat dari posisi penulis-pembaca juga serupa, dimana penulis,
Pojoksulsel.com yang memiliki posisi dominan dibandingkan pembaca,
menjadi sesuatu yang ikut menyebarkan budaya partriarki dan
memarjinalkan wanita. Hasil dari analisis penggunaan kode budaya dan
stereotip perempuan dengan menggunakan kata sapa dalam fungsi mediasi
menyebabkan khalayak juga harus ikut menerima stereotip, gagasan, wacana
yang diberitakan oleh Pojoksulsel.com. Pada kata sapaan dalam fungsi mediasi,
terkesan masyarakat kerap kali diarahkan untuk berpikir mengenai betapa
sadisnya kondisi kematian Eno seakan-akan melihat langsung, sifat-sifat
Eno yang tampak negatif, rasa simpati kepada pihak laki-laki, dan Eno
sebagai pihak yang bersalah atas kematiannya.
Pada teori sudut pandang, deskriminasi adalah hal yang harus
diperhatikan, karena sesungguhnya diperlakukan tidak adil bukanlah sesuatu
yang diinginkan oleh siapapun. Mereka yang mendominasi akan mengatur
hal tersebut. Teori sudut pandang juga memperkenalkan elemen kekuatan
terhadap permasalahan identitas. Individu yang tunduk atau tersisih melihat

102 Jurnal Ilmu Jurnalistik Vol. 3 No. 1 (2018) 90-112


Pemberitaan Konflik FPI dan GMBI

dunia melalui beragam sudut pandang, mereka mengalami dan


memahaminya dari sifat mereka yang menguntungkan dan mereka juga
melihatnya dari sudut pandang mereka yang punya kekuatan. Sebaliknya,
taktik kelangsungan hidup ini tidaklah benar. Mereka yang berada dalam
kekuatan tidak memiliki keperluan dalam melihat dari sudut pandang orang
yang ditekan, mereka tidak perlu mempelajari orang lain agar
mempertahankan ideologinya (Littlejohn, 2008: 136).
Pojoksulsel.com sebagai penulis kerap kali menampilkan wacana dari
sudut pandang laki-laki sehingga wanita kerap kali diekploitasi dan
dideskriminasi. Wanita sebagai pihak yang dimarjinalkan, membuat seorang-
olah wanita-lah yang salah sehingga menyebabkan kejadian pemerkosaan
dan pembunuhan menjadi kesalahan wanita. Pojoksulsel.com dalam menulis
berita juga tidak melihat sudut pandang kaum wanita atau kaum marginal.
Pihak yang memiliki kekuasaan dalam mengungkapkan sebuah peristiwa
yaitu pihak laki-laki, tentu tidak memiliki keperluan dalam melihat sudut
pandang orang yang tertindas, sehingga dalam mengungkapkan suatu
peristiwa melalui perspektifnya sendiri atau pandangan yang tentu saja
menguntungkan dirinya. Padahal pada pemberitaan juga telah dijelaskan
bahwa salah satu tersangka laki-laki memberikan pernyataan yang berbeda-
beda atau tidak konsisten dalam mengungkapkan bagaimana kronologi
peristiwa yang sebenarnya. Tetapi, Pojoksulsel.com disini sangat
memperhatikan atau membuat wacana dari sudut pandang laki-laki.
Kenyataannya, kaum laki-laki memiliki kuasa lebih dalam mendefinisakan
semua hal yang kemudian dianut oleh masyarakat hingga kini.
Pojoksulsel.com memang ada memberikan ruang menyampaikan
pandangan dan pendapat dari pihak atau kelompok marjinal, misalnya saja
penyapaan dari ibunda Eno, yang menjelaskan bahwa korban adalah anak
yang baik. Akan tetapi pernyataan itu malah dijadikan suatu gagasan atau
senjata untuk melecehkan Eno, yaitu gagasan yang membandingkan antara
tingkah laku Eno yang baik dan dengan tingkah laku Eno yang
menyebabkan Eno tewas. Pesan yang tersirat atau tersembunyi adalah
perkataan mengenai sifat Eno yang dikatakan oleh ibu Eno sangat berbeda
jauh atau sangat berbanding terbalik dengan sifat Eno yang cenderung
negatif sehingga menyebabkan Eno diperkosa dan dibunuh. Penulis seperti
meminta pembenaran kepada pembaca bahwa Eno merupakan pihak yang
salah dan bersifat murahan, ditunjukkan pada wacana “apa yang ditunjukkan
atau di ungkapkan ibu eno tidak menunjukkan bahwa eno adalah perempuan
murahan”, yang secara tidak langsung mengarahkan dan mengisyaratkan

Jurnal Ilmu Jurnalistik Vol. 3 No. 1 (2018) 90-112 103


I. Aniatsari., D. E. S. Amin, dan E. Muhaimin
pembaca untuk berpikir mengenai Eno merupakan perempuan murahan.
Wacana ini telah melecehkan sifat dan kehormatan Eno sebagai perempuan.
Wacana yang ditampilkan menempatkan lelaki diposisi dan sudut pandang
penceritaan yang menguntungkan. Penulis atau Pojoksulsel.com sebagai media
memiliki beberapa peran bagi masyarakat yaitu sebagai agen pengaruh
informasi yang besar, sebagai sumber informasi yang dipilih masyarakat,
sebagai cara untuk memperluas pandangan pembaca akan suatu hal, juga
sebagai juru bahasa yang baik guna menekankan sebuah makna terhadap
sebuah peristiwa. Jadi, dampak yang diberikan media massa sangatlah besar,
sehingga mengharuskan sebuah media, dalam hal ini yaitu Pojoksulsel.com
dalam menyajikan berita harus seimbang, sehingga tidak terjadi
ketidakadilan gender yang merugikan salah satu pihak dengan melakukan
deskriminasi terhadap perempuan.
Selain itu, adapula kutipan dengan kata sapaan dalam fungsi mediasi
dari polisi wanita, akan tetapi polisi wanita tersebut malah ikut serta
menyalahkan eno dalam pembunuhan yang menimpanya. Polisi wanita
dalam memberikan pernyataan juga melihat sudat pandang dari tersangka
tanpa melihat posisi atau memperdulikan kepentingan wanita yang disini
sebagai korban pembunuhan, hal yang semakin membuat posisi lelaki sangat
diuntungkan, sehingga kronologi peristiwa tidak dapat dilihat dengan lebih
objektif. Apalagi pernyataan bahwa Eno adalah pihak yang salah ini keluar
dari pihak yang penting dalam menangani kasus Eno di mata masyarakat,
yang tentu saja wacana ini sangat kuat mempengaruhi masyarakat untuk
menyalahkan Eno. Menganggap bahwa semua orang menafsirkan teks yang
sama dengan cara yang sama adalah sama halnya dengan menganggap bahwa
teks tersebut sangat kuat (berpengaruh) dan pembacanya sangat pasif
(bahwa mereka adalah ‘cultural dapes’ (istilah untuk orang awam yang
dianggap bodoh, tidak tahu apa-apa hanya mengekor orang lain yang
dianggap berpengetahuan lebih baik)) atau bahwa semua anggota pemirsanya
memiliki latar belakang yang identik sama dan sumber yang identik sama
(Hollow, 2010 32).
Jika dikaitkan dengan penelitian ini, maka posisi Pojoksulsel.com sebagai
penulis berhasil membuat posisi pembacanya menjadi aktor yang pasif, yang
membuat pembaca menerima stereotip, gagasan dan wacana yang disajikan
dalam pemberitaan. Hal tersebut bisa dilihat dari pemberitaan yang
menyatakan “Tidak semua orang membela Eno Parinah, beberapa orang
justru mencibir Eno Parinah karena kejadian tragis tersebut tidak akan

104 Jurnal Ilmu Jurnalistik Vol. 3 No. 1 (2018) 90-112


Pemberitaan Konflik FPI dan GMBI

terjadi kalau Eno tidak membuat pelaku sakit hati”, dengan melihat wacana
tersebut, apa yang menjadi keinginan penulis pun terpenuhi, yaitu banyak
orang yang setuju pada sifat Eno yang cenderung negatif dan sebagai pihak
yang salah yang digambarkan dalam pemberitaan.
Pada penggunaan kode budaya, pemberitaan juga merujuk pada peran
gender dan budaya partriarki. Perempuan dalam pemberitaan seakan-akan
harus berperan seperti perempuan yang berbeda dengan laki-laki. Wanita
harus lemah gemulai, sabar, halus, tunduk, patuh, pendukung, mendampingi,
mengabdi dan menyenangkan pria. Dengan kata wanita, benar-benar
dihindari nuansa memprotes, memimpin, menuntut, menyaingi,
memberontak, menentang, melawan (Irianto, 2012: 3). Wanita dipandang
sebagai pelayan, pendukung dan pengabdi suami, sebagai ibu, pengasuh dan
pendidik bagi anak-anaknya, bukan dalam kapasitasnya sebagai manusia
seutuhnya yang dapat berpikir dan menjalankan tugas-tugas kekhalifahan
seperti kaum laki-laki. (Sya’diyah, 2008: 324). Masalah yang lebih berat dan
tidak menguntungkan bagi kaum perempuan adalah apabila pembedaan
peran sosial sudah mengarah kepada norma sosial yang berupa
pengekangan-pengekangan dan deskriminasi terhadap kaum perempuan
(Suryadi & Idris, 2014: 34). Pada pemberitaan, Eno sebagai wanita seakan-
akan harus mengikuti tata-aturan yang berlaku atau yang digariskan oleh laki-
laki, seakan-akan Eno harus melayani dan menyenangkan laki-laki. Eno
digambarkan sebagai pihak disalahkan atas peristiwa pembunuhan yang
menimpanya karena tidak menuruti RA untuk berhubungan badan.
Selain itu, kode budaya selanjutnya masyarakat kerap kali
menganggap wanita sebagai titik atau akar laki-laki melakukan kejahatan,
karena pandangan publik yang sudah biasa menyalahkan perempuan karena
pakaian. Pada hasil analisis pemberitaan disebutkan bahwa Eno memakai
celana pendek dan pakaian seksi, di mana terdapat pesan tersirat bahwa
pakaian seksi tersebut menyebabkan tersangka tergerak untuk melakukan
kejahatan. Stigma negatif dan sinis masyarakat terhadap perempuan korban
pelecehan seperti “pakaian seksi” atau “wanita tampak menggoda dan
merangsang” menjadi suatu kewajaran jika wanita dilecehkan. Sehingga
kebudayaan wanita dilecehkan karena pakaian seksi atau merangsang
menjadi suatu hal yang lazim diterima dimasyarakat.
Hal ini menyebabkan wanita sering kali disalahkan jika laki-laki
melakukan pelecehan seksual padanya. “Habis, dia merangsang, sih!”
menjadi alasan yang lazim diterima. Kekerasan seksual laki-laki yang
menyerang wanita seringkali dianggap sebagai suatu alasan yang tidak dapat

Jurnal Ilmu Jurnalistik Vol. 3 No. 1 (2018) 90-112 105


I. Aniatsari., D. E. S. Amin, dan E. Muhaimin
mengerti. Mitos umum adalah bahwa wanita memprovokasi laki-laki melalui
pakaian mereka, mengedepankan laki-laki, dan mengatakan “tidak” saat
mereka ingin mengatakan “ya“. (Pembayun, 2010: 73)
Realitanya kita hidup di masyarakat yang kental dengan budaya
partriarki, sehingga kadang kala masih menempatkan perempuan sebagai
kelas kedua. Bahkan, seringkali masih menganggap perempuan tidak cukup
kompeten untuk bisa berpikir bagi kebaikan dirinya sendiri. Ditambah lagi,
pemberitaan media seputar kasus kekerasan terhadap perempuan yang
terkadang menggunakan bahasa yang “nyaris” sebelas-dua belas dengan
buku-buku “stensilan”, banyak menyudutkan korba, dan bukan mengupas
habis pelaku beserta modusnya. Ditambah lagi stigma negatif yang kerap
dilontarkan masyarakat terhadap korban kekerasan. Sudah jadi korban,
dijadikan tersangka pula ! (Esfand, 2012: 3)
Sayangnya, pandangan memojokkan perempuan sebagai penyebab
terjadinya kekerasan yang dialaminya ini tidak hanya keluar dari kalangan
yang kurang berpendidikan, tetapi juga yang mengaku berasal dari status
sosial dan pendidikan tinggi. Seolah-olah komentar yang umum dilontarkan
adalah, “Dia diperkosa? Emang dia pakai baju yang gimana?” atau “makanya
jaga pergaulan, jangan terlalu kegenitan”. Mari mencerna kasusu berikut.
(Esfand, 2012: 3-4)
Tanggal 28 Mei 2011, saat tengah malam seorang bayi perempuan
berusia delapan bulan di Bantaeng, Sulawesi Selatan, diculik dan baru
ditemukan 13 jam kemudian. Bayi tersebut ditemukan oleh seorang nelayan
dalam keadaan terikat disebuah perahu kosong. Hal yang paling memilukan,
bayi tersebut ditemukan dengan darah mengucur dari alat vitalnya. Ternyata,
bayi delapan bulan tersebut telah diperkosa. (Esfand, 2012 : 4). Berdasarkan
kasus ini bisa dilihat, kalimat yang menyudutkan wanita (misalnya dari
pakaian yang dikenakan) sehingga dianggap menjadi penyebab laki-laki
tergerak, bukanlah suatu hal yang harus dimaklumi. Masyarakat telah salah
dalam menyikapi hal ini. Bagaimanapun pakaian yang dikenakan wanita, mau
itu pakaian yang tertutup seluruh tubuh pun, tidak menutup kemungkinan
wanita mendapatkan kasus kekerasan. Apalagi kejahatan yang dilakukan laki-
laki yang kerap kali dianggap sebagai hal yang dimaklumi oleh masyarakat,
menyebabkan para lelaki semakin leluasa untuk melakukan kekerasan
terhadap perempuan. Lelaki akan menganggap remeh perempuan dan
berpikir semakin bebas untuk melakukan pelecehan. Lagipula alasan untuk
menyalahkan wanita atas kejahatan yang dilakukannya akan mendapat

106 Jurnal Ilmu Jurnalistik Vol. 3 No. 1 (2018) 90-112


Pemberitaan Konflik FPI dan GMBI

pemakluman dari masyarakat.


Penggambaran Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan yang berkaitan atau
mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan, secara fisik,
seksual, psikologi, ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan, dan perampasan
kebebasan baik yang terjadi di lingkungan masyarakat maupun dilingkungan
rumah tangga. (Esfand, 2012: 66).
Tabel 1. Kategori Kekerasan dalam Pacaran
Jenis Bentuk Dampak
Fisik Memukul, menendang, Luka-luka dan cacat fisik
menjambak, menampar,
menganiaya bagian rubuh,
dan menyundut dengan
rokok
Psikis Ancaman, tekanan, paksaan, Ketakutan, hilangnya
posesif yang berlebihan, kepercayaan diri, kerugian
cacian, menjadikan bahan materi, dan ketidaknyamanan
olok-olok, pemerasan dalam menjalani hidup
ekonomi, larangan bergaul
dengan orang lain, cemburu
dan berlebihan
Seksual Sentuhan, ciuman, rabaan Ketakutan, trauma seksual,
yang tidak kita sukai, dan hilangnya kepercayaan
paksaan untuk berhubungan diri
intim tanpa persetujuan kita,
dan penelantaran pascahamil
Sumber: Esfand, 2012: 108
Penggambaran bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan oleh
Pojoksulsel.com diungkapkan dengan sangat mendetail dan mengandung unsur
sadisme. Wanita dalam pemberitaan digambarkan mendapatkan bentuk-
bentuk kekerasan berupa kesengsaraan atau penderitaan secara fisik.
Kekerasan fisik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Online yaitu
perbuatan seseorang atau kelompok orang yg menyebabkan cedera atau
matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain
(http://kamusbahasaindonesia.org, diakses pada 21/9/2017). Kekerasan
fisik terhadap Eno, korban kekerasan terhadap perempuan yang ditampilkan
oleh Pojoksulsel.com yaitu berupa penganiayaan bagian-bagian tubuh korban.
Hal ini ditunjukkan dengan penggambaran kerusakan tubuh Eno yang
diceritakan sangat detail seperti “korban patah tulang leher, luka dipipi, luka

Jurnal Ilmu Jurnalistik Vol. 3 No. 1 (2018) 90-112 107


I. Aniatsari., D. E. S. Amin, dan E. Muhaimin
robek sampai bagian hati dan merusak paru-paru”. Lalu, ditampilkan pula
kondisi kematian Eno yang diblur akan tetapi masih memperlihatkan bagian
kepala cangkul yang tertancap di alat vital Eno dan darah yang mengalir
bercucuran dilantai.
Selanjutnya yaitu kekerasan berupa kesengsaraan seksual, yaitu
gambaran wacana berupa paksaan untuk berhubungan intim tanpa
persetujuan yang dilakukan oleh para tersangka, berupa wacana
“ditelanjangi”, “diperkosa”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
pemerkosaan adalah perbuatan menundukkan dengan kekerasan, memaksa
menggagahi dengan kekerasan. Pemerkosaan adalah jenis kekerasan
terhadap perempuan yang paling kejam dan ditakuti, karena bukan hanya
merenggut kehormatan korban, kejahatan ini juga meninggalkan trauma
yang mendalam dan dampak yang panjang bagi masa depan korban.
Perkosaan menjadi salah satu cara yang “efektif” untuk menghancurkan diri
dan masa depan sebagian besar perempuan (Esfand, 2012: 68).
Pelecehan seksual yang digambarkan dalam pemberitaan yang
dipublikasikan oleh Pojoksulsel.com yaitu kekerasan yang menyebabkan
penderitaan secara psikis, yaitu berupa tekanan, paksaan berupa pelecehan
secara verbal pada wacana yang ditulis oleh Pojoksulsel.com sendiri. Pelecehan
verbal yaitu segala ucapan yang dengan sengaja dimaksutkan untuk
melecehkan perempuan. Hal yang tergolong dalam pelecehan verbal seperti
lelucon cabul yang mnejadikan perempuan sebagai objek utama, siulan nada
dan maksut merendahkan perempuan, gurauan yang mengarah pada hal
seputar seks, pembicaraan yang mengarah pada hal seputar seks, baik secara
langsung maupun melalui media perantara, pernyataan atau ucapan yang
merendahkan perempuan karena jenis kelaminnya (Esfand, 2012: 14).
Faktanya, sebagian besar korban dari pelecehan verbal berjenis kelamin
perempuan. Hal ini bisa jadi berkaitan erat dengan budaya masyarakat
Indonesia kebanyakan yang masih kental nuansa partriarkinya dan sering kali
menempatkan perempuan sebagai objek kesenangan laki-laki semata
(Esfand, 2012: 88). Pada pemberitaan yang ditulis oleh Pojoksulsel.com, wanita
sebagai korban kekerasan terhadap perempuan secara tidak langsung telah
dilecehkan secara verbal dengan penggambaran detail kejadian, kata-kata
yang sangat vulgar dan seksi dengan jelas menyebut bagian tubuh sensitif
wanita mengarah kepada hal seputar seks yang memanjakan imajinasi laki-
laki. Tubuh perempuan dalam media massa menjadi objek yang menarik dan
menjadi komoditas. Selain itu, penggambaran detail yang terkesan jorok ini

108 Jurnal Ilmu Jurnalistik Vol. 3 No. 1 (2018) 90-112


Pemberitaan Konflik FPI dan GMBI

juga melecehkan pembaca wanita, dimana Pojoksulsel.com berarti membagikan


pembicaraan yang mengarah pada hal seputar seks kepada pembaca.
Pelecehan verbal mungkin yang paling banayak dialami oleh perempuan,
juga menjadi tindakan pelecehan yang sulit ditindaklanjuti karena
ketidakcukupan bukti. Meski terlihat tidak membahayakan, pelecehan jenis
ini kadangkala menjadi tahapan awal dari tindakan pelecehan yang lebih jauh
lagi karena pelaku merasa tidak ditanggapi atau merasa semakin penasaran
dengan perempuan tersebut (Esfand, 2012: 89). Berikut adalah kategori
kekerasan dalam pacaran :

PENUTUP
Setelah melakukan penelitian dengan seksama terhadap berita kekerasan
terhadap perempuan di media online khususnya pemberitaan pembunuhan
Eno di Pojoksulsel.com, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai
berikut: Pertama, posisi perempuan dalam wacana pemberitaan yang ditulis
oleh Pojoksulsel.com adalah dominan sebagai objek pemberitaan, sedangkan
yang berada diposisi subjek pemberitaan adalah redaksi Pojoksulsel.com dan
polisi. Teks yang ditampilkan dalam pemberitaan ini sepenuhnya mengikuti
pandangan dari subjek, yaitu Pojoksulsel.com dan polisi, dimana semua
keterangan dan kronologi perstiwa didapatkan oleh tersangka laki-laki, yang
kemudian keterangan tersebut menjadi satu-satunya kebenaran mutlak atau
satu-satunya keterangan yang paling diyakini kebenarannya. Pojoksulsel.com
berperan sebagai pihak yang menentukan wacana perempuan yang
digambarkan dalam kasus pembunuhan Eno. Pojoksulsel.com dengan bebas
menggambarkan penyebab Eno dibunuh dengan memperlihatkan sifat dan
perilaku negatif perempuan. Selain itu, dengan bahasa yang tidak sopan dan
sangat remeh Pojoksulsel.com menjelaskan bagaimana penggambaran
perempuan dan bagaimana perempuan diperlakukan oleh laki-laki.
Pojoksulsel.com dalam wacana turut serta mengeksploitasi kehormatan,
anggota tubuh perempuan, mengumbar pemberitaan yang bersifat sadisme,
mengumbar berita yang jorok, dan menyajikan pemberitaan yang tidak
berimbang dengan penulisan dengan melihat hanya dari sudut pandang laki-
laki. Eno sebagai korban justru digambarkan sebagai tersangka atas
penyebab kematiannya, meski kronologi peristiwa murni mempercayai
keterangan dari tersangka laki-laki, dimana salah satu tersangka tidak
konsisten dalam memberikan keterangan.
Kedua, Posisi penulis-pembaca pada pemberitaan Eno korban
kekerasan perempuan pada teks di situs Pojoksulsel.com adalah Pojoksulsel.com
Jurnal Ilmu Jurnalistik Vol. 3 No. 1 (2018) 90-112 109
I. Aniatsari., D. E. S. Amin, dan E. Muhaimin
memiliki posisi yang dominan dibandingkan pembaca. Pojoksulsel.com
menyajikan wacana yang menempatkan dan mengarahkan pembaca untuk
menerima wacana, stereotip dan gagasan dari Pojoksulsel.com. Pembaca
bersifat pasif, dan tidak diberi ruang untuk melihat gagasannya dengan topik
pemberitaan serta teks yang terbatas, dimana perempuan adalah pihak yang
bersalah atas kematiannya dan kronologi peristiwa murni mempercayai
keterangan dari pihak tersangka walau tersangka sendiri tidak konsisten
dalam memberi keterangan.
Ketiga, Penggambaran bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan
terhadap Eno korban kekerasan terhadap perempuan yang ditampilakan
dalam teks di situs Pojoksulsel.com adalah sangat mendetail dan mengandung
unsur sadisme. Wanita dalam pemberitaan digambarkan mendapatkan
bentuk-bentuk kekerasan berupa kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
yaitu berupa penganiayaan bagian-bagian tubuh korban. Kekerasan berupa
kesengsaraan seksual, yaitu berupa paksaan untuk berhubungan intim tanpa
persetujuan atau pemerkosaan. Kekerasan yang menyebabkan penderitaan
secara psikis, yaitu berupa tekanan, paksaan, pelecehan secara verbal.
Setelah melakukan penelitian, saran yang dapat diberikan yaitu
mahasiswa kedepannya diharapkan lebih kritis, terutama melihat
ketimpangan-ketimpangan pemberitaan yang dialami perempuan terutama
pada kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Diharapkan mahasiswa
banyak yang mengembangkan penelitian lanjutan namun dalam konteks
yang berbeda. Sedangkan Institusi pers diharapkan tetap memertahankan
idealis sehingga tidak lagi ditemukan ketimpangan atau ketidakseimbangan
pemberitaan yang dapat merugikan salah satu pihak, khususnya perempuan.
Dimana dalam pemberitaan perempuan kerap kali menjadi objek
pemberitaan dan tidak jarang perempuan diposisikan dalam wacana sebagai
pihak yang salah. Institusi pers diharapkan mentaati etika dan kode etik
jurnalistik dalam pemberitaannya, tidak menyebarluaskan informasi atau
identitas korban kekerasan terhadap perempuan dan tidak menyebarkan
unsur seksi dan sadis dalam pemberitaan kepada masyarakat. Institusi pers
sebaiknya lebih memperhatikan berita yang disajikan, menyaring berita
negatif jika dirasa berdampak negatif bagi masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

110 Jurnal Ilmu Jurnalistik Vol. 3 No. 1 (2018) 90-112


Pemberitaan Konflik FPI dan GMBI

Ajiindonesia.or.id, (2012). Jejak Jurnalis Perempuan, diakses 15 Januari 2017,


dari https://ajiindonesia.or.id/upload/content/Jurnalis-Perempuan-
FA.pdf
Ardianto, E. dkk. (2007). Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung:
Simbiosa
Askolani, M. (2013). Analisis Bias Gender di Media Massa (Analisis Wacana
Teun A. Van Dijk Berita-berita Kriminal Terhadap Perempuan di Harian
Umum Kabar Cierebon Edisi Mei-Juni 2012). Skripsi, Jurusan Ilmu
Komunikasi Jurnalistik, UIN Sunan Gunung Djati, Bandung
Assegaff, D. H. (1982), Jurnalistik Masa Kini, Jakarta : Ghalia Indonesia
BBC.com, (2016). Kasus Kekerasan Seksual masih Bermunculan. diakses 24
Oktober 2016,
dari http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/05/160
516_indonesia_kekerasan_seksual
Cinta, C. (2013). Bias Gender dalam pemberitaan Perempuan-perempuan di Pusaran
Korupsi, Liputan 6, SCTV, 28 Desember 2013. Skripsi, Jurusan Ilmu
Komunikasi Jurnalistik, Universitas Padjadjaran, Bandung.
Effendy, O. U. (2000). Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti
Eriyanto. (2001). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta:
LkiS
Esfand, M. (2012). Woman Self and Defense Merdeka dari Rasa Takut. Jakarta:
Visi Media
Jawapos.com. (2016). Ini Fakta-fakta Pembunuhan Yuyun, diakses pada 13
Januari 2017,
dari http://www.jawapos.com/read/2016/05/03/26600/ini-fakta-
fakta-pembunuhan-yuyun
Jurnal Perempuan. (2010). Apa Kabar Media Kita?. Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan.
Kamus Bahasa Indonesia. (2017). Kekerasan Fisik, diakses 21 September
2017, dari http://kamusbahasaindonesia.org/kekerasan
Kompas.com, (2011). Aji: Citra Perempuan di Pemberitaan Media Masih Klise,
diakses 15 Januari 2017,
dari http://entertainment.kompas.com/read/2011/03/09/1701011/
aji.citra.perempuan.di.pemberitaan.media.masih.klise
Littlejohn, S. W., Karena A. F. (2008). Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba
Humanika

Jurnal Ilmu Jurnalistik Vol. 3 No. 1 (2018) 90-112 111


I. Aniatsari., D. E. S. Amin, dan E. Muhaimin
Murniarti, N. P. (2004). Getar-getar Gender Perempuan Indonesia. Magelang:
Indonesiatera.
Okezone.com, (2016). Sekali Kencan Farah Wanita dalam Kardus Pasang Tarif
Rp 4 Juta, diakses pada 13 Januari 2017,
dari http://news.okezone.com/read/2016/07/13/338/1437084/se
kali-kencan-farah-wanita-dalam-kardus-pasang-tarif-rp4-juta
Pembayun, E. L. (2010). Birahi Maya. Bandung : Nuansa
Purwaningsih, L. 2012. Citra Wanita dalam Media Massa (Analisis Wacana
Model Sara Mills pada Berita Kompas Edisi Maret 2012. Skripsi,
JurusanIlmu Komunikasi Jurnalistik, UIN Sunan Gunung Djati,
Bandung.
Purwaningsih, S. (2009). Kiai dan Keadilan Gender di Indonesia. Semarang:
Walisongo Press
Romli, A. S. M. (2012). Jurnalistik Online: Panduan Mengelola Media Online.
Bandung : Nuansa Cendikia
Sa’diyah, D. (2008). Isu Perempuan (Dakwah dan Kepemimpinan
Perempuan dalam Kesetaraan Gender). Ilmu Dakwah: Academic Journal
for Homiletic Studies. (4)12: 305-334.
Suhandang, K. (2004). Pengantar Jurnalistik: Seputar Organisasi, produk dan kode
etik. Bandung : Nuansa.
Sumadiria, H. (2005). Jurnalistik Indonesia. Bandung: Simbiosa Rekatama
Media
Suryadi, A. dan Idris, E. 2004. Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan.
Bandung : PT. Genesindo
Pojoksulsel.com, (2016). Tentang Pojoksulsel.com, diakses pada 12 Desember
2016, dari http://sulsel.pojoksatu.id/tentang-kami/

112 Jurnal Ilmu Jurnalistik Vol. 3 No. 1 (2018) 90-112

Anda mungkin juga menyukai