ABSTRACT
This study aims to find out how the discourse about women in cases of violence against
women is being developed by the online media Pojoksulsel.com, where women are often
used as the guilty party in cases of violence that happened to her. The study will look at
how the positions of female subjects are displayed in the text, the position of the author-
reader in the sense of text, and how the depiction of forms of violence against women in the
context of the news. The research method used descriptive method with qualitative
approach of discourse analysis tradition. The results showed the position of women in the
discourse of news in Pojoksulsel.com is as an object of news, while the subject will be the
news editorial Pojoksulsel.com and police. The writer's position or Pojoksulsel.com is
more dominant in the text, while the passive reader's position, with the reader's limited
text to accept the stereotype given by Pojoksulsel.com which directs the reader to blame the
woman for his misfortune. The forms of violence against women displayed by
Pojoksulsel.com are very detailed and sadistic with women getting violent, sexual and
psychological. The conclusion is that there is a gender imbalance in the news.
Keywords: Online Media; Women; Violence; News.
PENDAHULUAN
Kasus kekerasan terhadap perempuan kerap kali terjadi di tanah air, bahkan
menurut pengamatan Komnas Perempuan pada tahun 2015, angka
kekerasan terhadap perempuan meningkat 9% dari tahun sebelumnya
(bbc.com, diakses pada 24/20/2017). Kasus kekerasan terhadap perempuan
juga tidak luput mewarnai pemberitaan media massa di Indonesia. Media
massa sendiri memiliki kemampuan dalam mengkontruksi realitas dan media
merupakan salah satu instrumen utama dalam membentuk konstruksi isu
gender pada masyarakat.
Menurut Noelle-Neumann salah satu sifat media massa yaitu ubikuitas
(ubiquity) mengacu pada fakta bahwa media merupakan sumber
informasi yang sangat luas karena terdapat dimana saja, dengan kata
lain ubikuitas adalah kepercayaan bahwa media terdapat di mana-
mana. Karena media terdapat di mana saja maka media menjadi
instrumen yang sangat penting, diandalkan dan selalu tersedia ketika
orang membutuhkan informasi. Media berusaha mendapat dukungan
publik terhadap pandangan atau pendapat yang disampaikannya, dan
selama itu pula pandangan atau pendapat itu terdapat di mana-mana
(Morrison, 2013: 531).
Kelebihan media massa yang antara lain jangkauan yang luas, dengan
waktu yang tidak terbatas sangat efektif untuk menyebarkan isu, media pun
menjadi alat penyebaran isu gender kepada masyarakat. Maka, kemudian
media memiliki pilihan untuk memberitakan isu gender sebagai bentuk
pembelajaran kepada pembaca, sebagai kritik, atau bahkan menjadikan isu
gender ini sebagai komoditas (Jurnal Perempuan, 2010: 136).
Media Massa yang diminati masyarakat di zaman perkembangan ilmu
Jurnal Ilmu Jurnalistik Vol. 3 No. 1 (2018) 90-112 91
I. Aniatsari., D. E. S. Amin, dan E. Muhaimin
pengetahuan dan teknologi saat ini adalah media online (internet). Pengguna
internet menggatungkan pada situs untuk memperoleh berita. Menurut
Straubhar dan LaRose (2007: 149) dalam buku komunikasi massa yaitu dua
sampai tiga pengguna internet mengakses situs untuk mendapatkan berita
terbaru setiap minggunya. Media online memang lebih unggul dari media
lainnya karena dapat diakses kapan saja, di mana saja dan jenis penyajian
beritanya berupa gambar, gambar bergerak, teks maupun audio.
Media online dengan segala keunggulannya, tentu saja tidak luput dari
menyuguhkan berita kemalangan yang dialami kaum perempuan. Kejahatan
dan kekerasan yang bersifat sexist (berdasarkan jenis kelamin tertentu)
menjadi berita sehari-hari, dengan perempuan sebagai objek utamanya
(Esfand, 2012: 14), bahkan pemberitaan yang disajikan media khususnya
media online, cenderung menceritakan wanita dengan bahasa yang melewati
batasan etika dan kode etik. Beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa
wanita kerap kali dijadikan objek pemberitaan dan wanita digambarkan
negatif dalam pemberitaan yaitu penelitian berjudul Bias Gender dalam
Pemberitaan Perempuan-perempuan di Pusaran Korupsi “Liputan 6 SCTV,
28 Desember 2013” (Cinta, 2013), Citra Wanita dalam Media Massa
(Purwaningsih, 2012), Analisis Bias Gender di Media Massa (Askolani,
2013).
Beberapa contoh kasus kekerasan terhadap perempuan yang cukup
ramai dibicarakan masyarakat karena tersebar secara luas di media online di
tahun 2016 yaitu, kasus pemerkosaan dan pembunuhan Yuyun di Jawa
pos.com (3 Mei 2016), kasus kematian Farah yang tewas dimasukkan kedalam
kardus di Okezon.com (13 Juli 2016), kasus pemerkosaan dan pembunuhan
Eno di Pojosulsel.com (16 Mei 2016).
Salah satu pemberitaan kasus kekerasan terhadap perempuan yang
paling menggemparkan dan menghebohkan masyarakat di tahun 2016 yang
tersebar di situs dan media online adalah kasus tewasnya Eno. Masyarakat
terkejut dengan foto-foto kondisi kematian Eno yang sadis beredar tanpa
sensor di internet. Pemberitaan Eno di media online tidak hanya menampilkan
foto Eno dalam kondisi tewas mengenaskan, bahkan penyebutan nama
lengkap dan alamat lengkap korban menjadi trend wajib di media online saat
ini.
Selain itu, hal yang lebih parah lagi yaitu pemberitaan media seputar
kasus kekerasan terhadap perempuan yang terkadang menggunakan bahasa
yang “nyaris” sebelas-dua belas dengan buku-buku “stensilan”, banyak
LANDASAN TEORITIS
Teori dan konsep yang dijadikan dalam penelitian ini adalah jurnalistik
online. Jurnalistik online adalah proses penyampaian informasi melalui media
internet, utamanya website. Karena merupakan perkembangan baru dalam
dunia media, website pun dikenal juga dengan sebutan “media baru”, media
konvensional koran, majalah, radio dan televisi. Hal terbaru dalam “new
media” antara lain informasi yang tersaji bisa diakses atau dibaca kapan saja
dan di mana pun, di seluruh dunia, selama ada komputer dan perangkat lain
yang memiliki koneksi internet (Romli, 2012: 11). Menurut Straubhar dan
LaRose dalam Komunikasi Massa 2007, dua sampai tiga pengguna internet
mengakses situs untuk mendapatkan berita terbaru setiap minggunya.
Pengguna internet menggantungkan pada situs untuk memperoleh berita
(Ardianto, Komala, Karlina, 2007: 149). Publikasi berita melalui media
subjek, pihak laki-laki akan menceritakan, tentu saja dengan perspektif dan
kepentingannya, mengenai proses perkosaan bahkan mengenai wanita yang
menjadi korban perkosaan sendiri (Eriyanto, 2001: 201-202).
Menurut Sandra Harding (2004) mengenai teori sudut pandang yaitu
langkah pertama memahami pengalaman adalah pada cara yang berbeda-
beda bagi setiap individu dalam mengonstruksi berbagai kondisi atau situasi
serta posisi dia pada suatu struktur sosial (Littlejohn, 2008: 135-136). Sandra
Harding menggagas bahwa salah satu cara terbaik untuk mengetahui
bagaimana keadaan dunia kita adalah dengan memulai penyelidikan dari
kaum perempuan dan kaum marginal lainnya. Menurut Harding, ketika
seseorang berbicara dari pihak oposisi dalam hubungan kekuasaan,
perspektif dari kehidupan orang-orang yang tidak memiliki kekuasaan
memiliki sudut pandangan yang lebih objektif daripada pandangan orang-
orang yang memiliki kekuasaan. Kelompok marginal tersebut memiliki
motivasi lebih besar untuk mengerti perspektif dari orang-orang dengan
kekuasaan yang lebih, sehingga kelompok tersebut dapat menampilkan
perspektif yang lebih menyeluruh, lebih tepat atau lebih benar. Tapi
kenyataan yang terlihat pada pemberitaan Pojoksulsel.com adalah kaum laki-
laki yang memang memiliki kuasa dalam mendefinisikan semua hal
kemudian dianut oleh masyarakat hingga saat ini. Selain itu, terkait teori
sudut pandang, sudut pandang pemberitaan diceritakan melalui sudut
pandang dari pihak laki-laki. Sedangkan yang menjadi objek pemberitaan
atau pihak yang diceritakan adalah Eno, korban kekerasan terhadap
perempuan.
Hasil analisis pemberitaan juga menunjukkan Eno digambarkan atau
diceritakan oleh subjek, yaitu redaksi Pojoksulsel.com, melalui sudut pandang
laki-laki dengan mengeksploitasi anggota tubuh perempuan yang
memanjakan fantasi pembaca laki-laki dengan menyebutkan “menggigit
payudara”, “kulit putih mulus”. Kemudian terdapat pesan tersembunyi yang
menggambarkan Eno memiliki sifat negatif terkait kehormatan dengan
memperlihatkan kesan bahwa Eno perempuan gampangan, misalnya pada
wacana “Eno membiarkan laki-laki ‘berleha-leha’ dikamarnya”. Melihat
sudut pandang laki-laki sehigga Eno disalahkan atas kematiannya dengan
menggambarkan Eno memiliki sifat negatif karena mencibir tersangka pada
wacana “Eno mengatakan Rahmat pahit dan jelek”, menyimpulkan sifat dan
perasaan Eno dengan wacana “Eno memberi signal pada RA”, “Eno
menaruh percaya pada RA”. Pojoksulsel.com sebagai subjek mengangakat
wacana pemberitaan yang tidak berimbang atau tidak setara yang merugikan
terjadi kalau Eno tidak membuat pelaku sakit hati”, dengan melihat wacana
tersebut, apa yang menjadi keinginan penulis pun terpenuhi, yaitu banyak
orang yang setuju pada sifat Eno yang cenderung negatif dan sebagai pihak
yang salah yang digambarkan dalam pemberitaan.
Pada penggunaan kode budaya, pemberitaan juga merujuk pada peran
gender dan budaya partriarki. Perempuan dalam pemberitaan seakan-akan
harus berperan seperti perempuan yang berbeda dengan laki-laki. Wanita
harus lemah gemulai, sabar, halus, tunduk, patuh, pendukung, mendampingi,
mengabdi dan menyenangkan pria. Dengan kata wanita, benar-benar
dihindari nuansa memprotes, memimpin, menuntut, menyaingi,
memberontak, menentang, melawan (Irianto, 2012: 3). Wanita dipandang
sebagai pelayan, pendukung dan pengabdi suami, sebagai ibu, pengasuh dan
pendidik bagi anak-anaknya, bukan dalam kapasitasnya sebagai manusia
seutuhnya yang dapat berpikir dan menjalankan tugas-tugas kekhalifahan
seperti kaum laki-laki. (Sya’diyah, 2008: 324). Masalah yang lebih berat dan
tidak menguntungkan bagi kaum perempuan adalah apabila pembedaan
peran sosial sudah mengarah kepada norma sosial yang berupa
pengekangan-pengekangan dan deskriminasi terhadap kaum perempuan
(Suryadi & Idris, 2014: 34). Pada pemberitaan, Eno sebagai wanita seakan-
akan harus mengikuti tata-aturan yang berlaku atau yang digariskan oleh laki-
laki, seakan-akan Eno harus melayani dan menyenangkan laki-laki. Eno
digambarkan sebagai pihak disalahkan atas peristiwa pembunuhan yang
menimpanya karena tidak menuruti RA untuk berhubungan badan.
Selain itu, kode budaya selanjutnya masyarakat kerap kali
menganggap wanita sebagai titik atau akar laki-laki melakukan kejahatan,
karena pandangan publik yang sudah biasa menyalahkan perempuan karena
pakaian. Pada hasil analisis pemberitaan disebutkan bahwa Eno memakai
celana pendek dan pakaian seksi, di mana terdapat pesan tersirat bahwa
pakaian seksi tersebut menyebabkan tersangka tergerak untuk melakukan
kejahatan. Stigma negatif dan sinis masyarakat terhadap perempuan korban
pelecehan seperti “pakaian seksi” atau “wanita tampak menggoda dan
merangsang” menjadi suatu kewajaran jika wanita dilecehkan. Sehingga
kebudayaan wanita dilecehkan karena pakaian seksi atau merangsang
menjadi suatu hal yang lazim diterima dimasyarakat.
Hal ini menyebabkan wanita sering kali disalahkan jika laki-laki
melakukan pelecehan seksual padanya. “Habis, dia merangsang, sih!”
menjadi alasan yang lazim diterima. Kekerasan seksual laki-laki yang
menyerang wanita seringkali dianggap sebagai suatu alasan yang tidak dapat
PENUTUP
Setelah melakukan penelitian dengan seksama terhadap berita kekerasan
terhadap perempuan di media online khususnya pemberitaan pembunuhan
Eno di Pojoksulsel.com, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai
berikut: Pertama, posisi perempuan dalam wacana pemberitaan yang ditulis
oleh Pojoksulsel.com adalah dominan sebagai objek pemberitaan, sedangkan
yang berada diposisi subjek pemberitaan adalah redaksi Pojoksulsel.com dan
polisi. Teks yang ditampilkan dalam pemberitaan ini sepenuhnya mengikuti
pandangan dari subjek, yaitu Pojoksulsel.com dan polisi, dimana semua
keterangan dan kronologi perstiwa didapatkan oleh tersangka laki-laki, yang
kemudian keterangan tersebut menjadi satu-satunya kebenaran mutlak atau
satu-satunya keterangan yang paling diyakini kebenarannya. Pojoksulsel.com
berperan sebagai pihak yang menentukan wacana perempuan yang
digambarkan dalam kasus pembunuhan Eno. Pojoksulsel.com dengan bebas
menggambarkan penyebab Eno dibunuh dengan memperlihatkan sifat dan
perilaku negatif perempuan. Selain itu, dengan bahasa yang tidak sopan dan
sangat remeh Pojoksulsel.com menjelaskan bagaimana penggambaran
perempuan dan bagaimana perempuan diperlakukan oleh laki-laki.
Pojoksulsel.com dalam wacana turut serta mengeksploitasi kehormatan,
anggota tubuh perempuan, mengumbar pemberitaan yang bersifat sadisme,
mengumbar berita yang jorok, dan menyajikan pemberitaan yang tidak
berimbang dengan penulisan dengan melihat hanya dari sudut pandang laki-
laki. Eno sebagai korban justru digambarkan sebagai tersangka atas
penyebab kematiannya, meski kronologi peristiwa murni mempercayai
keterangan dari tersangka laki-laki, dimana salah satu tersangka tidak
konsisten dalam memberikan keterangan.
Kedua, Posisi penulis-pembaca pada pemberitaan Eno korban
kekerasan perempuan pada teks di situs Pojoksulsel.com adalah Pojoksulsel.com
Jurnal Ilmu Jurnalistik Vol. 3 No. 1 (2018) 90-112 109
I. Aniatsari., D. E. S. Amin, dan E. Muhaimin
memiliki posisi yang dominan dibandingkan pembaca. Pojoksulsel.com
menyajikan wacana yang menempatkan dan mengarahkan pembaca untuk
menerima wacana, stereotip dan gagasan dari Pojoksulsel.com. Pembaca
bersifat pasif, dan tidak diberi ruang untuk melihat gagasannya dengan topik
pemberitaan serta teks yang terbatas, dimana perempuan adalah pihak yang
bersalah atas kematiannya dan kronologi peristiwa murni mempercayai
keterangan dari pihak tersangka walau tersangka sendiri tidak konsisten
dalam memberi keterangan.
Ketiga, Penggambaran bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan
terhadap Eno korban kekerasan terhadap perempuan yang ditampilakan
dalam teks di situs Pojoksulsel.com adalah sangat mendetail dan mengandung
unsur sadisme. Wanita dalam pemberitaan digambarkan mendapatkan
bentuk-bentuk kekerasan berupa kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
yaitu berupa penganiayaan bagian-bagian tubuh korban. Kekerasan berupa
kesengsaraan seksual, yaitu berupa paksaan untuk berhubungan intim tanpa
persetujuan atau pemerkosaan. Kekerasan yang menyebabkan penderitaan
secara psikis, yaitu berupa tekanan, paksaan, pelecehan secara verbal.
Setelah melakukan penelitian, saran yang dapat diberikan yaitu
mahasiswa kedepannya diharapkan lebih kritis, terutama melihat
ketimpangan-ketimpangan pemberitaan yang dialami perempuan terutama
pada kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Diharapkan mahasiswa
banyak yang mengembangkan penelitian lanjutan namun dalam konteks
yang berbeda. Sedangkan Institusi pers diharapkan tetap memertahankan
idealis sehingga tidak lagi ditemukan ketimpangan atau ketidakseimbangan
pemberitaan yang dapat merugikan salah satu pihak, khususnya perempuan.
Dimana dalam pemberitaan perempuan kerap kali menjadi objek
pemberitaan dan tidak jarang perempuan diposisikan dalam wacana sebagai
pihak yang salah. Institusi pers diharapkan mentaati etika dan kode etik
jurnalistik dalam pemberitaannya, tidak menyebarluaskan informasi atau
identitas korban kekerasan terhadap perempuan dan tidak menyebarkan
unsur seksi dan sadis dalam pemberitaan kepada masyarakat. Institusi pers
sebaiknya lebih memperhatikan berita yang disajikan, menyaring berita
negatif jika dirasa berdampak negatif bagi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA