Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

MULTIKULTURALISME DAN PROBLEM KEBUDAYAAN DI ERA


GLOBALISASI

Di susun oleh:

Rifqi Fauzan (044352986)

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TERBUKA
UPBBJ BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Multikulturalisme Dan
Problem Kebudayaan Di Era Globalisasi” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya dasar. Saya mengucapkan terima kasih
kepada dosen mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya dasar yang telah memberikan tugas
ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi
yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Saya
menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Bandung, 29 November 2021

Penyusun,

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................. 2


DAFTAR ISI............................................................................................................................ 3
BAB I ........................................................................................................................................ 4
PENDAHULUAN ................................................................................................................... 4
A. Latar Belakang ................................................................................................................ 4
C. Tujuan Penyusunan Makalah ........................................................................................ 6
BAB II ...................................................................................................................................... 7
A. Budaya dan Warisan Budaya ........................................................................................ 7
B. Konsep Multikulturalisme dan Persebarannya ......................................................... 10
C. Pemahaman Tentang Multikulturalisme .................................................................... 12
D. Upaya-Upaya Yang Dapat Dilakukan......................................................................... 17
BAB III................................................................................................................................... 27
A. Kesimpulan .................................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 29

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Memasuki milenium ketiga, Indonesia sudah selayaknya mampu menjawab
beragam tantangan dari ombak besar bernama globalisasi, yakni tantangan untuk terus
berlari kencang dari ketertinggalan di pelbagai bidang, yang senyatanya tidak dapat
dielakkan lagi. Globalisasi ini mendera hampir di seluruh aspek kehidupan sosial,
budaya, ekonomi, hingga praktik politik-ketatanegaraan. Manifestasi tantangan-
tantangan tersebut antara lain beru¬pa munculnya gagasan tentang perdagangan bebas
lin¬tas negara di seluruh dunia, di mana telah melepaskan prinsip-prinsip trading kuno
yang ditandai oleh munculnya korporasi-korporasi multinasional, berafiliasinya
beberapa negara dalam sebuah organisasi ekonomi regional demi penguatan posisi
tawar dalam percaturan ekonomi global (Uni Eropa, misal¬nya), memupusnya sekat-
sekat geografis-politis yang tegas (deteritorisasi) dalam praktik-praktik interaksi sosial
karena kemutakhiran teknologi (lahirnya gadget canggih dan koneksi internet dengan
tingkat kecepatan tinggi, sehingga memapankan industri media), homogenisasi
rancangan arsitektur bercorak Barat pada kota-kota besar di seluruh dunia, hingga
industri pariwisata global yang memiliki efek diffusi (persebaran) kebudayaan serta
meningkatnya konsumsi pada tataran global dan lokal sebagaimana disinggung
Friedman (1994) dalam bukunya Cultural Identity and Global Process.
Contoh-contoh akibat globalisasi di atas menunjukkan bahwa, dalam
realitanya, globalisasi mampu menjadi penentu arah perkembangan kebudayaan dan
peradaban manusia di dunia.Dalam lingkup sosio-kultural yang lebih sempit, salah satu
implikasi globalisasi ialah pada munculnya pola-pola baru dari suatu kebudayaan
dalam beragam bentuk dan tatanannya. Kebudayaan dengan corak baru ini kerap kita
sebut sebagai kebudayaan pascaindustri, pascamodern, ataupun postmodern.Keadaan
masyarakat di milenium kelima tersebut memiliki konsekuensi logis pada situasi yang
akan menggiring kita, sebagai “warga dunia”, untuk berpikir, berkeputusan, hingga
bertindak dalam ritme yang relatif cepat. Dari kenyataan itu, tidak bisa dipungkiri
bahwa realita sosial semacam ini sesungguhnya lahir karena transformasi yang

4
signifikan pada core kebudayaan itu sendiri, yakni pola atau cara berpikir dan cara
memandang dunia (Al Mudra, 2007a dan 2008a).
Dalam konteks sosial-budaya masyarakat Indonesia, implikasi lain dari
lahirnya bentuk-bentuk baru dari peradaban dan kebudayaan postmodern di atas ialah
mulai ditinggalkannya produk-produk kebudayaan lokal (seni, bahasa, pola-pola
perilaku, maupun benda budaya lainnya) oleh masyarakatnya. Produk-produk budaya
lokal mulai ditinggalkan lantaran dianggap ketinggalan zaman, tidak up to date, kuno,
dan semacamnya.Oleh karenanya, generasi terkini dengan basis kulturalnya masing-
masing kemudian, meski tidak semua, akhirnya lebih memilih untuk mengadopsi
budaya baru atau budaya kekinian (hybrid culture) yang telah berasimilasi dengan
budaya Barat.Persoalannya bukan terletak pada boleh tidaknya diterima dan
dipraktikkannya budaya hybrid tersebut, melainkan terletak pada sikap penafian
budaya lama (peninggalan nenek-moyang) oleh generasi masa kini.Ketika warisan
budaya tiada lagi diindahkan, maka yang akan terjadi ialah sebuah krisis identitas
(jatidiri).
Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita berupaya menjaga, merawat,
mengemas, dan mempublikasikan kekayaan warisan budaya kita kepada dunia untuk
mengukuhkan identitas kita sebagai bangsa yang bermartabat.Sebab, hanya dengan
memahami dan menjaga kekayaan warisan budaya dan sejarah, bangsa ini akan
dihargai dan dipandang secara terhormat oleh bangsa lain. Benefit lain yang bisa
dipetik ialah bahwa bangsa ini juga dapat berangsur melepaskan diri dari hegemoni
budaya asing (Al Mudra, 2007b). Penting untuk digarisbawahi di sini, masyarakat yang
dinamis tidak selalu menolak pengaruh budaya luar.Produk budaya asing yang
mendorong kepada perbaikan hidup dan kemajuan, tidak perlu serta-merta ditolak.Hal
ini berpegang pada prinsip “al muhafadhatu ‘ala al qadimi as sholih wal akhdzu bi al
jadidi al ashlah”, yang maknanya adalah menjaga warisan (budaya) lama yang baik,
dan mengadopsi sesuatu (budaya) yang baru yang lebih baik (Ibid, 2007b).
Sebelum melangkah pada bahasan lebih lanjut, tentu dibutuhkan pemahaman
mengenai apa yang dimaksud dengan: (1) “budaya” dan “warisan budaya”, (2) Konsep

5
multikulturalisme dan persebarannya, (3) Pemahaman tentang multikulturalisme, (4)
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk dapat mewujudkan cita-cita ini.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah yang berjudul “Multikulturalisme Dan
Problem Kebudayaan Di Era Globalisasi” adalah sebagai berikut.
1. Jelaskan pengertian Budaya dan Warisan Budaya!
2. Bagaimana Konsep Multikulturalisme dan Persebarannya?
3. Jelaskan bagaimana Pemahaman Tentang Multikulturalisme!
4. Jelaskan Upaya-Upaya Yang Dapat Dilakukan!

C. Tujuan Penyusunan Makalah


Adapun tujuan penyusunan makalah dari makalah yang berjudul
“Multikulturalisme Dan Problem Kebudayaan Di Era Globalisasi” adalah sebagai berikut:
1. Untuk memahami Budaya dan Warisan Budaya.
2. Untuk mengetahui Konsep Multikulturalisme dan Persebarannya.
3. Untuk mengetahui Pemahaman Tentang Multikulturalisme.
4. Untuk mengetahui Upaya-Upaya Yang Dapat Dilakuk

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Budaya dan Warisan Budaya


“Hanya manusia yang memiliki kebudayaan,” begitu kira-kira teori Erns
Cassirer, seorang ahli lingustik asal Swiss, dalam bukunya An Essay on Man (1945
via Ahimsa-Putra, 2002; 2004; 2005).Disebutkan olehnya bahwa kebudayaan atau
budaya merupakan ciri penting (khas) dari manusia,yang membedakan manusia
dengan binatang.Mengapa hanya manusia yang memiliki kebudayaan, sedangkan
binatang atau makhluk lainnya tidak?Pendapat ini berangkat dari pemahaman bahwa
manusia merupakan animal symbolicum atau binatang yang mengkreasi simbol.Sebab
itu,hanya manusia yang dapat melakukan simbolisasi terhadap sesuatu.Manusia
merupakan makhluk yang mampu menggunakan, mengembangkan, dan menciptakan
lambang-lambang atau simbol-simbol untuk berkomunikasi dengan sesa¬manya
(Ahimsa-Putra, 2004: 29).Sementara itu, apa yang dimaksud dengan simbol?Definisi
konsep simbol atau lambang ialah segala sesuatu yang dimaknai di mana makna dari
suatu simbol itu mengacu pada sesuatu (konsep) yang lain.Wujud lambang-lambang
ini bisa berupa teks (tulisan), suara, bunyi, gerak, gambar, dan lain sebagainya (Ibid).
Oleh karena hanya manusia yang dapat melakukan pe¬maknaan terhadap
sesuatu dan sesuatu yang dimaknai ini meru¬pakan sebuah lambang hasil kreasi
manusia sendiri, dan proses simbolisasi ini melahirkan kebudayaan, maka kebudayaan
dalam hal ini dapat didefinisikan sebagai: seperangkat atau kese¬luruhan simbol yang
digunakan atau dimiliki manusia dalam hidupnya untuk bisa melakukan reproduksi
dan menghadapi lingkungannya, yang diperoleh lewat proses belajar dalam
kehi¬dupannya sebagai anggota suatu masyarakat atau komunitas (Ibid). Di sini perlu
dicatat bahwa setiap manusia beserta komu¬nitasnya memiliki perangkat simbol
(baca: kebuda¬yaan) dan pro¬ses simbolisasinya (proses berkembangnya
kebuda¬yaan) masing-masing, sehingga pemaknaan atau penafsiran yang lahir juga
beragam (lihat juga Geertz, 1973: 89).Hal inilah yang kemudian melahirkan diversitas
budaya dalam kehidupan manusia.

7
Lebih lanjut, perlu diketahui bahwa terdapat tiga wujud kebudayaan menurut
Koentjaraningrat.Pertama adalah gagas¬an, ide, atau sistem nilai.Karena gagasan ini
beroperasi pada tataran kognitif, maka agak sulit mengidentifikasinya. Selain itu,
dapat diketahui simbol-simbol lain yang wujudnya lebih konkret dari wujud pertama
untuk dapat menjadi pembeda atau berlaku sebagai cultural traits antara kebudayaan
yang satu dengan lainnya.Wujud konkret dari simbol-simbol tersebut ialah perilaku,
kebiasaan, habitus (sebagaimana sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, menyebutnya),
atau yang kita kenal dengan istilah adat-istiadat sebagai wujud kedua dari
kebudayaan.Selain adat-istiadat, elemen lainnya ialah budaya material.Budaya
material (material culture) atau artefak atau benda-benda hasil produksi suatu
kebudayaan merupakan hal-hal dalam kebudayaan yang paling konkret (empirik).
Ada empat bentuk yang dapat diidentifikasi dan dikategorikan sebagai
peninggalan budaya.Pertama, benda-benda fisik atau material culture.Wujud pertama
ini mencakup seluruh benda-benda hasil kreasi manusia, mulai dari benda-benda
dengan ukuran yang relatif kecil hingga benda-benda yang sangat besar (dari emblem
kerajaan Sultan Nata Sintang, kain songket, keris, sampai Candi Borobudur,
misalnya).Kemudian, wujud kedua ialah pola-pola perilaku yang merupakan
representasi dari adat-istiadat sebuah kebudayaan tertentu. Bentuk kedua ini meliputi
hal-hal keseharian, seperti pola makan, pola kerja, pola belajar, pola berdoa, hingga
pola-pola yang bersangkutan dengan aktivitas sebuah komunitas, seperti pola upacara
adat ataupun ritual Ngaben di masyarakat Bali.
Di dalam pola-pola keseharian itu,terkandung nilai-nilai atau tata-aturan dari
adat istiadat yang berlaku.Tata-aturan yang berlaku tersebut merupakan ejawantah
dari pandangan hidup atau sistem nilai dalam masyarakat tertentu, di mana pandangan
hidup ini merupakan wujud ketiga dari kebudayaan.Wujud ketiga ini bersifat lebih
abstrak dibanding kedua wujud sebelumnya.Sistem nilai atau pandangan hidup ini
bisa berupa falsafah hidup atau kearifan lokal dari suatu masyarakat dalam
memandang atau memaknai lingkungan sekitarnya. Hal ini tiada lain adalah
representasi dari pola pikir atau pengetahuan atau logika masyarakat pengampu
kebudayaan tertentu.

8
Selain itu, dalam konteks tinggalan budaya di sini, terdapat satu lagi bentuk
peninggalan yang merupakan wujud keempat, yakni lingkungan.Barangkali, muncul
pertanyaan dalam benak kita mengapa lingkungan dapat dikategorikan sebagai
warisan budaya? Lantas, lingkungan seperti apa yang termasuk peninggalan
budaya?Sebelum masuk pada pemaparan atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada
baiknya bila mengetahui terlebih dahulu pengertian lingkungan di dalam tulisan ini.
Ahimsa-Putra (2004: 38) menjelaskan bahwa lingkung¬an atau environment secara
garis besar dapat dibedakan berdasarkan (1) sifat atau keadaannya dan (2) asal-
usulnya.Lingkungan atas dasar kategori sifat ini masih dapat dipilah lagi menjadi:
a. Lingkungan fisik. Lingkungan fisik berupa benda-benda yang ada di sekitar kita,
makhluk hidup, dan segala unsur-unsur alam;
b. Lingkungan sosial. Lingkungan sosial meliputi perilaku-perilaku manusia atau
pelbagai aktivitas sosial yang berupa interaksi antarindividu serta berbagai
aktivitas individu; dan
c. Lingkungan budaya. Lingkungan ini mencakup pandangan-pandangan,
pengetahuan,norma-norma serta aturan-aturan yang berlaku dalam suatu
masyarakat.
Sedangkan, lingkungan yang dilihat dari asal-usulnya berupa: (1) lingkungan
alami (natural environment), di mana lingkungan jenis ini memiliki pengertian
keseluruhan unsur di luar diri manusia yang bukan ciptaan manusia, dan (2)
lingkungan buatan (built environment) yakni lingkungan yang merupakan hasil kreasi
manusia.
Lingkungan dapat menjadi bagian dari tinggalan budaya oleh karena
lingkungan memainkan peran sebagai bagian yang tak terpisahkan bagi terciptanya
kebudayaan itu sendiri.Sebagai ilustrasi, dapat dibandingkan masyarakat pesisir atau
nelayan di sepanjang Pantai Utara Jawa di Cirebon, masyarakat nelayan di Kepulauan
Karimunjawa, atau masyarakat Suku Laut di Thailand Selatan dengan masyarakat
agraris, seperti masyarakat petani salak di Yogya¬karta atau masyarakat petani kopi
di kawasan pegunungan Minahasa. Letak perbedaan pertama yang tampak dengan
jelas ialah kawasan atau lingkungan di mana mereka menjalani siklus kehidupannya

9
(lahir, bekerja, berinteraksi, kawin, dan sebagainya),yakni pegunungan atau dataran
tinggi dan pesisir atau pantai. Perbedaan kedua ialah pola pikir masyarakatnya atau
cara pandang mereka terha¬dap hidupnya. Pola pikir masyarakat pesisir dengan
masyarakat pegunungan sudah tentu berlainan.Perbedaan ini terletak pada tataran
perangkat pengetahuan (sistem simbol) masyarakat yang pada gilirannya
mempengaruhi cara mereka memaknai persoalan-persoalan atau hal-hal yang
berkaitan dengan lingkungannya, dengan hidupnya.Inilah yang dinamakan kearifan
lokal, sebuah pengetahuan yang khas pada masyarakat tertentu, yang muncul lewat
penghayatan manusia atas lingkungannya.Penghayatan terhadap lingkungan inilah
yang kemudian menghasilkan kearifan lokal atau kebudayaan yang khas pula, yakni
sistem nilai, adat-istiadat, dan artefak-artefak budaya (periksa Ahimsa-Putra, 2008:
11—12).
Dengan demikian, lingkungan sebagai salah satu entitas penting dalam
pembentukan sebuah kebudayaan dapat dikategorikan sebagai warisan atau tinggalan
budaya, sehingga ia harus dilindungi dan dilestarikan.

B. Konsep Multikulturalisme dan Persebarannya


Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia
untuk mendesain kebudayaan bangsa Indonesia, tetapi pada umumnya orang Indonesia
masa kini multikulturalisme adalah sebuah konsep asing. Konsep multikulturalisme
tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku-bangsa atau
kebudayaan suku-bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena
multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam
kesederajatan.Ulasan mengenai multikulturalisme akan harus mau tidak mau akan juga
mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan
demokrasi, keadilan dan penegakkan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM,
hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan
tingkat serta mutu produktivitas.
Kalau kita melihat apa yang terjadi di Amerika Serikat dan di negara-negara
Eropah Barat maka sampai dengan Perang Dunia ke-2 masyarakat-masyarakat tersebut

10
hanya mengenal adanya satu kebudayaan, yaitu kebudayaan Kulit Putih yang
Kristen.Golongan-golongan lainnya yang ada dalam masyarakat-masyarakat tersebut
digolongkan sebagai minoritas dengan segala hak-hak mereka yang dibatasi atau
dikebiri. Di Amerika Serikat berbagai gejolak untuk persamaan hak bagi golongan
minoritas dan kulit hitam serta kulit berwarna mulai muncul di akhir tahun
1950an.Puncaknya adalah pada tahun 1960an dengan dilarangnya perlakuan
diskriminasi oleh orang Kulit Putih terhadap orang Kulit Hitam dan Berwarna di
tempat-tempat umum, perjuangan Hak-Hak Sipil, dan dilanjutkannya perjuangan Hak-
Hak Sipil ini secara lebih efektif melalui berbagai kegiatan affirmative action yang
membantu mereka yang tergolong sebagai yang terpuruk dan minoritas untuk dapat
mengejar ketinggalan mereka dari golongan Kulit Putih yang dominan di berbagai
posisi dan jabatan dalam berbagai bidang pekerjaan dan usaha (lihat Suparlan 1999).
Di tahun 1970an upaya-upaya untuk mencapai kesederajatan dalam perbedaan
mengalami berbagai hambatan, karena corak kebudayaan Kulit Putih yang Protestan
dan dominan itu berbeda dari corak kebudayaan orang Kulit Hitam, orang Indian atau
Pribumi Amerika, dan dari berbagai kebudayaan bangsa dan sukubangsa yang
tergolong minoritas sebagaimana yang dikemukakan oleh Nieto (1992) dan tulisan-
tulisan yang di-edit oleh Reed (1997).Yang dilakukan oleh para cendekiawan dan
pejabat pemerintah yang pro demokrasi dan HAM, dan yang anti rasisme dan
diskriminasi adalah dengan cara menyebarluaskan konsep multikulturalisme dalam
bentuk pengajaran dan pendidikan di sekolah-sekolah di tahun 1970an.Bahkan anak-
anak Cina, Meksiko, dan berbagai golongan sukubangsa lainnya dewasa ini dapat
belajar dengan menggunakan bahasa ibunya di sekolah sampai dengan tahap-tahap
tertentu (Nieto 1992). Jadi kalau Glazer (1997) mengatakan bahwa ‘we are all
multiculturalists now’ dia menyatakan apa yang sebenarnya terjadi pada masa sekarang
ini di Amerika Serikat, dan gejala tersebut adalah produk dari serangkaian proses-
proses pendidikan multikulturalisme yang dilakukan sejak tahun 1970an.
Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah ideologi yang
harus diperjuangkan, karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi,
HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya.Multikulturalisme bukan sebuah

11
ideologi yang berdiri sendiri terpisah dari ideologi-ideologi lannya, dan
multikulturalisme membutuhkan seperangkat konsep-konsep yang merupakan
bangunan konsep-konsep untuk dijadikan acuan bagi memahaminya dan
mengembang-luaskannya dalam kehidupan bermasyarakat.Untuk dapat memahami
multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-
konsep yang relevan dengan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya
multikulturalisme dalam kehidupan manusia.Bangunan konsep-konsep ini harus
dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama
tentang multikultutralisme sehinga terdapat kesamaan pemahaman dan saling
mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan
dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-
nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa,
kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan
budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep
lainnya yang relevan (Fay 1996, Rex 1985, Suparlan 2002).

C. Pemahaman Tentang Multikulturalisme


Akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan.Pengertian kebudayaan
diantara para ahli harus dipersamakan atau setidak-tidaknya tidak dipertentangkan
antara satu konsep yang dipunyai oleh seorang ahli dengan konsep yang dipunyai oleh
ahli atau ahli-ahli lainnya.Karena multikulturalsime itu adalah sebuah ideologi dan
sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya,
maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan
manusia.Saya melihat kebudayaan dalam perspektif tersebut dan karena itu melihat
kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan manusia.Yang juga harus kita perhatikan
bersama untuk kesamaan pendapat dan pemahaman adalah bagaimana kebudayaan itu
operasional melalui pranata-pranata sosial.
Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam berbagai
interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup
dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan politik, dan

12
berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan Kajian-kajian
mengenai corak kegiatan, yaitu hubungan antar-manusia dalam berbagai manajemen
pengelolaan sumber-sumber daya akan merupakan sumbangan yang penting dalam
upaya mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia.
Salah satu isyu yang saya kira cukup penting untuk diperhatikan di dalam
kajian-kajian mengenai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya adalah corak
dari kebudayaan manajemen yang ada setempat, atau pada corak kebudayaan korporasi
bila perhatian kajian terletak pada kegiatan pengelolaan manajemen sumber daya
dalam sebuah korporasi. Perhatian pada pengelolaan manajemen ini akan dapat
menyingkap dan mengungkapkan seperti apa corak nilai-nilai budaya dan
operasionalisasi nilai-nilai budaya tersebut atau etos, dalam pengelolaaan manajemen
yang dikaji. Kajian seperti ini juga akan dapat menyingkap dan mengungkap seperti
apa corak etika (ethics) yang ada dalam struktur-struktur kegiatan sesuatu pengelolaan
manajemen yang memproses masukan (in-put) menjadi keluaran.(out-put).Apakah
memang ada pedoman etika dalam setiap struktur manajemen, ataukah tidak ada
pedoman etikanya, ataukah pedoman etika itu ada yang ideal (yang dicita-citakan dan
yang dipamerkan) dan yang aktual (yang betul-betul digunakan dalam proses-proses
manajemen dan biasanya disembunyikan dari pengamatan umum)?
Permasalahan etika ini menjadi sangat penting dalam pengelolaan manajemen
sumber daya yang dilakukan oleh berbagai organisasi, lembaga, atau pranata yang ada
dalam masyarakat.Negeri kita kaya raya akan sumber-sumber daya alam dan kaya akan
sumber-sumber daya manusia yang berkualitas. tetapi pada masa sekarang ini kita,
bangsa Indonesia, tergolong sebagai bangsa yang paling miskin di dunia dan tergolong
ke dalam bangsa-bangsa yang negaranya paling korup. Salah satu sebab utamanya
adalah karena kita tidak mempunyai pedoman etika dalam mengelola sumber-sumber
daya yang kita punyai.Pedoman etika yang menjamin proses-proses manajemen
tersebut akan menjamin mutu yang dihasilkannya. Kajian-kajian seperti ini bukan
hanya menyingkap dan mengungkapkan ada tidaknya atau bercorak seperti apa nilai-
nilai budaya yang berlaku dan etika yang digunakan sebagai pedoman dalam

13
pengelolaan manajemen sesuatu kegiatan, organisasi, lembaga, atau pranata; tetapi
juga akan mampu memberikan pemecahan yang terbaik mengenai pedoman etika yang
seharusnya digunakan menurut dan sesuai dengan konteks-konteks macam kegiatan
dan organisasi.
Secara garis besarnya etika (ethics) dapat dilihat sebagai ‘Pedoman yang
berisikan aturan-aturan baku yang mengatur tindakan-tindakan pelaku dalam sebuah
profesi, yang di dalam pedoman tersebut terserap prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai
yang mendukung dan menjamin dilakukannya kegiatan profesi si pelaku sebagaimana
seharusnya, sesuai dengan hak dan kewajibannya.Sehingga peranannya dalam sesuatu
struktur kegiatan adalah fungsional dalam memproses masukan menjadi keluaran yang
bermutu (Bertens 2001, Magnis-Suseno 1987). Dalam ruang lingkup luas, dalam
masyarakat-masyarakat maju, kita kenal adanya etika politik, etika akademik, etika
bisnis, etika administrasi dan birokrasi, dan sebagainya.Dalam ruang lingkup yang
lebih kecil kita bisa melihat berbagai pedoman etika yang ada atau tidak ada dalam
berbagai struktur kehidupan atau pengelolaan sumber-sumberdaya yang lebih khusus,
misalnya pembahasan mengenai “Akbar Tanjung dan Etika Politik” sebagaimana yang
telah dikemukakanoleh Alfian M (2002).
Masalah yang kita hadapi berkenaan dengan upaya menuju masyarakat
Indonesia yang multikultural adalah sangat kompleks.Apakah kita para ahli
antropologi sudah siap untuk itu?Apakah Jurusan-jurusan Antropologi yang ada di
Indonesia ini juga sudah siap untuk itu?Dalam kesempatan ini saya ingin menghimbau
bahwa mungkin ada baiknya bila kita semua memeriksa diri kita masing-masing
mengenai kesiapan tersebut.Pertama, apakah secara konseptual dan teoretikal kita
cukup mampu untuk melakukan penelitian dan analisis atas gejala-gejala yang menjadi
ciri-ciri dari masyarakat majemuk yang telah selama lebih dari 32 tahun kita jalani, dan
apakah kita juga akan mampu untuk membuat semacam blueprint untuk merubahnya
menjadi bercorak multikultural? Kalau kita belum mampu, sebaiknya kita
persiapkanlah diri kits melalui berbagai kegiatan diskusi, seminar, atau lokakarya
untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan kita dan mempertajam konsep-konsep
dan metodologi yang relevan dalam kajian mengenai ungkapan-ungkapan masyarakat

14
majemuk dan multikultural. Kalau merasa diperlukan, sebaiknya pimpinan dan dosen-
dosen dari berbagai Jurusan Antropologi dapat duduk bersama untuk membicarakan
isyu-isyu penting berkenaan dengan peranan antropologi dalam membangun Indonesia
sesuai cita-cita reformasi.Pembicaraan para pimpinan jurusan ini sebaiknya terfokus
pada upaya untuk mengembangkan kurikulum dan konsep-konsep serta metodologi
yang sesuai dengan itu.
Kedua,apakah secara metodologi kita sudah siap untuk itu?Kajian-kajian
etnografi yang teradisional, yang bercorak butterfly collecting sebagaimana yang
selama ini mendominasi kegiatan-kegiatan penelitian mahasiswa untuk skripsi dan
dosen, sebaiknya ditinjau kembali untuk dirubah sesuai dengan perkembangan
antropologi dewasa ini dan sesuai dengan upaya pembangunan masyarakat Indonesia
menuju masyarakat yang multikultural.Penelitian etnografi yang bercorak penulisan
jurnalisme juga sebaiknya dihindari dan diganti dengan penelitian etnografi yang
terfokus dan mendalam, yang akan mampu mengungkap apa yang tersembunyi dibalik
gejala-gejala yang dapat diamati dan didengarkan, dan yang akan mampu
menghasilkan sebuah kesimpulan atau tesis yang sahih. Begitu juga kegiatan-kegiatan
penelitian yang menggunakan kuesioner untuk mendapat respons dari respeonden atas
sejumlah pertanyaan sebaiknya ditinggalkan dalam kajian untuk dan mengenai
multikulturalisme ini.Karena, kajian seperti ini hanya akan mampu menghasilkan
informasi mengenai kecenderungan gejala-gejala yang diteliti, bersifat superfisial, dan
menyembunyikan bayak kebenaran yang seharusnya dapat diungkapan melalui dan
dalam kegiatan sesuatu penelitian. Pendekatan kualitatif dan etnografi, yang biasanya
dianggap tidak ilmiah karena tidak ada angka-angka statistiknya, sebaiknya digunakan
dengan menggunakan metode-metode yang baku sebagaimana yang ada dalam buku
yang di-edit oleh Denzin dan Lincoln (2000), karena justru pendekatan kualitatif inilah
yang ilmiah dan obyektif dalam konteks-konteks masyarakat atau gejala-gejala dan
masalah yang ditelitinya.Untuk itu perlu juga diperiksa tulisan Guba dan tulisan-tulisan
dari sejumlah penulis yang di-editnya (1990) yang menunjukkan kelemahan dari
filsafat positivisme yang menjadi landasan utama dari metodologi kualitatif.

15
Ketiga, ada baiknya jika berbagai upaya untuk melakukan kajian
multikulturalisme dan masyarakat mulitikultural yang telah dilakukan oleh ahli-ahli
antropologi juga dapat menstimuli dan melibatkan ahli-ahli sosiologi, ilmu politik,
ilmu ekonomi dan bisnis, ilmu pendidikan, ilmu hukum, ilmu kepolisian, dan ahli-ahli
dari berbagai bidang ilmu pengetahuan lainnya untuk secara bersama-sama melihat,
mengembangkan dan memantapkan serta menciptakan model-model penerapan
multikutlralisme dalam masyarakat Indonesia, menurut perspektif dan keahlian
akademik masing-masing.Sehingga secara bersama-sama tetapi melalui dan dengan
menggunakan pendekatan masing-masing, upaya-upaya untuk menuju masyarakat
Indonesia yang multikultural itu dapat dengan secara cepat dan efektif berhasil
dilaksanakan.
Upaya-upaya tersebut diatas dapat dilakukan oleh Jurusan Antropologi, atau
gabungan Jurusan Antropologi dan satu atau sejumlah jurusan lainnya yang ada dalam
sebuah universitas atau sejumlah universitas dalam sebuah kota untuk mengorganisasi
kegiatan-kegiatan diskusi, seminar kecil, atau lokakarya. Kegiatan-kegiatan ini akan
dapat dijadikan landasan bagi dilakukannya kegiatan seminar atau lokakarya yang
lebih luas ruang lingkupnya. Dengan cara ini maka konsep-konsep dan teori-teori serta
metodologi berkenaan dengan kajian mengenai multikulturalisme, masyarakat
multikultural, dan perubahan serta proses-prosesnya dan berbagai konsep serta teori
yang berkaitan dengan itu semua akan dapat dikembangkan dan dipertajam sehingga
operasional di lapangan.
Disamping bekerja sama dengan para ahli dari berbagai bidang ilmu
pengetahuan yang mempunyai perhatian terhadap masalah multikulturalisme, ahli-ahli
antropologi dan terutama pimpinan jurusan antropologi sebaiknya mulai memikirkan
untuk memberikan informasi mengenai multikulturalisme kepada berbagai lembaga,
badan, dan organisasi pemerintahan yang dalam kebijaksanaan mereka langsung atau
tidak langsung berkaitan dengan masalah multikulturalisme. Hal yang sama juga
sebaiknya dilakukan terhadap sejumlah LSM dan tokoh-tokoh masyarakat atau partai
politik. Selanjutnya, berbagai badan atau organisasi pemerintahan serta LSM diajak
dalam berbagai kegiatan diskusi, seminar, dan lokakarya sebagai peserta aktif.Mereka

16
ini adalah kekuatan sosial yang akan mendukung dan bahkan dapat memelopori
terwujudnya cita-cita reformasi bila mereka memahami makna multikulturalisme dan
bangunan konsep-konsep yang berkaitan dengan itu, atau mereka itu dapat juga
menentang multikulturalisme dan ide tentang masyarakat multikultural Indonesia bila
mereka tidak memahaminya atau mereka merasa tidak berkepentingan untuk turut
melakukan reformasi.
D. Upaya-Upaya Yang Dapat Dilakukan
Cita-cita reformasi yang sekarang ini nampaknya mengalami kemacetan dalam
pelaksanaannya ada baiknya digulirkan kembali.Alat penggulir bagi proses-proses
reformasi sebaiknya secara model dapat dioperasionalkan dan dimonitor, yaitu
mengaktifkan model multikulturalisme untuk meninggalkan masyarakat majemuk dan
secara bertahap memasuki masyarakat multikultural Indoneaia.Sebagai model maka
masyarakat multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat yang berdasarkan pada
ideologi multikulturalisme atau bhinneka tunggal ika yang multikultural, yang
melandasi corak struktur masyarakat Indonesia pada tingkat nasional dan lokal.
Bila pengguliran proses-proses reformasi yang terpusat pada terbentuknya
masyarakat multikultural Indonesia itu berhasil maka tahap berikutnya adalah mengisi
struktur-struktur atau pranata-pranata dan organisasi-organisasi sosial yang tercakup
dalam masyarakat Indonesia.Isi dari struktur-struktur atau pranata-pranata sosial
tersebut mencakup reformasi dan pembenahan dalam kebudayaan-kebudayaan yang
ada, dalam nilai-nilai budaya dan etos, etika, serta pembenahan dalam hukum dan
penegakkan hukum bagi keadilan.Dalam upaya ini harus dipikirkan adanya ruang-
ruang fisik dan budaya bagi keanekaragaman kebudayaan yang ada setempat atau pada
tingkat lokal maupun pada tingkat nasional dan berbagai corak dinamikanya.

Upaya ini dapat dimulai dengan pembuatan pedoman etika dan pembakuannya sebagai
acuan bertindak sesuai dengan adab dan moral dalam berbagai interaksi yang terserap
dalam hak dan kewajiban dari pelakunya dalam berbagai struktur kegiatan dan
manajemen.Pedoman etika ini akan membantu upaya-upaya pemberantasan KKN
secara hukum.

17
Upaya-upaya tersebut diatas tidak akan mungkin dapat dilaksanakan bila
pemerintah nasional maupun pemerintah-pemerintah daerah dalam berbagai
tingkatnya tidak menginginkannya atau tidak menyetujuinya. Ketidak inginan merubah
tatanan yang ada biasanya berkaitan dengan berbagai fasilitas dan keistimewaan yang
diperoleh dan dipunyai oleh para pejabat dalam hal akses dan penguasaan atas sumber-
sumber daya yang ada dan pendistribusiannya.Mungkin peraturan yang ada berkenaan
dengan itu harus direvisi, termasuk revisi untuk meningkatkan gaji dan pendapatan
para pejabat,sehingga peluang untuk melakukan KKN dapat dibatasi atau ditiadakan.
Bersamaan dengan upaya-upaya tersebut diatas,sebaiknya Depdiknas R.I.
mengadopsi pendidikan multikulturalisme untuk diberlakukan dalam pendidikan
sekolah, dari tingkat SD sampai dengan tingkat SLTA.Multikulturalisme sebaiknya
termasuk dalam kurikulum sekolah, dan pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai
pelajaran ekstra-kurikuler atau menjadi bagian dari krurikulum sekolah (khususnya
untuk daerah-daerah bekas konflik berdarah antar sukubangsa, seperti di Poso,
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan berbagai tempat lainnya). Dalam sebuah
diskusi dengan tokoh-tokoh Madura, Dayak, dan Melayu di Singkawang baru-baru ini,
mereka itu semuanya menyetujui dan mendukung ide tentang diselenggarakannya
pelajaran multikulturalisme di seklah-sekolah dalam upaya mencegah terulangnya
kembali di masa yang akan datang konflik berdarah antar sukubangsa yang pernah
mereka alami baru-baru ini (lihat Suparlan 2002)
Sebagai penutup mungkin dapat kita pikirkan bersama apakah
multikulturalisme sebagai ideologi yang mendukung cita-cita demokrasin akan hanya
kita jadikan sebagai wacana ataukah akan kita jadikan sebagai sebuah tema utama
dalam antropologi Indonesia yang akan merupakan sumbangan antropologi Indonesia
bagi pembangunan masyarakat Indonesia.Semuanya terpulang pada keputusan kita
bersama.
Perilaku masyarakat akibat perubahan sosial dapat berupa pemberontakan, aksi pastes,
demonstrasi, data tindakan kriminal. Berikut beberapa contoh perubahan sosial budaya
di Indonesia:
a. Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)

18
Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) terjadi ketika sebagian kecil
kelompok masyarakat Ambon yang dipimpin oleh Christian Robert Steven
Soumokil, bekas Jaksa Agung Negara Indonesia Titnur (NIT) tidak puas dengan
terjadinya proses kembali ke negara kesatuan setelah Konfe-rensi Meja Bandar
(KMB).Pemberontakan ini menggunakan unsur KNIL yang merasa tidak pasti
tentang status mereka setelah KMB. Pemberontakan ini berlangsung sekitar 4 balms
dan berakhir setelah pemimpin mereka, dr. Soumokil, ditangkap. Sebagian dari yang
berhasil lolos dari kejaran tentara RI melarikan diri ke Belanda data bergabung
dengan mereka yang telah bermigrasi lebih awal serta membentuk RMS di
pengasingan.Di sini jelas bahwa pemberontakan yang mereka lakukan karena
adanya perubahan sosial-budaya khususnya status mereka anggota KNIL setelah
KMB.
b. Pemberontakan Darul Islam (DI/TII) di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh
Pemberontakan ini merupakan gerakan keagamaan yang bertujuan membentuk
negara Indonesia berazaskan hukum Islam.Pemberontakan di daerah-daerah
tersebut pada umumnya terjadi karena ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat
yang tidak memberikan penghargaan yang pastas untuk mereka yang telah berjuang
membela dan mempertahankan RI.Bentuk ketidakpuasan itu tentu mempunyai latar
belakang yang berbeda.Yang pasti pars pemimpin gerakan merasa tidak puas karena
adanya perubahan sosial budaya. Di Aceh misalnya Daud Beureh tidak puas akan
kedudukannya yang semula sebagai gubemur Daerah istimewa Aceh menjadi salah
satu karesidenan Sumatra utara bukan lagi provinsi.Pemerintah RI setelah kembali
menjadi negara kesatuan melakukan penyederhanaan administrasi, sehingga status
Daud Beureh tidak lagi menjadi gubernur Aceh melainkan hanya seorang residen.
c. Pemberontakan PRRI/Permesta
Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) terjadi di
Sumatra Barat dan Permesta di Sulawesi Utara. Kedua pemberontakan ini terjadi
karena ketidakpuasan terhadap kebijakan ekonomi tersentralisir yang dikeluarkan
pemerintah pusat yang semula otonomi.Sebab dalam kenyataannya hasil yang
diperoleh dari daerah ke pusat tidak dimanfaatkan untuk mensejahterakan penduduk

19
daerah mereka sendiri.Mereka menuntut kembali adanya desentralisasi ekonomi
khususnya di bidang ekspor.

20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Multikulturalisme hanya sekedar wacana titipan di negeri ini, kenapa harus belajaar pada
refrensi asing tentang wacana Multikulturalisme bdhal bangsa ini, jika rujukunnya kenusanatra
dan tradisi perbedaan yang sering dihadapi banagsa ini, kita tellah bnyak belajar dengan trasdisi
kita dimasa lalu, hanya saja hari ini kita, kamu n u pade kanyaknya lebih percaya sama semangat
multikulturalisme yang ditawarkan oleh Eropa modern yang lahir dari berbagai konflik yang lebih
banyak terjadi akibat konsprirasi politik para penguasa dunia di tingkat global. jika itu terjadi bisa
jadi Wacana multikulturalisme hari ini hanya sekedar titipan proyek bagi orang-orang tertentu
untuk hadir sebagai pahlawan di negri ini.
Banyak definisi mengenai multikulturalisme, diantaranya multikulturalisme pada dasarnya
adalah pandangan dunia -yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan
kebudayaan- yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, pluralitas, dan
multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga
dipahamni sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam “politics of recognition”
(Azyumardi Azra, 2007). Lawrence Blum mengungkapkan bahwa multikulturalisme mencakup
suatu pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta penghormatan dan
keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Berbagai pengertian mengenai multikulturalisme
tersebut dapat disimpulkan bahwa inti dari multikulturalisme adalah mengenai penerimaan dan
penghargaan terhadap suatu kebudayaan, baik kebudayaan sendiri maupun kebudayaan orang
lain. Setiap orang ditekankan untuk saling menghargai dan menghormati setiap kebudayaan yang
ada di masyarakat. Apapun bentuk suatu kebudayaan harus dapat diterima oleh setiap orang tanpa
membeda-bedakan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.
Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia merupakan akibat dari
kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Menurut kondisi
geografis, Indonesia memiliki banyak pulau dimana stiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok
manusia yang membentuk suatu masyarakat. Dari masyarakat tersebut terbentuklah sebuah
kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri. Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan
kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka ragam.
Dalam konsep multikulturalisme, terdapat kaitan yang erat bagi pembentukan masyarakat
yang berlandaskan bhineka tunggal ika serta mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang
menjadi pemersatu bagi bangsa Indonesia.Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat
berbagai hambatan yang menghalangi terbentuknya multikulturalisme di masyarakat.

28
DAFTAR PUSTAKA

http://puturistik.blogspot.com/2010/06/problematika-kebudayaan.html diakses pada 29 November


2021
http://www.puspek.averroes.or.id/2008/09/24/multikulturalisme-dan-problem-kebudayaan-di-
era-global/ diakses pada 29 November 2021
http://requestartikel.com/contoh-perubahan-sosial-budaya-di-indonesia-201011225.html diakses
pada 29 November 2021
http://id.wikipedia.org/wiki/Multikulturalisme diakses pada 29 November 2021

29

Anda mungkin juga menyukai