PENDAHULUAN
Secara keseluruhan insidens difteri mulai menurun di Amerika, masih terdapat angka
kematian 10%. Faring tetap merupakan daerah paling tersering untuk infeksi ini. Penyakit lebih
sering pada individu yang tidak diimunisasi atau imunisasi yang tidak adekuat. Individu yang
mendapat imunisasi yang adekuat mendapat tingkat perlindungan dari antitoksin untuk sepuluh
tahun atau lebih. Keluhan awal yang paling sering adalah nyeri tenggorokan. Di samping itu,
pasien mengeluh nausea, muntah dan disfagia. Keadaan imunisasi tidak mempunyai efek
terhadap keluhan yang terjadi.
Pemeriksaan yang khas menunjukkan membran yang khas terjadi di atas daerah tonsila
dengan meluas ke struktur yang berdekatan. Membran tampak kotor dan berwarna hijau tua dan
bahkan dapat menyumbat peradangan tonsila. Perdarahan terjadi pada pengangkatan membran
yang berbeda dengan penyebab faringitis membranosa lain. Diagnosa biasanya dibuat lebih awal
dan penanganan dimulai segera ketika diketahui bahwa terjadi epidemi difteri. Seringkali
terdapat keterlambatan dalam dianosis pada kasus-kasus sporadik dan epidemi difteri yang tidak
luas.
Penanganan penyakit terdiri dari dua fase: (1) penggunaan antitoksin spesifik dan (2)
eliminasi organisme dari orofaring. Sebelum antitoksin diberikan, pasien sebaiknya diuji untuk
sensitivitas terhadap serum. Pasien sebaiknya menerima 40.000 sampai 80.000 unit antitoksin
yang dilarutkan dalam cairan saline normal diberikan secara perlahan melalui intravena. Terapi
antibiotik dalam bentuk penisilin dan eritromisin dimulai dari untuk menyingkirkan keadaan
karier. Biakan ulang sebaiknya dilakukan untuk memastikan pasien tidak mengandung
1
organisme dalam faring. Menetapnya organisme membutuhkan pengobatan yang lama dengan
eritromisin.
Komplikasi dari difteri adalah biasa dan pasien yang mengalami obstruksi jalan nafas
membutuhkan trakeostomi. Kegagalan jantung dan paralisis otot dapat terjadi dan proses
peradangan dapat menyebar ke telinga, menyebabkan otitis media, atau ke paru –paru,
menyebabkan pneumonia.
2
BAB II
A. Embriologi
B. Anatomi
Fosa Tonsil
Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah
otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Pilar
anterior mempunyai bentuk seperti kipas pada rongga mulut, mulai dari palatum mole dan
berakhir di sisi lateral lidah. Pilar posterior adalah otot vertikal yang ke atas mencapai palatum
mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak dan ke arah bawah meluas hingga dinding lateral
esofagus, sehingga pada tonsilektomi harus hati-hati agar pilar posterior tidak terluka. Pilar
anterior dan pilar posterior bersatu di bagian atas pada palatum mole, ke arah bawah terpisah dan
masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring.
Kapsul Tonsil
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran jaringan ikat, yang disebut
kapsul. Walaupun para pakar anatomi menyangkal adanya kapsul ini, tetapi para klinisi
menyatakan bahwa kapsul adalah jaringan ikat putih yang menutupi 4/5 bagian tonsil.
Plika Triangularis
Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat plika triangularis
yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak masa embrio. Serabut ini dapat
menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat. Komplikasi yang sering
terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal lidah.
Pendarahan
T1 : batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar anterior-uvula
T3 : batas medial tonsil melewati ½ pilar anterior-uvula sampai ¾ jarak pilar anterior-uvula
T4 : batas medial tonsil melewati ¾ pilar anterior-uvula sampai uvula atau lebih.
C Fisiologi Tonsil
Pada tonsil terdapat sistim imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran),
makrofag, sel dendrit, dan APCs yang berperan dalam transportasi antigen ke sel limfosit
sehingga terjadi sintesis imunoglobin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma
dan sel pembawa IgG.
6
Tonsil merupakan organ limfotik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan
proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1)
menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi
antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.
BAB III
TONSILITIS DIFTERI
A. Definisi
Difteri adalah infeksi akut ynag disebabkan oleh Corynebacterium Diphteriae. Infeksi
biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit, konjungtiva, genitalia dan
7
telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala lokal dan sistemik, efek sistemik terutama karena
eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi.
Difteri didapat melalui kontak dengan karier atau seseorang yang sedang menderita
difteri. Bakteri dapat disebarkan melalui tetesan air liur akibat batuk, bersin atau berbicara.
Beberapa laporan menduga bahwa infeksi difteri pada kulit merupakan predisposisi kolonisasi
pada saluran nafas.
B. Epidemiology
Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun secara mencolok
setelah penggunaan toksoid difteri secara meluar. Umumnya masih tetap terjadi pada individu-
individu yang berusia kurang dari 15 tahun (yang tidak mendapatkan imunisasi primer).
Bagaimanapun, pada setiap epidemi insidens menurut usia tergantung pada kekebalan individu.
Serangan difteri yang sering terjadi, mendukung konsep bahwa penyakit ini terjadi di kalangan
penduduk miskin ynag tinggal di tempat berdesakan dan memperoleh fasilitas pelayanan
kesehatan terbatas. Kematian umumnya terjadi pada individu yang belum mendapatkan
imunisasi.3
Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi
tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin menderita penyakit
ini
C. Etiologi
Penyebab difteri adalah Corynebacterium diphteriae merupakan basil gram positif tidak
teratur, tidak bergerak, tidak membentuk spora dan berbentuk batang pleomorfis. Organisme
tersebut paling mudah ditemukan pada media yang mengandung penghambat tertentu yang
memperlambat pertumbuhan mikroorganisme lain(Tellurite). Koloni-koloni Corynebacterium
diphteriae berwarna putih kelabu pada medium Loeffler.
8
Penyebab tonsilitis difteri ialah kuman Corynebacterium diphteriae, kuman yang
termasuk Gram positif dan hidung di saluran nafas bagian atas yaitu hidung, faring dan laring.
Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung
pada titer anti toksin dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar 0,03 satuan per cc darah
dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes Schick.
D. Patofisiologi
Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada permukaan mukosa
saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta
selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Toksin ini merupakan
suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas/cahaya, mempunyai 2
fragmen yaitu fragmen A (aminoterminal) dan fragmen B (carboxyterminal) yang disatukan
dengan ikatan disulfida. Fragmen B diperlukan untuk melekatkan molekul toksin yang teraktifasi
pada reseptor sel pejamu yang sensitif. Perlekatan ini mutlak agar fragmen A dapat melakukan
penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting dalam menimbulkan efek toksik pada sel.
9
Toksin diphtheria mula mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B
dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivasi enzim translokase melalui.
Hal ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian
polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah
kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi lokal yang bersama-sama dengan jaringan
nekrotik membentuk bercak eksudat yang mula-mula mudah dilepas. Produksi toksin semakin
banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu
membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang
terkandung. selain fibrin, membran juga terdiri dari sel- sel radang, eritrosit dan sel-sel epitel.
Bila dipaksa melepas membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran akan terlepas
sendiri dalam periode penyembuhan.
Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi
pada sel, tetapi tidak bila telah terjadi penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel,
terdapat periode laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinik. Miokardiopati
toksik biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7
minggu. Kelainan patologi yang menonjol adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada
bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel
mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi. Bila penderita tetap hidup terjadi regenerasi
otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada
selaput mielin. Nekrosis hati bisa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak
perdarahan adrenal dan nekrosis tubuler akut pada ginjal.
E. Manifestasi klinis
10
Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah terjadi membran
putih/keabu-abuan. Dalam 24 jam membran dapat menjalar dan menutupi tonsil, palatum molle,
uvula. Mula-mula membran tipis, putih dan berselaput yang segera menjadi tebal., abu-abu/hitam
tergantung jumlah kapiler yang berdilatasi dan masuknya darah ke dalam eksudat. Membran
mempunyai batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan dibawahnya. Sehingga sukar untuk
diangkat, sehingga bila diangkat secara paksa menimbulkan perdarahan. Jaringan yang tidak ada
membran biasanya tidak membengkak. Pada difteri sedang biasanya proses yang terjadi akan
menurun pada hari-hari 5-6, walaupun antitoksin tidak diberikan.
gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya
subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat, serta keluhan nyeri
menelan
gejala lokal, yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang
makin lama makin meluas dan bersatu membentuk semu. Membran ini dapat meluas ke
palatum molle, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus dan dapat menyumbat
saluran nafas. Membran semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila diangkat
akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan terus,
kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai
sapi( bull neck) atau disebut juga Burgermeester’s hals.
gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan
kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai
decompensatio cordis, mengenai saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum
dan otot-otot pernafasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.
F. Diagnosis
11
Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody technique,
namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C, diphtheriae dengan
pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenesitas secara vivo (marmut)
dan vitro (tes Elek). Cara Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat membantu menegakkan
diagnosis difteri dengan cepat, namun pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penjajagan
lebih lanjut untuk penggunaan secara luas.
G. Penatalaksanaan
Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah masa akut
terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan berikut terlaksana :
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan toksoid diphtheria.
Bila kultur (-)/Schick test (-) : bebas isolasi
Bila kultur (+)/Schick test (-) :pengobatan carrier
Bila kultur (+)/Schick test (+)/gejala (-) : anti toksin diphtheria + penisilin
Bila kultur (-)/Shick test (+) : toksoid (imunisasi aktif).
2. Pengobatan
Tujuan mengobati penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat
secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C.
diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit diphtheria.
12
2.1 Umum
Istirahat mutlak selama kurang lebih 2 minggu, pemberian cairan serta diit yang adekwat.
Khusus pada diphtheria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara
dengan menggunakan nebulizer. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan
yang progresif hal-hal tersebut merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
2 Khusus
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis diphtheria. Sebelumnya harus
dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva dahulu. Oleh karena pada pemberian ADS terdapat
kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik, maka harus tersedia larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam
semprit.
Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1 :
1000 secara intrakutan. Tes positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm.
Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1 : 10 dalam garam
faali. Pada mata yang lain diteteskan garam faali. Tes positif bila dalam 20 menit tampak gejala
konjungtivitis dan lakrimasi.
Bila tes kulit/konjungtiva positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka).
Bila tes hipersensitivitas tersebut di atas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara tetesan
intravena. Dosis serum anti diphtheria ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit,
tidak tergantung pada berat badan penderita, dan berkisar antara 20.000-120.000 KI.
Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam larutan 200 ml dalam
waktu kira-kira 4-8 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal
dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu
dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).
13
Antimikrobal
Koritikosteroid
Kortikosteroid diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian
atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik.
3. Pengobatan Carrier
Carrier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai Reaksi Schick
negatif tetapi mengandung basil diphtheria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat
diberikan adalah penisilin oral atau suntikan, atau eritromisin selama satu minggu. Mungkin
diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.
Tonsilektomi
Indikasi Tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan
prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu tonsilektomi di
indikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini indikasi utama adalah obstruksi
14
saluran napas dan hipertrofi tonsil. Berdasarkan the American Academy of Otolaryngology-
Head and Neck Surgery ( AAO-HNS) tahun 1995 indikasi tonsilektomi terbagi menjadi :
1. Indikasi absolut
b) abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan drainase, kecuali
jika dilakukan fase akut.
2. Indikasi relatif
a) Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak diberikan pengobatan medik
yang adekuat
b) Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap pengobatan medik
c) Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak membaik dengan
pemberian antibiotik kuman resisten terhadap β-laktamase.
Kontraindikasi
Gangguan perdarahan
15
Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
Anemia
Infeksi akut yang berat
Asma
tonus otot yang lemah
sinusitis
albuminuria
hipertensi
rinitis alergika
demam yang tidak diketahui penyebabnya
Komplikasi
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi lokal maupun
umum, sehingga komplikasi yang ditimbulkan merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah
dan anestesi.
1. Komplikasi anestesi
Komplikasi anestesi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien. Komplikasi yang dapat
ditemukan berupa :
• Laringosspasme
• Gelisah pasca operasi
16
• Mual muntah
• Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
• Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan henti jantung
• Hipersensitif terhadap obat anestesi.
2. Komplikasi Bedah
a) Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1 % dari jumlah kasus). Perdarahan dapat terjadi selama
operasi,segera sesudah operasi atau dirumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35. 000
pasien. sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena perdarahan dan dalam jumlah yang sama
membutuhkan transfusi darah.
b) Nyeri
Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf glosofaringeus atau
vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut
sampai otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi
c) Komplikasi lain
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Adams, GL. Penyakit-penyakit Nasfaring dan Orofaring. Dalam: BOIES Buku Ajar
Penyakit THT (Fundamentals of Otolaryngology), edisi enam. EGC : Jakarta. 1997
2. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke lima
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2004.
3. American academy of otolaryngology head and neck dissection. Lesspain and quicker
recovery with coblation assisted tonsillectomy. avaible from: http://www. medicalnewstoday.
com/medic alnews. php?newsid=13677
4. Ballenger JJ. Anatomi bedah tonsil. Dalam: Ballenger JJ, ed. Penyakit
telinga,hidung,tenggorok,kepala dan leher Edisi 13. Jakarta,Binarupa aksara 1994: p321
18
5. Drake A. Tonsillectomy. avaible from: http://www. emedicine. com/ent/topic315.
htm/emed tonsilektomi
19