Anda di halaman 1dari 20

JAWABAN NO 1

POIN A.
Radikalisme adalah suatau perubahan sosial dengan jalan kekerasan, menyakinkan dengan
satu tujuan yang dianggap benar tetapi dengan menggunakan cara yang salah. Radikalisme
dalam arti bahasa berarti paham atau aliran yang mengingatkan perubahan atau
pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Namun, dalam artian lain,
ensensi radikalisme adalah konsep sikap jiwa dalam mengusung perubahan. Sementara itu
radikalisme menurut pengertian lain adalah inti dari perubahan itu cenderung
menggunakan kekerasan. Yang dimaksud dengan radikalisme adalah gerakan yang berpandang
kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan sikap berdamai dan mencari
perdamaian Islam tidak pernah membenarkan praktek penggunaan kekerasan dalam
menyabarkan agama, paham keagamaan serta paham politik. (Hilmy, n.d.)
Dawinsha mengemukakan definisi radikalisme menyamakan dengan teroris. Tapi ia
sendiri memakai radikalisme dengan membedakan antar budaya. Radikalisme adalah
kebijakan dan terorisme bagaian dari kebijakan radik tersebut. Definisi Dawinsha lebih
nyata bahwa radikalisme itu mengandung sikap jiwa yang membawa kepada tindakan
yang bertujuan melemahkan dan mengubah tatanan kemampuan dan menggantinya
dengan gagasan baru.
Makna yang terakhir ini, radikalisme adalah sebagai pemahaman negatif dan bahkan
bisa menjadi berbahaya sebagai ekstrim kiri dan kanan.
Gerakan radikalisme sesungguhnya bukan sebuah gerakan yang muncul begitu saja
tetapi mempunyai latar belakang yang sekaligurs menjadi faktor pendorong munculnya
gerakan radikalisme.
1. Faktor Sosial-Politik

Gejala kekerasan “agama” lebih tepat dilihat sebagai gejala sosial-politik


daripada gejala keagamaan. Gerakan yang secara salah oleh Barat disebut sebagai
radikalisme itu lebih tepat dilihat akar permasalahannya oleh sudut konteks sosial-
politik dalam kerangka historisitas manusia yang ada di masyarakat. Secara historis
kita bisa melihat bahwa konflik-konflik yang ditimbulkan oleh kalangan radikal
dengan seperangkat alat kekerasannya dalam menentang dan membenturkan diri
dengan kelompok lainnya ternyata lebih berakar pada masalah sosial-politik.
Dengan membawa bahasa dan simbol serta slogan-slogan
agama, kaum radikalis mencoba menyentuh emosi keagamaan dan
menggalang kekuatan untuk mencapai tujuan “mulia” dari
politiknya.
2. Faktor-faktor Emosi Keagamaan

Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme


adalah faktor sentiment keagamaan, termasuk didalamnya
adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh
kekuatan tertentu. Tetapi hal ini lebih tepat dikatakan sebagai
faktor emosi keagamaannya, dan bukan agama (wahyu suci yang
obsolut) walaupun gerakan radikalisme selalu mengibarkan
bendera dan simbol agama seperti dahil membela agama, jihad dan
mati syahid. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan emosi
keagamaan adalah agama sebagai pemahaman realitas yang
sifatnya interpretative. Jadi sifatnya nisbi dan subjektif.
3. Faktor-faktor Kultural

Ini juga memiliki andil yang cukup besar yang melatar


belakangi munculnya radikalisme. Hal ini wajar karena memang
secara kultural didalam masyarakat selalu ditemukan usaha untuk
melepaskan diri dari jeratan jarring-jaring kebudayaan tertentu
yang dianggap tidak sesuai. Sedangkan yang dimaksud faktor
kultural disini adalah sebagai anti tesa terhadap budaya
sekularisme. Badaya barat merupakan sumber sakularisme yang
dianggap sebagai musuh yang harus dihilangkan dari bumi.
Sedangkan faktor sejarah memperlihatkan adanya dominasi Barat
37
dari berbagai aspeknya atas negara-negara dan budaya. Peradaban
barat sekarang ini merupakan ekspresi dominan dan universal umat
manusia yang telah dengan sengaja melakukan proses merjinalisasi
seluruh sendi-sendi kehidupan.
4. Faktor-faktor Ideologis Anti Westernisme

Motivasi dan gerakan anti Barat tidak bisa disalahkan dengan


alasan keyakinan keagamaan tetapi jalan kekerasan yang ditempuh
kaum radikalisme justru menunjukkan ketidakmampuan mereka
dalam memprosisikan diri sebagai pesaing dalam budaya dan
peradaban.
5. Faktor-faktor Kebijakan Pemerintah

Ketidakmampuan pemerintah di negara-negara Islam untuk


bertindak situasi atas berkembangnya frustasi dan kemarahan
sebagai umat Islam disebabkan dominasi ideologi, militer maupun
ekonomi dari negara-negara besar. Dalam hal ini elit-elit
pemerintah di negara-negara belum atau kurang dapat mencari
akar yang menjadi penyebab munculnya tindak kekerasan
(radikalisme) sehingga tidak dapat mengatasi

POIN B

Masih segar dalam ingatan kita, bahwa krisis multidimensi


yang berkepanjangan—puncaknya tahun 1997-2000—merupakan
pengalaman terpahit dalam krisis ekonomi, politik, dan hukum pasca
kemerdekaan In- donesia. Krisis yang dapat diibaratkan negara-bangsa
37
yang turbulensi (chaos) di mana banyak pengamat menyebutnya sebagai
“A Country in Despair” suatu negara bangsa yang bukan sekedar
dilterpa bencana, tetapi telah tenggelam dalam ketiadaan harapan yang
mendalam (Dhakidae, 2002; xvii).
Krisis multidimensi Indonesia, telah membuka seluruh “topeng”
sampai ke bagian-bagian yang tersembunyi. Ia dengan putus asa dan
emosional penuh sinis serta sindiran terhadap Indonesia sebagi negeri
yang serba seolah-olah, a heap of delusions, tidak ada lagi sebenarnya
apa yang disebut nasionalisme, heroisme, keadilan, persatuan, kejujuran
maupun kebanggaan.
Pendeknya, lembaga-lembaga lama bertahan kendati
tanpa wibawa. Indonesia membangun dengan
fundamental ekonomi yang seolah-olah kuat, dengan
politik yang seolah- olah stabil; dengan kesadaran
selolah-olah bersatu; dengan pemerintah yang seolah-
olah bersih dan kompeten; dengan ABRI yang seolah-
olah satria; dengan ahli hukum seolah- olah adil;
dengan pengusaha yang seolah-olah captains of
industri;… Semua tampak salah, ibarat gigi palsu
yang memang lebih kemilau daripada gigi asli,…mirip
kebo- hongan di atas kebohongan (Simbolon, 2000: 2-
6).

Rasa kebangsaan tersebut, telah mencapai titik nadir yang

37
memilukan. Apakah itu rasa kebangsaan kwarganegaraan atau
nasionalisme sipil seperti yang dikemukakan oleh J.J. Rousseau dalam
Du Contract Sociale; begitu juga dalam nasionalisme budaya
sebagaimana kesediaan Dinasti Qing untuk menggunakan adat istiadat
Tionghoa yang membuktikan keutuhan budaya Tionghoa; begitupun
pada nasionalisme ekonomi seperti yang mengikuti model Sumitro yang
dikemukakan Mudrajad Kuncoro, serta nasionalisme etnik seperti yang
ditulis oleh Johann Gottfried von Herder dengan memperkenalkan
konsep Volk dan berkaitan dengan nasionalisme kenegaraan—dimana
penyelenggaraan sebuah ‘national state’ adalah suatu argumen yang ulung,
seolah-olah membentuk kerajaan yang lebih baik dengan tersendiri—
contohnya nasionalisme Fleming di Belgia dan Basque di Spanyol serta
Kurdi di Turki. Kemudian nasionalisme keagamaan di Irlandia semangat
nasionalisme bersumber dari persamaan agama mereka yaitu Katolik;
nasionalisme di India seperti yang diamalkan oleh pengikut partai BJP
bersumber dari Agama Hindu. Semuanya mengalami fluktuasi.
Nasionalisme Indonesia masa kini sedang mengalami degradasi
dengan meningkatnya konflik-konflik antaretnik, antaragama, dan
fenomena disintegrasi bangsa lainnya. Konflik antaretnik dan antaragama
di Indonesia sejak tahun 1997 barangkali dapat dijelaskan dengan teori
chaos—yang mulai dikenal di kalangan sains pada penghujung abad 20.
Secara sederhana fenomena chaos dapat digambarkan dengan ungkapan
terkenal, “Does the flap of a butterly’s wings in Brazil set off a tornado
in Texas” (Lorenz,
1993: 14). Atau ada juga yang mengatakan “Kepak sayap seekor kupu-
kupu di pelabuhan Sydney sudah cukup menimbulkan angin taufan
38
dua minggu kemudian di Jamaica”¾ soal-soal kecil dan spele bisa
menimbulkan kekacauan besar.
Konflik-konflik yang terjadi di berbagai pulau-pulau besar—
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian, Sumatera—salah satu buntutnya
adalah pilihan penduduk untuk bertahan tinggal ataukah meninggalkan
kediaman mereka yang telah berubah menjadi daerah konflik
berkepanjangan. Sampai dengan tanggal 5 April 2002 saja sudah
1.247.449 orang Indonesia hidup mengungsi di negerinya sendiri (Sugiya,
2002: 337). Saat itu pengungsi tersebar di di 20 provinsi. Kemudian data
sampai tanggal 5 April 2002 memperlihatkan

39
Maluku sebagai provinsi yang paling banyak menampung pengungsi:
300.091 orang sekitar 24,06 persen. Begitu juga korban konflik di Aceh
menyebabkan
48.489 mengungsi ke Sumatera Utara. Selanjutnya korban konflik di
Timor
Timur sebagian besar mencari perlindungan di Nusa Tenggara Timur
mencapai
26.196 keluarga atau 136.143
orang.
Di Kalimantan Barat dan Kalimentan Tengah dua provinsi ini
memang provinsi yang rentan dengan konflik. Setidaknya sudah terjadi 11
konflik besar yang melibatkan etnik-etnik tertentu di daerah itu sejak
tahun 1950 sampai
1999. Penyebab langsungnya hampir sama; soal-soal spele. Konflik
terjadi di Sambas tahun 1999 misalnya, dimulai dengan terbunuhnya
seorang pencuri dari salah satu etnik yang bertikai. Kapak sayap kupu-
kupu ini kemudian berkembang dalam waktu relatif singkat menjadi
perseteruan antaretnik. Tidak kurang dari 3.000 orang warga Desa
Paritsetia yang tidak tahu-menahu dengan persoalan itu terpaksa
mengungsi. Manakala derajat konflik membesar 68.000 jiwa dari etnik
tertentu terpaksa mengungsi (Triardiantoro dan Suwardiman,
2002: 322).
Pola kepak sayap kupu-kupu itu pula yang terjadi di Maluku
dan Poso. Sama-sama dimulai dengan perkelahian atau bentrokan
antarwarga. Jika faktor pemicu di Kalmantan Barat adalah etnik,
sedangkan di dua kawasan Indonesia Timur ini faktor pemicunya adalah
penganut agama. Kerusuhan di Poso berawal dari konflik antarpemeluk
agama di penghujung tahun 1998. Berlangsungnya selama seminggu,
lalu reda, tetapi kambuh lagi pada pertengahan 1999. Bentrokan susul-
menyusul sampai-sampai Poso lumpuh total. Tidak hanya aktivitas
masyarakat yang terhenti, kantor-kantor pemerintah juga terpaksa ditutup
untuk sementara waktu.
Seperti biasanya, kerusuhan disulut oleh hal-hal spele. Kerusuhan
di Maluku diawali dengan bentrokan antara seorang warga dan seorang
sopir angkutan di Ambon pada pertengahan Januari 1999 (Triardianto,
2002: 32!). Bentrok itu berkembang menjadi konflik antaragama dan
menjalar ke Maluku Tenggara dan Maluku Utara. Sebetulnya upaya
pemerintah dalam mengatasi konflik itu signifikan. Berakhirnya konflik
di Sambas dan Sampit tidak lepas dari keseriusan pemerintah membentuk
tim peneliti yang beranggotakan pakar berbagai kajian displin ilmu.
Pembentukan Forum Komunikasi Masyarakat
Kalimantan Barat dan Tengah oleh keempat etnik—Dayak, Melayu,
Tionghoa, dan Madura—turut menghentikan konflik dengan
menempatkan perselisihan antarwarga sebagai perselisihan
perseorangan, bukan sebagai pertikaian antaretnik (Triardianto, 2002:
32!). Yang tampak lama adalah di Poso, Ambon, bahkan Aceh, dan
Papua.
Sindhunata dalam tulisannya Demitologisasi Persatuan Nasional
menyebutkan:

“... kelumpuhan terasa dalam ketidakberdayaan kita


menghadapi fenomena perpecahan dan disintegrasi
bangsa. Kita khawatir, bila Aceh jadi merdeka, jangan-
jangan kita juga tidak mampu mencegah Ambon, Riau,
Papua, Poso, bila mereka ikut-ikutan ingin merdeka. Di
manakah kiranya akar dari kerapuhan dan kelumpuhan
itu? (Sidhunata, 2000: 93).

Ketahanan integrasi bangsa kita di sini sedang diuji kehandalan


karena kelalaiannya. Pemerintah Orde Lama, Orde Baru telah keliru
dengan merasionalkan persatuan yang bersifat mitis itu menjadi suatu
nasionalisme tanpa mewujudkan ke-mitis-an persatuan tersebut secara
empiris. Maksudnya, pemerintah tidak memberi kesempatan bahwa
masing-masing kelompok etnik untuk mengekspresikan keleluasaannya
dalam persatuan bangsa ini. Ini sungguh mengerikan di mana orang tidak
40
lagi menghargai bahwa perbedaan agama- budaya itu sebagai Rachmatan
lil-Allamin. Bukankah negara ini juga dibangun atas dasar motto Bhineka
Tunggal Ika? Yang digali sejak jaman Majapahit dahulu dari Mpu
Tantular dalam Negara Kertagama “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana
Dharma Mangrwa”. Belum lagi gerakan-gerakan yang ingin
memproklamirkan diri seperti kelompok GAM di Aceh, RMS di Ambon
atau Maluku Selatan, dan Gerakan Papua Merdeka. Semuanya ini jika
dibiarkan akan mencabik-cabik kesatuan dan persatuan bangsa. Hal-hal
yang semacam inilah yang dalam bukunya Francis Fukuyama dalam The
Great Disruption si penulis buku terlaris abad ini The End History of
Last Man, bahwa Social Capital kita menjadi rendah karena tidak
adanya rasa saling percaya antar etnik, budaya, agama, justru yang ada
adalah rasa curiga yang dalam. Ini

41
berbahaya jika tidak ada rasa percaya-mempercayai, harga menghargai
antar anak bangsa yang ada.
Memang banyak generasi muda yang mampu mengukir prestasi
seperti dalam berbagai lomba maupun olimpiade sains di berbagai negara
yang telah diselenggarakan. Tetapi suatu hal yang memprihatinkan aktivitas
generasi muda yang telah ditulis dan diteliti oleh beberapa Harian
Terkemuka Ibu Kota, bahwa tidak sedikit anak-anak muda kita yang
terjebak dalam “The Pursuit of Wow” mengejar kegemerlapan,
mengedepankan kenikmatan-kepuasan, menga- baikan idealisme dalam
arti lebih materialis dan idividualistik, serta sikap- sikap yang acuh tak
acuh terhadap kemajuan negara-bangsa. Pendeknya tidak sedikit anak-
anak muda yang lebih mengedepankan budaya hedonik yang ditandai
oleh pengejaran kepuasan dan kenikmatan. Maraknya patologis seksual
dan budaya kekerasan. Lebih mengerikan lagi dalam hasil penelitian
tersebut siswa-siswi, mahasiswa, dan generasi muda umumnya banyak
terlibat dalam tawuran, “kumpul kebo”, maupun pelecehan-pelecehan
seksual lainnya dari perkosaan sampai dengan “berteman tapi mesra”
tanpa merasa berdosa. Begitu juga di kalangan orang tua sekarang ini
nampaknya penyakit masyarakat tentang, selingkuh, KKN, khususnya
korupsi masih melekat dan merajalela di Indonesia, walaupun ironisnya
hanya sedikit koruptor-koruptor yang tertangkap dan diadili dan itupun
lebih banyak kelas teri.
Sungguh menyedihkan, bangsa yang terkenal peramah, religius,
dan menjunjung kesopanan, tiba-tiba berubah menjadi bangsa yang
beringas, suka berkelahi dan saling membunuh. Nilai-nilai yang dahulu
kita anggap agung, luhur, dan mulia, zaman sekarang ibarat binatang
“langka” yang hampir musnah “mati suri” makin tidak berdaya. Penulis
teringat akan penyair Latin Klasik Publius Ovidius yang telah menulis
pada awal abad pertama Masehi: “video meliora proboque, pejora autem
sequor” (saya melihat hal-hal yang baik dan menyetujuinya, tetapi
ternyata saya mengikuti juga hal-hal yang kurang baik). Kemudian
Filosof Nietzche dengan caranya yang khas bahkan menulis bahwa “der
Irrtum hat aus Tirren Menschen gemacht” atau kekeliruanlah yang
membuat hewan menjadi manusia—karena hewan tak bisa khilaf,
sedangkan manusia sering keliru (Kleden, 2001: 27).
Ada semacam dugaan umum bahwa untuk menenganalisis
stagnasi
kajian nilai-nilai Indonesia dewasa ini disebabkan adanya kesenjangan yang bersifat
struktural dalam masyarakat sendiri. Kesenjangan itu mencuat tidak saja dengan hadir dan
diintrodusirnya nilai-nilai budaya Barat dalam pola pikir dan tingkah laku, tetapi juga
sekaligus diperuncing oleh ketidaksiapan dan ketidakmatangan budaya domestik, untuk
merangkul dan memberi inspirasi terhadap apa yang disebut kemajuan dalam kemodernan
(Bulkin, 16 Juli
1985)..
Di satu sisi nilai-nilai Barat yang hendak dikembangkan di Indonesia ternyata tidak
mendapat dukungan yang kokoh dari struktur sosial, ekonomi, maupun politik. Tetapi di sisi
lain, banyak contoh dan kasus yang menunjukkan bahwa situasi ekonomi, sosial, politik ini
tidak bisa disimpulkan sepenuhnya bersandar pada nilai asli domestik, kendati usaha-usaha
ke arah itu dirasakan sangat gencar dalam praktik pembangunan. Di lain pihak, dalam orasi
ilmiahnya memperingati 25 tahun CSIS (18-19 September, 1996) Prof. Robert A.
Scalapino mengatakan: nilai-nilai politik pada akhir-akhir ini telah memudar dan ada
kekuatan-kekuatan (nilai-nilai) lain yang segera mengisi kekosongan ini, yaitu kesadaran
etnik yang meningkat, dan di wilayah-wilayah tertentu oleh komitmen keagamaan yang
meningkat. Dengan demikian, kita menjalani abad XXI dengan mempertanayakan “Apa
yang saya percayai?”(What do I belives?), dan “Siapa saya ini sebenarnya?” (Who am I?).
Kedua pertanyaan itu merupakan tantangan kembar di masa sekarang dan mendatang
problematika sosial yang dihadapi umat. Disamping itu, faktor media massa (pers) Barat
yang selalu memojokkan umat Islam juga menjadi faktor reaksi dengan kekerasan yang
dilakukan.

POIN C
b. Kedudukan dan Fungsi BNPT dalam Menanggulangi Terorisme

Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis perlu merumuskan suatu


kebijakan pencegahan dan pemberantasan terorisme dengan tetap memperhatikan
prinsip perlindungan hak asasi manusia dan prinsip kehati-hatian. Olehnya itu
maka dalam upaya pencegahan dan pemberantasan terorisme, Indonesia
membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada tahun
2010. BNPT merupakan salah satu lembaga pemerintah non kementrian yang
diserahi tugas dan tanggung jawab untuk melakukan penanggulangan terorisme.
BNPT berkedudukan dibawah Presiden serta bertanggung jawab kepada Presiden.

Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BNPT dikoordinasikan


Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Sebagai lembaga
pemerintah non kementerian, BNPT dibentuk pada tahun 2010 dengan dasar
hukum pembentukannya adalah Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2010 tentang
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, yang kemudian diperkuat
kedudukannya melalui pasal 43E UU No. 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas
UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU
No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU.
Sebagai badan yang diserahi kewenangan untuk menanggulangi terorisme, maka
BNPT memiliki fungsi:
(a) menyusun dan menetapkan kebijakan, strategi, dan
program, nasional di bindang penanggulangan terorisme;
(b) Menyelenggarakan kordinasi kebijakan, strategi, dan program nasional di
bidang penanggulangan

terorisme;
(c) melaksanakan kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi.
Dalam melaksanakan fungsinya, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
bertugas:
(a) merumuskan, mengoordinasikan, dan melaksanakan kebijakan, strategi, dan
program nasional penanggulangan terorisme di bidang kesiapsiagaan nasional,
kontra radikalisasi, dan deradikalisasi;
(b). mengoordinasikan antarpenegak hukum dalam penanggulangan Terorisme ;
(c). mengoordinasikan program pemulihan korban; dan
(d). merumuskan, mengoordinasikan, dan melaksanakan kebijakan, strategi, dan
program nasional penanggulangan Terorisme di bidang kerja sama internasional.

Menurut Kepala BNPT, Suhardi Alius bahwa dalam penanggulangan


terorisme di Indonesia pada umumnya dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu
melalui hard approach atau penindakan yang merupakan kewenangan polri dan
soft approach atau pencegahan yang kewenangannya dititik beratkan kepada
BNPT. Melalui pendekatan yang kedua ini BNPT memandang bahwa mereduksi
radikalisme tidak harus selalu menggunakan pendekatan represif sebagaimana
yang dilakukan oleh pihak kepolisian pada umumnya. Penegakan hukum harus
diimbangai dengan tindakan preventif (pencegahan) yang menggunakan pola
pendekatan kemanusiaan agar tidak menciptakan rasa dendam maupun
melahirkan bentuk kekerasan yang baru. Olehnya itu dalam pendekatan soft
approach ini, ada dua program yang dijalankan oleh BNPT, yaitu melalui
program deradikalisasi dan kontra radikalisasi.
1. Deradikalisasi

Menurut Hamidin selaku Direktur Pencegahan Badan Nasional


Penanggulangan Terorisme (BNPT) , deradikalisasi adalah program yang
bertujuan untuk menetralkan pemikiran-pemikiran bagi mereka yang sudah
terpapar dengan radikalisme dengan sasaran utama adalah para terorisme baik
yang berada didalam lembaga pemasyarakatan (lapas) maupun yang ada diluar
lapas. Adapun tujun dari deradikalisasi ini adalah membersihkan pemikiran-
pemikiran radikalisme yang ada pada mereka sehingga mereka bisa kembali
menjadi masyarakat biasa sebagaimana masyarakat lainnya atau mentralisir
pemikiran radikal agar tidak radikal lagi.
Deradikalisasi dalam pemahaman SETARA Institute adalah mendeteksi
secara dini, menangkal sejak awal, dan menyasar berbagai lapisan potensial
dengan beragam bentuk dan varian yang relevan bagi masing-masing kelompok
yang menjadi sasaran. Tujuan utama dari deradikalisasi, bukan hanya mengikis
radikalisme, memberantas potensi terorisme tapi yang utama adalah mengokohkan
implementasi empat pilar hidup berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan
dan cita-cita nasional Indonesia. Pasal 43 D ayat 1 UU No. 5 Tahun 2018

mendefinisikan deradikalisasi sebagai suatu proses yang terencana, terpadu,


sistematis dan berkesinambungan yang dilaksankan untuk menghilangkan atau
mengurangi dan membalikkan pemahaman radikal terorisme yang telah terjadi.
Adapun program deradikalisasi ini ditujukan kepada
(a) tersangka;
(b) terdakwa;
(c) teridana;
(d) narapidana;
(e) mantan narapidana terorisme; atau
(f) orang atau kelompok orang yang sudah terpapar paham radikal terorisme.
Dengan melihat sasaran dari program deradikalisasi, maka dalam
pelaksanaannya terdapat perbedaan tahapan yang diberikan kepada orang yang
berstatus tersangka, terdakwa, terpidana dan atau narapidana dengan mantan
narapidana terorisme atau orang/ kelompok orang yang sudah terpapar paham
radikal terorisme. Bagi orang yang berstatus tersangka, terdakwa, terpidana dan
atau narapidana, deradikalisasi diberikan melalui beberapa tahapan yaitu: pada
tahapan pertama dilakukan identifikasi dan penilaian; dimana pada tahapan ini
merupakan penggambaran secara rinci tingkat keterpaparan seseorang mengenai
15
peran atau keterlibatannya dalam kelompok atau jaringan sehingga dapat
diketahui tingkat radikal terorismenya. (2) Tahapan kedua rehabilitasi; pada
tahapan ini dilakukan proses pemulihan dan penyembuhan untuk menurunkan
tingkat radikal terorisme seseorang (3) reedukasi; pada tahap ini dilakukan

16
pembinaan atau penguatan kepada seseorang agar meninggalkan paham radikal
terorisme dan (4). reintegrasi sosial, serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengembalikan orang yang terpapar paham radikal terorisme agar dapat kembali
kedalam keluarga dan masyarakat.
Sedangkan bagi mantan terpidana terorisme maupun orang atau kelompok
orang yang sudah terpapar paham radikal terorisme, program deradikalisasi
dilaksanakan melalui kegiatan (a) pembinaan wawasan kebangsaan, (b)
pembinaan wawasan keagamaan, dan (c) kewirausahaan. Namun perlu digarisbawahi
bahwa deradikalisasi dengan melalui kegiatan pembinaan wawasan kebangsaan dan
keagamaan, serta pelatihan kewirausahaan tetap didasarkan pada identifikasi dan
penilaian.
Sebagai program yang dicanangkan oleh BNPT dalam menanggulangi
terorisme, Irfan Idris Direktur Deradikalisasi BNPT mengemukakan bahwa ada 4 jenis
pendekatan dalam desain deradikalisasi di Indonesia, yaitu: Reedukasi,
Rehabilitasi, Resosialisasi, dan Reintegrasi. Reedukasi adalah penangkalan
dengan mengajarkan pencerahan kepada masyarakat tentang paham radikal, sehingga
tidak terjadi pembiaran berkembangnya paham tersebut. Sedangkan bagi narapidana
terorisme, reedukasi dilakukan dengan memberikan pencerahan terkait dengan
doktrin-doktrin menyimpang yang mengajarkan kekerasan sehingga mereka sadar
bahwa melakukan kekerasan seperti bom bunuh diri bukanlah jihad
yang diidentikkan dengan aksi terorisme.

Rehabilitasi memiliki dua makna, yaitu pembinaan kemandirian dan


pembinaan kepribadian, pembinaan kemandirian adalah melatih dan membina
para mantan napi mempersiapkan keterampilan dan keahlian, gunanya adalah agar
setelah mereka keluar dari lembaga pemasyarakatan, mereka telah memiliki keahlian
dan bisa membuka lapangan pekerjaan. Sedangkan pembinaan kepribadian adalah
melakukan pendekatan dengan berdialog kepada para napi teroris agar mind set
mereka bisa diluruskan serta memiliki pemahaman yang
komprehensif serta dapat menerima pihak yang berbeda dengan mereka. Proses

17
rehabilitasi dilakukan dengan bekerjasama dengan berbagai pihak seperti polisi,
Lembaga Pemasyarakatan, Kementerian Agama, Kemenkokesra, ormas, dan lain
sebagainya. Diharapkan program ini akan memberikan bekal bagi mereka dalam
menjalani kehidupan setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan.
Selain program terebut, untuk memudahkan mantan narapidana dan narapidana
teroris kembali dan berbaur ke tengah masyarakat, BNPT juga mendesain program
resosialisasi dan reintegrasi, dengan cara membimbing mereka dalam bersosialisasi
dan menyatu kembali dengan masyarakat. Selain itu deradikalisasi juga dilakukan
melalui jalur pendidikan dengan melibatkan perguruan tinggi, melalui serangkaian
kegiatan seperti public lecture, workshop, dan lainnya, mahasiswa diajak untuk
berfikir kritis dan memperkuat nasionalisme

sehingga tidak mudah menerima doktrin yang destruktif. Namun sebagai sebuah

program yang dicanangkan dalam mengubah mind set seseorang agar tidak bertindak
radikal layaknya sebagai teroris, tentunya masih memiliki kelemahan dan harus
diperhatikan oleh pemerintah. Deradikalisasi dalam implementasinya hanya sampai
pada tataran mengubah prilaku dan radikal menjadi tidak radikal, padahal seyogyanya
adalah menyentuh hal yang paling urgen yaitu menghapus atau menghilangkan
doktrin radikal dalam diri seseorang. Dan inilah yang harus diwaspadai oleh
pemerintah jangan sampai hanya menghasilkan out put
2. Kontra Radikalisasi

Berbeda dengan deradikalisasi yang fokus programnya ditujukan kepada


orang atau kelompok orang yang telah terpapar paham radikal terorisme. Program
kontra radikalisasi lebih ditujukan kepada orang atau kelompok orang yang rentan
akan terpapar paham radikal terorisme. Pasal 43 C ayat 1dan 2 UU No. 5 tahun

18
2018 menjelaskan bahwa kontra radikalisasi merupakan suatu proses yang terencana,
terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dilakukan oleh pemerintah dengan
dikoordinasi oleh BNPT serta melibatkan kementerian atau
lembaga terkait, yang mana kontra radikalisasi ini dilaksanakan dengan maksud

untuk menghentikan penyebaran paham radikal terorisme sehingga kegiatan ini lebih
ditujukan terhadap orang atau kelompok orang yang rentan terpapar paham radikal
terorisme. Adapun terkait dengan pelaksanaan kontra radikalisasi ini dapat dilakukan baik
secara langsung maupun tidak langsung melalui kontra narasi, kontra propaganda, atau
kontra ideologi.
Hal ini harus menjadi perhatian serius dari pemerintah terutama BNPT

sebab sebagaimaa telah diuraikan diawal tulisan ini bahwa media internet menjadi
media maen stream dalam menyebarkan paham radikal terorisme sebab menurut
Sujatmiko, Kepala Kasubdit Kontra Propaganda BNPT terorisme tidak hanya
dipandang sekedar aksi, tetapi yang lebih berbahaya adalah narasi. Sementara
penyebaran narasi radikal terorisme saat ini tumbuh dengan subur di dunia maya
olehnya itu sebagai langkah BNPT dalam melakukan kontra radikalisasi adalah
dengan membuat website damailahindonesia.com yang berisi berbagai narasi
untuk mencounter paham radikal, disamping itu dilakukan berbagai pelatihan dalam
merekrut dan membentuk duta damai dunia maya, seperti yang telah dilakukan di
beberapa daerah seperti Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, DKI Jakarta, DI
Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat, Kalimantan
Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Dari pelaksanaan kegiatan tersebut, telah berhasil
membentuk 53 kelompok duta damai dunia maya di 10 provinsi
dengan jumlah anggota 660 orang.
JAWABAN NO 2

19

Anda mungkin juga menyukai