Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

KAIDAH ISIM DAN FI’IL DALAM AL-QUR’AN

Disusun dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Al-Qur’an II

Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, M.Ag.

Disusun oleh :
Muhammad Hisyam Malik (20105030082)
Novia Purnamasari (20105030112 )
Lailatul Khasanah (20105030119)

Kelas:
Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Kelas C

ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2021

1
Kata Pengantar
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan limpahan
rahmat, anugerah, dan kekuatan kepada penuyusun sehingga makalah ini dapat diselesaikan.
Proses penyusunannya sempat mengalami beberapa kendala. Namun, berkat kesungguhan dan
kerja keras penyusun dan dorongan dari berbagai pihak, kendala-kendala tersebut dapat diatasi.

Penyusun telah berusaha menyusun makalah ini sebaik-baiknya, tetapi kekurangan dan
kesalahan pasti ada. Memang benar kata orang bijak bahwa dunia ini tidak ada yang sempurna.
Yang sempurna adalah kesempurnaan itu sendiri. Atas dasar kenyataan tersebut, saran, kritik
yang bersifat membangun agar makalah ini menjadi lebih baik sangat diharapakan dan diterima
penyusun dengan tangan terbuka.

Akhirnya semoga makalah ini bermanfaat dan menambah pengetahuan dan dapat
memberikan yang terbaik bagi kemajuan bangsa Indonesia.

Yogyakarta, September 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………………………………………………………………..2
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………………….…………………………………………………3
BAB 1……………………………………………………………………………………………………………………………………………………….4
II.1 Latar Belakang …………………………..………………………………………………………..………………………………………..4
BAB II……………………………………………………………………………………………………………………………………………………….6
II.1 Kaidah Isim dalam Al-Qur'an… ….…………………………………………………………………………………………………..6
II.2 Kaidah Fi'il dalam Al-Qur'an.………………………………………………………………………………………………………….8
II.3 Urgensi Isim dan Fiil dalam Al-Qur'an ………..…………………………………………………..…………………………10
BAB III………………………………………………………………………………………………………………..………….………………………11
III.1 Kesimpulan……………………………………………………………………………………….………………………………………..11
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………………..………………………………………………12

3
BAB I

PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang

Imam az-Zarkasyi mendefinisikan tafsir sebagai ilmu yang digunakan untuk memahami
kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw beserta penjelasan maknanya dan
mengambil ketetapan-ketetapan dan hukumnya. Dan tafsir sangat membutuhkan ilmu bahasa,
nahwu, sharaf, ilmu bayan, ushul fiqih, qiraat, asbabun nuzul dan juga nasikh-mansukh.1

Kalam merupakan objek kajian atau telaah dalam menginterpretasikan al-Qur’an al-
karim. Dalam konteks penafsiran, al-Qur’an merupakan kalam Allah SWT yang disampaikan
untuk manusia yang ditugasi sebagai khalifah di bumi-Nya dengan menggunakan bahasa Arab.
Meskipun hakikat kalam Allah merupakan sifat dari dzat-Nya yang tidak dapat kita jangkau.

‫إن جعل ٰنه قرءٰ نا عربيا لعلكم تعقلون‬

“Sesungguhnya Kami menjadikannya (yakni Kalam Allah) berupa Qur’an yang


berbahasa Arab agar kamu sekalian dapat memahami (pesan-pesannya)” (QS. az-Zukhruf
[43]:3).

Ayat ini menunjukkan bahwasanya al-Qur’an merupakan kalam-Nya yang menggunakan


bahasa Arab, bahasa di mana al-Qur’an itu diturunkan. Ini juga berarti kabar gembira bagi
seluruh manusia terutama umat Islam, karena kalam dapat kita pahami dengan segenap
perangkat yang digunakan oleh bahasa Arab dan juga berbagai disiplin ilmu lain, seperti asbabun
nuzul dan nasikh-mansukh, karena kita sudah berada jauh dari masa diturunkannya.2

Sedangkan menurut bahasa, kalam berarti pembicaraan, percakapan atau ucapan Dan.
menurut pakar bahasa Arab kalam adalah lafadh yang sudah tersusun dan memiliki makna.

‫الكالم هو اللفظ المركب المفيد‬

1 M. Ibn Alawi, al-Qawaid al-Asasiyyah fi Ulumi al-Qur’an, (Surabaya: Ash-Shofwah al-Malikiyyah), hlm. 163
2M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda ketahui dalam
Memahami Ayat-ayat Al-Quran, (Tangerang: Lentera Hati, 2015), hlm. 45

4
atau seperti bait dalam alfiyyahnya Ibn Malik

‫كالمنا لفظ مفيد كاستقم‬

Kalam adalah lafadh yang sudah memberi faidah seperti faidahnya lafadh istaqim. Secara
tidak langsung dari contoh tersebut, Ibn Malik memberikan pemahaman bahwasanya kalam
harus terdiri dari dua kalimah (baca: unsur). Kedua unsur tersebut bisa tampak jelas kedua-
duanya atau disembunyikan salah satunya seperti contoh ‫ استقم‬yang menyembunyikan dhomir ‫انت‬
di dalamnya3 Unsur-unsur yang dapat digunakan untuk menyusun kalam sebenarnya ada tiga;
isim, fi’il dan harf. Namun pada kesempatan kali ini kami hanya akan membatasi untuk sedikit
menjelaskan tentang isim dan fi'il serta urgensinya dalam al-Qur’an.

3 Abdullah Ibn Aqiil, Syarah Ibn Aqiil, (Al-Haramain Jaya Indonesia), hlm. 15

5
BAB II

PEMBAHASAN

II.I Kaidah Isim dalam Al-Qur’an

Isim merupakan kata yang memiliki arti dengan sendirinya (tanpa harus disertai kata yang lain)
dan tidak memiliki dimensi waktu. 4 Isim dapat dikelompokkan seperti berikut;

A. Macam-macam bentuknya, isim dibagi menjadi dua; mudzakar/maskulin dan


muannats/feminim. Awal mula isim adalah mudzakar, dan muannats merupakan
cabangnya. Oleh karena itu isim mudzakar tidak membutuhkan alamat/ tanda untuk
kemudzakarannya sedangkan isim muannats membutuhkan tanda untuk mengetahuinya,
sperti ta’ dan alif maqsurah maupun mamdudah. 5
Keduanya memiliki kata tunjuk atau kata pengganti yang husus, seperti hadza untuk
menunjuk maskulin dan hadzihi untuk menunjuk feminim. Namun demikian dalam al-
Quran ditemukan kata yang bersifat feminim secara majazi, tetapi ditunjuk menggunakan
pengganti maskulin. Seperti firman Allah yang menceritakan ucapan Nabi Ibrahim ketika
melihat matahari dalam rangka membimbing umatnya untuk menemukan keesaan Allah.
‫فلما رءا الشمس بازغة قال هذا ربي هذا أكبر‬
Di sini Nabi Ibrahim menggunakan kata hadza untuk menunjuk as-syams/matahari yang
dalam tata bahasa Arab bersifat feminim majazi. Dari situ lalu lahir pendapat al-Biqa’i
(w. 1406-1480M), “Tuhan yang Mahakuasa tidak tergambar sifatnya sebagai wujud yang
lemah, padahal feminim secara umum dinilai lemah. Berbeda dengan maskulin, maka
ketika menunjuk matahari yang dipercaya oleh masyarakat Nabi Ibrahim as sebagai
Tuhan, maka gambaran tersebut ditampilkan dalam bentuk lafazh yang digunakan untuk
maskulin.6

B. Menurut bilangannya, isim dibagi menjadi tiga; mufrad/tunggal, tasniyah/dual, dan


jamak/plural. Asal mula isim adalah mufrad, lalu ia mendapatkan tambahan atau
mengalami perubahan sehingga menjadi tasniyah atau jamak. Seperti ‫ كتاب‬ketika

4 Ibid, hal. 15
5 Ibid, juz 4, hal 438
6 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda ketahui dalam Memahami Ayat-

ayat Al-Quran, (Tangerang: Lentera Hati, 2015), hlm. 46

6
mendapatkan tambahan alif dan nun menjadi bentuk tasniyah dan ketika mendapat
tambahan wawu dan nun menjadi bentuk jamak.
Pada konsep dasarnya masing-masing kata tersebut memiliki kata tunjuk dan kata ganti
secara husus, seperti kata ganti hu (ُ‫ )ـه‬digunakan untuk mengganti lafazh yang mufrad,
huma (‫ )ـهما‬untuk dual dan hum (‫ )ـ ُهم‬untuk plural. Namun demikian dalam al-Quran tidak
jarang ditemukan kata dual diganti dengan kata ganti tunggal, atau kata tunggal diganti
dengan kata ganti bentuk jamak.

‫ و ال تولوا عنه و أنتم تسمعون‬،‫يأيها الذين ءامنوا أطيع هللا و رسوله‬

“wahai orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan rasul-Nya, jangan berpaling dari-
Nya, sedang kamu mendengar.” [QS. Al-Anfal : 20]

Di sini menggunakan pengganti hu (ُ‫ )ـه‬padahal sebelumnya ada lafazh Allah dan Rasul
dimana seharusnya menggunakan kata ganti huma (‫)ـهما‬. Namun dari sini lahirlah kaidah
tafsir yang mengatakan bahwasannya kita tidak bisa mentaati Allah tanpa mentaati Rasul,
dan taat kepada Rasul merupakan manifestasi ketaatan kepada Allah SWT. Ketaatan
kepada keduanya berbentuk satu kesatuan sehingga al-Quran memberikan isyarat dengan
kata ganti tunggal untuk menunjuk keduanya. 7

C. Berdasarkan sifatnya, isim dibagi menjadi dua: isim ma’rifah dan nakirah. Isim nakirah
secara sederhana adalah isim yang bersifat umum dan ketika didefinisikan berdasar ciri-
cirinya menjadi isim yang dapat menerima al ‫ ال‬atau bisa menggantikan isim yang dapat
menerima al serta al tersebut memengaruhi kema’rifahannya. Yang dapat menerima al
seperti kata rojulun ‫ رجل‬dan yang bisa menggantikan isim yang dapat menerima al
seperti dzu ‫ ذو‬yang memiliki makna kepemilikan yang menggantikan kata shahib ‫صاحب‬.8
Sedangkan isim ma’rifah adalah isim yang bersifat husus atau biasa diartikan sebagai
isim selain isim nakirah. Isim ma’rifah ada enam; isim dhomir, isim alam, isim isyarah,

7 Ibid, hal. 47
8 Abdullah Ibn Aqiil, Syarah Ibn Aqiil, (Al-Haramain Jaya Indonesia), hlm. 89

7
isim maushul, isim nakirah yang sudah dipasangkan al, dan isim yang mengikuti salah
satu dari ke lima isim tersebut.9 Dalam konteks ma’rifah dan nakirah para pakar tafsir
telah mengemukakan suatu rumusan yang bisa diterapkan untuk umumnya ayat-ayat al-
Quran.
Pengulangan kata yang sama dalam satu rangkaian kalimat yang keduanya dalam bemtuk
ma’rifah, maka itu secara umum mengandung makna bahwa yang kedua sama dengan
yang pertama; sedang pengulangan nakirah menunjukkan bahwa yang pertama bukan
yang kedua”.
Bila yang pertama nakirah dan yang kedua ma’rifah, maka yang kedua sama dengan yang
pertama, namun bila sebaliknya, yang pertama ma'rifah dan yang kedua nakirah, maka ini
diperlukan indikator untuk merumuskan maknanya. Karena terkadang sangat berbeda
maknanya”.
Contoh penerapannya seperti firman-Nya dalam QS. al-Insyirah: 5- 6, QS. al-Muzammil :
15-16, dan QS. ar-Rum: 55.
D. Menurut asal-usulnya, isim dikelompokkan menjadi dua; isim musytaq dan isim jamid.
Isim jamid merupakan isim yang lafazhnya asli, tidak terambil dari satu kata sebelumnya.
Ini bisa menunjuk kepada person, seperti syams ‫ ; شمس‬dan juga menunjuk sifat sesuatu,
seperti kata syaja’ah ‫ شجاعة‬. Sedang yang musytaq adalah yang terambil dari satu kata
(akar kata) dan darinya bisa dibentuk kata yang lain untuk menunjuk sesuatu atau
memberi sifat. Ini mencakup isim fa’il, maf’ul, tafdhil, zaman, makan, shighat
mubalaghah, shifat musyabahah dan isim alat.

II.2 Kaidah Fi’il dalam Al-Qur’an

Penggunaan fi’il atau kata kerja dalam al-Qur’an terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Kata kerja yang memiliki makna pekerjaan yang telah lalu atau yang biasanya
disebut fi’il madhi. Contohnya kata khalaqa, sebagaimana yang digarisbawahi, pada
QS 96:2 berikut ini:
‫علَق‬
َ ‫سانَ مِ ن‬ ِ َ‫َخلَق‬
َ ‫اإلن‬

9 Ibid, hal.90

8
Artinya: Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah
2. Kata kerja yang memiliki makna pekerjaan yang sedang berlangsung atau yang akan
datang, disebut fi’il mudhari’. Contohnya kata-kata yasjudu, yastakbirûn,
sebagaimana yang digarisbawahi pada QS 16:49 berikut ini:

ْ َ‫ض مِ نَْ دَابَّةَ َوا ْل َم ََلئِك ََةُ َوهُ َْم ََل ي‬


ََ‫ستَ ْكبِ ُرون‬ َ ِ ‫ت َو َماَ فِي ْاْل َ ْر‬
َِ ‫اوا‬
َ ‫س َم‬ ْ َ‫َولِلَّ َِه ي‬
َّ ‫س ُج ُدَ َما فِي ال‬
Artinya: Dan kepada Allah sajalah segala sesuatu yang berada di langit dan semua
makhluk yang melata di bumi bersujud (terus menerus) dan (juga) para malaikat,
sedangkan mereka (malaikat) tidak menyombongkan diri.
Fi'il mudhari digunakan juga untuk menggambarkan kesinambungan waktu atau
seringnya hal tersebut dilakukan. Terlebih, jika fi'il tersebut didahului dengan
(‫)كان‬. Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 61 sebagai berikut:
۟ ُ‫َوكَان‬
ََ‫واَ َي ْعتَدُون‬ ۟ ‫عص‬
َّ ‫َوا‬ َ َ‫ذَِ ِلكَ َ ِب َما‬
“Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui
batas.”
Memang kana tidak selalu harus diartikan "dahulu" karena Allah SWT. yang
dilukiskan oleh al-Qur'an, misalnya:
‫ع ِل ْي ًما َح ِك ْي ًما‬
َ َ‫إِن للا كَان‬
Bukan berarti bahwa Dia dahulu Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, tetapi
maknanya "Dia senantiasa, hingga kini, sekarang, dan masa datang, Maha
Mendengar lagi Maha Bijaksana"
Dalam konteks al-Qur'an tidak jarang peristiwa masa datang dilukiskan dengan
kata kerja masa lampau. Ini bertujuan menggambarkan kepastian terjadinya
peristiwa dimaksud seakan-akan ia telah terjadi. Seperti firman Allah dalam QS.
An-Nahl ayat 1 sebagai berikut:

ٰۤ
َ ‫ّللا فَ َل ت َۡست َۡع ِجلُ ۡوهُ ؕ سُ ۡب ٰحنَه َوتَ ٰع ٰلى‬
‫ع َّما يُ ۡش ِرك ُۡون‬ ِ ٰ ‫اَ ٰتى اَمۡ ُر‬
“Ketetapan Allah pasti datang, maka janganlah kamu meminta agar dipercepat
(datang)nya. Mahasuci Allah dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka
persekutukan”

9
3. Kata kerja yang menunjukkan perintah untuk melakukan sesuatu atau disebut fi’il
amr. Contohnya pada kata uskun, kula pada QS 2:35 berikut ini:
َّ ‫ث شِئت ُ َما َو َل تَق َربَا ٰهَ ِذ ِه ال‬
َ‫شج ََرةَ فَتَكُونَا مِ ن‬ َ ‫َوقُلنَا يَا آ َد ُم اسكُن أَنتَ َوزَ و ُجكَ ال َجنَّةَ َوك َُل مِ نهَا َر‬
ُ ‫غدًا حَي‬
َّ ‫ال‬
َ‫ظالِمِ ين‬
Artinya: Dan, Kami berfirman: “Hai Adam, berdiamlah kamu dan istrimu surga
ini, dan makanlah makanannya yang banyak lagi baik di mana saja kamu sukai,
dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-
orang yang zalim.ˮ

II.3 Urgensi Isim dan Fi’il dalam Al-Qur’an


Pentingnya kaidah kebahasaan dalam memahami atau menafsirkan Alquran
bukanlah sesuatu yang bersifat formalitas saja, akan tetapi ia merupakan sesuatu
keharusan dalam upaya mengetahui makna dan kedudukan sebuah ayat Alquran sehingga
darinya kita dapat lebih memahami serta dapat menjabarkanya ke dalam amaliyyah
kehidupan sehari-hari. Termasuk urgensi kaidah kebahasaan isim dan fi’I dalam al-
Qur'an.
Isim dalam perspektif al-Qur’an bukan dimaksudkan semata untuk kata benda.
Kata isim juga mencakup kata sifat, keadaan, kata ganti, kata tunjuk, nama, dan mashdar
(kata dasar) atau pembendaan. Fiʻil adalah perbuatan yang terikat dengan waktu tertentu.
Pola-pola penggunaan fi'il disesuaikan dengan keterikatan waktu (kala) yang menyertai
fi'il tersebut, yaitu pola penggunaan fi'il madhi (kata kerja kala lampau), fi'il mudhari'
(kata kerja kala sedang/akan), dan fi’il amr (kata perintah melakukan perbuatan kala
akan).

10
BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan
Kalam adalah lafadh yang sudah tersusun dan memiliki makna. Unsur-unsur yang dapat
digunakan untuk menyusun kalam sebenarnya ada tiga; isim, fi’il dan harf. Namun pada
kesempatan kali inu, hanya akan membatasi untuk sedikit menjelaskan tentang isim dan fi'il serta
urgensinya dalam al-Qur’an. Isim dalam perspektif al-Qur’an bukan dimaksudkan semata untuk
kata benda. Kata isim juga mencakup kata sifat, keadaan, kata ganti, kata tunjuk, nama, dan
mashdar (kata dasar) atau pembendaan. Fiʻil adalah perbuatan yang terikat dengan waktu
tertentu. Pola-pola penggunaan fi'il disesuaikan dengan keterikatan waktu (kala) yang menyertai
fi'il tersebut, yaitu pola penggunaan fi'il madhi (kata kerja kala lampau), fi'il mudhari' (kata kerja
kala sedang/akan), dan fi’il amr (kata perintah melakukan perbuatan kala akan).

11
DAFTAR PUSTAKA
Alawi, M. Ibn. al-Qawaid al-Asasiyyah fi Ulumi al-Qur’an. Surabaya: Ash-Shofwah al-
Malikiyyah.
Aqiil, Abdullah ibn. Syarah Ibn Aqiil. Al-Haramain Jaya Indonesia
Shihab, M Quraish. 2015. Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda ketahui
dalam Memahami Ayat-ayat Al-Quran. Tangerang: Lentera Hati

12

Anda mungkin juga menyukai