Anda di halaman 1dari 20

Review Jurnal Nasional dan Internasional

Mata Kuliah:

Teknik Penulisan Skripsi

Dosen Pengampu:

Dr. Siti Urbayatun S.Psi., M.Si., Psikolog

Disusun Oleh:

Bayu Aji Saputra 1700013067

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN

YOGYAKARTA

2020
JURNAL 1 (NASIONAL)

JUDUL

Gambaran Learned Helplessness Wanita Tuna Susila Yang Mengalami

Kekerasan

PENDAHULUAN

Wanita tuna susila merupakan masalah sosial sejak sejarah kehidupan

manusia hingga saat ini, di mana wanita tuna susila selalu ada pada setiap tingkat

peradaban (Kartono, 2007). Wanita tuna susila seringkali dihadapkan pada hal-hal

yang sulit dan berat untuk dijalani dalam kesehariannya (Arivia, 1997). Reaksi sosial

terhadap wanita tuna susila dapat bersifat menolak sama sekali dan mengutuk

keras, bercampur dengan rasa benci, ngeri, jijik, takut, dan marah (Kartono, 2007).

Persepsi yang salah ini menghantarkan para wanita tuna susila ke ambang

kerentanan terhadap kekerasan yang meliputi kekerasan fisik, kekerasan verbal,

maupun kekerasan seksual (Arivia, 1997).

Para wanita tuna susila yang menyadari akan keterpinggirannya mengaku

tidak berdaya apa-apa untuk menolak realitas tersebut yang muncul dari rasa

rendah diri para wanita tuna susila dengan berbagai stereotip yang melekat pada diri

masing-masing (Syam, 2010). Perasaan terperangkap oleh stereotip dan stigma

negatif dari lingkungan, kecaman lingkungan serta penolakan akan keberadaan para

wanita tuna susila yang dialami dalam periode waktu yang panjang tanpa mampu

melakukan sesuatu untuk merubah kondisi, memicu tingkat stres yang tinggi dalam

diri para wanita tuna susila (Sarafino & Smith, 2012).

Rasa ketidakberdayaan atas pengalaman berulang yang tidak terkendali yang

menurunkan harga diri dan ketidakmampuan melihat peluang usaha untuk


mengubah pengalaman berulang yang tidak menyenangkan tersebut yang disebut

learned helplessness oleh Martin Seligman (dikutip dalam Hoeksema, 2007). Tujuan

penelitian adalah memperoleh gambaran learned helplessness pada wanita tuna

susila yang mendapat kekerasan, selain itu, memberikan info kepada masayarakat

untuk lebih memperhatikan bagaimana keadaan yang terjadi pada para wanita tuna

susila di balik peran kewanita-tuna-susilaan, serta memberi pengetahuan mengenai

learned helplessness guna mencegah rasa ketidakberdayaan.

TINJAUAN PUSTAKA

Learned Helplessness Istilah learned helplessness diciptakan berdasarkan

penelitian Martin Seligman dengan hewan yang terlihat lelah dan akhirnya

mempelajari bahwa hewan tersebut tidak berdaya dalam menghindari kejut yang

tidak dapat dihindari. Abramson menjelaskan bahwa helplessness tergantung pada

pemikiran bahwa ia tidak mungkin menghadapai masa depan, yang menurut

Wortman dan Brehm disebabkan kegagalan dari usaha mengontrol kejadian (dikutip

dalam Carver & Scheier, 1992).

Karakteristik Individu dengan Helplessness Seligman (dikutip dalam Halgin &

Whitbourne, 2003) juga menjelaskan, perilaku yang ditunjukkan dari learned

helplessness mirip dengan orang yang depresi, individu menunjukkan perilaku ini

dalam menanggapi pengalaman sebelumnya dimana individu merasa tidak berdaya

untuk mengendalikan nasibnya, yakni sebagai berikut.

Pertama, sulit melihat peluang bantuan (dikutip dalam Price, 1978).Kedua,

sikap yang pasif (dikutip dalam Hoeksema, 2007). Ketiga, perilaku rendahnya

harapan akan keberhasilan. Keempat, menganggap dirinya tidak memiliki

kemampuan (dikutip dalam Berk, 1991). Kelima, berkurangnya usaha individu

karena mempelajari bahwa usaha apapun yang dilakukan pada akhirnya akan
berujung pada kegagalan, ditambah tidak ada kemampuan maka tidak perlu

melakukan usaha apalagi mengulang usaha yang sudah jelas gagal (Berk, 1991).

Keenam, ada kecenderungan untuk bunuh diri. Segala kepasifan, percaya bahwa

dirinya tidak mampu mengubah kegagalan menimbulkan perilaku kecenderungan

bunuh diri bagi para individu yang helpless, karena tidak percaya bahwa akan ada

bantuan yang mengeluarkan dirinya dari situasi penuh tekanan Alloy, 1999).

Penyebab Terjadinya Learned Helplessness Seligman (dikutip dalam Price,

1978) mengemukakan bahwa Learned Helplessness timbul sebagai reaksi saat

individu menemukan bahwa tidak ada jalan untuk menghindari atau menyangkal

kejadian- kejadian yang dianggap tidak menyenangkan, dan adanya kegagalan dari

segala tindakan dan usaha yang dimaksudkan untuk mengubah keadaan yang

menekan tersebut.

Dampak Learned Helplessness Seligman (dikutip dalam Lubis, 2009)

mengemukakan bahwa learned helplessness mengakibatkan gangguan emosional

seperti depresi ringan atau sedang, meningkatkan kecemasan, perasaan tertekan,

penurunan motivasi yakni merasa diri tidak memiliki kemampuan, usaha apapun

akan berujung kegagalan sehingga memunculkan rasa menyerah (Lubis, 2009),

serta penurunan kognitif yaitu gagalnya individu dalam mempelajari respon-respon

baru yang dapat membantu individu keluar dari permasalahan atau keadaan yang

membuat individu tertekan (Lubis, 2009).

Wanita Tuna Susila Istilah yang artinya sama dengan wanita tuna susila

banyak dijumpai di dalam masyarakat, seperti: perempuan jalang, perempuan

sundal, lonte, dan penjaja seks (Syam, 2010). Menurut Suwartono (dikutip dalam

Hutabarat, 2004) penjaja seks adalah, “perempuan yang melakukan hubungan

kelamin dengan seseorang atau beberapa orang laki-laki di luar ikatan perkawinan
yang sah dengan maksud mendapatkan kepuasan seksual atau mendapatkan

bayaran dan keuntungan materi lainnya”.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan mendasarkan pada metode kualitatif.

Partisipan adalah wanita tuna susila yang diperoleh penulis dengan melakukan

pendekatan dan menemui wanita tuna susila untuk meminta kesediaan

diwawancara.

HASIL PENELITIAN

Berdasarkan hasil penelitian, keterlibatan partisipan dalam dunia kewanita-

tuna-susilaan karena latar belakang pendidikan dan keterampilan yang tegolong

rendah serta paksaan dari orang lain ataupun keadaan ekonomi yang sulit.

Kehidupan menjadi wanita tuna susila berat untuk dijalani karena banyaknya

permasalahan yang ditemui, masalah yang cukup berat salah satunya adalah

kekerasan yang menimpa para partisipan sebagai wanita tuna susila. Kekerasan

fisik yang dialami ketiga partisipan dapat berasal dari pelanggan, ataupun orang-

orang disekitar para partisipan, seperti penjaga wanita tuna susila, ataupun suami.

Kekerasan lainnya adalah kekerasan verbal, didapatkan dari pelanggan,

masyarakat, ataupun rekan-rekan sesama wanita tuna susila. Adapula kekerasan

seksual, dari trafficking, atau yang didapat dari pelanggan.

Usaha-usaha yang dirasa sia-sia karena terus menerus mendatangkan

kegagalan sebagai hasilnya memberikan keyakinan pada para partisipan bahwa

masing-masing diri tidak memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu dalam

mengubah situasi tidak menyenangkan. Keyakinan tidak berdaya ini semakin

mengurangi motivasi para partisipan untuk mencari jalan keluar, hingga akhirnya

ketiga partisipan berhenti dalam mencari dan melakukan usaha untuk menghindari,
mengubah, menghentikan atau mengontrol keadaan dan kejadian-kejadian dalam

perjalanan kehidupan wanita tuna susila masing-masing partisipan. Perilaku-perilaku

inilah yang menunjukkan adanya karakteristik Learned Helplessness pada ketiga

partisipan.

DISKUSI

Saran untuk penelitian selanjutnya yaitu penelitian dengan metode kualitatif

yang mewajibkan wawancara sebagai sumber pencarian data. Disarankan untuk

dapat memperkecil jarak antara peneliti dan partisipan atau dapat lebih

mengakrabkan diri pada partisipan sehingga partisipan dapat semakin terbuka

dalam cerita secara lugas. Disarankan juga untuk dapat mewawancarai orang-orang

terdekat partisipan sehingga data tidak hanya berpusat pada partisipan saja, maka

data akan lebih variatif dan makin lengkap demi kepentingan analisis.

PENDAPAT TERHADAP JURNAL

Menurut pendapat saya, jurnal diatas sudah cukup lengkap jika dilihat dari sisi

format penulisannya, mulai dari Abstraksi, pendahuluan, metode penelitian,

pembahasan sampai dengan hasilnya pun sudah cukup lengkap dibahas dengan

detil. Adapun kekurangan dan saran terhadap temuan jurnal tersebut telah dibahas

di dalam diskusi. Jurnal tersebut juga mudah dipahami dan diketahui maksud dari

penelitian yang dilakukan.

JURNAL 2 (NASIONAL)

JUDUL

Penerapan Pendekatan Konseling Realita Untuk Mengatasi Learned

Helplessness (Suatu Studi Embedded Experimental Model Pada Mahasiswa)

PENDAHULUAN
Pada dasarnya learned helplessness adalah suatu persepsi di mana individu

merasa apapun yang dilakukannya tidak akan menghasilkan sesuatu yang

diinginkannya (Durkin, 1995; McCawn, Driscoll & Roop, 1996; Slavin, 2006). Individu

yang mengalami learned helplessness merasa bahwa tidak ada keterkaitan antara

usaha yang dilakukan dengan kemungkinan untuk berhasil. Ketika mereka ingin

mencapai suatu tujuan, mereka merasa tidak ada yang bisa dilakukan karena

memiliki persepsi bahwa usaha yang dilakukan tidak akan berpengaruh terhadap

pencapaian tujuan.

Guna membantu individu yang mengalami learned helplessness, tampaknya

cukup tepat dengan mengaplikasikan pendekatan konseling realita (reality therapy).

Jika ditinjau dari perspektif teori atribusi, tampaknya learned helplessness di-

karenakan individu merasa tidak punya harapan. Individu dengan atribusi

kemampuan merasa bahwa mereka tidak punya harapan untuk berhasil karena

kemampuan yang kurang; individu dengan atribusi keberuntungan merasa kurang

punya harapan karena keberhasilan atau kegagalan karena kurang mampu

mengontrol realita; demikian seterusnya. Relevan dengan kondisi tersebut,

konseling realita mendorong individu untuk kontrol perilaku, menekankan pilihan dan

mendorong individu agar senantiasa memiliki harapan (Corey, 2009; Wubbolding,

2007).

Pendekatan konseling realita, dalam membantu individu yang mengalami

learned helplessness, mendorong mereka merasa memiliki harapan. Individu yang

mengalami learned helplessness diajak melakukan evaluasi diri. Selama proses

evaluasi diri, individu diajak untuk mencermati bahwa mereka memiliki pilihan dan

kapasitas untuk mengontrol perilakunya (Seligman, 2006; Wubbolding, 2007). Hasil

yang diharapkan adalah tumbuhnya kesadaran pada diri individu bahwa mereka
memiliki pilihan; menjadikan diri mengalami learned helplessness pada dasarnya

merupakan hasil dari sebuah pilihan dan itu bukan satu- satunya, masih ada pilihan

yang lain. Tumbuhnya kesadaran ada pilihan diharapkan menumbuhkan keyakinan

bahwa selalu ada harapan ketika berusaha. Melalui proses ini diharapkan individu

dengan learned helplessness diharapkan mereka meyakini kembali bahwa dirinya

dapat melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Berdasarkan

fenomena di atas, penelitian ini secara khusus dilakukan untuk mengeksplorasi

efikasi pendekatan konseling realita dalam membantu mengatasi learned

helplessness.

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka dijadikan satu di dalam pendahuluan oleh penulis.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian Mixed Method Design.

Mixed Method Design merupakan kombinasi atau gabungan penelitian pendekatan

kuantitatf dan kualitatif termasuk didalamnya terdapat data yang bersifat kualitatif

dan kuantitatif penelitian pada suatu kajian tunggal (Gay, Mills & Airasian, 2009:

462). Mixed Method Design memiliki beberapa jenis atau model di dalam

pengaplikasiannya. Salah satu model dari Mixed Method Design adalah model

Embedded Design. Cresweel dan Clark (2007 :67) mengemukakan bahwa

Embedded Design adalah suatu bentuk dari mixed method design dimana satu data

menyediakan data pendukung untuk data yang lain.

HASIL PENELITIAN

Pendekatan konseling Realita membuahkan perubahan terapeutik dalam

mengatasi learned helplessness pada mahasiswa FIP khususnya mahasiswa

Jurusan BK. Hal tersebut didasarkan pada Hasil analisis uji statistik dengan teknik
Wilcoxon menunjukkan bahwa konseling realita dapat menurunkan tingkat learned

helplessness. Rerata pretes sebesar 54 dan rerata postes sebesar 44. Meskipun

rerata setelah dan sebelum konseling menunjukkan adanya penurunan tingkat

learned helplessness, tetapi penurunan tersebut tidak signifikan (Z = -1,342, p (one

tail)= 0,09).

Pada uji hipotesa menggunakan analisis percakapan dapat disimpulkan juga

bahwa perubahan terjadi pada sisi tuturan atau wicara konseli dan keinginan konseli

maupun tindakan konseli untuk berusaha membuat penyelesaian (solusi) atas

masalah learned helplessness. Meski ada perubahan namum perubahan yang

dilakukan belum direncanakan secara spesifik sesuai dengan kebutuhan masing-

masing konseli.

PENDAPAT TERHADAP JURNAL

Menurut pendapat saya, jurnal diatas sudah cukup lengkap jika dilihat dari sisi

format penulisannya, mulai dari Abstraksi, pendahuluan, metode penelitian,

pembahasan sampai dengan hasilnya pun sudah cukup lengkap dibahas dengan

detil. Adapun kekurangan dan saran terhadap temuan jurnal tersebut telah dibahas

di dalam diskusi. Hanya saja peneliti belum menuliskan diskusi maupun saran pada

penelitiannya dan penelitian selanjutnya yang dilakukan. Penelititian tersebut juga

bisa dengan mudah dipahami penelitiannya.

JURNAL 3 (NASIONAL)

JUDUL

Hubungan antara Adversity dan Ketidakberdayaan yang Dipelajari pada Anak

yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) di Rumah Tahanan Surabaya.

PENDAHULUAN
Adversity adalah suatu konsep yang ditujukan mengenai bagaimana

seseorang dapat bertahan dan dapat mengatasi kesulitan (Stolz, 2000). Adversity

adalah perwujudan dari kebiasaan respon seseorang terhadap kesulitan (Stolz,

2000). Adversity mempunyai komponen berupa control (kendali), origin (asal-usul)

dan ownership (pengakuan), reach (jangkauan), endurance (daya tahan) (Stolz,

2000).

Siahaan (2012) menyebutkan adversity pada tahanan remaja di Rutan

dianggap penting dalam meningkatkan motivasi pada anak yang terlibat dengan

hukum. Ketika anak dalam Rutan mampu membangun adversity maka hal yang

akan terjadi adalah semakin meningkatnya motivasi untuk melanjutkan hidupnya

(Siahaan, 2012), meningkatkan self concep dan harga diri pada anak yang

berhadapan dengan hukum (Fitriana, 2013), serta dapat memberdayakan diri

meraka selama mereka di dalam Rutan dan nantinya ketika kembali ke masyarakat

(Stolz, 2000).

Berdasarkan penjelasan yang ada maka timbul asumsi bahwa anak dalam

Rutan yang memiliki adversity yang tinggi pada dirinya sesuai dengan yang

diungkapkan oleh Stolz (2000), maka akan lebih tahan terhadap munculnya kondisi

ketidakberdayaan yang dipelajari. Dan ketika adversity dari anak dalam Rutan

tersebut rendah maka mereka akan lebih rentan mengalami ketidakberdayaan yang

dipelajari.

Penelitian ini akan membahas mengenai hubungan antara adversity dan

ketidakberdayaan yang dipelajari sebagai dua variabel penelitian, namun peneliti

juga akan membahas mengenai hubungan masing masing dimensi pada variabel

adversity yaitu kendali, asal usul dan pengakuan, jangkauan serta daya tahan
dengan ketidakberdayaan yang dipelajari pada anak berhadapan dengan hukum di

Rutan Surabaya.

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka dijadikan satu di dalam pendahuluan oleh penulis.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif. Metode pengumpulan

data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Penelitian ini

merupakan penelitian korelasi, dimana penelitian ini berupaya untuk mencari

hubungan antara variable adversity dengan variabel ketidakberdayaan yang

dipelajari (Neuman, 2004).

HASIL PENELITIAN

Berdasarkan hasil dari analisis data sebelumnya dapat diketahui bahwa

terdapat hubungan yang signifikan yang bernilai negatif antara ketidakberdayaan

yang dipelajari dengan adversity dengan nilai signifikansi sebesar 0,00 dan koefisien

korelasi sebesar -0,564. Hal ini menunjukkan bahwa setiap peningkatan dari

adversity yang dimiliki oleh individu akan diikuti oleh penurunan ketidakberdayaan

yang dipelajari yang dimilikinya.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan nilai koefisien korelasi yang sedang antara

keduanya. Sesuai dengan asumsi awal peneliti, yang mana berdasar dari

pernyataan Stolz (2000) dalam bukunya mentakan bahwa ketidakberdayaan yang

dipelajari apabila telah diinternalisasi kedalam diri individu maka individu tersebut

akan merasa apapun yang akan dia kerjakan tidak akan mendapatkan manfaat dan

ketidakberdayaan yang dipelajari merupakan hambatan dari adversity.

Hasil dari penelitian ini juga mendukung pernyataan dari teori Stolz (2000)

yang menyatakan bahwa adversity merupakan keadaan dimana seseorang merasa


berdaya dengan hidupnya sedangkan ketidakberdayaan yang dipelajari merupakan

faktor yang memiliki nilai keterbalikan dari adversity itu sendiri yang mana jika

dihubungkan melalui hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti pada remaja

di Rutan Surabaya dapat diartikan bahwa ketika anak yang berhadapan dengan

hukum memiliki adversity yang tinggi maka remaja tersebut akan mampu

memberdayakan dirinya dan remaja tersebut cenderung mengalami kondisi

ketidakberdayaan yang dipelajari yang lebih rendah. Hasil dari penelitian ini secara

tidak langsung menujukkan hubungan secara langsung antara adversity dan

ketidakberdayaan yang dipelajari yang mana pada kesimpulan penelitian-penelitian

sebelumnya yang mengkaitkan hubungan antara adversity dan ketidakberdayaan

yang dipelajari didasarkan oleh model eksplanatori

DISKUSI

Penelitian mengenai “hubungan antara adversity dan ketidakberdayaan yang

dipelajari pada anak berhadapan dengan hukum di Rumah Tahanan Surabaya”

bahwa terdapat hubungan yang signifikan yang bernilai negatif dengan kekuatan

yang sedang antara adversity dengan ketidakberdayaan yang dipelajari. Hal ini

menunjukkan bahwa ketika anak yang berhadapan dengan hukum memiliki

adversity yang tinggi maka dia akan tahan terhadap kondisi ketidakberdayaan yang

dipelajari, begitu pula sebaliknya. Hasil dari penelitian ini juga diketahui terdapat

hubungan yang signifikan pada masing-masing dimensi dalam adversity. Hal

tersebut menunjukkan bahwa secara terpisah-pisah dimensi kendali, asal usul dan

pengakuan, jangkauan, dan daya tahan pada adversity memiliki hubungan yang

nyata dan berkebalikan dengan ketidakberdayaan yang dipelajari.

PENDAPAT TERHADAP JURNAL


Menurut pendapat saya, jurnal diatas sudah cukup lengkap jika dilihat dari sisi

format penulisannya, mulai dari Abstraksi, pendahuluan, metode penelitian,

pembahasan sampai dengan hasilnya pun sudah cukup lengkap dibahas dengan

detil. Adapun kekurangan dan saran terhadap temuan jurnal tersebut telah dibahas

di dalam diskusi. Jurnal tersebut juga mudah dipahami dan diketahui maksud dari

penelitian yang dilakukan.

JURNAL 4 (INTERNASIONAL)

JUDUL

Kecemasan Matematika, Perceived Mathematics Self-efficacy dan Learned

Helplessness Mathematika pada Mahasiswa Fakultas Pendidikan

PENDAHULUAN

Dalam matematika, faktor afektif dianggap sama pentingnya dengan variabel

kognitif dalam proses belajar mengajar (Nicolaou & Philippou, 2007). Kecemasan,

kemanjuran diri, dan ketidakberdayaan yang dipelajari merupakan sifat afektif yang

dimiliki oleh individu (Braham, 1998; Philipp, 2007). Tercatat dalam literatur bahwa

variabel afektif mempengaruhi kinerja matematika (Qian & Alvermann 1995). Studi

menunjukkan bahwa kecemasan dan ketidakberdayaan yang dipelajari berdampak

negatif pada prestasi siswa (Alkan, 2011; Ma, 1999) dan merupakan masalah umum

yang dihadapi oleh pendidik, sedangkan self-efficacy dilaporkan berdampak positif

terhadap prestasi akademik siswa (Reçber, 2011).

Mengungkap sifat afektif individu memungkinkan untuk memahami keadaan

individu dan memprediksi perilaku masa depan (Tekin, 1996). Pentingnya studi ini

terletak pada poin ini. Sebab, kecemasan matematika yang tinggi, ketidakberdayaan

belajar, dan self-efficacy matematika yang rendah dapat berdampak negatif


terhadap kinerja calon guru selama ujian masuk SMK. Sejalan dengan tujuan

penelitian, maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut:

Ada perbedaan yang signifikan antara calon guru dari jurusan yang berbeda

dalam hal kecemasan matematika (MA), self-efficacy matematika yang

dipersepsikan (PMS), dan ketidakberdayaan yang dipelajari dalam matematika

(LHM). (ii) Ada perbedaan yang signifikan antara calon guru dari jurusan sekolah

menengah yang berbeda dalam hal MA, PMS, dan LHM. (iii) Ada korelasi positif dan

signifikan antara kecemasan negatif (NA) dan LHM, dan korelasi negatif dan

signifikan antara kecemasan positif (PA) dan LHM. (iv) Ada korelasi negatif dan

signifikan antara NA dan PMS, dan korelasi positif dan signifikan antara PA dan

PMS. (v) Ada korelasi negatif dan signifikan antara PMS dan LHM. (vi) PMS memiliki

efek mediasi dalam hubungan antara MA (PA dan NA) dan LHM.

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka dijadikan satu di dalam pendahuluan oleh penulis.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Menggunakan Software SPSS

20.0 dan Lisrel digunakan untuk analisis kuantitatif dalam penelitian ini. SPSS

digunakan untuk Oneway ANOVA dan analisis korelasi, sedangkan Lisrel digunakan

untuk pemodelan persamaan struktural.

HASIL PENELITIAN

Jenjang PMS, MA (NA dan PA), dan LHM mahasiswa senior yang mengikuti

fakultas pendidikan ditentukan menggunakan skala dalam penelitian ini. Perbedaan

signifikan ditemukan antara calon guru dalam hal PMS, MA, dan LHM tergantung

pada jurusan mereka di universitas dan sekolah menengah, korelasi berpasangan


yang signifikan ditemukan antara PMS, MA, dan LHM, dan ditemukan bahwa PMS

adalah mediator di hubungan antara MA dan LHM.

Mempertimbangkan nilai MA, ditemukan bahwa mereka yang berasal dari

departemen ilmu sosial memiliki kecemasan matematika yang lebih tinggi daripada

mereka yang berasal dari departemen dengan bobot yang sama, yang memiliki

kecemasan matematika lebih tinggi daripada mereka yang berasal dari departemen

sains. Resnick, Viehe, & Segal (1982) menemukan bahwa siswa dengan kecemasan

matematika menganggap kecemasan ini sebagai masalah bagi diri mereka sendiri

ketika memilih profesi, dan lebih condong pada profesi yang tidak termasuk

matematika, juga dalam penelitian ini diperoleh temuan serupa. Demikian pula,

Sırmacı (2007) menemukan bahwa siswa yang sebagian besar menikmati mata

pelajaran ilmu sosial memiliki kecemasan matematika yang lebih tinggi dibandingkan

dengan mereka yang sebagian besar menikmati mata pelajaran yang berhubungan

dengan matematika, dan siswa dengan kecemasan matematika menghindari mata

pelajaran matematika, siswa dari jurusan Pengajaran Ilmu Sosial memiliki MA yang

lebih tinggi. dibandingkan dengan yang berasal dari departemen Pengajaran

Matematika Sekolah Dasar. Temuan Sırmacı (2007) ini konsisten dengan temuan

kami bahwa siswa dari departemen ilmu sosial memiliki kecemasan matematika

yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa dari departemen sains. Faktanya,

apakah seorang siswa menyukai matematika atau ilmu sosial mungkin terkait

dengan domain kecerdasan.

DISKUSI

Studi literatur menunjukkan bahwa siswa dengan kecemasan matematika

rendah lebih berhasil dalam matematika dibandingkan dengan siswa lainnya,

sedangkan siswa dengan kecemasan matematika tinggi kurang berhasil


dibandingkan dengan siswa lainnya (Alkan, 2011). Juga, kecemasan matematika

menyebabkan ketegangan dan stres saat memecahkan masalah atau melakukan

operasi dengan angka di sekolah dan kehidupan sehari-hari (Tobias, 1993). Pada

waktunya, keadaan kecemasan ini menyebabkan kelupaan dan menyebabkan

individu kehilangan kepercayaan (Tobias, 1993). Keadaan ini dapat menyebabkan

penurunan tingkat efikasi diri siswa dalam matematika. Akibatnya, dari waktu ke

waktu individu tersebut mungkin memiliki LHM (Ekinci & Gökler, 2017; Qian &

Alvermann 1995). Namun, mungkin untuk mengurangi, atau bahkan menghilangkan

kecemasan ini melalui tindakan tertentu. Untuk mencapai hal ini, disarankan untuk

menambah angka kecemasan matematika. Dengan demikian, intervensi yang efektif

terhadap MA dapat meningkatkan tingkat PMS individu. Trisha (1999) menekankan

bahwa adalah mungkin untuk mengubah sikap siswa menjadi lebih baik dengan

mengembangkan strategi motivasi dan membuat matematika menjadi mata

pelajaran yang lebih menyenangkan.

PENDAPAT TERHADAP JURNAL

Menurut pendapat saya, jurnal diatas sudah cukup lengkap jika dilihat dari sisi

format penulisannya, mulai dari Abstraksi, pendahuluan, metode penelitian,

pembahasan sampai dengan hasilnya pun sudah cukup lengkap dibahas dengan

detil. Adapun kekurangan dan saran terhadap temuan jurnal tersebut telah dibahas

di dalam diskusi. Namun dari saya sendiri masih kesulitan untuk memahami jurnal

tersebut, karena dalam pengambilan sampel partisipan dan analisis maupun alat

ukur masih sulit untuk memahaminya, karena tidak biasa dengan alat atau

instrument yang digunakan oleh peneliti tersebut sehingga belum mampu untuk

memahaminya secara dalam.

JURNAL 5 (INTERNASIONAL)
JUDUL

Ketidakberdayaan yang dipelajari memoderasi hubungan antara kepedulian

dan perilaku lingkungan

PENDAHULUAN

Ketidakberdayaan yang dipelajari adalah suatu kondisi di mana hewan belajar

berperilaku tak berdaya (Overmier & Leaf, 1965). Mengikuti rangsangan

permusuhan yang tak terhindarkan, ketidakberdayaan yang dipelajari menghasilkan

keluaran perilaku yang terhambat dalam situasi baru (Hiroto, 1974).

Ketidakberdayaan yang dipelajari memerlukan atribusi kognitif mulai dari kontinu

khusus untuk global, internal ke eksternal, dan stabil ke tidak stabil, yang bersama-

sama memungkinkan ketidakberdayaan yang dipelajari untuk menggeneralisasi dari

rangsangan atau situasi tertentu untuk skenario baru (Abramson, Seligman, &

Teasdale, 1978; Hiroto & Seligman, 1975), yang mengarah pada pengembangan

karakteristik sifat (Quinless & McDermott-Nelson, 1988). Atribusi internal

mencerminkan keyakinan bahwa situasi permusuhan lebih disebabkan oleh individu

daripada keadaan eksternal. Atribusi yang stabil mencerminkan keyakinan bahwa

situasi permusuhan konsisten dari waktu ke waktu daripada variabel. Atribusi global

mencerminkan keyakinan bahwa situasi permusuhan konsisten secara kontekstual

daripada spesifik untuk keadaan tertentu (Miller & Seligman, 1975). Sedangkan self-

efficacy hanya berhubungan dengan keyakinan tentang kemampuan melakukan

perilaku tertentu dalam situasi tertentu (Strecher, DeVellis, Becker, & Rosenstock,

1986), sifat ketidakberdayaan yang dipelajari adalah konstruksi bebas domain yang

mengindeks disposisi yang dipelajari untuk berperilaku tak berdaya.

Tindakan pro-lingkungan yang tersedia untuk sebagian besar individu sering

dianggap tidak efektif dalam menciptakan manfaat lingkungan yang berarti, terutama
untuk masalah multifaset seperti perubahan iklim yang memerlukan perubahan

kebijakan pemerintah dan skala besar. reformasi sosial dan ekonomi (Hamilton,

2010) berpotensi berkaitan dengan perasaan tidak berdaya (Leiserowitz et al.,

2014). Memperluas pengamatan khusus domain ini yang menghubungkan

ketidakberdayaan dengan masalah lingkungan global yang luar biasa, kami

memeriksa apakah tingkat yang lebih tinggi dari sifat ketidakberdayaan yang

dipelajari mengurangi kekuatan hubungan antara kepedulian lingkungan dan ukuran

perilaku proenvironmental. Model diuji untuk mengontrol jenis kelamin, dan menguji

kembali pengendalian depresi, kecemasan, dan gejala stres untuk mengecualikan

kemungkinan bahwa hubungan antara ketidakberdayaan yang dipelajari dan

lingkungan terkait dengan gejala yang mendasari emosi negatif dan tekanan mental.

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka dijadikan satu di dalam pendahuluan oleh penulis.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Peserta adalah 437 sarjana

(244 perempuan) dari a Universitas Kanada (Mage ¼ 20.6, SD ¼ 4.32; 81%

Kaukasia). Peserta menyelesaikan survei kontra-seimbang dan menerima 5$

Remunerasi CAD.

HASIL PENELITIAN

Mereka yang melaporkan kepedulian lingkungan lebih banyak cenderung

menunjukkan minat untuk bergabung dengan lingkungan di kampus kelompok

aktivis (B ¼ 1.66, SE ¼ 0.69, p ¼ 0.016), tetapi lingkungan perhatian berinteraksi

dengan ketidakberdayaan yang dipelajari untuk memprediksi minat mengendalikan

kesadaran geo-engineering dan gender, seperti itu mereka yang melaporkan

kepedulian lingkungan yang lebih besar mendukung geoengineering lebih kuat. Baik
ketidakberdayaan yang dipelajari maupun itu interaksi dengan kepedulian

lingkungan terkait dengan dukungan untuk geoengineering.

DISKUSI

Penelitian sebelumnya telah menggarisbawahi hubungan yang lemah antara

berbagai ukuran kepedulian lingkungan dan perilaku proenvironmental (lihat,

misalnya, Leiserowitz, 2006). Beberapa orang berpendapat bahwa "penelitian masa

depan seharusnya tidak lagi melihat kepedulian lingkungan secara langsung, tetapi

sebagai penentu tidak langsung yang penting dari perilaku tertentu" (Bamberg, 2003,

hal. 21). Namun, sedikit penelitian telah mengeksplorasi variabel moderasi tingkat

individu yang mempengaruhi kekuatan hubungan kepedulian dan perilaku. Survei

terbaru menunjukkan bahwa di antara individu yang peduli dengan lingkungan,

perasaan emosional yang paling umum terkait adalah ketidakberdayaan (61%;

Leiserowitz et al., 2014).

Ketidakberdayaan yang dipelajari seperti itu dapat dicontohkan oleh

fenomena yang dijelaskan baru-baru ini sebagai kecemasan lingkungan: “[Beberapa

individu] sangat terpengaruh oleh perasaan kehilangan, ketidakberdayaan, dan

frustrasi karena ketidakmampuan mereka untuk merasa seolah-olah mereka

membuat perbedaan dalam menghentikan perubahan iklim” (Clayton, Manning,

Krygsman, & Speiser, 2017, hlm.27). Ketidakberdayaan ini mungkin tidak penting

sehubungan dengan tindakan lingkungan.

Temuan ini menunjukkan bahwa ketidakberdayaan belajar yang dilaporkan

sendiri asosiasi yang dimoderasi antara perhatian dan perilaku lingkungan.

Diberikan hubungan yang mapan antara ketidakberdayaan yang dipelajari dan

ketakutan (misalnya, Adolphs, 2013), temuan dari penelitian ini bisa memiliki
implikasi untuk strategi berbasis rasa takut yang dimaksudkan untuk dipromosikan

tindakan lingkungan.

PENDAPAT TERHADAP JURNAL

Menurut pendapat saya, jurnal diatas sudah cukup lengkap jika dilihat dari sisi

format penulisannya, mulai dari Abstraksi, pendahuluan, metode penelitian,

pembahasan sampai dengan hasilnya pun sudah cukup lengkap dibahas dengan

detil. Adapun kekurangan dan saran terhadap temuan jurnal tersebut telah dibahas

di dalam diskusi. Namun dari saya sendiri masih kesulitan untuk memahami jurnal

tersebut, karena dalam pengambilan sampel partisipan dan analisis maupun alat

ukur masih sulit untuk memahaminya, karena tidak biasa dengan alat atau

instrument yang digunakan oleh peneliti tersebut sehingga belum mampu untuk

memahaminya secara dalam.

Anda mungkin juga menyukai