Anda di halaman 1dari 4

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah berbagai


karakteristik positif yang menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang
mencerminkan kedewasaan kepribadiannya. Kesehatan jiwa menurut UU No. 18 tahun 2014
adalah kondisi dimana seseorang individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat
mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif dan mampu memberikan kontribusi untuk
komunitasnya.

Gangguan jiwa merupakan sindrom atau pola perilaku yang secara klinis bermakna yang
berkaitan langsung dengan distress (penderitaan) dan menimbulkan hendaya (disabilitas) pada
satu atau lebih fungsi kehidupan manusia. (Keliat. 2012). Gangguan jiwa adalah manifestasi dari
bentuk penyimpangan perilaku akibat adanya distorsi emosi sehingga ditemukan ketidakwajaran
dalam hal bertingkah laku. Hal ini terjadi karena menurunnya semua fungsi kejiwaan(Akemat,
Helena, Keliat, Nurhaeni (2011). Sedangkan menurut Undang-Undang RI No. 18 Tahun 2014,
orang dengan gangguan jiwa yang disingkat ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan
dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan
perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam
menjalankan fungsi orang sebagai manusia.

Menurut Riskesdas 2018 yang dilakukan oleh Kementrian Kesehatn Republik Indonesia
menyimpulkan bahwa prevelensi gangguan jiwa bervariasi dimana prevelensi Rumah tangga
dengan ART gangguan jiwa skizofrenia/psikosis menurut provinsi yang memiliki angka
gangguan jiwa tertinggi adalah provinsi Bali (11 permil) dan terendah provinsi Kepulauan Riau
(3 permil). Untuk proporsi rumah tangga yang memiliki ART gangguan jiwa skizofrenia/psikosis
yang pernah dipasung dalam rumah tangga sebanyak (14 permil) dan yang tidak sebanyak
(86%), sedangkan yang pernah melakukan pasung tiga bulan terakhir sebanyak (31,5 permil) dan
yang tidak sebanyak (68,5 permil).
Prevalensi gangguan jiwa di seluruh dunia menurut data WHO (World health
Organization) pada tahun 2019, terdapat 264 juta orang mengalami Depresi, 45 juta orang
menderita gangguan Bipolar, 50 juta orang mengalami Demensia, dan 20 juta mengalami
Skizofrenia. Prevalensi gangguan jiwa di Indonesia dari Riset Data Kesehatan Dasar Riskesdas
(2018) mengalami peningkatan jumlah gangguan jiwa pada penduduk Indonesia dari 1,7%
menjadi 7% . Gangguan jiwa terbanyak di Indonesia adalah Provisi Bali dengan presentase
10,5% (Hasannah, 2019).

Kusumaningtyas (2018) mengatakan bahwa resiko perilaku kekerasan merupakan


perilaku seseorang yang dapat membahayakan diri sendiri, orang lain atau lingkungan baik
secara fisik, emosional, seksual, dan verbal. Risko perilaku kekerasan dimulai dari adanya
gangguan pada lobus frontalis. Lobus frontalis merupakan bagian otak yang mengatur proses
berfikir dan emosi. Lobus frontalis memainkan peran yang pen n nting bagi seseorang untuk
memilih perilaklu atau berfikir rasional.Kerusakan pada lobus frontalis mengakibatkan gangguan
untuk membuat keputusan, perubahan personalitas, masalah dalam membuat keputusan dan
perilaku agresif. Menurut WHO (2016), terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta
orang terkena bipolar, 21 juta orang terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena dimensia. Jumlah
penderita gangguan jiwa di Indonesia saat ini adalah 236 juta orang, dengan kategori gangguan
jiwa ringan 6% dari populasi dan 0,17% menderita gangguan jiwa berat, 14,3% diantaranya
mengalami pasung. Tercatat sebanyak 6% penduduk berusia 15-24 tahun mengalami gangguan
jiwa. Dari 34 provinsi di Indonesia, Sumatera Barat merupakan peringkat ke 9 dengan jumlah
gangguan jiwa sebanyak 50.608 jiwa dan prevalensi masalah skizofrenia pada urutan ke-2
sebanyak 1,9 permil

Stuart dan laraia menggambarkan terdapat dua dimensi yang dapat menjelaskan proses
terjadinya gangguan jiwa yaitu meliputi faktor prediposisi dan presipitasi. Faktor predisposisi
pada pasien dengan perilaku kekerasan yaitu faktor biologis, psikologi, dan social budaya.Faktor
biologis yaitu faktor yang berpengaruh pada system limbic (area otak yang menjadi pusat emori),
faktor psikologi yang mempengaruhi perilaku kekerasan adalah riwayat perilaku kekerasan
(mengalami, melihat perilaku kekerasan secara fisik atau verbal), kegagalan, dan
kehilangan.Sosoal budaya yaitu budaya yang berkaitan dengan perilaku kekerasan termasuk
didalamnya hubungan interpersonal dan peran budaya. Factor presipitasi yaitu faktor putus obat
sebagai pencetus pasien mengalami resikoperilaku kekerasan (Zaini, 2019). Hasil studi
pendahuluan didapatkan bahwa faktor predisposisi pada pasien yaitu faktor biologis dikarnakan
salah satu keluarga pasien mengalami gangguan jiwa, sedangkan faktor presipitasi pasien adalah
kecelakaan dan berhenti meminum obat.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian masalah pada latar belakang diatas, maka rumusan
masalah sebagai berikut: “Bagaiamana Penerapan Asuhan Keperawatan Klien Risiko Perilaku
Kekerasan (RPK) Di RSJ Tampan Ruangan (kampar)

C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan umum

Menerapkan asuhan keperawatan jiwa pada pasien dengan masalah utama resiko perilaku
kekerasan

2. Tujuan Khusus

a. Mampu menyusun konsep dasar asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan
jiwa resiko priaku kekerasan.
b. Mampu melaksanakan pengkajian dan mengidentifikasi data dalam menunjang
asuhan keperawatan pada pasien gangguan jiwa resikopriakukekerasan.
c. Mampu menentukan masalah keperawatan berdasarkan prioritas pada pasien
gangguan jiwa dengan resikopriaku kekerasan.
d. Mampu menentukan pokok masalah pasien gangguan jiwa resikopriaku
kekerasan.
e. Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada asuhan keperawatan pasien
gangguan jiwa Harga resikopriakukekerasan.

D. Manfaat

1. Manfaat Teoritis
Hasil penulisan karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
pencegahan masalah keperawatan jiwa tentang perilaku kekerasan.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi RSJ Tampan
Sebagai bahan masukan yang diperlukan dan pelaksanaan praktik pelayanan
keperawatan pada keperawatan jiwa khususnya.
b. Bagi penulis.
Sebagai sarana dan alat untuk menambah pengetahuan dan memperoleh
pengalaman kh ususnya di bidang keperawatan jiwa.
DAFTAR PUSTAKA

Kementrian Kesehatan.(2014) Undang Undang No 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa


http://binfar.kemkes.go.id/?wpdact=process&did=MjAxl mhvdGxpbms( di akses tgl 14
mei 2016 )

Keliat., Akemat., Helena, N. Nurhaeni, H. (2012). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas :


CMHN ( basic course). Jakarta : EGC.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (2018). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian RI tahun 2018

Uswatuh Hasanah 2019 Pengaruh Penyuluhan Kesehatan Terhadap Perubahan Pengetahuan


Dan Sikap Masyarakat Pada Penderita Gangguan Jiwa Jurnal Keperawatan Jiwa (Jkj)
Persatuan Perawat Nasional Indonesia

Kusumaningtyas, K. P. (2018). Penerapan Tindakan Asertif Pada Pasien dengan Risiko Perilaku
Kekerasan di Bangsal Maintenance RSJ Grhasia Yogyakarta. Diakses 4 Maret 2020, dari
Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Yogyakarta.

Zaini. Mad, “Asuhan Keperawatan Jiwa Masalah Psikososial Di Pelayanan Klinis Dan Komunitas”, 1st
ed, Yogyakarta : Deepublish, 2019

Anda mungkin juga menyukai