Anda di halaman 1dari 7

NAMA : BETHRAN JULYAN SIREGAR

NIM : 211450026

KELAS : LOGISTIK 1B

DOSEN PENGAJAR : DWI NURMA HEITASARI, M.H, S.H.

MATKUL : HUKUM KONTRAK MIGAS

Tugas:

1. Uraikan definisi Wanprestasi! Sertakan dengan pemahaman Saudara lebih lanjut,


dengan contoh studi kasus Wanprestasi!

= Wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak dipenuhi atau ingkar janji atau
kelalaian yang dilakukan oleh debitur baik karena tidak melaksanakan apa yang telah
diperjanjikan maupun malah melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukan.
Adapun syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh seorang Debitur sehingga
dikatakan dalam keadaan wanprestasi, yaitu:
1. Syarat Materill
1) Kesengajaan,
2) Kelalaian.
2. Syarat Formil
Adanya peringatan atau somasi hal kelalaian atau wanprestasi pada pihak debitur
harus dinyatakan dahulu secara resmi, yaitu dengan memperingatkan debitur, bahwa
kreditor menghendaki pembayaran seketika atau dalam jangka waktu yang pendek.
Somasi adalah teguran keras secara tertulis dari kreditor berupa akta kepada debitur,
supaya debitur harus berprestasi dan disertai dengan sangsi atau denda atau hukuman
yang akan dijatuhkan atau diterapkan, apabila debitur wanprestasi atau lalai.
Penyebab Terjadinya Wanprestasi
1) Adanya Kelalaian Debitur (Nasabah),
2) Karena Adanya Keadaan Memaksa (Overmacht/Force Majure).
Akibat Hukum Wanprestasi
1) Kewajiban Membayar Ganti Rugi,
2) Pembatalan Perjanjian,
3) Peralihan Risiko.
Contoh Kasus Wanprestasi

Gugatan PT MPI semakin memperpanjang sengketa hukum antara Media Group dengan
pengembang proyek super tall Indonesia 1 tersebut.
Adapun gugatan wanprestasi tersebut diajukan pada Senin (9/8/2021) kemarin. Selain
CRSE dan CSMI, perusahaan milik politisi Surya Paloh juga menyertakan Menteri
ATR/BPN, Kepala BPN Provinsi DKI Jakarta, Kepala Kantor Pertanahan Administratif
Jakarta Pusat, Menkumham, dan Dirjen Administrasi Hukum Umum Kemenkumham.
"Menyatakan Penggugat berhak atas kepemilikan saham sebanyak 30% (tiga puluh
persen) di PT CSMI," demikian dilansir dari laman resmi PN Jakarta Pusat, Kamis
(12/8/2021).
Sebelum mendaftarkan gugatan wanprestasi, PT Media Property Indonesia (MPI) telah
melaporkan PT CSMI atas dugaan penipuan dan penggelapan investasi ke Polda Metro
Jaya.
CEO Media Group Mohammad Mirdal Akib memaparkan PT CSMI adalah perusahaan
patungan antara China Sonangol Real Estate (CRSE) dengan PT MPI untuk proyek super
tall Indonesia I.
CSRE adalah pemegang saham mayoritas PT CSMI, sementara PT MPI adalah
pemegang minoritas. Semula komposi saham di PT CSMI adalah 99 persen adalah milik
PT CSRE dan 1 persen PT MPI milik Media Group.
Namun ada komitmen dari pihak CSRE bahwa PT MPI akan mendapatkan saham senilai
30 persen. “Hingga pada satu titik, ada peruabahan prinsipal yang mengakibatkan
ketidaklancaran proses pembangunan proyek ini,” kata Mirdal dalam konferensi pers
yang digelar, Senin (9/8/2021).
Usai perubahan prinsipal tersebut, banyak komitmen yang berubah. Salah satunya, terkait
dengan komitmen saham 30 persen.
Apalagi ada indikasi pihak CSMI telah mengalihkan saham tersebut ke pihak lain.
Semula pihak Media Group mengambil jalan persuasif melalui korespondensi dengan
pihak CSMI.
Namun niat baik dari pihak perusahaan milik politisi Surya Paloh itu justru bertepuk
sebelah tangan. Karena tindakan sepihak tersebut, Media Group dalam hal ini PT MPI
kemudian melaporkan PT CMSI ke Polda Metro Jaya.
“Kami Media Property, hanya menuntut hak-hal sebagai pemegang saham,” tegasnya.
Seperti diketahui proyek gedung Indonesia I mulai dibangun pada tahun 2015. Proyek ini
berada di Jalan MH Tamrin dan menjadi proyek paling prestisius di kawasan tersebut.
Saat ini pembangunan proyek tersebut telah terealisasi sebanyak 70 persen.
Namun terhenti karena pandemi. Bisnis belum berhasil mengontak pihak PT CSMI untuk
mengklarifikasi laporan dari pihak Media Group, PT MPI.

2. Uraikan definisi Force Majeure! Sertakan dengan pemahaman Saudara lebih


lanjut, dengan contoh studi kasus Force Majeure!
= Force Majeure adalah atau keadaan memaksa (overmacht) dimana posisi salah satu
pihak, misalnya Pihak Pertama gagal melakukan kewajiban akibat sesuatu yang terjadi
diluar kuasa Pihak Pertama. Jadi, dengan adanya keadaan force majeure tidak ada pihak
yang diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lain karena wanprestasi.
Alasan Perjanjian Kerjasama Antar Perusahaan Sangat Penting
1) Kepastian Hukum,
2) Meminimalisir Risiko
3) Landasan Sebagai Alat Bukti
4) Media Kolaborasi Dan Kerjasama
Macam-Macam Keadaan Memaksa
1) Keadaan memaksa absolut (absolut onmogelijkheid), suatu keadaan dimana Pihak
Pertama sama sekali tidak mampu memenuhi prestasi (kewajiban) kepada Pihak Kedua.
Hal tersebut disebabkan karena terjadinya bencana alam seperti gempa bumi, banjir
bandang, lahar, epidemik, dan kerusuhan massa.
2) Keadaan memaksa relatif (relatieve onmogelijkheid), suatu keadaan yang memicu
salah satu pihak (Pihak Pertama) tidak melakukan prestasinya.
Syarat-syarat Suatu Peristiwa Tergolong Force Majeure
1) Tidak dipenuhinya prestasi karena terjadi peristiwa yang membinasakan dan/atau
memusnahkan benda dijadikan objek perjanjian, kondisi ini selalu bersifat tetap.
2) Tidak dipenuhinya prestasi karena peristiwa tidak terduga dan diluar kuasa salah satu
pihak untuk melaksanakan prestasinya. Baik itu bersifat tetap maupun sementara.
3) Peristiwa tersebut tidak dapat diketahui dan/atau diprediksi kapan terjadinya dalam
suatu perjanjian. Jadi, adanya peristiwa ini bukan karena kesalahan salah pihak dalam
perjanjian ataupun pihak ketiga.

Contoh Kasus Force Majeure


 Covid-19 Alasan Sebagai Force Majuere Dalam Perjanjian Dan Implikasinya
Terhadap Janjian
Dari bulan Desember 2019 hingga detik ini, Covid-19 atau virus corona telah menyebar
ke 213 negara, termasuk Indonesia. Total jumlah yang positif terkena virus corona
berjumlah 7.873.198 kasus. Total jumlah pasien yang meninggal dunia berjumlah
432.477 korban jiwa. Total jumlah pasien yang dinyatakan sembuh berjumlah 4.043.393
pasien.
Covid-19 ini menggangu berbagai sektor, terutama perjanjian atau kontrak. Dengan
adanya Covid-19, debitor berdalih terjadinya wanprestasi dikarenakan adanya Covid-19
sehingga Covid-19 dijadikan sebagai alasan force majeure (keadaan kahar). Hal ini dalam
kehidupan masyarakat menimbulkan berbagai persoalan. Pertama, apakah Covid-19
dapat dinyatakan sebagai force majeure? Apakah dengan adanya virus corona ini serta
merta debitor dapat menunda atau membatalkan perjanjian?
Force majeure telah diatur oleh Pasal 1244 Burgerlijk Wetboek (BW) dan Pasal 1245
BW. Meskipun, force majeure telah diatur dalam BW, namun BW tidak memberikan
pengertian force majeure itu sendiri. Pasal 1244 BW mengatur bahwa jika ada alasan
untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga jika ia tidak dapat
membuktikan bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya
perikatan itu, disebabkan karena suatu hal yang tidak terduga pun tidak dapat
dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika iktikad buruk tidak ada pada
pihaknya. Kemudian, Pasal 1245 BW mengatur bahwa tidaklah biaya rugi dan bunga
harus digantinya, jika lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tidak
sengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau
lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.
Meskipun BW tidak memberikan pengertian force majeure, penulis mengartikan force
majeure adalah suatu keadaan yang membuat debitor tidak dapat melaksanakan
prestasinya atau kewajibannya kepada kreditor, yang dikarenakan terjadinya peristiwa
yang berada di luar kehendaknya. Contoh: Covid-19, gempa bumi, kebakaran, banjir, dan
lain-lain.
Berdasarkan sifatnya, force majeure memiliki 2 macam, yakni force majeure absolut
dan force majeure relatif. Force majeure absolut adalah suatu keadaan debitor sama
sekali tidak dapat melaksanakan prestasinya kepada kreditor, yang dikarenakan gempa
bumi, banjir, dan adanya lahar. Contoh: Cristiano Ronaldo membeli mobil Honda Civic
Turbo di salah satu showroom Honda yang ada di Jakarta. Dalam proses pengiriman,
kapal yang mengangkut mobil Honda Civic Turbo tersebut mengalami kebakaran,
sehingga mobil Honda Civic Turbo tersebut ikut terbakar juga.
Force majeure relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitor masih mungkin
untuk memenuhi prestasinya. Namun, pemenuhan prestasi tersebut harus dilakukan
dengan memberikan korban yang besar yang tidak seimbang atau menggunakan kekuatan
jiwa yang di luar kemampuan manusia atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang
begitu besar.[5] Contoh: Pada tanggal 5 Agustus 2019, Prof. Dr. Rudhi Sitepu, S.H.,
M.H. akan memberikan keterangan ahli di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(Pengadilan Tipikor). Namun, pada tanggal 4 Agustus 2019, yang bersangkutan sakit
demam berdarah dan rawat inap selama 7 (tujuh) hari sehingga tidak dapat memberikan
keterangan ahli di Pengadilan Tipikor. Contoh lain: Covid-19. Jika Covid-19 ini berakhir,
pihak kreditor dapat menuntut kembali pemenuhan prestasi debitor, meminta ganti rugi,
meminta pelaksanaan perjanjian sekaligus meminta ganti rugi, pembatalan perjanjian,
atau dalam perjanjian timbal balik, dapat diminta pembatalan perjanjian sekaligus
meminta ganti rugi.
Dalam menanggapi Covid-19, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, telah
membuat dan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang
Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)
Sebagai Bencana Nasional sebagai dasar hukum force majeure. Hal ini dapat kita
perhatikan poin Kesatu Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan
Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana
Nasional. Di mana, poin Kesatu Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang
Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)
Sebagai Bencana Nasional mengatur bahwa menyatakanbencana non-alam yang
diakibatkan oleh penyebaran Covid-19 sebagai bencana nasional.
Dari Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam
Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional di atas,
Covid-19 dapat dinyatakan sebagai force majeure. Namun, dengan adanya Keputusan
Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran
Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional, tidak serta debitor
dapat menunda atau membatalkan perjanjian.
Dalam disiplin hukum perjanjian, dikenal salah satu asas yang begitu penting. Adapun
asas yang dimaksud adalah asas kekuatan mengikatnya perjanjian (Pacta Sunt Servanda).
Asas ini bermakna bahwa para pihak yang membuat perjanjian harus melaksanakan
perjanjian tersebut. Dalam asas ini, kesepakatan para pihak mengikat sebagaimana
layaknya undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
Asas Pacta Sunt Servanda dapat kita temui dalam Pasal 1338 BW. Di mana, Pasal 1338
BW mengatur bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya. Berlaku sebagai udnang-undang bagi mereka
yang membuatnya berarti bahwa undang-undang mengakui dan memposisikan kedua
belah pihak sejajar dengan legislator.
Meskipun posisi para pihak sejajar dengan legislator, namun di antara mereka terdapat
perbedaan. Perbedaan tersebut terletak pada daya berlakunya produk yang diciptakan.
Produk yang diciptakan legislator berupa undang-undang, dengan seluruh proses dan
prosedurnya berlaku dan mengikat secara universal dan bersifat abstrak. Sedangkan,
perjanjian yang merupakan produk dari para pihak memiliki daya berlaku terbatas pada
para pihak saja dan dengan dibuatnya perjanjian tersebut, para pihak bermaksud untuk
melakukan perbuatan konkret.
Dari penjelasan asas Pacta Sunt Servanda di atas, kedua belah pihak hanya melaksanakan
perjanjian sesuai klausul perjanjian. Para pihak tidak boleh melaksanakan perjanjian di
luar klausul perjanjian.
Pada umumnya, ketentuan force majeure dituangkan dalam klausul perjanjian dengan
menguraikan peristiwa apa saja yang termasuk force majeure. Dengan diuaraikannya
peristiwa apa saja yang termasuk force majeure dalam klausul perjanjian, para pihak
dapat menunda atau membatalkan perjanjian. Dengan demikian, jika para pihak
mengkategorikan Covid-19 sebagai force majeure dalam klausul perjanjian, maka salah
satu pihak dapat menunda atau membatalkan perjanjian.
Lain halnya, meskipun para pihak menuangkan ketentuan force majeure dalam klausul
perjanjian, namun jika Covid-19 tidak dikategorikan sebagai force majeure, maka debitor
yang wanprestasi tidak serta merta dapat menunda atau membatalkan perjanjian tersebut
dengan alasan Covid-19.
3. Buat contoh satu pasal tentang Wanprestasi!
= Pasal 1238 KUHPerdata
“Debitur dinyatkan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau
berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan
debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”
4. Buat contoh satu pasal tentang Force Majeure!
= Pasal 1244 KUHPerdata 
“Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. bila ia tak dapat
membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu
dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang
tak dapat dipertanggungkan kepadanya. walaupun tidak ada itikat buruk kepadanya.”
5. Bagaimana implikasi / resiko apabila suatu peristiwa dikategorikan sebagai Force
Majeure? Apakah pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut ganti rugi?

= Hukum keadaan memaksa (force majeure) penentuan pemenuhan ketidakmampuan


prestasi oleh pihak debitur harus berdasarkan kepada masing-masing kasus.
Impliasinya bahwa debitur tidak harus menanggung risiko dalam keadaan memaksa
maksudnya debitur baik berdasarkan undang-undang, perjanjian maupun menurut
pandangan yang berlaku dalam masyarakat, tidak harus menanggung risiko. Selain itu
karena keadaan memaksa, debitur tidak dapat menduga akan terjadinya peristiwa yang
menghalangi pemenuhan prestasi pada waktu perjanjian dibuat. Hal yang dapat dilakukan
adalah pembatalan perjanjian, penundaan kewajiban, renegosiasi kontrak.

Adanya keadaan Force Majeure tidak ada pihak yang diwajibkan membayar ganti rugi
kepada pihak lain karena wanprestasi, tetapi pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti
rugi kegagalan pelaksanaan perjanjian oleh debitur memberikan hak gugat kepada
kreditur untuk melaksanakan kepatuhan kesepakatan yang sudah dilakukan, yang
meliputi: pemenuhan prestasi, putusnya perjanjian, dan ganti rugi. Debitur dapat
mengajukan bantahan antara lain karena adanya force majeur (relatif) atau overmacht
atau kejadian tak disengaja, debitur berada dalam situasi sulit yang menjadi sebab debitur
tidak mampu melaksanakan kewajibannya.

6. Bagaimana implikasi / resiko apabila suatu peristiwa dikategorikan sebagai


Wanprestasi? Apakah pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut ganti rugi?

= a) Adanya Kelalaian Debitur (Nasabah)


Kerugian itu dapat dipersalahkan kepadanya (debitur) jika ada unsur kesengajaan atau
kelalaian dalam peristiwa yang merugikan pada diri debitur yang dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya. Kelalaian adalah peristiwa dimana seorang debitur
seharusnya tahu atau patut menduga, bahwa dengan perbuatan atau sikap yang diambil
olehnya akan timbul kerugian.
b. Karena Adanya Keadaan Memaksa (overmacht/force majure)
Keadaan memaksa ialah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh pihak debitur
karena terjadi suatu peristiwa bukan karena kesalahannya, peristiwa mana tidak dapat
diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan. Dalam
keadaan memaksa ini debitur tidak dapat dipersalahkan karena keadaan memaksa
tersebut timbul di luar kemauan dan kemampuan debitur.

Hukum maupun wanprestasi wajib mengganti kerugian. Untuk itu kita perlu lebih


memahami mengenai tuntutan-tuntutan apa yang dimungkinkan dalam perbuatan
melawan hukum maupun wanprestasi.

Anda mungkin juga menyukai