Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Sustainable Development Goals (SDGs) atau tujuan pembangunan
berkelanjutan beberapa negara berharap di tahun 2030 dapat mengakhiri
kelaparan, menjamin akses pangan yang aman, bergizi, dan mencukupi bagi
semua orang, serta mengakhiri segala bentuk malnutrisi, termasuk mencapai
target internasional 2025 untuk penurunan stunting. 1
Stunting merupakan salah satu tanda adanya gangguan pada anak
dengan kegagalan mencapai tinggi badan normal sesuai dengan usianya. 2
Permasalahan stunting banyak ditemui di negara-negara miskin dan
berkembang, dimana penyebab dari stunting itu sendiri berkaitan dan terkait
secara hierarkis.3
Stunting memiliki dampak jangka pendek yang dapat menyebabkan
gangguan perkembangan otak, kecerdasan yang berkurang, adanya gangguan
pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Dalam jangka
panjang akan terjadi penurunan kemampuan kognitif dan prestasi belajar,
penurunan sistem kekebalan tubuh, serta risiko tinggi terhadap munculnya
penyakit–penyakit generatif seperti penyakit diabetes, obesitas, penyakit
jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua.4
Peningkatan angka kejadian stunting secara tidak langsung akan
berdampak pada peningkatan biaya kesehatan serta peningkatan kejadian
kesakitan dan kematian. Anak yang memiliki tingkat kecerdasan yang tidak
maksimal akibat stunting pada akhirnya juga dapat menghambat pertumbuhan
ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan memperlebar ketimpangan di suatu
negara.4
Prevalensi stunting di dunia pada tahun 2017 diperkirakan 150,8 juta
anak atau berkisar 22% dari seluruh anak. Prevalensi stunting terbanyak
berada di wilayah Asia (55%) selanjutnya diikuti dengan wilayah Afrika
(39%) . Dari 83,6 juta anak stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari

1
2

Asia Selatan (58,7%) dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah (0,9%). Data
prevalensi stunting yang dikumpulkan World Health Organization (WHO),
Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di
Regional Asia Tenggara (South-East Asia Regional). Rata-rata prevalensi
stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4%.2 Pada tahun 2018
hampir 200 juta anak menderita stunting atau wasting, sementara setidaknya
340 juta menderita kelaparan yang tersembunyi. Masalah kegemukan dan
obesitas terus meningkat dengan perbandingan 1 dari 10 menjadi 1 dari 5
anak, sedangkan jumlah anak yang mengalami stunting telah menurun di
semua benua, kecuali Afrika.5
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, prevalensi stunting di
Indonesia sebesar 30,8% dan pada tahun 2019 menurun menjadi sebesar
27,7%. Walaupun terjadi penurunan namun jika dibandingkan dengan
prevalensi stunting di dunia sebesar 22% prevalensi stunting di indonesia
masih lebih tinggi perbandingannya.6 Berdasarkan World Health
Organization (WHO), prevalensi anak pendek akan menjadi masalah
kesehatan masyarakat jika prevalensinya sebesar 20% atau lebih yang berarti
Indonesia masih dalam kategori negara yang memiliki masalah gizi dengan
stunting yang perlu diperhatikan. Persentase stunting pada anak berdasarkan
indeks, tertinggi diduduki oleh Nusa Tenggara Timur (40,3%), Sulawesi
Barat (40%), Aceh (35,7%), Daerah Istimewa Yogyakarta (19,8%), dan
terendah di Bali (19,1%).2
Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 prevalansi stunting di provinsi
Jambi sebesar 20,68% dan angka kejadian stunting pada tiap kabupaten/kota
rata-rata masih diatas 20%.7,8 Kerinci menjadi salah satu kabupaten yang
memiliki prevalensi kejadian stunting cukup tinggi dengan persentase
42,41%.8 Dalam banyak kasus status gizi di Jambi di pengaruhi oleh
kemiskinan dan rendahnya pengetahuan.
Penyebab dasar dari kejadian stunting adalah faktor dari konsumsi dan
infeksi saat 1000 hari pertama kehidupan bayi. Masa kehamilan ibu sebagai
awal dalam mempertahankan status gizi yang optimal untuk janin dengan
3

berbagi makanan yang dikonsumsi. Selanjutnya, usia 0-6 bulan ibu


melakukan Inisiasi Menyusui Dini (IMD) pada bayi untuk mendapatkan
kolostrum yang terdapat pada tetes ASI pertama ibu yang kaya akan zat
kekebalan tubuh dan pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif.
Terakhir diusia 6 bulan keatas, bayi mulai diberikan makanan pendamping
ASI karena ASI saja tidak mencukupi kebutuhan gizi bayi.9
Berdasarkan Global Standard Infant and Young Child Feeding,
pemberian makanan pendamping ASI harus memenuhi syarat meliputi tepat
waktu, adekuat, aman, dan tepat cara pemberian. Pengetahuan dan
keterampilan ibu merupakan faktor yang menentukan keberhasilan pemberian
ASI maupun MPASI pada anak usia 6-24 bulan. 5 Pemberian MPASI yang
adekuat diartikan dengan pemberian makanan yang memiliki kandungan
energi, protein, dan mikronutrien yang dapat memenuhi kebutuhan bayi dan
anak guna menunjang pertumbuhan yang optimal. Aman diartikan dengan
pemberian makanan yang dapat menghindari sumber penyakit, yaitu makanan
yang diberi haruslah hiegenis dan diolah dengan benar, sedangkan untuk
tepat cara pemberian adalah pemberian makan yang didukung dengan anak
sedang lapar. Namun terdapat beberapa hasil penelitian yang membuktikan
bahwa praktik pemberian makanan pendamping ASI tidak berhubungan
dengan kejadian stunting pada anak.10
Penelitian Nai (2014) praktik pemberian makanan pendamping ASI
(MPASI) bukan faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan.
Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia pengenalan MPASI
dengan status gizi, keragaman MPASI dan frekuensi pemberian MPASI tetapi
rendahnya asupan zat gizi makro dan mikro selama periode yang lama atau
adanya infeksi kronis pada anak dapat menyebabkan stunting. 11 Sejalan
dengan penelitian Haryani (2015) menyatakan tidak terdapat hubungan antara
status pemberian makanan pendamping ASI dengan kejadian stunting pada
anak umur 1- 2 tahun. Hal ini dapat dilihat dari sebagian besar sampel peneliti
memberi makanan pendamping pertama bayi di usia lebih dari 6 bulan
dengan status anak normal.12
4

Berdasarkan United Nations Childrens Fund 2019, kebutuhan nutrisi


bayi untuk pertumbuhan dan perkembangan antara 6 sampai 23 bulan lebih
tinggi perkilogram berat badan dibandingkan usia selanjutnya, membuat
mereka sangat rentan terhadap kekurangan nutrisi dan kegagalan dalam
pertumbuhan. Memperkenalkan makanan pendamping yang sehat dan
beragam bersama dengan menyusui dapat membantu melindungi dari
penyakit dan kematian, sekaligus memastikan pertumbuhan dan
perkembangan yang sehat serta mencegah kelebihan berat badan/obesitas di
kemudian hari. Demikian pula, anak usia 6 dan 23 bulan dapat menderita
konsekuensi seumur hidup jika mereka makan makanan tidak sehat, kurang
beragam dan bergantung pada makanan yang tinggi gula dan lemak serta
rendah nutrisi.5
Perawat merupakan profesi kesehatan yang harus dilibatkan dalam
pencapaian tujuan pembangunan kesehatan di indonesia maupun didunia.
Khususnya perawat komunitas yang berperan luas dalam peningkatan
kesehatan dan pencegahan penyakit dengan melibatkan klien sebagai mitra
perencanaan pelaksanaan serta evaluasi pelayanan keperawatan.
Berdasarkan Departemen Kesehatan RI (2006), keperawatan kesehatan
masyarakat (Perkesmas) merupakan pelayanan keperawatan profesional yang
ditujukan pada seluruh masyarakat pada kelompok risiko tinggi. Pendekatan
keluarga merupakan salah satu cara puskesmas dalam meningkatkan
jangkauan sasaran dan meningkatkan akses pelayanan kesehatan di wilayah
kerjanya dengan mendatangi keluarga. Perawat memberikan pelayanan
berupa deteksi dini, penyuluhan kesehatan, konseling, perawatan kesehatan
dasar, dan rujukan ke pelayanan terdekat. Salah satu peran perawat kesehatan
masyarakat dalam upaya pencegahan stunting adalah melalui perbaikan gizi
dengan memberikan pendidikan atau penyuluhan kesehatan. 13
Dari data diatas peneliti menyimpulkan bahwa pemberian makanan
pendamping ASI sebagai salah satu intervensi pencegahan kejadian stunting
perlu untuk di teliti kembali. Hal ini terkait dengan peran perawat dalam
penatalaksanaan pendidikan kesehatan yang tepat untuk mencegah kejadian
5

stunting melalui pemberian makanan pendamping ASI. Oleh karena itu,


peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Studi Literatur:
“Pemberian MPASI (Makanan Pendamping ASI) pada Usia 6-24 Bulan yang
Mengalami Kejadian Stunting” sebagai judul penelitian dan tugas akhir
perkuliahan S1 Keperawatan Universitas Jambi.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang diatas praktik pemberian MPASI
(makanan pendamping ASI) pada usia 6-24 bulan perlu untuk dipahami
kembali tentang keefektifannya dalam mencegah terjadinya stunting
khususnya di Indonesia. Untuk itu, peneliti tertarik untuk mengetahui
pemberian MPASI (makanan pendamping ASI) pada usia 6-24 bulan yang
mengalami kejadian stunting berdasarkan pengaruh tepat waktu, adekuat,
aman dan tepat cara pemberian.

1.3 Tujuan Penulis


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui pemberian MPASI (makanan pendamping ASI) pada
usia 6-24 bulan yang mengalami kejadian stunting.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan pemberian MPASI (makanan pendamping ASI) pada
usia 6-24 bulan yang mengalami kejadian stunting.
b. Mengetahui pemberian MPASI (makanan pendamping ASI) pada usia
6-24 bulan yang mengalami kejadian stunting berdasarkan pengaruh
tepat waktu, adekuat, aman dan tepat cara pemberian.

1.4 Manfaat Penelitian


Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka penelitian ini
diharapkan mempunyai manfaat dalam pendidikan baik secara langsung
maupun tidak langsung. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
6

1.4.1 Manfaat Teoritis


Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:
1. Menambah kajian pengetahuan tentang praktik pemberian MPASI yang
tepat dalam memenuhi kebutuhan gizi sebagai salah satu intervensi untuk
mencapai pertumbuhan anak yang maksimal.
2. Sebagai bahan pengembangan penelitian selanjutnya.
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis penelitan ini dapat bermanfaat sebagai berikut:
1. Instansi kesehatan
Hasil penelitian dapat menambah referensi pengambilan suatu kebijakan
dalam upaya pencegahan dan pengendalian kejadian stunting pada usia
6-24 bulan.
2. Pendidikan
Tambahan informasi dalam menanggapi praktik pemberian MPASI pada
usia 6-24 bulan.
3. Profesi Perawat
Menjadi evaluasi bagi perawat dalam melaksanakan pendidikan
kesehatan sebagai upaya untuk mencegah terjadinya stunting pada usia
6-24 bulan dengan makanan pendamping ASI yang sesuai dengan
kebutuhan gizi usia anak.
4. Masyarakat
Memberikan informasi kepada masyarakat khususnya para ibu atau
pengasuh tentang pemenuhan gizi bayi sesuai usia dengan pemberian
MPASI yang tepat untuk mencegah kejadian stunting.

Anda mungkin juga menyukai