Selama ini yang kita pahami bahkan pemahaman sudah menyatu di benak
kita semua bahwa Aswaja sebagai mazhab. Ini berarti manhajul fikr (metode
berfikir) dalam bidang aqidah mengikuti Imam Abu Musa Al’asyariy dan Imam
Abu Manshur Al-Maturidi, dalam fikh mengikuti salah satu Imam empat mazhab
fiqh dan bertasawuf mengikuti Imam Junaidi Al Baghdadi dan Abu Hamid Al
Ghazali. Terkesan simpel, sederhana bahkan ringan sekali term Aswaja. Memang
diakui atau tidak, Aswaja sebagai mazhab sudah menjadi hal biasa dikalangan
ulama’ sepuh, kyai khosh dan sederet Alim ulama’ lainnya. Tetapi, kita tidak perlu
risau, sekarang dan selanjutnya bahwa kalau Aswaja hanya dipahami sebagai
mazhab saya yakin dunia Islam, dunia keilmuan-keislaman akan mengalami
stagnanisasi perkembangan dan terkesan jumud. Oleh karena Aswaja sebagai
manhajul fikr adalah upaya dari cara berpikir yang bertujuan menjaga peradaban
dan stabilitas keamanan manusia di muka bumi. Aswaja menolak cara-cara
berpikir dan bertindak licik, kasar, merusak, intoleran serta hal-hal yang membawa
pada chaos dan kemudharatan. Karena itu kelompok Aswaja, misalnya NU sebagai
prototype Islam Aswaja di Indonesia sangat teguh menjaga tradisi sembari terus
mengikuti perkembangan zaman, al-muhafazhatu alal qadimis-shalih wal akhdzu
bil jadidil-ashlah (Menjaga khazanah-khazanah tradisi Islam yang baik dan
Mengambil yang baru yang lebih baik) . Tidak hanya itu, bahkan tidak hanya
menjaga dan mengambil yang lebih baik, Aswaja juga menghendaki produksi dan
kreativitas setiap saat dalam hal-hal positif (al-ijad).
Prinsip manhajul fikr (metode berfikir) tersebut yang dipegang juga oleh
Perguruan Tinggi ternama dan terbesar di dunia Islam yaitu Al Azhar University
dan juga di mayoritas negara-negara Islam dunia yang mana dalam tradisi
inteletual keimuannya bersanad (bersambung) dari para Ulama, Tabi’i tabi’in,
Tabi’in, Sahabat dan Rasulullah Saw.
Imam Al-Ghazali yang bergelar Hujjatul Islam, salah satunya karena beliau
punya jasa yang amat besar dalam memberikan argumen (hujjah) baik lewat dalil
akal atau naqli. Keduanya berjalin berkelindan dengan rapi dan saling menguatkan
ibarat simpul-simpul temali yang terikat dengan benar. Mengalahkan sekian
banyak argumen kalangan, termasuk argumen para zindiq (anti-Tuhan). Selain
Imam Ghazali, juga ada Syaikh Akbar Abdul Qadi Al-Jilani, dalam karyanya, "Al-
Ghunyah".
Salah satu yang menjadi dasar, bahwa tasawuf dan fiqih itu harus berjalan
seiring dan senafas, saling mendukung dan melengkapi adalah hadis shahih, yang
disebut hadist Jibril As,. Diriwayatkan, suatu ketika Nabi kedatangan tamu di
suatu majelisnya, kemudian orang ini mendekati Rasulullah Saw., bahkan semakin
dekat, sampai-sampai dia menempelkan kedua lututnya kepada lutut Nabi,
kemudian meletakkan dua telapak tangannya ke atas dua paha Nabi, kemudian
terjadilah tanya Jawab antara mereka berdua:
اَ ِإل ْسالَ ُم أَ ْن تَ ْشهَ َد أَ ْن الَإِ لَهَ إِالَّ هللاُ َو أَ َّن ُم َح َّمدًا: فَقَا َل َرسُوْ ُل هللا،اإل ْسالَ ِم
ِ ي ع َِنYْ ِيَا ُم َح َّم ُد أَ ْخبِرْ ن
َوتَ ُح َّج ْالبَيْتَ إِ ِن ا ْستَطَعْتَ إِلَ ْي ِه، َضان
َ َوتَصُوْ َم َر َم،َ َوتُ ْؤتِ َي ال َّز َكاة،َصالَة َّ َوتُقِ ْي ُم ال،َِرسُوْ ُل هللا
ُ أَ ْن تؤ ِمن: ال َ َ ق،ان ِ فَأ َ ْخبِرْ نِ ْي ع َِن: ال
ِ اإل ْي َم َ ُ فَ َع ِج ْبنَا لَهُ يَ ْسئَلُهُ َوي.ت
َ َ ق.ُص ِّدقُه ُ ص َد ْق
َ : قَا َل.ًَسبِ ْيال
َ َ ق. َص َد ْقت
ال َ : قَا َل.َر َخي ِْر ِه َو َش ِّر ِه ِ َو تُ ْؤ ِمنَ بِ ْالقَد،اآلخ ِر ِ َو ْاليَوْ ِم، َو ُر ُسلِ ِه، َو ُكتُبِ ِه، َو َمالَئِ َكتِ ِه،ِبِاهلل
َ َّ أَ ْن تَ ْعبُ َد هللاَ َكأَن: ال
َك تَ َراهُ فَإِ ْن لَ ْم تَ ُك ْن ت ََراهُ فَإِنَّهُ يَ َراك ِ فَأ َ ْخبِرْ نِي َع ِن ا ِإلحْ َس:.
َ َ ق،ان
“Wahai Muhammad, beritahukan kepadaku tentang Islam.” Nabi
menjawab :”Islam adalah kamu bersaksi tidak ada yang berhak dipatuhi dengan
benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah;
menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan kamu
menunaikan haji ke Baitullah, jika kamu mampu melakukannya,” lelaki itu
berkata, ”Kamu benar,” maka kami heran, ia yang bertanya ia pula yang
membenarkannya.
Dalam bahasa yang lain, fiqih hanya membahas kerangka dalam suatu
ibadah, jika sudah menyangkut terhadap niat atau keikhlasan dalam beribadah itu
adalah pembahasan ilmu tasawuf. Maka dari itu fiqih dan tasawuf sangat erat
kaitannya.
فقد تفسّق ومن جمع بينهما فقد تحققY ومن تفقه ولم يتصوفY ولم يتفقه فقد تزندقYمن تصوف
“Tasawuf adalah mencari kebenaran hakiki dan berpaling dari apa yang dimiliki
makhluk” (Awafif al-Ma’arif, hal. 62).
Jadi agar semua amal perbuatan kita diterima Allah dan menjadi sebab
masuk ke dalam jannah, maka dua syarat yang harus dipenuhi, pertama harus
diniatkah lillahi ta’ala dan yang kedua harus sesuai dengan aturan dan ketentuan
yang sudah digariskan syari’at.
Nabi Muhammad SAW adalah contoh dari suri tauladan yang paling baik
dalam praktik penggabungan antara fiqih dan tasawuf dalam tingkah lakunya
(akhlaknya). Beliau juga selalu menunjukkan dan memberi dorongan berbuat baik
kepada sesama manusia, keluarga, memuliakan tamu dan tetangga.Nabi
menjelaskan dalam salah satu sabdanya, bahwa manusia yang paling baik ialah
yang paling baik perangainya.
Dalam hubungan ini bukan hanya tingkah laku lahir saja, melainkan juga
sikap batin hendaknya selalu terkontrol dan cenderung kepada jalan kebaikan dan
kebajikan. Praktik tasawuf Nabi Muhammad Saw. adalah berakhlak mulia yang
selalu beliau terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Cerita dari Sa’id bin Hisyam:
“Aku datang menemui A’isyah ra, lalu kutanyakan tentang akhlak Rasulullah
SAW”. A’isyah ra menjawab: “Bisakah engkau membaca Al-Qur’an?” Kataku:
“Bisa!” Ujar beliau: “Akhlak Nabi Muhammad SAW adalah Al-Qur’an. Allah
ridlo bersama keridlaan beliau, dan Allah niscaya marah bersama kemarahan
beliau.” Rasulullah Saw bersabda:
ش ْالبَ ِذيْ َء ِ َق َح َس ٍن َوإِ َّن هللاَ لَيُب ِْغضُ ْالف
َ اح ٍ ُان ْال ُم ْؤ ِم ِن يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة ِم ْن ُخل
ِ َما َش ْي ٌء أَ ْثقَ ُل فِ ْي ِم ْي َز
“Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin di hari
Kiamat melainkan akhlak yang baik, dan sesungguhnya Allah sangat membenci
orang yang suka berbicara keji lagi kotor” (HR. At-Tirmidzi). Selain itu, pola
kehidupan Nabi yang sederhana dan selalu ber-mujahadah juga menjadi tamtsil
(teladan) bagi kehidupan para zahid dan sufi. Teladan yang mengantarkan pada
fase-fase intuitif dan maqamat serta ahwal yang pada akhirnya akan mengantarkan
si salik kepada terbukanya hakikat serta sampai pada jalan menuju Allah dengan
pengetahuan yang hakiki (ma’rifat ilhamiyah-laduniyah) (M. Jalal Syaraf, 1984:
37-38).
Sementara bagi Fazlur Rahman (1979: 128), dalam al-Qur’an ada beberapa
ayat yang menggambarkan pengalaman mistik Nabi, seperti dalam Q.S. al-Isra`: 1,
Q.S. al-Najm: 1-12 dan 13-18, Q.S. al-Takwir: 19-25. Oleh karena itu, banyak
amalan-amalan Nabi yang menjadi dasar dan unsur tasawuf yang diamalkan oleh
para sufi. Semisal hidup dengan sederhana (zuhud), selalu beristighfar, berpuasa,
dan bermujahadah (As’ad al-Sahmarani, 1987: 74-75).
Selain itu, meski Rasulullah adalah orang yang terjaga dari dosa (ma'shum)
dan suci, namun tetap melakukan riyadlah dan mujahadah sebagai bentuk teladan
kepada umatnya, bahwa untuk mencapai titik muthmainnah dan tingkatan dekat
dengan Allah maka harus dibarengi dengan riyadlah dan mujahadah.
Dosen Pengampu
Dr. H. Mustaqim, Dip.Is, M.pdI.