Anda di halaman 1dari 6

JAMBANISASI DI DESA MAYANGKAWIS KECAMATAN BALEN

KABUPATEN BOJONEGORO

Nugroho Tri Waskitho1, Sunarto2

1Fakultas Pertanian Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang


2Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang

Alamat Korespondensi : Jl.Raya Tlogomas No 246, Telp: 0341 464318


E-mail: 1)triwaskithon@yahoo.co.id

Abstrak

Pada tahun 2015 terdapat 130 rumah tangga di desa Mayangkawis kecamatan Balen Kabupaten
Bojonegoro yang masih buang air besar sembarangan. Kondisi ini sangat menurunkan sanitasi
lingkungan. Untuk memperbaikinya dilakukan jambanisasi dan penyuluhan. Pada tahun 2016
dibangun 23 jamban kerjasama pemkab Bojonegoro, desa dan program IbW.

Kata kunci: jambanisasi, sanitasi lingkungan, buang air besar sembarangan

1. PENDAHULUAN
Derajat kesehatan dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu : lingkungan, perilaku, pelayanan
kesehatan dan keturunan. Faktor lingkungan dan perilaku sangat mempengaruhi derajat kesehatan.
Termasuk lingkungan yaitu keadaan pemukiman/perumahan, tempat kerja, sekolah dan tempat
umum, air dan udara bersih, teknologi, pendidikan, sosial dan ekonomi. Sedangkan perilaku
tergambar dalam kebiasaan sehari-hari seperti pola makan, kebersihan perorangan, gaya hidup, dan
perilaku terhadap upaya kesehatan [1].
Dalam hal sanitasi lingkungan, masyarakat masih memanfaatkan “toilet terbuka” yang
biasanya terletak di kebun, pinggir sungai, dan parit sawah. Melakukan buang air besar di tempat
terbuka akan menimbulkan pencemaran pada permukaan tanah dan air. Perilaku semacam itu
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor ekonomi karena untuk membuat septik tank
diperlukan biaya, tidak tersedianya septik tank umum dan layanan yang baik untuk penyedotannya.
Karena beberapa faktor tersebut, maka muncullah suatu masalah yaitu adanya masyarakat yang
masih buang air besar di sembarang tempat [2].
Menurut data UNICEF, 44,5 % total seluruh penduduk Indonesia belum memiliki akses
pembuangan tinja yang layak dan 63 juta masyarakat Indonesia masih buang air besar sembarangan
atau 24% dari total penduduk Indonesia pada tahun 2011 masih melakukan buang air besar (BAB)
Sembarangan [3]. Lebih lanjut, UNICEF menyatakan bahwa sanitasi dan perilaku kebersihan yang
buruk, serta minum air yang tidak aman berkontribusi terhadap 88% kematian anak akibat diare di
seluruh dunia [3].
Sanitasi yang baik dapat mengurangi penularan mikroba yang menyebabkan diare dengan
cara mencegah kontaminasi tinja manusia dengan lingkungan. Meningkatnya sarana sanitasi dapat
mengurangi insiden diare sebesar 36 %.[4,5]. Penggunaan jamban efektif dapat mengurangi insiden
penyakit diare sebesar 30%[5].
Pada tahun 2015 terdapat 130 rumah tangga di desa Mayangkawis kecamatan Balen
Kabupaten Bojonegoro yang masih buang air besar sembarangan. Kondisi ini sangat menurunkan
sanitasi lingkungan. Kondisi ini mempengaruhi kesehatan masyarakat.
Jamban sehat adalah fasilitas buang air besar yang dapat mencegah pencemaran badan air,
mencegah kontak antara manusia dan tinja, mencegah hinggapnya lalat atau serangga lain di tinja,
mencegah bau tidak sedap, serta konstruksi dudukan (slab) yang baik, aman dan mudah
dibersihkan.[6,7,8,9]

96 SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk


2. METODE
2.1 Lokasi
Kabupaten Bojonegoro terletak di Provinsi Jawa Timur pada koordinat 112º25' dan 112º09'
BT dan 6º59' dan 7º37' LS dengan luas wilayah 2.384,02 km2. Kabupaten ini berbatasan dengan
Kab. Tuban di utara, Kab. Lamongan di timur, Kab. Nganjuk, Kab. Madiun dan Kab. Ngawi di
selatan, serta Kab. Blora (Jawa Tengah) di barat. Bagian barat Bojonegoro (perbatasan dengan
Jawa Tengah) merupakan bagian dari Blok Cepu, salah satu sumber deposit minyak bumi terbesar
di Indonesia (Gambar 1).

Gambar 1. Posisi Kabupaten Bojonegoro

Topografi Kab. Bojonegoro menunjukkan bahwa di sepanjang daerah aliran sungai


Bengawan Solo merupakan daerah dataran rendah (low-land plain) yang berada pada ketinggian 25
mdpl dengan kemiringan 2 – 14,99%, sedangkan di bagian selatan yang terdapat gunung Pandan
Kramat dan Gajah merupakan dataran tinggi (upland plain) yang berada pada ketinggian 25 mdpl.
Kab. Bojonegoro merupakan daerah subur karena dilewati oleh sungai Bengawan solo dan terdapat
17 sungai besar yang bermuara di sungai Bengawan Solo. Kab. Bojonegoro merupakan daerah Sub
DAS Bengawan Solo Hilir dengan panjang sungai 6,237 km mengalir dari Kab. Bojonegoro
sampai dengan Kab. Lamongan. Secara umum, Kab. Bojonegoro termasuk wilayah dataran rendah
dan merupakan wilayah sungai, sehingga sangat rentan terhadap banjir. Wilayah yang rentan banjir
adalah wilayah di kanan-kiri sungai, khsususnya pada musim penghujan.
Secara administratif, Kab. Bojonegoro terbagi atas 27 Kecamatan. Kec. Balen adalah salah satunya
dengan luas 60,52 km2, berada pada ketinggian 0 – 5 m dpl. Wilayah Kec. Balen berbatasan
dengan Kec. Rengel, Kab. Tuban di sebelah utara, dan Kec. Sumberejo di timur, Kec. Sukosewu di
selatan dan di sebelah barat dengan Kec. Kapas, Kab. Bojonegoro. Kec. Balen juga dilintasi sungai
bengawan solo di sebelah utara.
Kecamatan Balen terletak di koordinat 7°11'28" LS dan 111°57'42" BT yang terbagi atas
23 desa. Kecamatan Balen dengan luas wilayah 6.051 ha mempunyai jumlah penduduk 66.730
jiwa, kepadatan penduduk 1.053 jiwa/km2, bermata pencaharian sebagian besar sebagai petani di
samping bekerja di sektor industri/pengrajin dan pedagang (Gambar 2). Dua desa di Kec. Balen
yang menjadi wilayah IbW yaitu desa Kemamang dan Mayangkawis dengan luas wilayah masing-
masing 166,99 ha dan 327,23 ha yang dihuni masing-masing 2.102 dan 3.926 jiwa.

Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016 97


Gambar 2. Posisi Kecamatan Balen

2.2. Kondisi Sanitasi Lingkungan


Dari hasil pemeriksaan rumah tinggal di Kecamatan Balen, jumlah rumah 12.762, diperiksa
1.667 rumah, jumlah sehat 1.371 rumah (82,24%). Tercatat 15.805 keluarga, diperiksa 1.658
keluarga, sebanyak 1.247 keluarga (75,21%) telah mengakses air bersih baik dari PDAM, sumur,
maupun air sumber. Dari 15.805 KK, jumlah KK diperiksa 1.658, yang memenuhi kriteria sehat
sebanyak 81,26% dari 61,16% KK yang memiliki jamban; 80,26% dari 61,16% KK yang memiliki
tempat sampah; 58,68% dari 61,16% KK yang memiliki pengelolaan air limbah [10].
2.3. Metode Pelaksanaan
Jambanisasi dilakukan dengan membangun jamban pada rumah yang belum mempunyai
jamban. Pemilihan rumah yang akan dibangun jamban ditentukan oleh Kepala Desa. Kegiatan ini
merupakan kerja sama antara pemerintah desa Mayangkawis, pemerintah kabupaten Bojonegoro
dan program IbW.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Jambanisasi dilakukan di RT 15 dan RT 10 sebanyak 23 buah di desa Mayangkawis. Salah
satu contoh disajikan pada Gambar 1.

98 SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk


Gambar 3. Jambanisasi di desa Mayangkawis

Penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menggunakan jamban juga


memberikan kontribusi dalam perubahan perilaku buang air besar (BAB) masyarakat. Hal ini dapat
ditunjukkan dalam penelitian bahwa pembinaan petugas Puskesmas juga memiliki hubungan yang
bermakna dalam penggunaan jamban [11].
Dukungan aparat desa, kader posyandu dan LSM meningkatkakan 2,7 kali masyarakat
untuk menggunakan jamban [11]. Dukungan sosial berhubungan dengan perilaku buang air besar,
dalam penelitian kualitatif dikatakan bahwa salah satu faktor yang memudahkan seseorang buang
air besar di sungai karena melihat orang tua dan tetangganya melakukan hal yang sama [12] dan
keberadaan community leaders di masyarakat memicu untuk terjadinya perubahan perilaku [13].
Pendampingan fasilitator paska pemicuan yang kurang baik berisiko 12,7 kali seseorang untuk
BABS dan pendampingan paska pemicuan yang cukup baik masih berisiko 7,5 kali seseorang
untuk BABS [14].
Berdasarkan penelitian kualitatif bahwa salah satu faktor yang berhubungan dengan keberhasilan
daerah menjadi Opend Defecation Free setelah dilakukan pemicuan Community Led Total
Sanitation (CLTS) di Jawa Timur adalah karena adanya kegiatan sosial kemasyarakatan yang baik
: pemimpin yang terpercaya, adanya gotong – royong dan kebersamaan [13].
Tidak adanya sangsi sosial di masyarakat menjadi salah satu faktor kegagalan suatu daerah
untuk menjadi daerah bebas BABS serta didukung kurangnya monitoring pasca pemicuan CLTS.
[13]

Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016 99


Kebiasaan buang air besar sembarangan (BABS) yang terjadi dimasyarakat umumnya karena
adanya perasaan bahwa BABS itu lebih mudah dan praktis, BABS sebagai identitas masyarakat
dan budaya turun - temurun dari nenek moyang sehingga menjadi kebiasaan [12].
Teori yang mendukung hasil penelitian ini adalah salah satu faktor yang menyebabkan
masyarakat melakukan buang air besar sembarangan adalah rendahnya motivasi masyarakat untuk
berperilaku hidup bersih dan sehat. Motivasi PHBS yang menggerakkan seseorang untuk
melakukan kebiasaan BAB (Notoatmodjo, 2007). Keluarga harus dilibatkan dalam progam
pendidikan dan penyuluhan agar mereka mampu mendukung usaha keluarga yang masih buang air
besar di sembarang tempat. Bimbingan/penyuluhan dan dorongan secara terus menerus biasanya
diperlukan agar keluarga yang buang air besar sembarangan tersebut mampu melaksanakan
rencana yang dapat diterima dan mematuhi peraturan. Keluarga selalu dilibatkan dalam progam
pendidikan sehingga mereka dapat memperingati bahwa buang air besar sembarangan dapat
berdampak pada penyakit.
4. KESIMPULAN
Jambanisasi di desa Mayangkawis kecamatan Balen kabupaten Bojonegoro diharapkan
meningkatkan sanitasi lingkungan dan kesehatan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Pedoman Teknik Penyehatan Perumahan.
Jakarta : Depertemen Kesehatan RI – Direktorat Jendral PPM & PL. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia 2009. Profil kesehatan Indonesia 2008. Jakarta : Depkes RI.
[2] Sholikhah, S. 2014. Hubungan Pelaksanaan Program ODF (Open Defecation Free) Dengan
Perubahan Perilaku Masyarakat Dalam Buang Air Besar Di Luar Jamban Di Desa Kemiri
Kecamatan Malo Kabupaten Bojonegoro Tahun 2012, Surya Vol.02, No.XVIII, Juni 2014
[3] Triyono, A. 2014. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Buang Air Besar
Masyarakat Nelayan di Kampung Garapan Desa Tanjung Pasir Kabupaten Tangerang Propinsi
Banten. Forum Ilmiah Volume 11 Nomor 3, September 2014
[4] UNICEF/WHO. 2009. Diarrhoea: Why children are still dying and what can be done :1 -
15.
[5] Semba R, Kraemer , K, Sun , K. et.al. 2011. Relationship of the Presence of a Household
Improved Latrine with Diarrhea and Under-Five Child Mortality in Indonesia. The
American Society of Tropical Medicine and Hygiene. 84(3)443–50
[6] Carr R. 2001. Excreta-related infections and the role of sanitation in the control of
transmission. In: Bartram LFaJ, editor. Water Quality: Guidelines, Standards and Health.
London: IWA Publisihing. 90 - 107.
[7] Wagner EG, Lanoix,J.N. 1958. Excreta Disposal for Rural Areas and Small Communities
WHO. Monograph series no.39:9 - 24.
[8] Cairncross S, Valdmanis, V. 2006. Water Supply, Sanitation and Hygiene Promotion. In:
Dean T Jamison ea, editor. Disease Control Priorities in Developing Countries. 2nd edition
ed. Washington (DC): World Bank. 771 - 92.
[9] WSP-EAP. 2011. Informasi Pilihan Jamban Sehat. Jakarta Bill and Melinda Gates
Foundation dan WSP - EAP. 10 - 25.
[10] Dinas Kesehatan Kabupaten Bojonegoro.2012. Profil Kesehatan Kabupaten Tahun 2011.
[11] Pane E. 2009. Pengaruh Perilaku Keluarga terhadap Penggunaan Jamban. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional 3(5):229 - 35.
[12] USAID/Indonesia. 2006. Formative Research Report Hygiene and Health. 1-5 and 30- 41
[13] Mukherjee N. 2011. Factors Associated with Achieving and Sustaining Open Defecation
Free Communities: Learning from East Java. Water and Sanitation Program. 1 - 8.
[14] Simanjutak D. 2009. Determinan Perilaku Buang Air Besar (BAB) Masyarakat (Studi
terhadap pendekatan Community Led Total Sanitation pada masyarakat desa di wilayah

10 SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk


0
kerja Puskesmas Pagelaran, Kabupaten Pandeglang tahun 2009). Jakarta: Universitas
Indonesia.
[15] Notoatmodjo, S. 2007. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta

Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016 101

Anda mungkin juga menyukai