Anda di halaman 1dari 23

8

BAB II

KERANGKA TEORI

A. Penelitian Terdahulu

Menurut Darsinah dkk, kajian penelitian yang relevan adalah uraian secara

sistematis mengenai hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti

terdahulu. Penelitian tersebut harus ada hubungannya dengan penelitian yang akan

dilakukan. Berikut akan dijelaskan mengenai penelitian-penelitian yang sesuai

dengan penelitian ini.

Penelitian Hakim (2010) berjudul “Perbedaan motivasi kerja antara pengemis

dan pengamen” mengatakan bahwa sulitnya seseorang mendapatkan pekerjaan

membuat semakin mundurnya kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Pengemis

dan pengamen merupakan salah satu dampak negatif pembangunan tersebut,

pengemis dan pengamen ini tentu sangat erat kaitannya dengan kemiskinan dan

ketersediaan lapangan pekerjaan.

Penelitian Ariya Akbarian (2015) berjudul “Program Pemberdayaan

Gelandangan Dan Pengemis Melalui Pendidikan Kecakapan Hidup Di Panti Sosial

Bina Karya Yogyakarta” Proses pelaksanaan program pemberdayaan gelandangan

dan pengemis melalui pendidikan kecakapan hidup, Panti Sosial Bina Karya

Yogyakarta menyelenggarakan berbagai macam pelatihan. Berdasarkan identifikasi

kebutuhan yang dilakukan oleh pekerja sosial, dapat diuraiakan beberapa program

pemberdayaan gelandangan dan pengemis melalui pendidikan kecakapan hidup,


9

pendidikan pelatihan yang diberikan disini yaitu : (1) pelatihan pertanian Pelatihan

pertanian ini di ikuti oleh semua warga binaan untuk pelaksanaannya dilakukan di

panti. Untuk pelaksanaan dilaksanakan setiap hari senin dan rabu, proses

pelaksanaannya lebih menggunakan metode praktik, (2) pelatiahan las, pelatihan ini

adalah pelatihan pilihan yang dipilih warga binaan yang bertujuan dapat menambah

ilmu baru, untuk pelaksanaannya dilakukan setiap hari selasa dan kamis. Untuk

pelaksanaan program menggunakan dua cara yaitu praktik dan juga penempatan

magang, (3) pelatihan menjahit adalah pelatihan yang diikuti oleh warga binaan putri,

untuk pelaksanaan program setiap hari selasa dan kamis, pelaksanaan pelatihan

menjahit lebih menggunakan praktik, (4) pelatihan pertukangan bangunan pelatihan

ini adalah pelatihan pilihan dari warga binaan, untuk pelaksanaannya setiap hari

selasa dan kamis metode yang digunakan adalah praktik, (5) pelatihan pertukangan

kayu pelatihan ini dilakukan setiap selasa dan kamis, untuk proses pelaksanaannya

menggunakan praktik dan nanti aka nada magang di perusahaan meubel.

Dengan demikian penelitian mengenai pengemis, disini peneliti melakukan

penelitian lanjutan tentang perilaku religiusitas pengemis jalanan di Pasar Mardika

Ambon dengan memfokuskan penelitian dengan cara mengamati dan meneliti bahwa

faktor apa saja yang menyebabkan adanya pengemis jalanan di jalan Pasar Mardika

Ambon dan bagaimana perilaku religiusitas pengemis jalanan di jalan Pasar Mardika

Ambon.
10

B. Tinjauan Teori

1. Pengertian Religiusitas Secara Umum

Religiusitas dari kata asal Religi yang berasal dari bahasa Latin, yaitu

Relegere yang berarti mengumpulkan , membaca, dan juga berasal dari kata religare

yang bermakna mengikat. Atau dalam bahasa indonesia sama dengan pengertian

Agama yakni memuat aturan-aturan dan cara-cara mengabdi kepada Tuhan yang

terkumpul dalam kitab suci yang harus dipahami dan mempunyai sifat mengikat

kepada manusia, karena agama mengikat manusia dengan Tuhan.

Kata dasar agama mempunyai beberapa arti baik dari segi bahasa maupun dari

segi istilah. Secara etimologi agama berasal dari bahasa sansekerta terdiri atas a =

tidak, gama = kacau. Jadi agama berarti “tidak kacau”, berarti juga tetap ditempat,

diwarisi turun temurun, karena agama mempunyai sifat yang demikian. Agama juga

berarti teks atau kitab suci, tuntunan, karena setiap agama mempunyai kitab suci yang

ajarannya menjadi tuntunan bagi penganutnya. Jadi arti religusitas sama dengan arti

keagamaan dimana kata dasarnya agama.1

Harun nasution membedakan pengertian religiusitas berdasarkan asal kata,

yaitu al-din, religi (relegere, religare) dan agama. Al-din berarti undang- undang

hukum. Kemudian dalam bahasa arab, kata ini mengandung arti menguasai, tunduk,

patuh. Sedangkan dari kata religi berarti mengumpulkan atau membaca. Kemudian

religare berarti mengikat. Religiusitas berarti menunjukkan aspek religi yang telah

1
Dadang Hawari, Al Quran Ilmu Kedokteran dan Kesehatan Jiwa, Solo: PT. Amanah Bunda
Sejahtera, 1996, hlm. 63
11

dihayati individu dalam hati, diartikan seberapa jauh pengetahuan seberapa kokoh

keyakinan, dan seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah, serta penghayatan atas

agama yang dianutnya dalam bentuk sosial dan aktivitas yang merupakan perwujudan

beribadah. Menurut Vorgote berpendapat bahwa setiap sikap religiusitas diartikan

sebagai perilaku yang tahu dan mau dengan sadar menerima dan menyetujui gambar-

gambar yang diwariskan kepadanya oleh masyarakat dan yang dijadikan miliknya

sendiri, berdasarkan iman, kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sehari-

hari.2

Menurut Muhammad Thaib Thohir Religiusitas merupakan dorongan jiwa

seseorang yang mempunyai akal, dengan kehendak dan pilihannya sendiri mengikuti

peraturan tersebut guna mencapai kebahagiaan dunia akhirat.3 Sedangkan menurut

Zakiyah Darajat dalam psikologi agama dapat difahami religiusitas merupakan

sebuah perasaan, pikiran dan motivasi yang mendorong terjadinya perilaku

beragama.4 Religiusitas dapat diketahui dari seberapa jauh pengetahuan, keyakinan,

pelaksanaan dan penghayatan atas agama Islam.5 Religiusitas sebagai keberagamaan

meliputi berbagai macam sisi atau dimensi yang bukan hanya terjadi ketika seseorang

melakukan perilaku ritual (beribadah), tapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang

didorong oleh kekuatan supranatural. Dapat diartikan, bahwa pengertian religiusitas

2
Nikko Syukur Dister, Psikologi Agama, Yogyakarta:Kanisius 1989. hlm 10.
3
M Thaib Thohir Abdul Muin, Ilmu Kalam, Jakarta: Widjaya, 1986, hlm 121.
4
Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hlm 13
5
Ancok, Suroso, Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2001. hlm 77
12

adalah seberapa mampu individu melaksanakan aspek keyakinan agama dalam

kehidupan beribadah dan kehidupan sosial lainnya.6

Usaha untuk memperoleh pengetahuan terhadap segi batiniah, pengalaman

keagamaan, dimana dan kapan ia dapat terjadi memerlukan teori pendekatan.

Berbagai hal individu dan kelompok, beserta dinamika yang ada harus pula diteliti. 7

Religiusitas dapat disebut juga tingkah laku seseorang dalam mengaplikasikan apa

yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari. Dapat disimpulkan bahwa religiusitas

diartikan sebagai suatu keadaan yang ada di dalam diri seseorang yang

mendorongnya bertingkah laku, bersikap dan bertindak sesuai dengan ajaran agama

yang dianutnya. Fungsi aktif dari adanya religiusitas dalam kehidupan manusia yaitu:

a. Fungi Edukatif Ajaran agama memberikan ajaran-ajaran yang harus

dipatuhi. Dalam hal ini bersifat menyuruh dan melarang agar pribadi

penganutnya menjadi baik dan terbiasa dengan yang baik.8

b. Fungsi Penyelamat Keselamatan yang diberikan oleh agama kepada

penganutnya adalah keselamatan yang meliputi dua alam yaitu alam dunia

dan akhirat.

c. Fungsi Perdamaian Melalui agama, seseorang yang bersalah atau berdosa

dapat mencapai kedamaian batin melalui pemahaman agama.

6
Yolanda Hani Putriani, Pola Perilaku Konsumsi Islami Mahasiswa Muslim Fakultas
Ekonomi Dan Bisnis Universitas Airlangga Ditinjau Dari Aspek Religiusitas, Jurnal JESTT Vol.2
No.7 Juli 2015. (Surabaya: Universitas Airlangga, 2015)
7
M.Amin Abdullah, Metodologi Studi Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Hlm,280
8
Musa Asyarie. Agama Kebudayaan dan Pembangunan menyongsong Era Industrialisasi.
Yogyakarta: Kalijaga Press ,1988. Hlm 107
13

d. Fungsi Pengawasan Sosial Ajaran agama oleh penganutnya dianggap

sebagai norma, sehingga dalam hal ini agama dapat berfungsi sebagai

pengawasan sosial secara individu maupun kelompok.

e. Fungsi Pemupuk Rasa Solidaritas Para penganut agama yang secara

psikologis akan merasa memiliki kesamaan dalam kesatuan iman dan

kepercayaan. Rasa kesatuan ini akan membina rasa solidaritas dalam

kelompok maupun perorangan, bahkan kadang-kadang dapat membina

rasa persaudaraan yang kokoh.

f. Fungsi Transformatif Ajaran agama dapat mengubah kehidupan manusia

seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran

agama yang dianutnya, kehidupan baru yang diterimanya berdasarkan

ajaran agama yang dipeluk kadangkala mampu merubah kesetiannya

kepada adat atau norma kehidupan yang dianutnya. Terdapat beberapa hal

dalam kaitannya dengan religiusitas.9

Secara terperinci religiusitas memiliki 5 dimensi penting dalam penilaian

religiusitas:

1. Dimensi Keyakinan (ideologis)

Hal ini berisi Pengharapan-pengharapan dimana orang yang religius

berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui

kebenaran- kebenaran doktrin tersebut. Dimensi ini menunjuk pada

9
Musa Asyarie. Agama Kebudayaan dan Pembangunan menyongsong Era Industrialisasi.
Yogyakarta: Kalijaga Press ,1988. Hlm 108
14

seberapa tingkat keyakinan Muslim terhadap kebenaran ajaran-ajaran

agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran yang bersifat fundamental

menyangkut keyakinan pada Allah SWT, Malaikat, Rasul. Setiap agama

mempertahankan seperangkat kepercayaan dimana para penganut

diharapkan akan taat. Walaupun demikian, isi dan ruang lingkup

keyakinan bervariasi, tidak hanya diantara agama-agama tetapi juga di

antara tradisi-tradisi agama yang sama.

2. Dimensi Praktik agama (Ritualistik)

Hal ini mencakup pemujaan atau ibadah, ketaatan, dan hal-hal yang

dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang

dianutnya. Dimensi ini mencakup perilaku ibadah, ketaatan, dan hal-hal

yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen atau tingkat

kepatuhan muslim terhadap agama yang dianutnya menyangkut

pelaksanaan shalat, puasa, zakat, haji. Praktik keagamaan ini terdiri dari

dua kelas penting yaitu ritual dan ketaatan.

3. Dimensi Pengalaman (eksperensial)

Berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan,

persepsi-persepsi, dan sensasi- sensasi yang dialami seseorang atau

diidentifikasi oleh suatu kelompok keagamaan yang melihat komunikasi

walaupun kecil dalam suatu esensi ketuhanan yaitu Tuhan.10

10
Yolanda Hani Putriani, Pola Perilaku Konsumsi Islami Mahasiswa Muslim Fakultas
Ekonomi Dan Bisnis Universitas Airlangga Ditinjau Dari Aspek Religiusitas, Jurnal JESTT Vol.2
No.7 Juli 2015. (Surabaya: Universitas Airlangga, 2015)
15

4. Dimensi Pengetahuan (intelektual) Yaitu sejauh mana individu mengetahui,

memahami ajaran-ajaran agamanya terutama yang ada dalam kitab suci

dan sumber lainnya. Dimensi ini menunjuk pada seberapa tingkat

pengetahuan dan pemahaman muslim terhadap ajaran-ajaran pokok dari

agamanya. Sebagaimana yang terdapat dalam kitab suci dengan harapan

bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah

minimal pengetahuan mengenai dasar keyakinan, dan tradisi- tradisi

agama.

5. Dimensi Pengamalan (konsekuensial)

Sejauh mana perilaku individu dimotivasi oleh ajaran agamanya dalam

kehidupan sosial. Dimensi ini mengarah pada akibat-akibat keyakinan

agama, praktik, pengalaman, pengetahuan seorang dari hari ke hari.

Menunjuk pada tingkatan perilaku muslim yang dimotivasi oleh ajaran-

ajaran agamanya. Seperti suka menolong, dan adab bekerjasama.11

2. Religiusitas Dalam Al Qur‟an

Konsep religiusitas dalam Al Qur‟an dijabarkan secara jelas melalui nilai-

nilai ketauhidan. Dimana nilai tauhid tersebut tergambar pada kepercayaan atas

keesaan Allah, sebagai Pencipta Semesta, Yang Maha Mulia, Maha Perkasa,
11
Ancok, D Suroso, Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2001. hlm,80.
16

Maha Abadi, dan seluruh sifat-Nya yang agung seperti termaktub dalam ayat-ayat

Al Qur‟an. Ketika kepercayaan atas keesaan Allah terbentuk, maka seluruh

perintah yang diturunkannya akan berpengaruh besar bagi kehidupan para umat-

Nya. Pengaruh tersebut akan mengaliri seluruh sendi-sendi hidup manusia, dan

berbaur kedalam budaya yang khas atas masing-masing umat serta menjadi

elemen inti dari tiaptiap manusia.

Dengan demikian seluruh tindakan dan aktifitas yang dilakukan harus

dikarenakan atas Allah. Bukan hanya dalam bentuk ibadah melainkan juga dalam

segala kegiatan dunia. Memfokuskan kehidupan kita pada satu tujuan, yaitu

tauhid, akan membuat kita menjadi lebih efisien.12 Seluruh tindakan dan tujuan

kita menjadi koheren karena memiliki lebih dari satu tujuan akhir akan mencegah

kapabilitas kita menjadi berbagai bagian dan tentunya akan menghalangi

kesuksesan. Kita tidak bisa berdoa dan beribadah kepada Allah, sementara kita

pun melakukan pola konsumsi yang mengakibatkan sikap boros. Beribadah pada

Allah akan menghapus sikap boros dalam diri kita.

Religiusitas berarti komitmen penuh kepada Allah dan kepercayaan bahwa

tiada Tuhan selain Allah, dan dengan keyakinan tersebut kita tidak membiarkan

tujuan dan segala tindakan kita terpecah menjadi dua tujuan yaitu kehidupan

dunia dan kehidupan akhirat.

3. Pengertian Religiusitas Berdasarkan Para Pakar

12
Jabnour. Naceur, Islam and Manajemen, Riyadh: International Islamic Publishing House,
2005, hlm.39 : pada Thesis S2, Erike Anggraini, “Hubungan Religiusitas Terhadap etos Kerja dan
Produktifitas Karyawan”.
17

Manusia dibekali oleh Allah beberapa potensi dasar yang sangat membantu

manusia dalam melakukan kegiatan-kegiatan hidupnya. Potensi tersebut berupa

potensi ragawi atau fisik, potensi nalar atau akal, dan potensi hati nurani atau

qalbu. Kebutuhan pengembangan ketiga potensi dasar manusia tersebut akan

memberikan kualitas manusia yang utuh. Disitulah pentingnya peranan agama

dan moral. Dan apabila pengembangan potensi dasar tersebut tidak dilakukan

secara seimbang dan harmoni maka akan menimbulkan gejala-gejala sekunder

aspek kejiwaan dan rohani, seperti munculnya manusia pecah kepribadian dan

krisis dimensi, contohnya manusia privat dan egosentris.

Mayarakat selain sekelompok masyarakat yang tinggal disuatu daerah, juga

berperan sebagai manusia yang memiliki kebutuhan dan keinginan, baik

masyarakat mampu maupun tidak mampu dan juga kebutuhan sesuai kebutuhan

hidup ataupun keinginan untuk memiliki. Masing-masing masyarakat memiliki

sifat dan kepribadian yang berbeda-beda, yang terpengaruh oleh berbagai sistem

nilai dan secara langsung ataupun tak langsung akan berpengaruh terhadap pola

konsumsi masyarakat. Salah satu sistem nilai itu adalah agama. Agama yang

dianggap sebagai suatu jalan hidup bagi manusia (way of life) menuntun manusia

agar hidupnya tidak kacau. Agama berfungsi untuk memelihara dan mengatur

integritas manusia dalam membina hubungan dengan Tuhan hubungan dengan

sesama manusia dan dengan alam yang mengintarinya. Hal ini seperti yang

dikemukakan oleh Quraish Shihab bahwa karakteristik agama adalah hubungan

makhluk dengan pencipta, yang terwujud dalam sikap batinnya, tampak dalam
18

ibadah yang dilakukannya. Dari pernyataan Quraish Shihab dapat dikatakan

bahwa agama tidak hanya bersikap vertikal dalam artian hanya hubungan manusia

dengan tuhannya saja atau sebatas ritual ibadah saja. Akan tetapi, agama juga

bersifat horizontal yaitu agama mengajarkan kepada umatnya bagaimana

berhubungan dengan sesama manusia dan juga alam sekitarnya.13

Menurut Mangun wijaya pembicaraan mengenai religiussitas tidak terlepas

dari pembicaraan tentang agama karna walaupun memiliki pengertian yang

berbeda, yaitu religiusitas menunjuk pada aspek religi yang telah dihayati oleh

individu didalam hati, sedangkan agama menunjuk pada aspek formal yang

berkaitan dengan aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban, namun kedua aspek itu

saling mendukung.14

Religiusitas adalah seberapa pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa

pelaksanaan ibadah, dan seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianut

oleh seseorang.15

Religiusitas umumnya bersifat individual. Tetapi karena religiusitas yang

dimiliki umunya selalu menekankan pada pendekatan keagamaan bersifat pribadi,

hal ini senantiasa mendorong seseorang untuk mengembangkan dan menegaskan

keyakinan itu dalam sikap, tingkah laku, dan praktek keagamaan yang dianutnya.

13
Nashori Fuad, Agenda Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2002, hlm.68 : pada
Thesis S2, Erike Anggraini, “Hubungan Religiusitas Terhadap Etos Kerja dan Produktifitas
Karyawan”.
14
Thahir Andi, Hubungan Religiusitas dan Suasana Rumah Dengan Kecerdasan Emosional
Pada Remaja Akhir, Tesis S2, Yogyakarta: Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
2004, hlm.9
15
Ibid, hlm.71
19

Inilah sisi sosial (kemasyarakatan) yang menjadi unsur pemeliharaan dan

pelestarian sikap para individu yang menjadi anggota masyarakat tersebut.

Religiusitas atau sikap keagamaan yang dimiliki oleh seorang individu

terbentuk oleh teradisi keagamaan merupakan bagian dari pernyataan jati diri

individu tersebut dalam kaitan dengan agama yang dianutnya. Religiusitas ini

akan ikut mempengaruhi cara berfikir, cita rasa, ataupun penilaian seseorang

terhadap sesuatu yang berkaitan dengan agama. Teradisi keagamaan dalam

pandangan Robert C. Monk yang disitir kembali oleh Jalaludin, 16 memiliki dua

fungsi utama yang mempunyai peran ganda, yaitu bagi masyarakat maupun

individu. Fungsi yang pertama, adalah sebagai kekuatan yang mampu membuat

kestabilan dan keterpaduan masyarakat maupun individu. Sedangkan individu

yang kedua tradisi keagamaan berfungsi sebagai agen perubahan dalam

masyarakat atau diri individu bahkan dalam situasi terjadinya konflik sekalipun.

Religiusitas menurut Japar dapat dimaknakan sebagai kualitas penghayatan

seseorang dalam beragama atau dalam memeluk agama yang diyakininya,

semakin dalam seseorang dalam beragama makin religius dan sebaliknya semakin

dangkal seseorang dalam beragama akan makin kabur religiusitasnya. Seseorang

dalam keberagamaan secara intens akan menjadikan agama sebagai pembimbing

perilaku, sehingga perilakunya selalu diorientasikan dan didasarkan pada ajaran

agama yang diyakininya tersebut.17

16
Jalaludin Rahmat, Psikologi Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, hlm.191
17
Japar.M, “Kebermaknaan Hidup dan religiusitas Pada Masa Lanjut Usia” refleksi No. 007
th IV, Yogyakarta, 1999,hlm.32
20

Keyakinan beragama menjadi bagian yang integral dari kepribadian

seseorang. Keyakinan itu akan mengawasi segala tindakan perkataan bahkan

perasaan. Pada saat seseorang tertarik pada sesuatu yang tampaknya

menyenangkan, maka keimanannya akan cepat bertindak menimbang dan

meneliti apakah hal tersebut boleh atau tidak oleh agamanya.18

4. Aspek-aspek Religiusitas

Kriteria orang yang mampu menerapkan aspek religiusitas:19

a. Kemampuan Melakukan Differensiasi

Artinya kemampuan dengan baik dimaksudkan sebagai individu dalam

bersikap dan berperilaku terhadap agama secara obyektif, kritis, berfikir

secara terbuka. Individu yang memiliki sikap religiusitas tinggi yang mampu

melakukan diferensiasi, akan mampu menempatkan aspek rasional sebagai

salah satu bagian dari kehidupan beragamanya, sehingga pemikiran tentang

agama menjadi lebih kompleks dan realistis.

b. Berkarakter Dinamis

Apabila individu telah berkarakter dinamis, agama telah mampu

mengontrol dan mengarahkan motif- motif dan aktivitisnya. Aktivitas

keagamaan semuanya dilakukan demi kepentingan agama itu sendiri.

c. Integral

18
Anggasari, “Hubungan Tingkat Religiusitas Dengan Sikap Konsumtif pada Ibu Rumah
Tangga” Jurnal Psikologi no.4 th II, Yogyakarta, 1997, hlm.17
19
Abdul Wahib, Psikologi Agama Pengantar Memahami Perilaku Agama, Semarang: Karya
Abadi Jaya, 2015, hlm 112
21

Keberagaman yang matang akan mampu mengintegrasikan atau

menyatukan sisi religiusitasnya dengan segenap aspek kehidupan termasuk

sosial, ekonomi.

d. Sikap Berimbang Antara Kesenangan Dunia Tanpa Melupakan Akhirat.

Seorang yang memiliki sikap religiusitas tinggi akan mampu

menempatkan diri antara batas kecukupan dan batas kelebihan. 20 Sikap

religiusitas dalam hal perilaku konsumtif berdasarkan kepada akhlak

seseorang. Akhlak dan rasional menempati posisi puncak yang menjadi

tumpuan para pelaku ekonomi dan bisnis dalam melakukan aktivitasnya.21

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Religiusitas.

Religiusitas seseorang tidak hanya ditampakkan dengan sikap yang

tampak, namun juga sikap yang tidak tampak yang terjadi dalam hati

seseorang. Oleh sebab itu terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi

religiusitas seseorang. Faktor-faktor yang sudah diakui bisa menghasilkan

sikap keagamaan, faktor-faktor itu terdiri dari empat kelompok utama:

pengaruh-pengaruh sosial, berbagai pengalaman, kebutuhan dan proses

pemikiran.

20
Abdullah Abdul Husain at tariqi. Ekonomi Islam Prinsip,Dasar,Dan Tujuan. Yogyakarta:
Magistra Insania Press, 2004. Hlm 13
21
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islam Edisi Ketiga. Jakarta: Pt RajaGrafindo Persada,
2008, hlm 34
22

Thouless27 menyebutkan beberapa faktor yang mungkin ada dalam

perkembangan sikap keagamaan akan dibahas secara lebih rinci, yaitu:

a. Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial (faktor

sosial). Faktor sosial dalam agama terdiri dari berbagai pengaruh terhadap

keyakinan dan perilaku keagamaan, dari pendidikan yang kita terima pada

masa kanak-kanak, berbagai pendapat dan sikap orang-orang di sekitar

kita, dan berbagai tradisi yang kita terima dari masa lampau.

b. Berbagai pengalaman yang membantu sikap keagamaan, terutama

pengalaman-pengalaman mengenai:

1) Keindahan, keselarasan, dan kebaikan di dunia lain (faktor alami). Pada

pengalaman ini yang dimaksud faktor alami adalah seseorang mampu

menyadari bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah karena

Allah SWT, misalnya seseorang sedang mengagumi keindahan laut,

hutan dan sebagainya.

2) Konflik moral (faktor moral), pada pengalaman ini seseorang akan

cenderung mengembangkan perasaan bersalahnya ketika dia berperilaku

yang dianggap salah oleh pendidikan sosial yang diterimanya, misalnya

ketika seseorang telah mencuri dia akan terus menyalahkan dirinya atas

perbuatan mencurinya tersebut karena jelas bahwa mencuri adalah

perbuatan yang dilarang.


23

3) Pengalaman emosional keagamaan (faktor afektif), dalam hal ini

misalnya ditunjukkan dengan mendengarkan khutbah di masjid pada

hari jum’at, mendengarkan pengajian dan ceramah-ceramah agama.

c. Faktor-faktor yang seluruhnya atau sebagian timbul dari kebutuhan-

kebutuhan yang tidak terpenuhi, terutama kebutuhan-kebutuhan terhadap:

1) keamanan, 2) cinta kasih, 3) harga diri, dan 4) ancaman kematian. Pada

faktor ini, untuk mendukung ke empat kebutuhan yang tidak terpenuhi

yang telah disebutkan, maka seseorang akan menggunakan kekuatan

spiritual untuk mendukung. Misal dalam ajaran agama Islam dengan

berdo’a meminta keselamatan dari Allah SWT.

d. Berbagai proses pemikiran verbal (faktor intelektual). Dalam hal ini berfikir

dalam bentuk kata-kata sangat berpengaruh untuk mengembangkan sikap

keagamaannya, misalnya ketika seseorang mampu mengeluarkan

pendapatnya tentang yang benar dan yang salah menurut ajaran agamanya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa religiusitas atau keberagamaan seseorang

ditentukan oleh banyak faktor, tidak hanya keluarga yang mempengaruhi

keberagamaan seseorang yang sejak kecil mengenalkan atau tidak

mengenalkan tentang agama, namun juga banyak faktor yang ada di luar

sana yang mampu mempengaruhi keberagamaan seseorang seiring dengan

pertumbuhan dan perkembangan diri seseorang itu sendiri.

C. Pengemis
24

1. Pengertian Pengemis

Pengemis adalah orang yang mendapatkan penghasilan denganmeminta-minta

dimuka umum dengan berbagai cara dan asalan untukmengharap belas kasihan orang

lain. Sedangkan gelandangan pengemis adalah seseorang yang hidup mengelandang

dan sekaligus mengemis. Pengemis kebanyakan adalah orang orang yang hidup

mengelandang. Istilah gelandangan berasal dari kata gelandangan, yang artinya selalu

berkeliaran atau tidak pernah mempunyai tempat kediaman tetap. Pada umumnya

para gelandangan adalah kaum urban yang berasal dari desa dan mencoba nasib dan

peruntungannya di kota, namun tidak didukung oleh tingkat pendidikan yang cukup,

keahlian pengetahuan spesialisasi dan tidak mempunyai modal uang. Sebagai

akibatnya, mereka bekerja serabutan dan tidak tetap, terutama di sektor informal.22

Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan

meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alas an untuk mengharap

belas kasihan orang lain. Weinberg menggambarkan bagaimana pengemis yang

masuk dalam kategori orang miskin di perkotaan sering mengalami praktek

diskriminasi dan pemberian stigma yang negatif.Dalam kaitannya dengan ini,

Rubington & Weinberg menyebutkan bahwa pemberian stigma negatif justru

menjauhkan orang pada kumpulan masyarakat pada umumnya.23

Pengemis pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang masuk

dalam kategori menggelandang dan mengemis untuk bertahan hidup, dan mereka
22
Miftachul Huda, Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009) h. 29
23
Tangdilintin, Paulus. Masalah-Masalah Sosial (Suatu Pendekatan Analisis Sosiologis).
(Jakarta :Pusat Penerbitan Universitas Terbuka ,2000), h.1-5
25

yang menggelandang dan mengemis karena malas dalam bekerja. pengemis pada

umumnya tidak memiliki kartu identitas karena takut atau malu dikembalikan ke

daerah asalnya, sementara pemerintah kota tidak mengakui dan tidak mentolerir

warga kota yang tidak mempunyai kartu identitas. Sebagai akibatnya perkawinan

dilakukan tanpa menggunakan aturan dari pemerintah, yang sering disebut dengan

istilah kumpul kebo (living together out of wedlock). Praktek ini mengakibatkan

anak-anak keturunan mereka menjadi generasi yang tidak jelas, karena tidak

mempunyai akte kelahiran. Sebagai generasi yang frustasi karena putus hubungan

dengan kerabatnya di desa.24

2. Karakteristik Pengemis

a. Anak sampai usia dewasa (laki-laki/perempuan) usia 18 sampai 59 tahun.

b. Meminta-minta dirumah penduduk, pertokoan, persimpangan jalan (lampu

lalu lintas), pasar, tempat ibadah dan tempat umum lainnya.

c. Bertingkahlaku untuk mendapatkan belas kasihan; berpura-pura sakit,

merintih dan kadang-kadang mendoakan dengan bacaan-bacaan ayat suci,

sumbangan untuk organisasi tertentu.

d. Biasanya mempunyai tempat tinggal tertentu atau tetap, membaur dengan

penduduk pada umumnya.

3. Faktor-faktor munculnya pengemis

24
Muhammad Suud, 3 Orientasi Kesejahteraan Sosial, (Surabaya: Presatsi Pustaka, 2008),
h. 8
26

Faktor munculnya pengemis erat kaitannya dengan kemiskinan yang terjadi di

masyarakat. Suharto menyebutkan bahwa, “kemiskinan secara sosial-psikologis

menunjuk pada kekurangan jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam

mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Dimensi

kemiskinan ini juga dapat diartikan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh adanya

faktor-faktor penghambat yang mencegah atau merintangi seseorang dalam

memanfaatkan kesempatankesempatan yang ada di masyarakat. Faktor-faktor

penghambat tersebut secara umum meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor

internal datang dari dalam diri si miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan atau

adanya hambatan budaya”.

Alasan dasar yang menjadi penyebab adanya pengemis yaitu faktor ekonomi.

Faktor ekonomi memengaruhi hampir seluruh bagian kehidupan masyarakat. Mereka

yang kekurangan dalam hal ekonomi akan mencari berbagai cara untuk memperbaiki

hidupnya, dana salah satu cara yang digunakan yaitu mengemis. Kondisi ekonomi

yang rendah inilah yang sering orang sebut kemiskinan, sebagian masyarakat yang

tidak dapat menerima kondisi kemiskinan ini merasa menderita dan membenci

kemiskinan.

Menurut Soekanto, faktor-faktor yang menyebabkan mereka membenci

kemiskinan adalah kesadaran bahwa mereka telah gagal untuk memperoleh lebih dari

apa yang telah dimilikinya dan perasaan atas ketidakadilan. Pada masyarakat modern

yang rumit, kemiskinan menjadi suatu masalah sosial karena sikap yang membenci

kemiskinan tadi. Seseorang bukan merasa miskin karena kurang makan, pakaian atau
27

perumahan, tetapi karena harta miliknya dianggap tidak cukup untuk memenuhi taraf

kehidupan yang ada. Sedangkan Kartono, menyebutkan bahwa masalah-masalah

sosial pada hakikatnya juga merupakan fungsi-fungsi struktural dari totalitas sistem

sosial, yaitu berupa produk atau konsekuensi yang tidak diharapkan dari satu sitem

sosio-kultural.

Kebencian terhadap kemiskinan ini yang kemudian mengubah pola hidup

masyarakat, sikap hingga cara pandang mereka dalam menghadapi masalah yang ada,

jika hanya disikapi dengan memintaminta akan menciptakan yang namanya

kebudayaan meminta-minta. Kebudayaan meminta-minta bukan hanya disebabkan

karena kondisi seseorang yang tidak dapat mencari cara lain selain meminta tetapi

juga karena sikap mental yang ada dalam diri mereka adalah memintaminta, mereka

malas atau kurang dalam berusaha dengan cara lain selain meminta-minta, sehingga

sifat ini menjadi membudaya. Perilaku meminta-minta yang semakin lama menjadi

sebuah budaya yang dilakukan oleh mereka yang merasa miskin adalah suatu bentuk

kebudayaan kemiskinan.

Menurut Oscar Lewis dalam Suparlan, kebudayaan kemiskinan merupakan

suatu adaptasi atau penyesuaian dan sekaligus juga merupakan reaksi kaum miskin

terhadap kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang berstrata kelas,

sangat individualistis, dan berciri kapitalisme. Kebudayaan tersebut mencerminkan

suatu upaya mengatasi rasa putus asa dan tanpa harapan, yang merupakan

perwujudan dari kesadaran bahwa mustahil dapat meraih sukses di dalam kehidupan

sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan masyarakat yang lebih luas.


28

Sikap meminta-minta yang telah membudaya menjadikan masyarakat miskin

terbiasa dengan mengemis. Sikap mengemis itu sendiri karena individu tersebut

memiliki pribadi malas bekerja dan megharapkan hasil dengan meminta-minta.

Sistem kepribadian mengenai isi jiwa dan watak individu yang berinteraksi sebagai

warga masyarakat. Kepribadian individu dalam suatu masyarakat, walaupun berbeda-

beda satu sama lain, namun juga distimulasi dan dipengaruhi oleh nilai dan norma

dalam sistem budaya, serta oleh pola-pola bertindak dalam sistem sosial yang telah

diinternalisasinya melalui proses sosialisasi dan proses pembudayaan selama hidup

sejak masa kecilnya. Dengan demikian, sistem kepribadian manusia berfungsi sebagai

sumber motivasi dari tindakan sosialnya.

Selain itu salah satu faktor penghambat yang datang dari dalam diri seseorang

atau sekelompok orang sebagai pengemis, misalnya rendahnya tingkat pendidikan

atau karena adanya hambatan budaya. Kemiskinan ini dapat muncul sebagai akibat

nilai-nilai dan kebudayaan yang dianut oleh sekelompok orang itu sendiri. Menurut

Rochatun, ada banyak faktor yang mendorong seseorang menjadi pengemis, di

antaranya sebagai berikut:

a. Faktor ketidakberdayaan, kefakiran, dan kemiskinan yang dialami oleh orang-

orang yang mengalami kesulitan untuk mencukupi kebutuhan keluarga sehari-

hari. Karena mereka memang tidak memiki gaji tetap, santunan-santunan rutin

atau sumber-sumber kehidupan yang lain. Sementara mereka sendiri tidak

memiliki keterampilan atau keahlian khusus yang dapat mereka manfaatkan

untuk menghasilkan uang. Misalnya anak-anak yatim, orang-orang yang


29

menyandang cacat, orang-orang yang menderita sakit menahun, janda-janda

miskin.

b. Faktor kesulitan ekonomi yang tengah dihadapi oleh orang-orang yang

mengalami kerugian harta cukup besar. Contohnya seperti para pengusaha

yang tertimpa bangkrut, para pedagang yang rugi atau para petani yang gagal

panen secara total.

c. Faktor musibah yang menimpa suatu keluarga atau masyarakat seperti

kebakaran, banjir, gempa, penyakit menular, dan lainnya sehingga mereka

terpaksa harus minta-minta.

d. Faktor-faktor yang datang belakangan tanpa disangka-sangka sebelumnya.

Contohnya seperti orang-orang yang secara mendadak harus menanggung

hutang kepada berbagai pihak tanpa sanggup membayarnya.

Dari beberapa faktor di atas dapat disimpulkan bahwa adanya pengemis selain

disebabkan karena faktor ekonomi juga karena pola fikir mereka yang tidak mau

bekerja keras, ketidakberdayaan melakukan pekerjaan lain dan kebiasaan yang sudah

dilakukan secara terus menerus.

4. Komunitas Pengemis

Pengemis adalah salah satu kelompok yang terpinggirkan dari pembangunan,

dan di sisi lain memiliki pola hidup yang berbeda dengan masyarakat secara umum.

Mereka hidup terkonsentrasi di sentra-sentra kumuh di perkotaan.Sebagai kelompok

marginal, pengemis tidak jauh dari berbagai stigma yang melekat pada masarakat

sekitarnya. Stigma ini mendeskripsikan pengemis dengan citra yang negatif.


30

Pengemis dipersepsikan sebagai orang yang merusak pemandangan dan

ketertiban umum seperti kotor, sumber kriminal, tanpa norma, tidak dapat dipercaya,

tidak teratur, penipu, pencuri kecil-kecilan, malas, apatis, bahkan disebut sebagai

sampah masyarakat.25

Pandangan semacam ini mengisyaratkan bahwa pengemis, dianggap sulit

memberikan sumbangsih yang berarti terhadap pembangunan kota karena

mengganggu keharmonisan, keberlanjutan, penampilan, dan konstruksi masyarakat

kota. Hal ini berarti bahwa pengemis, tidak hanya menghadapi kesulitan hidup dalam

konteks ekonomi, tetapi juga dalam konteks hubungan sosial budaya dengan

masyarakat kota. Akibatnya komunitas pengemis harus berjuang menghadapi

kesulitan ekonomi, sosial psikologis dan budaya.Namun demikian, pengemis

memiliki potensi dan kemampuan untuk tetap mempertahankan hidup dan memenuhi

kebutuhan keluarganya.Indikasi ini menunjukkan bahwa pengemis mempunyai

sejumlah sisi positif yang bisa dikembangkan lebih lanjut.

25
Edi Suharto, Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat, (Bandung :PT. Refika
Aditama, 2009), h. 12

Anda mungkin juga menyukai