Anda di halaman 1dari 14

Makalah

TAFSIR AYAT ALQURAN


TENTANG TUJUAN PENDIDIKAN
Dosen pengampu :

Mariaty Podungge M.Pd

Nama-nama Kelompok :

Ilham Muhammad nur maspeke

Siti Fanisa Gobel

Dini ishak

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

IAIN SULTAN AMAI GORONTALO

2021-2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta
inayah-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik tanpa ada
halangan apapun.

Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada baginda Nabi Agung Muhammad
SAW, sahabat dan keluarganya sebagai pencerah kehidupan manusia. Semoga kita selalu
dilimpahkan rahmat dan karunia-nya dalam mengarungi kehidupan ini.

Dalam penulisan ini pemakalah juga tak lupa mengucapkan terima kasih kepada dosen
pengampu mata kuliah Tafsir Tarbawi yaitu Ibu Mariaty Podungge M.Pd yang telah
memberikan tugas makalah ini kepada kami yaitu makalah dengan “ tafsir ayat Al-Qur’an
tentang tujuan pendidikan
Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca untuk memperdalam
pengetahuannya.

Amin yan Rabbal ‘Alamin


Wassalamualaikum Wr. Wb

DAFTAR ISI

KATA
PENGANTAR....................................................................................................................i
DAFTARISI.................................................................................................................................
.ii
BAB 1
PENDHULUAN………………………………………………………………….………1
A.Latar
belakang.....................................................................................................................1
B. Rumusan
masalah..................................................................................................................2
C.Tujuan....................................................................................................................................3

BAB2
PEMBAHASAN.................................................................................................................2

1. Kandungan Al-Qur’an Surat al-Dzariyat [51] ayat


2. Al-Qur’an Surat al-Baqarah [2] ayat 247
3. Kandungan Al-Qur’an Surat al-Qashash [28] ayat 26
4. ANALISIS KRITIS AYAT-AYAT TUJUAN PENDIDIKAN

BAB 3
PENUTUP.........................................................................................................................3

A. Kesimpulan........................................................................................................................
...5
B. Kritik dan
saran.....................................................................................................................6
DAFTAR
PUSTAKA...................................................................................................................iii

PENDAHULUAN

Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang


benar dan berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk yang
akhirnya memunculkan kehidupan sosial yang bermoral. Sayangnya,
sekalipun institusi-institusi pendidikan saat ini memiliki kualitas dan
fasilitas, namun institusi-institusi tersebut masih belum memproduksi
individu-individu yang beradab. Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang
mengarah kepada terbentuknya manusia yang beradab, terabaikan dalam
tujuan institusi pendidikan.

Penekanan kepada pentingnya anak didik supaya hidup dengan nilai-


nilai kebaikan, spiritual dan moralitas seperti terabaikan. Bahkan kondisi
sebaliknya yang terjadi. Saat ini, banyak institusi pendidikan telah berubah
menjadi industri bisnis, yang memiliki visi dan misi yang pragmatis.
Pendidikan diarahkan untuk melahirkan individu-individu pragmatis yang
bekerja untuk meraih kesuksesan materi dan profesi sosial yang akan
memakmuran diri, perusahaan dan Negara. Pendidikan dipandang secara
ekonomis dan dianggap sebagai sebuah investasi. Gelar dianggap sebagai
tujuan utama, ingin segera dan secepatnya diraih supaya modal yang
selama ini dikeluarkan akan menuai keuntungan. Sistem pendidikan
seperti ini sekalipun akan memproduksi anak didik yang memiliki status
pendidikan yang tinggi, namun status tersebut tidak akan menjadikan
mereka sebagai individu-individu yang beradab. Pendidikan yang
bertujuan pragmatis dan ekonomis sebenarnya merupakan pengaruh dari
paradigma pendidikan Barat yang sekular.

Dalam budaya Barat sekular, tingginya pendidikan seseorang tidak


berkorespondensi dengan kebaikan dan kebahagiaan individu yang
bersangkutan. Dampak dari hegemoni pendidikan Barat terhadap kaum
Muslimin adalah banyaknya dari kalangan Muslim memiliki pendidikan
yang tinggi, namun dalam kehidupan nyata, mereka belum menjadi
Muslim-Muslim yang baik dan berbahagia. Masih ada kesenjangan antara
tingginya gelar pendidikan yang diraih dengan rendahnya moral serta
akhlak kehidupan Muslim. Ini terjadi disebabkan visi dan misi pendidikan
yang pragmatis. Sebenarnya, agama Islam memiliki tujuan yang lebih
komprehensif dan integratif dibanding dengan sistem pendidikan sekular
yang semata-mata menghasilkan para anak didik yang memiliki paradigma
yang pragmatis.

Dalam makalah ini penulis berusaha menggali dan mendeskripsikan


tujuan pendidikan dalam Islam secara induktif dengan melihat dalil-dalil
naqli yang sudah ada dalam al-Qur’an maupun al-Hadits, juga
memadukannya dalam konteks kebutuhan dari masyarakat secara umum
dalam pendidikan, sehingga diharapkan tujuan pendidikan dalam Islam
dapat diaplikasikan pada wacana dan realita kekinian.

II. PEMBAHASAN

1. Kandungan Al-Qur’an Surat al-Dzariyat [51] ayat 56

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya


mereka mengabdi kepada-Ku.” (Q.S. al-Dzariyat [51] : 56)

Ayat ini dengan sangat jelas mengabarkan kepada kita bahwa tujuan
penciptaan jin dan manusia tidak lain hanyalah untuk
“mengabdi” kepada Allah SWT. Dalam gerak langkah dan hidup
manusia haruslah senantiasa diniatkan untuk mengabdi kepada Allah.
Tujuan pendidikan yang utama dalam Islam menurut Al-Qur’an adalah
agar terbentuk insan-insan yang sadar akan tugas utamanya di dunia ini
sesuai dengan asal mula penciptaannya, yaitu sebagai abid. Sehingga
dalam melaksanakan proses pendidikan, baik dari sisi pendidik atau
anak didik, harus didasari sebagai pengabdian kepada Allah SWT
semata.

Mengabdi dalam terminologi Islam sering diartikan dengan


beribadah. Ibadah bukan sekedar ketaatan dan ketundukan, tetapi ia
adalah satu bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya
akibat adanya rasa keagungan dalam jiwa seseorang terhadap siapa yang
kepadanya ia mengabdi. Ibadah juga merupakan dampak keyakinan
bahwa pengabdian itu tertuju kepada yang memiliki kekuasaan yang
tidak terjangkau dan tidak terbatas. [1] Ibadah dalam pandangan ilmu
Fiqh ada dua yaitu ibadah mahdloh dan ibadah ghoiru mahdloh. Ibadah
mahdloh adalah ibadah yang telah ditentukan oleh Allah bentuk, kadar
atau waktunya seperti halnya sholat, zakat, puasa dan haji. Sedangkan
ibadah ghoiru mahdloh adalah sebaliknya, kurang lebihnya yaitu segala
bentuk aktivitas manusia yang diniatkan untuk memperoleh ridho dari
Allah SWT.

Segala aktivitas pendidikan, belajar-mengajar dan sebagainya adalah


termasuk dalam kategori ibadah. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW
:

)‫طلب العلم فريضة على كل مسلم و مسلمة (رواه ابن عبد البر‬

“Menuntut ilmu adalah fardlu bagi tiap-tiap orang-orang Islam laki-


laki dan perempuan” (H.R Ibn Abdulbari)

)‫من خرج فى طلب العلم فهو فى سبيل هللا حتى يرجع (رواه الترمذى‬

“Barangsiapa yang pergi untuk menuntut ilmu, maka dia telah


termasuk golongan sabilillah (orang yang menegakkan agama Allah)
hingga ia sampai pulang kembali”. (H.R. Turmudzi)[2]

Pendidikan sebagai upaya perbaikan yang meliputi keseluruhan


hidup individu termasuk akal, hati dan rohani, jasmani, akhlak, dan
tingkah laku. Melalui pendidikan, setiap potensi yang di anugerahkan
oleh Allah SWT dapat dioptimalkan dan dimanfaatkan untuk
menjalankan fungsi sebagai khalifah di muka bumi. Sehingga
pendidikan merupakan suatu proses yang sangat penting tidak hanya
dalam hal pengembangan kecerdasannya, namun juga untuk membawa
peserta didik pada tingkat manusiawi dan peradaban, terutama pada
zaman modern dengan berbagai kompleksitas yang ada.

Dalam penciptaaannya, manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan


dengan dua fungsi, yaitu fungsi sebagai khalifah di muka bumi dan
fungsi manusia sebagai makhluk Allah yang memiliki kewajiban untuk
menyembah-Nya. Kedua fungsi tersebut juga dijelaskan oleh Allah SWT
dalam firman-Nya berikut, “…’Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi’…” [Q.S Al-
Baqarah(2): 30]. Ketika Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di
muka bumi dan dengannya Allah SWT mengamanahkan bumi beserta
isi kehidupannya kepada manusia, maka manusia merupakan wakil
yang memiliki tugas sebagai pemimpin dibumi Allah.

Ghozali melukiskan tujuan pendidikan sesuai dengan pandangan


hidupnya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yaitu sesuai
dengan filsafatnya, yakni memberi petunjuk akhlak dan pembersihan
jiwa dengan maksud di balik itu membentuk individu-individu yang
tertandai dengan sifat-sifat utama dan takwa.[3]

Dalam khazanah pemikiran pendidikan Islam, pada umumnya para


ulama berpendapat bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah ”untuk
beribadah kepada Allah SWT”. Kalau dalam sistem pendidikan
nasional, pendidikan diarahkan untuk mengembangkan manusia
seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa, maka dalam
konteks pendidikan Islam justru harus lebih dari itu, dalam arti,
pendidikan Islam bukan sekedar diarahkan untuk mengembangkan
manusia yang beriman dan bertaqwa, tetapi justru berusaha
mengembangkan manusia menjadi imam/pemimpin bagi orang
beriman dan bertaqwa (waj’alna li al-muttaqina imaama).

Untuk memahami profil imam/pemimpin bagi orang yang bertaqwa,


maka kita perlu mengkaji makna takwa itu sendiri. Inti dari makna
takwa ada dua macam yaitu; itba’ syariatillah (mengikuti ajaran Allah
yang tertuang dalam al-Qur’an dan Hadits) dan sekaligus itiba’
sunnatullah (mengikuti aturan-aturan Allah, yang berlalu di alam ini),
Orang yang itiba’ sunnatullah adalah orang-orang yang memiliki
keluasan ilmu dan kematangan profesionalisme sesuai dengan bidang
keahliannya. Imam bagi orang-orang yang bertaqwa, artinya disamping
dia sebagai orang yang memiki profil sebagai itba’ syaria’tillah sekaligus
itba’ sunnatillah, juga mampu menjadi pemimpin, penggerak,
pendorong, inovator dan teladan bagi orang-orang yang bertaqwa. [4]

2. Kandungan Al-Qur’an Surat al-Baqarah [2] ayat 247

“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah


Telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.” mereka menjawab:
“Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak
mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak
diberi kekayaan yang cukup banyak?” nabi (mereka) berkata:
“Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya
ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan
pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha
luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah [2] :
247)

Ayat ini menerangkan mengenai kisah pengangkatan Thalut sebagai


raja Bani Israil. Allah menceritakan kisah ini dengan sangat indah,
dimana orang yang berpendidikan dan mempunyai fisik kuatlah yang
pantas menjadi pemimpin dan melaksanakan titah sebagai khalifah fil
ardl.

Nabi Syamuil mengatakan kepada Bani Israil, bahwa Allah SWT telah
mengangkat Thalut sebagai raja. Orang-orang Bani Israil tidak mau
menerima Thalut sebagai raja dengan alasan, bahwa menurut tradisi,
yang boleh dijadikan raja itu hanyalah dari kabilah Yahudi, sedangkan
Thalut sendiri adalah dari kabilah Bunyamin. Lagi pula disyaratkan
yang boleh menjadi raja itu harus seorang hartawan, sedang Thalut
sendiri bukan seorang hartawan. Oleh karena itu secara spontan mereka
membantah, “Bagaimana Thalut akan memerintah kami, padahal kami
lebih berhak untuk mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang
dia pun tidak diberi kekayaan yang cukup untuk menjadi raja?”

Nabi Syamuil menjawab bahwa Thalut diangkat menjadi raja atas


pilihan Allah SWT karena itu Allah menganugerahkan kepadanya ilmu
yang luas dan tubuh yang perkasa sehingga ia mampu untuk memimpin
Bani Israil. Dari ayat ini diambil pengertian bahwa seorang yang akan
dijadikan raja ataupun pemimpin itu hendaklah memiliki sifat-sifat
sebagai berikut:

1. Kekuatan fisik sehingga mampu untuk melaksanakan tugasnya


sebagai kepala negara.
2. Ilmu pengetahuan yang luas, mengetahui di mana letaknya
kekuatan umat dan kelemahannya, sehingga dapat memimpinnya
dengan penuh kebijaksanaan.
3. Kesehatan jasmani dan kecerdasan pikiran.
4. Bertakwa kepada Allah supaya mendapat taufik daripada-Nya
untuk mengatasi segala kesulitan yang tidak mungkin diatasinya
sendiri kecuali dengan taufik dan hidayah-Nya. [5]
Manusia sebagai khalifah di bumi bisa melaksanakan amanah
memakmurkan bumi jika manusia tersebut mempunyai 4 karakter
diatas. Karakter-karakter tersebut hanya bisa diperoleh dengan
pendidikan yang baik dan usaha yang terus menerus. Pendidikan
jasmani akan menghasilkan raga yang sehat, kuat dan tangguh.
Pendidikan rohani akan menghasilkan pengetahuan yang luas, akhlak
yang baik dan ketaqwaan kepada Sang Kholik. Kedua jenis pendidikan
ini saling terkait dan sama pentingnya untuk menghasilkan manusia-
manusia paripurna yang bisa mengemban amanat sebagai khalifah.
Adapun harta kekayaan tidak dimasukkan menjadi syarat untuk
menjadi raja (pemimpin) karena bila syarat-syarat yang empat tersebut
telah dipenuhi, maka mudahlah baginya untuk mendapatkan harta yang
diperlukan sebab Allah Maha Luas Pemberian-Nya lagi Maha
Mengetahui.

Hujair A.H. Sanaky menyebut istilah tujuan pendidikan Islam


dengan visi dan misi pendidikan Islam. Menurutnya sebenarnya
pendidikan Islam telah memiki visi dan misi yang ideal,
yaitu “Rohmatan Lil ‘Alamin”. Selain itu, sebenarnya konsep dasar
filosofis pendidikan Islam lebih mendalam dan menyangkut persoalan
hidup multi dimensional, yaitu pendidikan yang tidak terpisahkan dari
tugas kekhalifahan manusia, atau lebih khusus lagi sebagai penyiapan
kader-kader khalifah dalam rangka membangun kehidupan dunia yang
makmur, dinamis, harmonis dan lestari sebagaimana diisyaratkan oleh
Allah dalam al Qur’an. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang ideal,
sebab visi dan misinya adalah “Rohmatan Lil ‘Alamin”, yaitu untuk
membangun kehidupan dunia yang yang makmur, demokratis, adil,
damai, taat hukum, dinamis, dan harmonis.[6]

3 Al-Qur’an Surat al-Qashash [28] ayat 26


“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah
ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), Karena sesungguhnya
orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita)
ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”.

Rupanya orang tua itu (Nabi Syuaib) tidak mempunyai anak laki-laki


dan tidak pula mempunyai pembantu. Oleh sebab itu yang mengurus
semua urusan keluarga itu hanyalah kedua putrinya saja, sampai
keduanya terpaksa menggembala kambing mereka, di samping
mengurus rumah tangga. Terpikirlah salah seorang putri itu untuk
memintanya supaya datang memenuhi undangan bapaknya alangkah
baiknya kalau Musa yang nampaknya amat baik sikap dan budi
pekertinya dan kuat tenaganya diangkat menjadi pembantu di rumah
ini. Putri itu mengusulkan kepada bapaknya angkatlah Musa itu sebagai
pembantu kita yang akan mengurus sebagian urusan kita sebagai
penggembala kambing, mengambil air dan sebagainya. Saya lihat dia
seorang yang jujur dapat dipercaya dan kuat juga tenaganya. Usul itu
berkenan di hati bapaknya, bahkan bapaknya bukan saja ingin
mengangkatnya sebagai pembantu, malah ia hendak mengawinkan
putrinya itu dengan Musa dan sebagai maharnya Musa harus bekerja di
sana selama delapan tahun dan bila Musa menyanggupi sepuluh tahun
dengan suka rela itulah yang lebih baik. [7]

Ayat di atas mengisahkan mengenai pelarian Nabi Musa dari kejaran


tentara Fir’aun untuk dibunuh hingga akhirnya bertemu dengan dua
putri dari Nabi Syuaib dan membantunya mengambilkan air minum
untuk ternaknya. Nabi Syuaib adalah seorang pemuka agama dan
masyarakat di negeri Madyan. Konon Nabi Musa adalah seorang yang
gagah perkasa, kuat, pandai memimpin dan jujur lagi dapat dipercaya.
Karena sifat-sifat terpuji itulah yang membuat anak gadis Nabi Syuaib
terkesima dan Nabi Syuaib juga berencana menikahkan salah satu
diantara anak gadisnya dengan Nabi Musa.

Ibnu Taimiyah dalam bukunya as-Syiasah Asyriyyah merujuk pada


ayat di atas, demikian juga ucapan penguasa Mesir ketika memilih dan
mengangkat Nabi Yusuf A.S sebagai kepala badan logistik negara.
[8] “Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia (Yusuf), dia
berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari Ini menjadi seorang yang
berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami” (Q.S. Yusuf [12] :
54). Hal ini menegaskan bahwa pentingnya kedua sifat tersebut, yaitu
kuat dan dipercaya, untuk dimiliki oleh orang yang diberi amanat
mengemban tugas berat.

Pengertian kuat disini adalah kekuatan dalam berbagai aspek dan


bidang. Oleh karena itu terlebih dahulu harus dilihat bidang apa yang
akan ditugaskan kepada yang dipilih. Sedangkan kepercayaan tersebut
diatas yang dimaksud adalah integritas pribadi dari orang yang diberi
amanat. Di zaman modern sekarang ini diperlukan orang-orang yang
ahli di bidangnya masing-masing dan mempunyai integritas pribadi
yang unggul dan terpuji guna mengembangkan segala aspek kehidupan
yang lebih bermakna. Diharapkan orang mukmin mempunyai
spesialisasi tertentu di bidang iptek dan punya integritas pribadi
tangguh untuk mengembangkan ummat Islam menuju kejayaan.
Mukmin kuat dalam berbagai bidang lebih baik dibandingkan dengan
mukmin lemah, hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW : “Dari Abu
Hurairah R.A bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Orang mukmin yang
kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada orang mukmin yang
lemah, dan masing-masing mempunyai kebaikan. Gemarlah kepada
hal-hal yang berguna bagimu. Mintalah pertolongan kepada Allah
dan janganlah menjadi lemah. Jika engkau ditimpa sesuatu, jangan
berkata: Seandainya aku berbuat begini, maka akan begini dan
begitu. Tetapi katakanlah: Allah telah mentakdirkan dan terserah
Allah dengan apa yang Dia perbuat. Sebab kata-kata seandainya
membuat pekerjaan setan.” (H.R. Muslim).[9]

1. Kandungan Al-Qur’an Surat Ali Imron [3] ayat 19


“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.
Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali
sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian
(yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-
ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”

Ayat diatas menunjukkan sebagai berita dari Allah SWT yang


menyatakan bahwa tidak ada agama yang diterima dari seseorang di
sisi-Nya selain Islam, yaitu mengikuti para Rasul yang diutus oleh Allah
SWT di setiap masa, hingga diakhiri dengan Nabi Muhammad SAW
yang membawa agama yang menutup semua jalan lain kecuali jalan
yang telah ditempuhnya. Karena itu, barangsiapa yang menghadap
kepada Allah – sesudah Nabi Muhammad SAW diutus – dengan
membawa agama yang bukan syariatnya, maka hal itu tidak diterima
oleh Allah.

Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas membaca firman Allah


diatas dengan innahu yang di-kasrah-kan dan anna di-fathah-kan,
artinya “Allah telah menyatakan, begitu pula para malaikat dan orang-
orang berilmu, bahwa agama yang diridloi di sisi Allah adalah Islam”.
Sedangkan menurut jumhur ulama’, mereka membacanya kasrah,
yaitu ‘innad diina’ sebagai kalimat berita. Bacaan tersebut kedua-
duanya benar, tetapi menurut bacaan jumhur ulama lebih kuat. [10]

Kemudian Allah SWT memberitakan bahwa orang-orang yang telah


diberikan Al-Kitab kepada mereka di masa-masa yang lalu, mereka
berselisih pendapat hanya setelah hujjah ditegakkan atas mereka, yakni
sesudah para Rasul diutus kepada mereka dan kitab-
kitab samawi diturunkan buat mereka. Sebagian dari mereka merasa
dengki terhadap sebagian yang lainnya, lalu mereka berselisih pendapat
dalam perkara kebenaran. Hal tersebut terjadi karena terdorong oleh
rasa dengki, benci dan saling menjatuhkan, hingga sebagian dari mereka
berusaha menjatuhkan sebagian yang lain dengan menentangnya dalam
semua ucapan dan perbuatannya, sekalipun benar. [11] Terhadap orang-
orang yang ingkar kepada ayat-ayat Allah yang telah diturunkan, maka
sesungguhnya Allah akan membalas perbuatannya dan melakukan
perhitungan terhadapnya atas kedustaannya itu, dan akan
menghukumnya akibat ia menentang Kitab-Nya.

Keterangan di atas menunjukkan kedengkian dan kebencian umat


Yahudi dan Nasrani terhadap umat Islam pada zaman sekarang setelah
hujjah dan penjelasan datang pada mereka tentang kebenaran Islam.
Walaupun mereka diberi akal dan pengetahuan oleh Allah SWT, tetapi
karena hatinya tertutup oleh rasa sombong dan dengki terhadap Islam
sehingga tidak mau menerima kebenaran Islam. Pengetahuan yang
mereka peroleh digunakan untuk menuruti hawa nafsu mereka belaka,
seperti dapat kita lihat di negara-negara yang mayoritas penduduknya
Yahudi dan Nasrani. Pengetahuan yang telah diperoleh untuk
memperkaya diri, menyombongkan diri bahkan saling berusaha
menguasai dan menjajah diantara satu dengan lainnya dalam segala
bidang kehidupan. Sehingga pengetahuan yang mereka peroleh kering
dari makna serta membuat semakin kehilangan arah ke-ilahi-an dan
miskin dimensi transendental.

Tujuan pendidikan ala Al-Qur’an jelas beda dengan konsep


pendidikan di Barat yang mengedepankan materialistik. Dengan bekal
pendidikan dan pengetahuan yang didapat dari proses belajar-mengajar
secara Islami diharapkan akan terbentuk muslim yang lebih tangguh,
berpengetahuan luas dan yakin akan kebenaran ajaran Islam.
Pengetahuan yang didapatpun akan lebih didayagunakan untuk
kemaslahatan umat Islam pada khususnya dan rahmatan lil
alamin pada umumnya.

III. ANALISIS KRITIS AYAT-AYAT TUJUAN PENDIDIKAN

Tujuan adalah suatu yang diharapakan tercapai setelah sesuatu


kegiatan selesai atau tujuan adalah cita, yakni suasana ideal itu nampak
yang ingin diwujudkan. Dalam tujuan pendidikan, suasana ideal itu tampak
pada tujuan akhir (ultimate aims of education). Adapun tujuan pendidikan
adalah perubahan yang diharapkan pada subjek didik setelah mengalami
proses pendidikan, baik pada tingkah laku individu dan kehidupan
pribadinya maupun kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya dimana
individu hidup, selain sebagai arah atau petunjuk dalam pelaksanaan
pendidikan, juga berfungsi sebagai pengontrol maupun mengevaluasi
keberhasilan proses pendidikan.

Sebagai pendidikan yang notabenenya Islam, maka tentunya dalam


merumuskan tujuan harus selaras dengan syari’at Islam. Adapun rumusan
tujuan pendidikan Islam yang disampaikan beberapa tokoh adalah :

1. Ahmad D Marimba; tujuan pendidikan Islam adalah; identiuk dengan


tujuan hidup orang muslim. Tujuan hidup manusia munurut Islam
adalah untuk menjadi hamba allah. Hal ini mengandung implikasi
kepercayaan dan penyerahan diri kepada-Nya .

2. Dr. Ali Ashraf; “tujuan akhir pendidikan Islam adalah manusia yang
menyerahkan diri secara mutlak kepada Allah pada tingkat individu,
masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya”.
3. Muhammad Athiyah al-Abrasy. “the fist and highest goal of Islamic is
moral refinment and spiritual, training” (tujuan pertama dan tertinggi
dari pendidikan Islam adalah kehalusan budi pekerti dan pendidikan
jiwa)”

4. Syahminan Zaini; “Tujuan Pendidikan Islam adalah membentuk


manusia yang berjasmani kuat dan sehat dan trampil, berotak cerdas
dan berilmua banyak, berhati tunduk kepada Allah serta mempunyai
semangat kerja yang hebat, disiplin yang tinggi dan berpendirian
teguh”.

Dari berbagai pendapat tentang tujuan pendidikan Islam diatas,


dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah membentuk
manusia yang sehat jasmani dan rohani serta moral yang tinggi, untuk
mencapai kebahagiaan dunia dan akherat, baik sebagai makhluk individu
maupun sebagai anggota masyarakat.

IV. KESIMPULAN

Dari uraian dan penjelasan di atas, pemakalah menyimpulkan :

1. Tujuan utama dalam pendidikan Islam adalah membentuk pribadi


muslim yang sadar akan tujuan asal mula penciptaannya, yaitu
sebagai abid (hamba). Sehingga dalam melaksanakan proses
pendidikan, baik dari sisi pendidik atau anak didik, harus
didasari sebagai pengabdian kepada Allah SWT semata, selain itu dalam
setiap gerak langkahnya selalu bertujuan memperoleh ridho dari Yang
Maha Kuasa.

2. Pendidikan Islam mempunyai misi membentuk kader-kader khalifah fil


ardl yang mempunyai sifat-sifat terpuji seperti amanah, jujur, kuat
jasmani dan mempunyai pengetahuan yang luas dalam berbagai bidang.
Diharapkan akan terbentuk muslim yang mampu mengemban tugas
sebagai pembawa kemakmuran di bumi dan “Rahmatan Lil Alamin“.

3. Secara umum tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang


sehat jasmani dan rohani serta moral yang tinggi, untuk mencapai
kebahagiaan dunia dan akherat, baik sebagai makhluk individu maupun
sebagai anggota masyarakat.

Wallahu ‘alam bisshowab


DAFTAR PUSTAKA

Al-Abrasy M. Athiyah, 1968, At-Tarbiyah al-Islamiyah (terj; Bustami


A.Goni, dan Djohar Bakry) , Jakarta : Bulan Bintang.

Al-Abrasy M. Athiyah, 1969, At-Tarbiyah al-Islamiyah wal Falsafatuha,


Isa al-Baby al-Halaby, Qahirah

Al-Attas An Naquib, 1988, Konsep Pendidikan Dalam Islam, Bandung :


Mizan.

Ali Ashraf, 1989, Horison Baru Pendidikan (Islam dan Umum), Jakarta :


Pustaka Firdaus.

Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani, 1995, Bulughul Maram, (terj; H.


Mahrus Ali), Mutiara Ilmu , Surabaya

Azra. Azyumardi, 2002, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi


Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu

Drs. H. Moh. Rifa’i, 1978, Ilmu Fiqh Islam Lengkap, Semarang : PT. Karya


Toha Putra

M. Quraisy Shihab, 2002, Tafsir al-Mishbah, Jakarta : Lentera Hati

Marimba, Ahmad D, 1989, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam,


Bandung : Al-Ma’arif.

Anda mungkin juga menyukai