KELOMPOK B1
Puji syukur penyusun ucapkan kehadiran Tuhan yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat , hidayah dan inayah-Nya kepada penyusun, sehingga
makalah “Anemia : Anemia pada Anjing Pascaenterektomi” dapat terselesaikan
dengan tepat waktu. Makalah ini sudah penyusun susun dengan maksimal dan
mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga bisa memperlancar pembuatan
makalah ini. Untuk itu penyusun menyampaikan terimakasih kepada semua pihak
yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Adapun tujuan dibuatnya makalah ini untuk memberikan suatu informasi
mengenai hal-hal seputar anemia khususnya anemia pada anjing setelah mengalami
operasi enterektomi kepada pembaca. Sehingga menambah wawasan pembaca dan
mampu dipahami dengan baik sebagai acuan pembelajaran. Terlepas dari itu semua
penyusun sadar bahwasannya makalah yang penyusun buat ini masih kurang baik
dalam segi penyusunan kalimat maupun materi yang penyusun sajikan.
Oleh karena itu penyusun siap untuk menerima segala kritik dan masukan
yang nantinya dapat penyusun usahakan untuk menjadi yang lebih baik. Akhir kata
penyusun berharap semoga makalah ini dapat mengedukasi para pembaca.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
BAB IV PEMBAHASAN.................................................................................... 11
LAMPIRAN ........................................................................................................ 19
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Batas normal kadar Hb menurut umur dan jenis kelamin. ................... 3
iv
DAFTAR LAMPIRAN
v
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 2.1. Batas normal kadar Hb menurut umur dan jenis kelamin.
Sumber : WHO, 2001
4
a. Anemia Megaloblastik adalah kekurangan vitamin B12, asam folat dan
gangguan sintesis DNA.
b. Anemia Non Megaloblastik adalah eritropolesis yang dipercepat dan
peningkatan luas permukaan membran.
2. Mikrositer
Mengecilnya ukuran sel darah merah yang disebabkan oleh
defisiensi besi, gangguan sintesis globin, porfirin dan heme serta gangguan
metabolisme besi lainnya (Masrizal, 2007).
3. Normositer
Pada anemia normositik ukuran sel darah merah tidak berubah, ini
disebabkan kehilangan darah yang parah, meningkatnya volume plasma
secara berlebihan, penyakit-penyakit hemolitik, gangguan endokrin, ginjal,
dan hati (Masrizal, 2007).
5
sumsum tulang. Pemeriksaan sumsum tulang wajib dilakukan untuk
menguatkan diagnose dan menentukan klasifikasi anemianya.
Klasifikasi berdasarkan etiologi/patofisiologi (Bijanti, 2010) :
2 Anemia Hemorrhagi
Disebabkan pendarahan dan sebagai respon dari pendarahan akut,
tergantung dari jumlah darah yang keluar, lama perdarahan, lokasi perdarahan
dan tipe perdarahan (eksternal atau internal).
3 Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik didefinisikan sebagai anemia yang disebabkan
oleh peningkatan kecepatan destruksi eritrosit atau bisa disebabkan suatu
gangguan yang berkaitan dengan memendeknya usia sel darah merah.
Ditandai dengan konsentrasi pritein plasma yang normal atau meningkat,
sering terjadi adanya peningkatan netrofil dan monosit. Pada pemeriksaan
darah terdapat kelainan bentuk eritrosit misalkan: Heinz bodies, sperosit atau
poikilositosis.
2.4 Patofisiologi
Anemia menurut (Wijaya & Putri, 2013) mencerminkan adanya kegagalan
sumsum atau kehilangan sel darah merah secara berlebihan atau keduanya.
Kegagalan sumsum dapat terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik, invasi
tumor atau kebanyakan akibat penyebab yang tidak di ketahui. Sel darah merah
dapat hilang melalui perdarahan atau hemolysis (dekstruksi), hal ini dapat terjadi
akibat defek sel darah merah yang tidak sesuai dengan ketahanan sel darah merah
normal yang menyebabkan dekstruksi sel darah merah (Moneteria, 2019).
Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam sel fagostik atau
dalam sistem retikuloendotelial, terutama dalam hati dan limpa. Sebagai efek
samping proses ini, bilirubin yang terbentuk dalam fagosit akan memasuki aliran
darah. Setiap kenaikan dekstruksi sel darah merah (hemolisis) segera direfleksikan
dengan peningkatan bilirubin plasma. Konsentrasi normal nya 1 mg/dL atau
kurang, bila kadar diatas 1,5 mg/dL akan mengakibatkan interik pada sclera
(Moneteria, 2019).
6
2.5 Pendekatan Diagnosis
Anemia hanyalah suatu sindroma, bukan suatu kesatuan penyakit (disease
entity), yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar (underlying disease).
Hal ini penting diperhatikan dalam diagnosis anemia. Kita tidak cukup hanya
sampai diagnosis anemia, tetapi sedapat mungkin kita harus dapat menentukan
penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Maka tahap-tahap dalam
diagnosis anemia adalah (Bakta, 2017):
1. Menentukan adanya anemia
2. Menentukan jenis anemia
3. Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia
4. Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan mempengaruhi
hasil pengobatan.
Menurut Bakta (2017), pendekatan diagnosis anemia dapat dilakukan
dengan berbagai cara, diantaranya:
1. Pendekatan tradisional adalah pembuatan diagnosis berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, hasil laboratorium, setelah dianalisis dan sintesis maka
disimpulkan sebagai sebuah diagnosis, baik diagnosis tentative ataupun
diagnosis definitif.
2. Dari aspek morfologik maka anemia berdasarkan hapusan darah tepi atau
indeks eritrosit.
3. Pendekatan fungsional bersandar pada fenomena apakah anemia disebabkan
karena penurunan produksi eritrosit di sumsum tulang, yang bisa dilihat dari
penurunan angka retikulosit, ataukah akibat kehilangan darah atau hemolisis,
yang ditandai oleh peningkatan angka retikulosit.
4. Pendekatan probablistik atau pendekatan berdasarkan pola etiologi anemia.
5. Pendekatan klinis dengan memperhatikan kecepatan timbulnya penyakit
(onset anemia), berat ringannya derajat anemia, dan gejala yang menonjol.
6. Pendekatan diagnostik berdasarkan tuntunan hasil laboratorium.
7
2.6 Terapi
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada
penderita anemia ialah (Bakta, 2017):
1. Pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah
ditegakkan terlebih dahulu.
2. Pemberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan.
3. Pengobatan anemia dapat berupa.
a. Terapi untuk keadaan darurat seperti misalnya pada perdarahan akut akibat
anemia aplastik yang mengancam jiwa penderita, atau pada anemia pasca
perdarahan akut yang disertai gangguan hemodinamik.
b. Terapi suportif
c. Terapi yang khas untuk masing masing anemia
d. Terapi kausal untuk mengobati penyakit dasar yang menyebabkan anemia
teresbut.
8
9
BAB III
STUDI KASUS
3.4 Diagnosis
Berdasarkan anamnesis, gejala klinis, hasil pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan hematologi rutin maka pasien didiagnosis mengalami anemia
mikrositik hipokromik.
3.5 Terapi
Pasien diberi terapi dengan injeksi preparat Fe (Hematodin®, Romindo,
Indonesia) dengan dosis 1ml/5kgBB, Subcutan selama 5 hari. Pemberian infus
serum albumin manusia (Human Serum albumin 20% ®, CSL Behring GmbH,
Jerman) sebagai terapi suportif dalam mengatasi kondisi hipoalbuminemia pada
pasien. Volume pemberian serum albumin manusia diadaptasi dari penelitian
Hackner (2011) dan Merthayasa (2019) :
10
11
BAB IV
PEMBAHASAN
Jika dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh maka proses terjadinya
anemia defisiensi besi melalui 3 tahap yaitu:
1) Stadium I
Deplesi besi (iron depleted state) dimana cadangan besi menurun
tetapi penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu. Deplesi
cadangan besi ini ditandai dengan penurunan serum ferritin (<10- 12μg/L)
sedangkan pemeriksaan Hb dan zat besi masih normal.
2) Stadium II
Eritropoesis defisiensi besi (iron deficient erythropoesis) yakni
keadaan dimana cadangan besi kosong atau sudah habis, sehingga
penyediaan besi untuk eritropoesis terganggu dan kadar besi didalam serum
akan menurun serta kadar hemoglobin masih normal. Tetapi belum timbul
anemia secara laboratoris. Pemeriksaan laboratoris didapatkan penurunan
serum iron (SI) dan saturasi transferrin, sedangkan total iron binding
capacity (TIBC) meningkat.
3) Stadium III:
Anemia defisiensi besi dimana cadangan besi kosong disertai
anemia. Anemia defisiensi besi ini ditandai dengan penurunan kadar Hb,
MCH, MCV, MCHC pada keadaan berat, dan peningkatan kadar free
erythrocyte protoporphyrin (FEP). Gambaran darah tepi didapatkan
mikrositosis dan hipokromik (Oski dkk., 1983; Grantham, 2001).
12
Untuk mengatasi defisiensi zat besi dalam kasus pasien ini diberikan injeksi
preparat Fe 1ml/5kgBB, subcutan selama 5 hari. Pemberian injeksi zat besi
biasanya bersifat kuratif dan dapat diberikan harian/mingguan (Plumb, 2008).
Berdasarkan hasil pemeriksaan hematologis pasien sebelum diberikan
terapi (Lampiran 1) juga menunjukkan bahwa pasien memiliki kadar nilai albumin
di bawah batas normal atau disebut dengan hipoalbuminemia, yakni sebesar 1,9
g/dL dari kadar normal 2,3-3,1 g/dL. Hipoalbuminemia dapat disebabkan oleh
penurunan produksi albumin, sintesis yang tidak efektif karena kerusakan sel hati,
kekurangan intake protein, peningkatan pengeluaran albuminkarena penyakit
lainnya, dan inflamasi akut maupun kronis.
Penanganan pada kasus hipoalbuminemia dapat dilakukan dengan beberapa
metode, yakni:
a. Menangani penyakit yang menjadi penyebab hipoalbuminemia, apabila
penyakit tersebut berhasil ditangani maka kadar albumin akan
meningkat dan gangguan yang berkaitan dengan hipoalbuminemia
dapat hilang. Tetapi, biasanya penyakit yang menyebabkan
hipoalbuminemia sulit untuk diterapi.
b. Pemberian nutrisi untuk perawatan pasien hipoalbuminemia, terutama
yang kaya akan protein sangatlah penting. Hal ini dikarenakan protein
berperan menyediakan asam amino yang berfungsi untuk meningkatkan
sintesis albumin.
c. Terapi koloid juga dapat dipilih untuk membantu mengatasi kondisi
hipoalbuminemia, mengoptimalkan kesembuhan luka, meningkatkan
motilitas dan absorpsi gastrointestinal pada hewan dengan
hipoalbuminemia yang sedang hingga parah. Pemberian koloid dapat
menjaga tekanan osmotik koloid dan mengurangi akumulasi cairan
ekstravaskular. Menurut Throop (2004), menyatakan bahwa koloid
sintetis dan alami yang tersedia untuk veteriner antara lain Hexastarch
6%, Dextran 70 6%, Human albumin 25%, Human albumin 12,5%,
Human albumin 5%, Oxyglobin, dan Canine fresh-frozen plasma.
d. Terapi menggunakan serum albumin manusia melalui infus intravena,
juga dapat digunakan untuk mengatasi kondisi hipoalbuminemia.
13
Penggunaan serum albumin manusia pada anjing telah banyak
dilakukan (Mazzaferro, 2002; Martin, 2004).
e. Terapi suportif lainnya yang dapat diberikan yakni Livron (Vit. B
complex) 1 x 1 tab/hari selama 5 hari. Penggunaan vitamin B complex
berguna sebagai terapi suportif, vitamin B complex berperan penting
dalam membantu sistem pencernaan, produksi energi, sirkulasi, hormon
dan kesehatan secara keseluruhan. Bellows dkk (2012) menyatakan
vitamin B complex larut dalam air dan tidak disimpan dalam tubuh,
pemberian harian sangat disarankan.
Pelaksanaan terapi pada pasien ini menunjukkan hasil yang baik, yakni pada
hari kedua nafsu makan mulai membaik, tingkah laku pasien semakin aktif dan
lincah, mukosa mata dan mulut normal, serta hasil pemeriksaan hematologi rutin
pada hari kelima menunjukkan peningkatan pda Hb, hematokrit, eritrosit, leukosit,
MCV, TPP, dan albumin, serta adanya penurunan pada nilai trombosit, MCH,
MCHC, dan limfosit (Lampiran 1).
Mengatasi penyebab utama terjadinya anemia merupakan tindakan penting
yang perlu dilakukan agar anjing dapat terbebas dari anemia, seperti pada kasus ini
dimana pasien diduga menderita anemia mikrositik hipokromik karena defisiensi
zat besi (Fe), sehingga pemberian prpearat Fe secara berkala sangatlah dianjurkan.
14
15
BAB V
PENUTUPAN
5.1 Kesimpulan
Anemia merupakan keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah
kurang dari normal. Gejala-gejala pasien yang mengalami anemia biasanya akan
menunjukkan lesu, kelemahan, gangguan makan , Kesulitan bernapas atau dyspnea,
membrana mukosa menjadi pucat, dan akivitas yang berkurang. Keduanya
merupakan gejala klinis yang akut maupun kronis (Hadler dkk., 2002). Salah satu
etiologi dari anemia mikrositik hipokromik adalah defisiensi zat besi (Fe) atau
dikenal dengan istilah anemia defisiensi besi (Salasia dan Hariono, 2010) yang
salah satunya dapat terjadi pada hewan dengan riwayat pasca operasi enterektomi.
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang didapat dari pembahasan, maka dapat
disarankan agar mahasiswa dapat memahami dengan baik tentang anemia sehingga
dapat membantu dalam kegiatan promosi kesehatan tentang anemia. Disarankan
untuk memahami tentang pengertian, penyebab, gejala, cara penanganan
dan pencegahan anemia sehingga angka kejadian anemia dapat menurun.
DAFTAR PUSTAKA
16
McCown, J.L., Specht, A. J. 2011. Iron homeostasis and disorders in dogs and cats:
a review. J Am Anim Hosp Assoc 47(3):151160.
Merthayasa, JD., Wijayanti, AD., Indarjulianto, S., Yanuartono, Jayanti, PD.,
Nururrozi, A. 2021. Laporan Kasus: Anemia pada Anjing
Pascaenterektomi. Jurnal Sain Veteriner, 39(1), 73-78. DOI
:10.22146/jsv. 35127. ISSN 2407-3733. Diakses melalui :
https://journal.ugm.ac.id/jsv
Moneteria, Annisa Intan 2019. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Perfusi Perifer
Tidak Efektif pada kasus Anemiaterhadap Tn.S di ruang penyakit dalam
RSUD Mayjend HM Ryacudu Kotabumi Lampung Utara tanggal 13 – 15
Mei 2019. Diploma thesis, Poltekkes Tanjungkarang.
Nurbadriyah, W. D. 2019. Anemia Defisiensi Besi. Deepublish.
Oski, F. A, Honing, A. S., Helu B, Howanitz, P. 1983. Effect of iron therapy on
behavior performance in non anemic, iron- deficient infants. Pediatric.
71(1):877-80.
Plumb, D.C. 2008. Plumb’s Veterinary Drug Handbook. 6th ed. Ames, Iowa:
Blackwell Publ. pp:329–331.
Raspati H., Reniarti L., Susanah S. 2005. Anemia defisiensi besi. Dalam: Permono
HB, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdul salam M, penyunting.
Buku ajar hematologi Onkologi Anak. Jakarta: BPIDAI. hal.30-43.
Salasia, S. I.O dan Hariono Bambang. 2010. Patologi Klinik Veteriner Kasus
Patologi Klinis. Yogyakarta: Samudra Biru.Hal 35-41.
Sherwood L. 2001. Fisiologi Manusia : Dari Sel ke Sistem, Alih Bahasa : Brahm,
V.P., editor, Beatrica TS. 2nd ed., Jakarta. EGC.
Shrock, T. R. 1983. Hand book of Surgery, Jones Medical Publications : 258-259
Sugeng Jitowiyono. 2018. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan
Sistem Hematologi. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Throop, J.L., Bingaman S, Huxley V. 2004. Differences between human and other
mammalian albumins raises concerns over the use of human serum
albumin in the dog. J Vet Intern Med;18(3):439.
WHO. 2001. Iron Deficiency Anemia Assessment, Prevention, and Control: Aguide
For Programme Managers. Geneva : WHO.
17
Wijaya & Putri. 2013. KMB 2 Keperawatan Medikal Bedah Keperawatan Dewasa.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Wirahartari, Luh Marina., Sianny Herawati, I Nyoman Wande. 2019. Gambaran
Indeks Eritrosit Anemia Pada Ibu Hamil Di Rsup Sanglah Denpasar
Tahun 2016. E-Jurnal Medika, Vol. 8 (5). ISSN: 2597-8012.
18
Lampiran 1. Hasil pemeriksaan laboratorium hematologi anjing Kka-chi
Hasil
Parameter Nilai Refrensi*
Sebelum Sesudah
Hb (g/dL) 3,4 5,9 12-18
Hematokrit (%) 11,2 21,8 37.0-55.0
Eritrosit (x106/mm3) 1,92 3.38 5,5-85
Leukosit (x103/mm3) 7900 23800 6-17
Trombosit (x103/mm3) 151000 73000 200.000-500.000
MCV (fl) 58,3 64,5 60.0-77.0
MCH (pg) 17,7 17,5 19,5-24,5
MCHC (g/dL) 30,4 27,1 30-38
Limfosit (%) 95 90 12-30
TPP (g/dL) 4,6 5,27 6,0-7,5
Albumin (g/dL) 1,9 2,23 2,3-3,1
*Day,dkk (2000)
19