Anda di halaman 1dari 24

ANEMIA

“ANEMIA PADA ANJING PASCAENTEREKTOMI”

Tugas Makalah Ditujukan untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Matakuliah Patologi


Klinik Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga

KELOMPOK B1

Alifya Putri 061811133018


Deny Rama Kusnadi 061811133019
Luthfiyyah Nur Afifah S. 061811133020
Inayah Cahyaduha B. 061811133021
Dyah Ajeng Suhita 061811133022
Rara Charytha Yuhansy 061811133025
Puspa Permata Sukma 061811133026
Dewi Ratnasari 061811133027

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kehadiran Tuhan yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat , hidayah dan inayah-Nya kepada penyusun, sehingga
makalah “Anemia : Anemia pada Anjing Pascaenterektomi” dapat terselesaikan
dengan tepat waktu. Makalah ini sudah penyusun susun dengan maksimal dan
mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga bisa memperlancar pembuatan
makalah ini. Untuk itu penyusun menyampaikan terimakasih kepada semua pihak
yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Adapun tujuan dibuatnya makalah ini untuk memberikan suatu informasi
mengenai hal-hal seputar anemia khususnya anemia pada anjing setelah mengalami
operasi enterektomi kepada pembaca. Sehingga menambah wawasan pembaca dan
mampu dipahami dengan baik sebagai acuan pembelajaran. Terlepas dari itu semua
penyusun sadar bahwasannya makalah yang penyusun buat ini masih kurang baik
dalam segi penyusunan kalimat maupun materi yang penyusun sajikan.
Oleh karena itu penyusun siap untuk menerima segala kritik dan masukan
yang nantinya dapat penyusun usahakan untuk menjadi yang lebih baik. Akhir kata
penyusun berharap semoga makalah ini dapat mengedukasi para pembaca.

Surabaya, 30 November 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii


DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ iv
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1


1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2 Tujuan Umum ................................................................................................... 2
1.3 Tujuan Khusus .................................................................................................. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 3


2.1 Definisi Anemia ................................................................................................ 3
2.2 Etiologi Anemia ................................................................................................ 4
2.3 Klasifikasi Anemia ............................................................................................ 4
2.4 Patofisiologi ...................................................................................................... 6
2.5 Pendekatan Diagnosis ....................................................................................... 7
2.6 Terapi ................................................................................................................ 8

BAB III STUDI KASUS ....................................................................................... 9


3.1 Anemia pada Anjing Pascaenterektomi ............................................................ 9
3.2 Anamnesis dan Signalement ............................................................................. 9
3.3 Pemeriksaan Fisik dan Laboratorik ................................................................... 9
3.4 Diagnosis ........................................................................................................... 9
3.5 Terapi .............................................................................................................. 10

BAB IV PEMBAHASAN.................................................................................... 11

BAB V PENUTUPAN ......................................................................................... 15


5.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 15
5.2 Saran ................................................................................................................ 15

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 16

LAMPIRAN ........................................................................................................ 19

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Batas normal kadar Hb menurut umur dan jenis kelamin. ................... 3

iv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil pemeriksaan laboratorium hematologi anjing Kka-chi ...... 19

v
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul karena kekurangan zat
besi, sehingga pembentukkan sel-sel darah merah dan fungsi lain dalam tubuh
terganggu. Anemia defisiensi besi bisa merupakan akibat utama karena terjadinya
kehilangan darah dan kekurangan masukan zat besi yang memadai. hal ini dapat
merupakan kondisi dari sekunder yang diakibatkan oleh proses penyakit atau
kondisi lain yang menguras cadangan besi, seperti pendarahan saluran pencernaan
maupun kondisi kehamilan. Anemia adalah terjadinya defisiensi eritrosit atau
hemoglobin atau keduanya hingga kemampuan darah mengangkut oksigen
berkurang dan sering dijumpai pada anjing.
Anemia adalah terjadinya defisiensi eritrosit atau hemoglobin atau
keduanya hingga kemampuan darah mengangkut darah oksigen berkurang .
Anemia dapat diklasifikasikan menurut morfologi sel darah merah dan
etiologinya. Klasifikasi anemia menurut morfologi, mikro dan makro
menunjukkan ukuran sel darah merah sedangkan kromik menunjukkan warnanya .
Berdasarkan sitometrik, anemia diklasifikasikan menjadi tiga kelompok utama ,
yaitu: anemia normokromik normositik (anemia akibat penyakit kronik, kerusakan
sel-sel darah merah, dan perdarahan akut), anemia hipokromik mikrositik
(defisiensi besi, thalasemia dan penyakit kronik), dan anemia normokromik
makrositik (defisiensi vitamin B12) dan defisiensi asam folat.
Immune Mediated Haemolytic Anemia (IMHA) merupakan anemia yang
muncul akibat hemolisis eritrosit di dalam pembuluh darah yang berhubungan
dengan mediator sistem imun. Salah satu penyebab kondisi IMHA yaitu keberadaan
parasit darah (Babesia sp.) dengan vektor caplak (Rhipicephalus sanguineus).
Diagnosa IMHA yang disebabkan oleh infeksi Babesia sp pada anjing kasus ini
terlihat melalui pemeriksaan sitologi dengan ditemukannya spherocyte dan terjadi
hemolisis intravaskular sehingga masuk dalam kategori secondary IMHA. Anemia
merupakan keadaan tidak normal dan harus dicari penyebabnya. Anamnesis,
pemeriksaan fisik dan, pemeriksaan laboratorium sederhana berguna dalam
evaluasi penderita anemia.
1.2 Tujuan Umum
Tujuan umum dari makalah ini adalah untuk mengetahui penyakit pada
hewan yang menunjukkan gejala anemia.

1.3 Tujuan Khusus


Tujuan khusus dari makalah ini adalah
1. Mengetahui definisi anemia
2. Mengetahui etiologi anemia
3. Mengetahui klasifikasi anemia
4. Mengetahui patofisiologi anemia
5. Mengetahui pendekatan diagnosis
6. Mengetahui rencana terapi

2
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Anemia


Anemia merupakan keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah
kurang dari normal. Kondisi ini mencermin kan kurang nya jumlah normal eritrosit
dalam sirkulasi. Akibatnya, jumlah oksigen yang di kirim ke jaringan tubuh juga
berkurang (Sugeng Jitowiyono, 2018). Anemia bukan merupakan kondisi penyakit
khusus melainkan suatu tanda adanya gangguan yang mendasari (Brunner &
Suddarth, 2015).
Menurut Masrizal (2007) anemia adalah suatu keadaan kadar hemoglobin
(Hb) dalam darah kurang dari normal, berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin,
dan kehamilan. Batas normal dari kadar Hb dalam darah dapat dilihat pada tabel
berikut:
Hemoglobin
Kelompok Umur
(gr/dl)
Anak-anak 6 – 59 bulan 11,0
5 – 11 tahun 11,5
12 – 14 tahun 12,0
Dewasa Wanita > 15 tahun 12,0
Wanita hamil 11,0
Laki-laki > 15 tahun 13,0

Tabel 2.1. Batas normal kadar Hb menurut umur dan jenis kelamin.
Sumber : WHO, 2001

Keadaan normal kadar hemoglobin dalam peredaran darah relative


konstan sehingga dapat mempertahankan secara ketat keseimbangan antara
pelepasan eritrosit ke dalam sirkulasi dan keluarnya eritrosit dari sirkulasi. Bila
pelepasan eritrosit kedalam sirkulasi menurun, maupun penghancuran eritrosit
meningkat tanpa diimbangi dengan peningkatan produksi, maka kejadian pada
kedua proses tersebut di atas dapat terjadi anemia (Bijanti dkk, 2010).
Tanda-tanda yang dapat menyertai anemia seperti pucatnya membrane
mukosa dan konjungtiva maupun mulut tachycardia (denyut nadi cepat), dyspnea
(sesak nafas). Ini umumnya disebabkan oleh berkurangnya volume darah,
berkurangnya hemoglobin dan vasokontriksi untuk memperbesar pengiriman O2 ke
organ vital (Bijanti dkk, 2010).

2.2 Etiologi Anemia


Menurut (Sugeng Jitowiyono, 2018), Pada dasarnya hanya tiga penyebab
anemia yang ada: kehilangan darah, peningkatan kerusakan sel darah merah
(hemolisis), dan penurunan produksi sel darah merah. Perdarahan baik akut maupun
kronis mengakibatkan penurunan total sel darah merah dalam sirkulasi. Penurunan
atau gangguan pembentukan eritrosit terjadi apabila terdapat defisiensi substansi
tertentu seperti mineral (besi, tembaga), vitamin (B12, asam folat), asam amino,
serta gangguan pada sumsum tulang.
Masing – masing penyebab ini mencakup sejumlah kelainan yang
membutuhkan terapi spesifik dan tepat. Etiologi genetik meliputi:
a. Hemoglobinopati
b. Thalasemia
c. Kelainan enzim pada jalur glikolitik
d. Cacat sitoskeleton sel darah merah
e. Anemia persalinan kongenital
f. Penyakit Rh null

2.3 Klasifikasi Anemia


Klasifikasi anemia berdasarkan nilai indeks eritrosit dibagi menjadi
anemia hipokromik mikrositer, normokromik normositer, dan makrositer. Indeks
eritrosit tersebut adalah Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular
Hemoglobin (MCH), dan Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC)
(Wirahartari dkk, 2019).
1. Makrositer
Pada anemia makrositer ukuran sel darah merah bertambah besar
dan jumlah hemoglobin tiap sel juga bertambah. Ada dua jenis anemia
makrositik yaitu, (Masrizal, 2007):

4
a. Anemia Megaloblastik adalah kekurangan vitamin B12, asam folat dan
gangguan sintesis DNA.
b. Anemia Non Megaloblastik adalah eritropolesis yang dipercepat dan
peningkatan luas permukaan membran.
2. Mikrositer
Mengecilnya ukuran sel darah merah yang disebabkan oleh
defisiensi besi, gangguan sintesis globin, porfirin dan heme serta gangguan
metabolisme besi lainnya (Masrizal, 2007).
3. Normositer
Pada anemia normositik ukuran sel darah merah tidak berubah, ini
disebabkan kehilangan darah yang parah, meningkatnya volume plasma
secara berlebihan, penyakit-penyakit hemolitik, gangguan endokrin, ginjal,
dan hati (Masrizal, 2007).

Berdasarkan pendekatan fisiologis dibedakan menjadi 5 yaitu Anemia


Aplastik, Anemia pada penyakit ginjal, Anemia Defisiensi Besi, Anemia
Megaloblastik dan Anemia Hemolitika (Ni Ketut & Briggita, 2019).
Klasifikasi berdasarkan respons sumsum tulang dibedakan menjadi 2
(Bijanti dkk, 2010), yakni:
1. Regenerative (responsive) anemia.
Ditandai adanya polikromasia, retikulositosis, makrositosis (MCV
meningkat) dan hipokromik (penurunan MCH dan MCHC) disertai dengan
retikulosis, hiperseluler sumsum tulang dengan M/E ratio rendah. Dugaan
anemia regenerative disebabkan adanya pendarahan atau destruksi eritrosit,
jika cukup waktu untuk melakukan response (2-3 hari). Pemeriksaan sumsum
tulang jarang dilakukan kecuali untuk eritropoietik hyperplasia.
2. Non Regeneratif Anemia
Ditandai dengan tidak cukupnya sumsum tulang memberikan
respons karena terdapat gangguan pada sumsum tulang. Ditandai adanya
poikilositosis, target sel, polikromasia dan retikulosit tidak ditemukan.
Biasanya disebabkan 2-3 hari setelah perdarahan perakut dan akut atau
disebabkan adanya hemolysis pada hewan yang mengalami gangguan

5
sumsum tulang. Pemeriksaan sumsum tulang wajib dilakukan untuk
menguatkan diagnose dan menentukan klasifikasi anemianya.
Klasifikasi berdasarkan etiologi/patofisiologi (Bijanti, 2010) :
2 Anemia Hemorrhagi
Disebabkan pendarahan dan sebagai respon dari pendarahan akut,
tergantung dari jumlah darah yang keluar, lama perdarahan, lokasi perdarahan
dan tipe perdarahan (eksternal atau internal).
3 Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik didefinisikan sebagai anemia yang disebabkan
oleh peningkatan kecepatan destruksi eritrosit atau bisa disebabkan suatu
gangguan yang berkaitan dengan memendeknya usia sel darah merah.
Ditandai dengan konsentrasi pritein plasma yang normal atau meningkat,
sering terjadi adanya peningkatan netrofil dan monosit. Pada pemeriksaan
darah terdapat kelainan bentuk eritrosit misalkan: Heinz bodies, sperosit atau
poikilositosis.

2.4 Patofisiologi
Anemia menurut (Wijaya & Putri, 2013) mencerminkan adanya kegagalan
sumsum atau kehilangan sel darah merah secara berlebihan atau keduanya.
Kegagalan sumsum dapat terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik, invasi
tumor atau kebanyakan akibat penyebab yang tidak di ketahui. Sel darah merah
dapat hilang melalui perdarahan atau hemolysis (dekstruksi), hal ini dapat terjadi
akibat defek sel darah merah yang tidak sesuai dengan ketahanan sel darah merah
normal yang menyebabkan dekstruksi sel darah merah (Moneteria, 2019).
Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam sel fagostik atau
dalam sistem retikuloendotelial, terutama dalam hati dan limpa. Sebagai efek
samping proses ini, bilirubin yang terbentuk dalam fagosit akan memasuki aliran
darah. Setiap kenaikan dekstruksi sel darah merah (hemolisis) segera direfleksikan
dengan peningkatan bilirubin plasma. Konsentrasi normal nya 1 mg/dL atau
kurang, bila kadar diatas 1,5 mg/dL akan mengakibatkan interik pada sclera
(Moneteria, 2019).

6
2.5 Pendekatan Diagnosis
Anemia hanyalah suatu sindroma, bukan suatu kesatuan penyakit (disease
entity), yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar (underlying disease).
Hal ini penting diperhatikan dalam diagnosis anemia. Kita tidak cukup hanya
sampai diagnosis anemia, tetapi sedapat mungkin kita harus dapat menentukan
penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Maka tahap-tahap dalam
diagnosis anemia adalah (Bakta, 2017):
1. Menentukan adanya anemia
2. Menentukan jenis anemia
3. Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia
4. Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan mempengaruhi
hasil pengobatan.
Menurut Bakta (2017), pendekatan diagnosis anemia dapat dilakukan
dengan berbagai cara, diantaranya:
1. Pendekatan tradisional adalah pembuatan diagnosis berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, hasil laboratorium, setelah dianalisis dan sintesis maka
disimpulkan sebagai sebuah diagnosis, baik diagnosis tentative ataupun
diagnosis definitif.
2. Dari aspek morfologik maka anemia berdasarkan hapusan darah tepi atau
indeks eritrosit.
3. Pendekatan fungsional bersandar pada fenomena apakah anemia disebabkan
karena penurunan produksi eritrosit di sumsum tulang, yang bisa dilihat dari
penurunan angka retikulosit, ataukah akibat kehilangan darah atau hemolisis,
yang ditandai oleh peningkatan angka retikulosit.
4. Pendekatan probablistik atau pendekatan berdasarkan pola etiologi anemia.
5. Pendekatan klinis dengan memperhatikan kecepatan timbulnya penyakit
(onset anemia), berat ringannya derajat anemia, dan gejala yang menonjol.
6. Pendekatan diagnostik berdasarkan tuntunan hasil laboratorium.

7
2.6 Terapi
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada
penderita anemia ialah (Bakta, 2017):
1. Pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah
ditegakkan terlebih dahulu.
2. Pemberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan.
3. Pengobatan anemia dapat berupa.
a. Terapi untuk keadaan darurat seperti misalnya pada perdarahan akut akibat
anemia aplastik yang mengancam jiwa penderita, atau pada anemia pasca
perdarahan akut yang disertai gangguan hemodinamik.
b. Terapi suportif
c. Terapi yang khas untuk masing masing anemia
d. Terapi kausal untuk mengobati penyakit dasar yang menyebabkan anemia
teresbut.

8
9

BAB III
STUDI KASUS

3.1 Anemia pada Anjing Pascaenterektomi


Anemia pada anjing pascaenterektomi adalah anemia yang tergolong
anemia mikrositik hipokromik tepatnya anemia dengan defisiensi zat besi. Hal ini
karena operasi pascaenterektomi akan mengakibatkan hilangnya sebagian besar
lapisan endotel di mukosa usus yang berfungsi untuk aktifitas digesti, absorbsi, dan
sekresi (Shorck, 1983). Kegagalan absorbsi usus (malabsorbsi) inilah yang dapat
menjadikan terjadinya defisiensi zat besi.

3.2 Anamnesis dan Signalement


Pasien anjing lokal betina bernama Kka-chi berumur 13 bulan dengan
warna rambut hitam dan memiliki riwayat enterektomi telah diperiksa dengan
keluhan; lemas, kurus, bulu rontok, mukosa mulut pucat, nafsu makan dan minum
menurun.

3.3 Pemeriksaan Fisik dan Laboratorik


Status present pasien adalah sebagai berikut: berat badan 4,6 kg, frekuensi
pulsus 128 x/menit, frekuensi respirasi 24 x/menit, suhu tubuh 38,7°C, dan
capillary refill time (CRT) kurang dari 2 detik, membran mukosa anemis dan turgor
kulit lambat. Pemeriksaan fisik pasien anjing menunjukkan gejala klinis nafsu
makan dan minum menurun, lemas, mukosa mulut pucat, dan kurus. Dilaporkan
bahwa pasien telah menjalani operasi enterektomi sebulan sebelumnya. Hasil
pemeriksaan darah pasien juga menunjukkan kadar nilai albumin di bawah batas
normal atau dikenal dengan istilah hipoalbuminemia.

3.4 Diagnosis
Berdasarkan anamnesis, gejala klinis, hasil pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan hematologi rutin maka pasien didiagnosis mengalami anemia
mikrositik hipokromik.
3.5 Terapi
Pasien diberi terapi dengan injeksi preparat Fe (Hematodin®, Romindo,
Indonesia) dengan dosis 1ml/5kgBB, Subcutan selama 5 hari. Pemberian infus
serum albumin manusia (Human Serum albumin 20% ®, CSL Behring GmbH,
Jerman) sebagai terapi suportif dalam mengatasi kondisi hipoalbuminemia pada
pasien. Volume pemberian serum albumin manusia diadaptasi dari penelitian
Hackner (2011) dan Merthayasa (2019) :

10 x [ kadar albumin yang diharapkan – kadar


albumin pasien] x BB (kg) x 0,35.

Volume Serum albumin manusia yang di dapatkan selanjutnya diencerkan


dengan NaCl 0,9% dengan perbandingan 1 : 9. Pada kasus ini volume serum
albumin manusia yang diberikan kepada pasien bedasarkan perhitungan diatas
adalah sebanyak 12,8ml yang diencerkan dengan NaCl 0,9% sebanyak 115,2ml.
®
Terapi suportif lainnya berupa Vitamin B complex (Livron , PT.Phapros,
Indonesia) juga diberikan ( 1 x sehari, 1 tablet, per oral) diberikan selama 5 hari.

10
11

BAB IV
PEMBAHASAN

Bedasarkan pemeriksaan laboratoris sebelum dilakukan terapi, anjing


Pogan mengalami anemia mikrositik hipokromik, trombositopenia, limfositosis dan
hipoalbuminemia atau terjadinya penurunan nilai TPP dan nilai albumin.
Pada pemeriksaan fisik pasien anjing menunjukkan gejala klinis berupa
nafsu makan dan minum menurun, lemas, mukosa mulut pucat, dan kurus. Sebulan
sebelumnya telah dilaporkan adanya pasien telah menjalani operasi enterektomi.
Enterektomi adalah pembedahan dengan melakukan eksisi atau pemotongan usus
yang akan mengakibatkan hilangnya sebagian besar lapisan endotel di mukosa usus
yang berfungsi untuk aktifitas digesti, absorbsi, dan sekresi. Absorbsi atau disebu
juga penyerapan adalah pemindahan air, elektrolit, vitamin dan produk akhir
pencernaan karbohidrat, lemak, protein (gula sederhana, asam-asam lemak dan
asam-asam amino) melalui dinding usus ke sirkulasi darah dan sistim limfatik ,
yang kemudian digunakan oleh sel-sel tubuh. Malabsorbsi dikenal dengan
kegagalan proses absorbsi (Sherwood, 2001). Pada malabsorbsi, kondisi ini dapat
mencegah penyerapan nutrisi melalui usus kecil dan nutrisi pada pakan yang
dicerna tidak akan terserap sempurna. Pada kondisi malabsorbsi akan terjadi
anemia, hipoproteinemia, hipoalbuminemia, hipokalemia, hipokalsemia,
hipomagnesemia, dan metabolik asidosis (Sherwood, 2001).
Gejala-gejala pasien yang mengalami anemia biasanya akan menunjukkan
lesu, kelemahan, gangguan makan, kesulitan bernapas atau dyspnea, membrana
mukosa menjadi pucat, dan akivitas yang berkurang. Keduanya merupakan gejala
klinis yang akut maupun kronis (Hadler dkk., 2002). Salah satu etiologi dari anemia
mikrositik hipokromik adalah defisiensi zat besi (Fe) atau dikenal dengan istilah
anemia defisiensi besi (Salasia dan Hariono, 2010).
Anemia defisiensi besi adalah salah satu jenis anemia yang terjadi akibat
tubuh kekurangan zat besi. Kondisi ini mengakibatkan penurunan jumlah sel darah
merah di bawah 95% dari nilai hemoglobin rata-rata. Hemoglobin adalah
metaloprotein (protein yang mengandung zat besi) di dalam sel darah merah yang
berfungsi sebagai pengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh, pada
mamalia dan hewan lainnya. Kekurangan zat besi juga ditandai dengan kadar zat
besi di bawah kisaran normal yaitu 46-241 g/dl (McCown dan Specht, 2011),
namun kadar zat besi (Fe) dalam darah pasien tidak diperiksa.
Menurut Raspati dkk (2005), penyerapan zat besi oleh tubuh terjadi paling
utama di mukosa usus duodenum sampai pertengahan. Namun proses penyerapan
atau absorpsi zat besi dibagi menjadi tiga fase, yakni:
a. Fase luminal : besi dalam makanan diolah dalam lambung kemudian siap
diserap di duodenum.
b. Fase mukosal : proses penyerapan dalam mukosa usus yang merupakan
suatu proses yang aktif.
c. Fase korporeal : meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi
besi oleh sel-sel yang memerlukan serta penyimpanan besi (storage).

Jika dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh maka proses terjadinya
anemia defisiensi besi melalui 3 tahap yaitu:
1) Stadium I
Deplesi besi (iron depleted state) dimana cadangan besi menurun
tetapi penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu. Deplesi
cadangan besi ini ditandai dengan penurunan serum ferritin (<10- 12μg/L)
sedangkan pemeriksaan Hb dan zat besi masih normal.
2) Stadium II
Eritropoesis defisiensi besi (iron deficient erythropoesis) yakni
keadaan dimana cadangan besi kosong atau sudah habis, sehingga
penyediaan besi untuk eritropoesis terganggu dan kadar besi didalam serum
akan menurun serta kadar hemoglobin masih normal. Tetapi belum timbul
anemia secara laboratoris. Pemeriksaan laboratoris didapatkan penurunan
serum iron (SI) dan saturasi transferrin, sedangkan total iron binding
capacity (TIBC) meningkat.
3) Stadium III:
Anemia defisiensi besi dimana cadangan besi kosong disertai
anemia. Anemia defisiensi besi ini ditandai dengan penurunan kadar Hb,
MCH, MCV, MCHC pada keadaan berat, dan peningkatan kadar free
erythrocyte protoporphyrin (FEP). Gambaran darah tepi didapatkan
mikrositosis dan hipokromik (Oski dkk., 1983; Grantham, 2001).

12
Untuk mengatasi defisiensi zat besi dalam kasus pasien ini diberikan injeksi
preparat Fe 1ml/5kgBB, subcutan selama 5 hari. Pemberian injeksi zat besi
biasanya bersifat kuratif dan dapat diberikan harian/mingguan (Plumb, 2008).
Berdasarkan hasil pemeriksaan hematologis pasien sebelum diberikan
terapi (Lampiran 1) juga menunjukkan bahwa pasien memiliki kadar nilai albumin
di bawah batas normal atau disebut dengan hipoalbuminemia, yakni sebesar 1,9
g/dL dari kadar normal 2,3-3,1 g/dL. Hipoalbuminemia dapat disebabkan oleh
penurunan produksi albumin, sintesis yang tidak efektif karena kerusakan sel hati,
kekurangan intake protein, peningkatan pengeluaran albuminkarena penyakit
lainnya, dan inflamasi akut maupun kronis.
Penanganan pada kasus hipoalbuminemia dapat dilakukan dengan beberapa
metode, yakni:
a. Menangani penyakit yang menjadi penyebab hipoalbuminemia, apabila
penyakit tersebut berhasil ditangani maka kadar albumin akan
meningkat dan gangguan yang berkaitan dengan hipoalbuminemia
dapat hilang. Tetapi, biasanya penyakit yang menyebabkan
hipoalbuminemia sulit untuk diterapi.
b. Pemberian nutrisi untuk perawatan pasien hipoalbuminemia, terutama
yang kaya akan protein sangatlah penting. Hal ini dikarenakan protein
berperan menyediakan asam amino yang berfungsi untuk meningkatkan
sintesis albumin.
c. Terapi koloid juga dapat dipilih untuk membantu mengatasi kondisi
hipoalbuminemia, mengoptimalkan kesembuhan luka, meningkatkan
motilitas dan absorpsi gastrointestinal pada hewan dengan
hipoalbuminemia yang sedang hingga parah. Pemberian koloid dapat
menjaga tekanan osmotik koloid dan mengurangi akumulasi cairan
ekstravaskular. Menurut Throop (2004), menyatakan bahwa koloid
sintetis dan alami yang tersedia untuk veteriner antara lain Hexastarch
6%, Dextran 70 6%, Human albumin 25%, Human albumin 12,5%,
Human albumin 5%, Oxyglobin, dan Canine fresh-frozen plasma.
d. Terapi menggunakan serum albumin manusia melalui infus intravena,
juga dapat digunakan untuk mengatasi kondisi hipoalbuminemia.

13
Penggunaan serum albumin manusia pada anjing telah banyak
dilakukan (Mazzaferro, 2002; Martin, 2004).
e. Terapi suportif lainnya yang dapat diberikan yakni Livron (Vit. B
complex) 1 x 1 tab/hari selama 5 hari. Penggunaan vitamin B complex
berguna sebagai terapi suportif, vitamin B complex berperan penting
dalam membantu sistem pencernaan, produksi energi, sirkulasi, hormon
dan kesehatan secara keseluruhan. Bellows dkk (2012) menyatakan
vitamin B complex larut dalam air dan tidak disimpan dalam tubuh,
pemberian harian sangat disarankan.
Pelaksanaan terapi pada pasien ini menunjukkan hasil yang baik, yakni pada
hari kedua nafsu makan mulai membaik, tingkah laku pasien semakin aktif dan
lincah, mukosa mata dan mulut normal, serta hasil pemeriksaan hematologi rutin
pada hari kelima menunjukkan peningkatan pda Hb, hematokrit, eritrosit, leukosit,
MCV, TPP, dan albumin, serta adanya penurunan pada nilai trombosit, MCH,
MCHC, dan limfosit (Lampiran 1).
Mengatasi penyebab utama terjadinya anemia merupakan tindakan penting
yang perlu dilakukan agar anjing dapat terbebas dari anemia, seperti pada kasus ini
dimana pasien diduga menderita anemia mikrositik hipokromik karena defisiensi
zat besi (Fe), sehingga pemberian prpearat Fe secara berkala sangatlah dianjurkan.

14
15

BAB V
PENUTUPAN

5.1 Kesimpulan
Anemia merupakan keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah
kurang dari normal. Gejala-gejala pasien yang mengalami anemia biasanya akan
menunjukkan lesu, kelemahan, gangguan makan , Kesulitan bernapas atau dyspnea,
membrana mukosa menjadi pucat, dan akivitas yang berkurang. Keduanya
merupakan gejala klinis yang akut maupun kronis (Hadler dkk., 2002). Salah satu
etiologi dari anemia mikrositik hipokromik adalah defisiensi zat besi (Fe) atau
dikenal dengan istilah anemia defisiensi besi (Salasia dan Hariono, 2010) yang
salah satunya dapat terjadi pada hewan dengan riwayat pasca operasi enterektomi.

5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang didapat dari pembahasan, maka dapat
disarankan agar mahasiswa dapat memahami dengan baik tentang anemia sehingga
dapat membantu dalam kegiatan promosi kesehatan tentang anemia. Disarankan
untuk memahami tentang pengertian, penyebab, gejala, cara penanganan
dan pencegahan anemia sehingga angka kejadian anemia dapat menurun.
DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, N. F., Khairunisa, T., & Bahar, N. W. 2018. Immune mediated


haemolytic anemia pada anjing siberian husky. ARSHI Veterinary
Letters, 2(2), 29-30.
Aru W. Sudoyo. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi kelima.
Jakarta. Interna Publishing.
Bakta, IM. 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Bakta, I Made. 2017. Pendekatan Diagnosis dan Terapi Terhadap Penderita
Anemia. Bali Health Journal. Vol 1(1): 36-48.
Bellows, L., Moore, R. 2012. Water-soluble vitamins: B-complex and vitamin C.
Fort Collins: Colorado State University.
Bijanti, dkk. 2010. Buku Ajar Patologi Klinik Veteriner. Surabaya: Pusat
Penerbitan dan Percetakan Unair. ISBN: 978-979-1330-71-8.
Brunner & Suddarth. 2015. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Day, M. J., Andrew M., Janet D. L. 2000. Manual of Canine and Feline
Haematology and Transfusion Medicine. England : British Small Animal
Veterinary Association; ISBN 0 90521439 0 Page : 316. Diakses melalui
: https://www.cabdirect.org/cabdirect/abstract/20013025879
Grantham, M. 2001. A review of studies on the effect of iron deficiency on cognitive
development in children. J Nutr. 131(1) :659S-8.
Hadler, Juliono, Y., Sigulem, D. M. (2002). Anemia in infacy: etiology and
prevalence. JPediatr. 278(1):321-6.
Hoffbrand, AV. et all. 2005. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta. Penerbit buku
kedokteran EGC.
Mansjoer, Arif . et all. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi Ketiga.
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Masrizal. 2007. Anemia Defisiensi Besi. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol 2(1):
140-145.
Mazzaferro EM, Rudloff E, Kirby R. 2002. The role of albumin replacement in the
critically ill veterinary patient. J Vet Emerg Crit Care; 12:113–128.

16
McCown, J.L., Specht, A. J. 2011. Iron homeostasis and disorders in dogs and cats:
a review. J Am Anim Hosp Assoc 47(3):151160.
Merthayasa, JD., Wijayanti, AD., Indarjulianto, S., Yanuartono, Jayanti, PD.,
Nururrozi, A. 2021. Laporan Kasus: Anemia pada Anjing
Pascaenterektomi. Jurnal Sain Veteriner, 39(1), 73-78. DOI
:10.22146/jsv. 35127. ISSN 2407-3733. Diakses melalui :
https://journal.ugm.ac.id/jsv
Moneteria, Annisa Intan 2019. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Perfusi Perifer
Tidak Efektif pada kasus Anemiaterhadap Tn.S di ruang penyakit dalam
RSUD Mayjend HM Ryacudu Kotabumi Lampung Utara tanggal 13 – 15
Mei 2019. Diploma thesis, Poltekkes Tanjungkarang.
Nurbadriyah, W. D. 2019. Anemia Defisiensi Besi. Deepublish.
Oski, F. A, Honing, A. S., Helu B, Howanitz, P. 1983. Effect of iron therapy on
behavior performance in non anemic, iron- deficient infants. Pediatric.
71(1):877-80.
Plumb, D.C. 2008. Plumb’s Veterinary Drug Handbook. 6th ed. Ames, Iowa:
Blackwell Publ. pp:329–331.
Raspati H., Reniarti L., Susanah S. 2005. Anemia defisiensi besi. Dalam: Permono
HB, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdul salam M, penyunting.
Buku ajar hematologi Onkologi Anak. Jakarta: BPIDAI. hal.30-43.
Salasia, S. I.O dan Hariono Bambang. 2010. Patologi Klinik Veteriner Kasus
Patologi Klinis. Yogyakarta: Samudra Biru.Hal 35-41.
Sherwood L. 2001. Fisiologi Manusia : Dari Sel ke Sistem, Alih Bahasa : Brahm,
V.P., editor, Beatrica TS. 2nd ed., Jakarta. EGC.
Shrock, T. R. 1983. Hand book of Surgery, Jones Medical Publications : 258-259
Sugeng Jitowiyono. 2018. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan
Sistem Hematologi. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Throop, J.L., Bingaman S, Huxley V. 2004. Differences between human and other
mammalian albumins raises concerns over the use of human serum
albumin in the dog. J Vet Intern Med;18(3):439.
WHO. 2001. Iron Deficiency Anemia Assessment, Prevention, and Control: Aguide
For Programme Managers. Geneva : WHO.

17
Wijaya & Putri. 2013. KMB 2 Keperawatan Medikal Bedah Keperawatan Dewasa.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Wirahartari, Luh Marina., Sianny Herawati, I Nyoman Wande. 2019. Gambaran
Indeks Eritrosit Anemia Pada Ibu Hamil Di Rsup Sanglah Denpasar
Tahun 2016. E-Jurnal Medika, Vol. 8 (5). ISSN: 2597-8012.

18
Lampiran 1. Hasil pemeriksaan laboratorium hematologi anjing Kka-chi

Hasil
Parameter Nilai Refrensi*
Sebelum Sesudah
Hb (g/dL) 3,4 5,9 12-18
Hematokrit (%) 11,2 21,8 37.0-55.0
Eritrosit (x106/mm3) 1,92 3.38 5,5-85
Leukosit (x103/mm3) 7900 23800 6-17
Trombosit (x103/mm3) 151000 73000 200.000-500.000
MCV (fl) 58,3 64,5 60.0-77.0
MCH (pg) 17,7 17,5 19,5-24,5
MCHC (g/dL) 30,4 27,1 30-38
Limfosit (%) 95 90 12-30
TPP (g/dL) 4,6 5,27 6,0-7,5
Albumin (g/dL) 1,9 2,23 2,3-3,1

*Day,dkk (2000)

19

Anda mungkin juga menyukai