Anda di halaman 1dari 9

HAK TANGGUNGAN

A. Pengantar
Berlakunya Undang-Undang Nomor 5 TAhun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960, telah
mengakibatkan perubahan mendasar tentang hukum kebendaan di Indonesia
khususnya yang mengatur tentang hak-hak atas tanah, dari semula yang tunduk
dan diatur di dalam KUHPerdata (BW) yang berasaskan pada budaya hukum
Eropa Kontinental, menjadi hak-hak atas tanah yang tunduk dan diatur di dalam
UUPA yang berasaskan pada hukum adapt. Dengan demikian ketentuan-
ketentuan di dalam KUHPerdata yang mengatur tentang pertanahan sudah tidak
berlaku lagi sejak berlakunya UUPA.
Perubahan tersebut di atas juga membawa dampak pada hukum
jaminan yang mempunyai obyek hak atas tanah, sebagaimana yang disebut di
dalam UUPA, yaitu :
Pasal 25 : Hak milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak
tanggungan.
Pasal 33 : Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani
dengan hak tanggungan.
Pasal 39 : Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani
hak tanggungan.
Dengan berlakunya pasal-pasal tersebut, maka lembaga jaminan hipotik
(hypotheek) sebagaimana yang diatur di dalam KUHPerdata, sepanjang
obyeknya hak atas tanah, serta Credietverband (S.1908-542 jo. S. 1937-190)
sudah tidak berlaku lagi, dan sebagai gantinya menggunakan lembaga jaminan
baru yaitu Hak Tanggungan, yang menurut ketentuan dalam Pasal 51 UUPA
akan diatur dengan undang-undang, namun demikian, karena undang-undang
yang dimaksud belum ada, maka berdasarkan Pasal 57 UUPA, yang berlaku
adalah lembaga jaminan hipotik dan credietverband.
Undang-undang yang mengatur hak tanggungan sebagaimana yang
dimaksud oleh Pasal 51 UUPA tersebut baru lahir pada tanggal 9 April 1996,
yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang
“Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah”
(yang disingkat dengan UUHT), dan sejak saat itu pula hypotheek sepanjang
mengenai hak atas tanah, serta credietverband dinyatakan tidak berlaku.

B. Pengertian
Apa yang dimaksud dengan hak tanggungan dapat dilihat dalam bunyi
Pasal 1 angka 1 UUHT, yaitu :
Hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggunan, adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam
UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap
kreditor-kreditor lain.

Dari bunyi pasal tersebut di atas dapat ditarik beberapa unsur penting
sebagai berikut :
1. Hak tanggungan adalah hak jaminan
2. Obyeknya adalah hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam
UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah itu;
3. Untuk pelunasan utang tertentu;
4. Memberikan hak preferen kepada kreditor penerima hak tanggungan.

Bila disimak pengertian maupun unsur-unsur dari Pasal 1 angka 1


UUHT tersebut di atas, maka tidak dapat dipungkiri bahwa banyak asas-asas
dalam hypotheek yang diadopsi oleh UUHT, walaupun tetap mempunyai
perbedaan yang sangat prinsipiil, yaitu tentang obyek jaminan.
Sebagai perbandingan, berikut ini unsur-unsur penting yang terdapat di
dalam hypotheek, yaitu :
1. Merupakan hak kebendaan;
2. Obyeknya adalah benda tidak bergerak;
3. Untuk pelunasan suatu perikatan.
Sedangkan di negeri Belanda sendiri telah berlaku Nieuw Nederlands Burgelijk
Wetboek (NNBW), yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1982, yang unsur-
unsurnya adalah :
1. merupakan hak yang terbatas;
2. untuk memperoleh pembayaran dari penjualan benda-benda;
3. dengan didahulukan dari kreditor yang lain;
4. hypotheek untuk benda-benda yang terdaftar;
5. pand untuk benda-benda yang tidak terdaftar.

C. Subyek Hak Tanggungan


Yang dimaksud dengan subyek hak jaminan disini adalah para pihak
yang terlibat di dalam perjanjian dengan menggunakan lembaga hak jaminan,
yaitu “penerima hak tanggungan” dan “pemberi hak tanggungan”.
Penerima atau pemegang hak tanggungan adalah seriap orang, baik
perorangan (Natuurlijk Persoon/natural person) maupun badan hukum (Recht
persoon/Legal entity), yang menerima jaminan dalam bentuk hak tanggungan
untuk menjamin sejumlah dana yang telah dia lepaskan dalam suatu perjanjian
hutang-piutang. Pada dasarnya penerima hak tanggungan adalah kreditor itu
sendiri, sehingga sering pula disebut dengan “kreditor penerima/pemegang hak
tanggungan”. Menurut Pasal 9 UUHT, Pemegang Hak Tanggungan adalah orang
perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang
berpiutang.
Pemberi hak tanggungan adalah setiap orang yang memberikan hak
kebendaan berupa hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah terhadap hutang yang telah dia terima atau diterima oleh pihak lain, artinya
pemberi hak tanggungan tidak selamanya adalah debitor itu sendiri, tetapi bias
juga pihak ketiga yang menjamin hutang tersebut.
Sama halnya pada lembaga jaminan yang lain, pemberi hak tanggungan
haruslah orang yang memiliki kewenangan terhadap obyek hak tanggungan
(beschikking bevoegheids), hal ini ditegaskan di dalam Pasal 8 ayat (1) UUHT
yang menyatakan : “ Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau
badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan
hukumterhadap obyek hak tanggungan yang bersangkutan”. Kewenangan ini
harus sudah ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pendaftaran hak
tanggungan dilakukan, hal ini terkait dengan lahirnya hak tanggungan, yaitu pada
saat pendaftaran hak tanggungan itu dilakukan.
Dalam hal pemberi hak jaminan adalah sebuah perseroan terbatas (PT),
maka harus memperhatikan ketentuan Pasal 88 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1995
tentang Perseroan Terbatas (sebagaimana yang sudah dicabut dan diganti
dengan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas), dimana disebutkan
bahwa direksi wajib meminta persetujuan dari RUPS untuk mengalihkan atau
menjadikan jaminan utang seluruhnya atau sebagian besar kekayaan perseroan.
Dengan demikian orang (perseorangan atau badan hukum) yang dapat
berposisi sebagai pemberi jaminan adalah orang yang memiliki kewenangan
terhadap obyek hak tanggungan, yaitu Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak
Guna Usaha dan Hak Pakai atas Tanah Negara, dan siapa-siapa yang dapat
memiliki hak atas tanah tersebut dapat dibaca di dalam Pasal 21 ayat (2) UUPA
untuk Hak Milik, Pasal 30 ayat (1) UUPA untuk Hak Guna Usaha, Pasal 36 ayat
(1) UUPA untuk Hak Guna Bangunan, serta Pasal 42 UUPA untuk Hak Pakai.

D. Obyek Hak Tanggungan


Menurut UUPA, yang dapat digunakan sebagai jaminan utang dengan
dibebani dengan Hak Tanggungan adalah Hak Milik (Pasal 25), Hak Guna Usaha
(Pasal 33) dan Hak Guna Bangunan (Pasal 39), namun dalam praktek
perbankan, di samping itu di dalam praktek, Hak Pakai atas tanah Negara (bukan
di atas tanah Hak Milik), sering digunakan sebagai jaminan utang, hanya saja
tidak menggunakan hypotheek atau Credietverband, tetapi menggunakan
lembaga jaminan FEO (Fiduciaire Eigendom Overdracht) atau menggunakan
Surat Kuasa Menjual dari pemiliknya.
Untuk menampung perkembangan di dalam praktek tersebut di atas,
pembentuk UUHT kemudian memasukkan Hak Pakai sebagai obyek Hak
Tanggungan, hanya saja Hak Pakai yang dimaksud adalah hak pakai atas tanah
Negara dan yang dapat dialihkan.
Di dalam Pasal 4 UUHT disebutkan bahwa obyek hak tanggungan
meliputi :
1. Hak Milik
2. Hak Guna Usaha
3. Hak Guna Bangunan
4. Hak Pakai atas tanah Negara (yang terdaftar dan dapat dialihkan)
5. Dapat pula meliputi benda-benda yang terkait dengan tanah, seperti
bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut.
Dengan demikian, untuk dapat digunakan sebagai obyek Hak
Tanggungan, harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :
1. Asas Publisitas, artinya bahwa tanah yang akan dijadikan obyek Hak
Tanggungan haruslah tanah yang sudah terdaftar di Kantor Pertanahan
(tanah bersertifikat), namun demikian masih dimungkinkan terhadap
tanah-tanah yang belum bersertifikat sebagaimana yang diatur di dalam
Pasal 10 ayat (3) UUHT.
2. Asas Transferability, tanah yang akan digunakan sebagai obyek hak
tanggungan harus dapat dipindahtangankan.
3. Asas Certainability atau asas spesialitas, artinya tanah yang akan
dijaminkan harus dapat ditentukan luasnya, batas-batasnya dsb.

E. Tatacara Pemberian Hak Tanggungan


Pemberian hak tanggungan dapat dilakukan melalui cara, yaitu
pemberian hak tanggungan secara langsung oleh pemberi hak tanggungan
melalui penerbitan APHT (Akta Pemberian Hak Tanggungan) sebagaimana yang
diatur di dalam Pasal 10 UUHT, dan pemberian hak tanggungan melalui
pemberian kuasa dengan menerbitkan SKMHT (Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan) sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 15 UUHT.
Berikut tatacara pemberian hak tanggungan secara skematik:

KREDITOR PERJANJIAN DEBITOR


KREDIT

APHT
(dibuat oleh PPAT)

PENDAFTARAN
(Kantor Pertanahan)

BUKU TANAH BUKU TANAH


HAT HT

SERTIFIKAT SERTIFIKAT
HAK ATAS HAK TANGGUNGAN
TANAH
1. Tahap Pembuatan Perjanjian kredit dengan klausul Pemberian Hak
Tanggungan:
Merupakan tahap dibuatnya perjanjian kredit antara Kreditor
dengan Debitor, dimana di dalam perjanjian ini harus dicantumkan dalam
salah satu pasalnya tentang janji debitor memberikan hak tanggungan
sebagai jaminan pelunasan hutang sebagaimana yang diatur di dalam
Pasal 10 ayat (1) UUHT. Perjanjian ini merupakan perjanjian pokok yang
kemudian ditindaklanjuti dengan pembuatan perjanjian pemberian hak
tanggungan yang merupakan perjanjian asesoir.
Menurut Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UUHT, perjanjian kredit
(perjanjian pokok) ini dapat dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan
(onderhandse akta) atau akta autentik (authentieke akte). Serta dapat
dibuat di dalam maupun di luar negeri, yang penting kredit digunakan
untuk pembangunan di NKRI.

2. Tahap Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)


Janji memberikan hak tanggungan sebagaimana yang tercantum
di dalam Perjanjian Kredit (perjanjian pokok) kemudian ditindaklanjuti
dengan membuat dan menuangkannya di dalam sebuah akta yang
disebut denan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang dibuat
oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dengan demikian APHT
berfungsi sebagai bukti tentang Pemberian HT yang berkedudukan
sebagai dokumen perjanjian kedua (perjanjian tambahan) melengkapi
dokumen perjanjian kredit (perjanjian pokok).
APHT berisi hal-hal yang wajib dicantumkan serta hal-hal yang
dapat dicantumkan sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 11 UUHT.
Hal-hal yang wajib dicantumkan di dalam APHT ini bersifat
kumulatif, artinya harus dicantumkan secara lengkap, lalai mencantumkan
salah satu diantaranya, mengakibatkan APHT batal demi hukum
(penjelasan Pasal 11 UUHT), hal-hal yang wajib dicantukan secara
keseleruhan tersebut adalah (Pasal 11 ayat 1 UUHT):
a) nama dan identitas Pemegang dan Pemberi HT;
b) domisili para pihak;
c) penunjukkan secara jelas utang yang dijamin;
d) nilai tanggungan;
e) uraian yang jelas mengenai obyek HT.
sedang hal-hal yang dapat dicantumkan di dalam APHT adalah
janji-janji yang bersifat fakultatif, artinya para pihak dapat mencantumkan
kesepakatan-kesepakatan yang mereka buat di dalam APHT. Janji-janji
tersebut antara lain (Pasal 11 ayat 2 UUHT):
 Janji yang melarang Pemberi HT untuk merubah bentuk obyek
HT;
 Janji yang membatasi kewenangan Pemberi HT untuk
menyewakan obyek HT;
 Janji bahwa Pemberi HT akan mengosongkan obyek HT pada
waktu eksekusi HT
 Dsb.

3. Tahap Pendaftaran Pemberian HT


Dalam waktu tujuh hari kerja sejak penandatanganan APHT,
PPAT (Pejabat Pembuatan Akta Tanah) wajib mengirimkan APHT
beserta dokumen pendukungnya ke Kantor Pertanahan untuk didaftarkan
(Pasal 13 ayat 1 dan 2 UUHT).
Pendaftaran HT dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan
menerbitkan Buku Tanah Hak Tanggungan (BT-HT), yang ditanggali pada
hari ketujuh sejak diterimanya secara lengkap surat-surat yang diperlukan
bagi pendaftaran, dan mencatatnnya dalam Buku Tanah Hak Atas Tanah
(BT-HAT), serta Sertifikat Hak Atas Tanah. Tanggal di dalam BT-HT
sangat penting karena merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan (Pasal
13 ayat 3 UUHT).
Sebagai bukti adanya HT, Kantor Pertanahan menerbitkan
Sertifikat Hak Taggungan yang merupakan turunan atau salinan dari
Buku Tanah Hak Tanggungan dan diserahkan kepada Penerima HT.
Di dalam Sertifikat HT ini memuat irah-irah “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, yang berarti
mempunyai kekuatan eksekotorial yang sama dengan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Inkracht van
Gewijsde).
F. Beberapa Asas penting di dalam Hak Tanggungan
1. Asas Droit de Preference,
Yaitu suatu asas dimana hak tanggungan memberikan kedudukan
yang diutamakan bagi kreditor pemegang hak tangunggan terhadap
kreditor-kreditor lain. Kedudukan yang diutamakan tersebut tidak
mengurangi preferensi piutang-piutang negara menurut ketentuan yang
berlaku, seperti pajak yang belum dibayar. (Pasal 1 angka 1 UUHT).
2. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi
Artinya bahwa hak tanggungan membebani secara utuh boyek HT dan
setiap bagian daripadanya, telah dilunasinya sebagian dari hutang yang
dijamin tidak berarti terbebasnya sebagian obyek HT dari beban HT.
(Pasal 2 ayat 1 UUHT, bandingkan dengan Pasal 1163 KUHPerdata).
Sebagai akibat dari asas ini, maka di dalam hak tanggungan tidak
dimungkinkan adanya roya partial (pencoretan sebagian pada Buku
Tanah HAT maupun Buku Tanah Hak Tanggungan).
Asas tidak dapat dibagi-bagi ini dapat disimpangi oleh para pihak
apabila para pihak menghendakinya dengan syarat :
➢ Persetujuan tersebut dituangkan di dalam APHT;
➢ HT dibebankan kepada beberapa hak atas tanah;
➢ Pelunasan utang yang dijamin dilakukan dengan cara angsuran yang
besarnya sama dengan nilai masing-masing HAT yang merupakan
bagian dari obyek HT (Pasal 2 ayat 2 UUHT).
Penyimpangan asas ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat akan pembangunan perumahan.
3. HT hanya dapat dibebankan pada HAT yang telah ada.
Artinya bahwa obyek HT, yang berupa hak atas tanah, harus sudah
ada pada saat pendaftaran HT dilakukan. Dengan demikian HAT yang
baru akan ada atau baru dimiliki seseorang dikemudian hari, tidak dapat
dijadikan jaminan dengan menggunakan HT.
4. HT dapat dibebankan selain atas tanahnya juga berikut benda-benda
yang berkaitan dengan tanah tersebut.
Di samping HAT yang menjadi obyek HT, benda-benda berupa
bangunan, tanaman maupun hasil karya yang sudah ada maupun yang
akan ada, dapat pula dijadikan obyek HT, sepanjang benda-benda
tersebut berkaitan dengan tanah (Pasal 4 ayat 4 UUHT), termasuk pula
benda-benda yang bukan dimiliki oleh pemilik HAT (Ps. 4 ayat 5 UUHT).

G. Beralihnya Hak Tanggungan


Hak tanggungan dapat dialihkan dari pemegang hak tanggungan
pertama (Kreditor) kepada pemegang hak tanggungan kedua dan seterusnya,
dengan cara sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 16 UUHT, yaitu :
1. Cessie, yaitu perbuatan hukum mengalihkan piutang oleh kreditor
pemegang hak tanggungankepada pihak lain;
2. Subrogasi, yaitu penggantian kreditor oleh pihak ketiga yang melunasi
hutang debitor;
3. Pewarisan, yaitu penggantian kreditor yang meninggal dunia oleh ahli
warisnya;
4. Sebab-sebab lain, yaitu beralhinya piutang selain yang disebut di atas,
seperti dalam hal terjadinya pengambilalihan atau penggabungan suatu
perusahaan yang menjadi pemegang hak tanggungan.

H. Hapusnya Hak Tanggungan


Hak tanggungan hapus karena alas an-alasan sebagaimana yang
ditentukan di dalam Pasal 18 UUHT, yaitu :
1. Hapusnya hutang, sebagai konsekuensi dari perjanjian ikutan/asesoir,
apabila perjanjian pokok (hutang-piutang) hapus, maka perjanjian hak
tanggungan juga ikut hapus;
2. Dilepaskannya hak tanggungan oleh kreditor;
3. Pembersihan Hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat;
4. Hapusnya hak atas tanah.

I.

Anda mungkin juga menyukai