Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Fraktur Suprakondiler Humerus adalah fraktur yang terjadi di siku, di bagian distal
humerus, tepat diatas dari epikondilus humerus. Fraktur ini dihubungkan dengan terjadinya
beberapa komplikasi yaitu Volksmann iskemia, malunion, atau gangguan neurovaskuler. 1
2.2 EPIDEMIOLOGI
Fraktur suprakondiler humerus adalah fraktur yang sering ditemukan pada siku, sekitar
55% - 75% dari semua fraktur siku. Fraktur suprakondiler humerus lebih sering ditemukan
pada anak-anak dibandingkan dewasa. Tingkat rata-rata pertahun penderita fraktur
suprakondiler humerus pada anak-anak diperkirakan 177,3 / 100.000. Rentang usia puncak
terjadinya fraktur suprakondiler humerus yaitu diantara usia 5– 8 tahun, dengan
perbandingan pria dan wanita adalah 3 : 2, yang mana paling sering ditemukan pada siku kiri
atau sisi yang tidak dominan.2,3
2.3 ANATOMI
Humerus distal tampak seperti segitiga apabila dilihat dari sisi anterior atau posterior
(gambar 2.1) Diafisis humerus terbagi menjadi dua yakni medial dan lateral. Troklea
terbungkus oleh tulang rawan artikuler di bagian anterior, posterior, dan inferior yang
kemudian membentuk lengkungan kira-kira sebesar 2700.4
Gambar 2.1 A dan B. Gambaran Anterior Dan Posterior Dari Tulang Humerus Distal
Gambar 2.2 A dan B. Aliran darah intraoseus bagian dorsal dari tulang humerus distal kiri.
Bagian posterior kolum lateralis dari humerus distal dilindungi oleh origo distal dari
medial head otot Triceps dan bagian distal oleh origo Anconeus. Brachioradialis dan
Ekstensor Carpi Radialis Longus berasal dari ridgesuprakondiler lateral.Common Extensor
mass terdiri dari Extensor Carpi Radialis Brevis, Extensor Digitorum Communis, dan
Extensor Carpi Ulnaris, dan bagian cephal otot anconeus yang berasal dari lateral
epikondilus lateralis, posterior terhadap lateral kolateral ligamen kompleks.4
Tipe I Gartland tipe I dari merupakan fraktur suprakondiler yang tidak bergeser
atau minimal displaced (<2 mm) dan disertai dengan garis anterior humeral yang
utuh dengan atau tanpa adanya bukti cedera pada tulang. Posterior fat pad sign
merupakan satu-satunya bukti adanya fraktur. Fraktur tipe ini sangat stabil karena
periosteum sirkumferensial masih utuh. 13
Tipe III Gartland tipe III merupakan fraktur suprakondiler, dengan tanpa adanya
kontak pada korteks yang cukup. Biasanya disertai dengan ekstensi pada
bidangsagital dan rotasi pada frontal dan/atau bidangtransversal. Periosteum
mengalami robekan yang luas, sering disertai dengan kerusakan pada jaringan
lunak dan neurovaskular. Keterlibatan dari kolum medialis menyebabkan
malrotasi menjadi lebih signifikan pada bidang frontal dan diklasifikasikan
sebagai tipe III. Adanya deformitas rotasional yang tampak pada gambaran foto
rontgen posisi AP digolongkan pula sebagai fraktur tipe III Modifikasi
Klasifikasi Gartland yang dibuat oleh Wilkin, pada fraktur suprakondiler
humerus merupakan jenis klasifikasi yang paling diterima dan paling banyak
digunakan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Barton dkk, Nilai Kappa
terhadap variabilitas intraobserver dan interobserver dari klasifikasi ini
merupakan yang tertinggi dibanding klasifikasi yang digunakan sebelumnya11,13.
Trauma pada physis sangat umum terjadi pada anak-anak, sekitar 15-
30% dari semua trauma tulang. Meskipun terdapat berbagai klasifikasi trauma
pada physis, klasifikasi Salter-Harris (SH) merupakan sistem klasifikasi yang
paling banyak digunakan. Karena 90% trauma physis dapat dimasukkan ke
dalam lima tipe klasifikasi SH dengan menggunakan radiograf standar, apabila
dijumpai unclassifiable pattern, selanjutnya untuk menegakkan diagnosis
diperlukan imejing tambahan seperti radiografi proyeksi oblik, CT, MRI
ataupun arthrogram. Semakin besar derajat klasifikasinya, semakin buruk
prognosisnya.
A. Salter-Harris tipe I
B. Salter-Harris tipe II
E. Salter-Harris tipe V
Magnetic resonance imaging (MRI) berguna jika dijumpai gambaran radiograf yang
meragukan, yang dengan temuan MRI dapat mengubah protokol penanganan fraktur. Selain
itu, MRI juga dapat digunakan untuk mendeteksi adanya bone bruise, bony bar serta
kerusakan pada physis.12,21
2.8 PENATALAKSANAAN
A. Manajemen awal
D. Reduksi Terbuka
Indikasi dilakukannya tatalaksana reduksi terbuka adalah pada fraktur
terbuka, gagal setelah reduksi tertutup, dan fraktur yang berhubungan dengan
gangguan vaskularisasi. Pada masa lalu, reduksi terbuka dikhawatirkan
menyebabkan terjadinya kekakuan sendi, myositis osifikan, jaringan parut
yang mengganggu kosmetik dan cedera neurovaskular iatrogenik. Tetapi,
beberapa penelitian menunjukkan rendahnya komplikasi yang disebabkan oleh
reduksi terbuka. Penelitian yang dilakukan oleh Weiland dkk, melaporkan
bahwa 52 fraktur yang mengalami pergeseran, yang telah direduksi terbuka
melalui pendekatan lateral, 10% mengalami gangguan pergerakan sendi
tingkat sedang, namun tidak ada infeksi, nonunion, atau myositis osifikan. 2,5
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Fleuriau-Chateau dkk.
melaporkan, 34 kasus fraktur yang ditangani dengan reduksi terbuka melalui
pendekatan anterior, 6% (2) mengalami gangguan pergerakan sendi yang
signifikan, namun tidak ada yang mengalami infeksi, myositis osifikan,
malunion atau Volkmann kontraktur.22 Penelitian yang dilakukan oleh Reitman
dkk. melaporkan 78% (51) dari 65 kasus yang dilakukan reduksi terbuka (baik
melalui lateral atau medial) mengalami hasil yang memuaskan berdasarkan
kriteria yang dibuat oleh Flynn. Gangguan pergerakan sendi dilaporkan
dialami oleh 4 pasien. Pada studi kontrol acak prospektif terhadap 28 anak-
anak, Kaewpornsawan membandingkan reduksi tertutup dan fiksasi dengan
percutaneus pinning (melalui pendekatan lateral), didapatkan hasil pada pasien
yang dilakukan fiksasi dengan percutaneus pinning menunjukan tidak ada
perbedaan terhadap cubitus varus, cedera neurovaskular, range of motion,
union rate, atau terhadap kriteria Flynn.2,5
Pendekatan anterior memiliki keuntungan, terutama jika berkaitan
dengan neurovaskular, yakni memberikan visualisasi langsung tidak hanya
fragmen fraktur namun juga arteri branchialis dan saraf medianus. Insisi kecil
(5cm) sehingga baik secara kosmetik dibandingkan pendekatan lateral, dan
kontraksi jaringan parut tidak membatasi ekstensi bahu. Apabila terdapat
hematom yang biasanya terbentuk di daerah cubital, dapat dihilangkan melalui
dekompresi anterior. Keuntungan lainnya, baik epikondilus medialis atau
lateralis dapat dipalpasi sehingga dapat meminimalisir terjadinya malposisi
atau malrotasi. Pendekatan anterior menunjukkan tingkat kekakuan dan
komplikasi yang rendah, mirip dengan penatalaksanaan tertutup. Cubitus varus
terjadi sebanyak 33%, kebanyakan terjadi oleh karena reduksi yang tidak
adekuat. Jika reduksi baik, maka angka insiden terjadinya cubitus varus
Rendah2,13,18,24
Pendekatan posterior berhubungan dengan tingginya loss of range
motiondan osteonekrosis yang disebabkan oleh karena kerusakan suplai arteri
posterior menuju trochlea humerus, sehingga tidak direkomendasikan untuk
dilakukan untuk anak kecil. 2,18
Pendekatan medial memiliki keuntungan yakni saraf ulnaris dan kolum
medialis dapat terlihat dengan jelas dan secara kosmetik jaringan parut akan
samar oleh karena terletak di bagian dalam daripada lengan. Namun,
kekurangannya kolum lateralis akan sulit terlihat setelah reduksi.13
Cidera Saraf
Cidera saraf adalah komplikasi yang sering muncul berkaitan dengan
fraktur displaced suprakondiler, dengan prevalensi berkisar antara 5-19%. Pada
tahun 1995, Campbell dkk, menemukan kerusakan saraf medianus dalam 52%
kasus dan kerusakan saraf radialis sebanyak 28%, namun penelitian yang
dilakukan oleh Spinner dan Schreiber melaporkan bahwa yang paling sering
mengalami cedera pada fraktur suprakondiler humerus tipe ekstension adalah
saraf interosseusanterioryang ditandai dengan paralisisfleksor longus ibu jari
dan jari telunjuk tanpa disertai perubahan sensorik.2,5
Kerusakan pada saraf medianus berkaitan dengan pergeseran fragmen
distal ke arah posteromedial yang ditandai dengan sensoric losspada distribusi
persarafan nervus medianus, disertai dengan motoric loss pada otot-otot yang
mendapat inervasi dari saraf medianus. Penyembuhan fungsi sensorik hingga 6
bulan sedangkan fungsi motorik membaik dalam waktu 7-12 minggu. Indikasi
eksplorasi adalah fungsi saraf terganggu oleh karena fraktur terbuka, setelah
dilakukan reduksi tertutup pinning perkutan. Penelitian retrospektif yang
dilakukan oleh Royce dkk, bahwa dari 143 pasien dengan fraktur suprakondiler,
dilaporkan sejumlah 4 kasus dengan kerusakan saraf setelah fiksasi
menggunakan pinning. Sedangkan Lyon dkk melakukan penelitian terhadap 17
pasien yang diduga mengalami cedera pada nervus ulnaris yang dicurigai
disebabkan oleh pemasangan pin pada daerah medial. Hasilnya, semua pasien
tersebut mengalami pemulihan komplit dari fungsi sarafnya, walaupun banyak
diantara pasien tersebut yang baru mengalami penyembuhan setelah 4 bulan.
Hanya 4 dari 17 pasien yang dilakukan pencabutan dari pinnya. Penelitian ini
menunjukan bahwa penyembuhan dari cedera pada saraf ulnar dapat terjadi
tanpa perlu melakukan pencabutan pada pin tersebut.Namun, Karakurt dkk
melalui studi ultrasonografi, dengan menghilangkan penyebab terjadinya
penekanan tersebut, yaitu dengan cara mencabut pin yang terletak di bagian
medial lebih awal akan menyebabkan terjadinya penyembuhan yang lebih awal
terhadap sarafyang mengalami cedera tersebut.2,5
Deformitas
Deformitas berupa angulasi pada humerus distal sering terjadi pada
pasien dengan fraktur suprakondiler. Keterbatasan remodeling yang terjadi pada
humerus distal dikarenakan physis bagian distal hanya berkontribusi sebesar
20% terhadap pertumbuhan tulang humerus.2,5,10
Penyebab yang paling masuk akal terhadap terjadinya deformitas tersebut
pada fraktur suprakondiler adalah terjadinya malunion dibandingkan dengan
terjadinya growth arrest. Remodeling dapat terjadi pada bagian posterior,
namun tidak dapat terjadi angulasi pada bidang koronal, sehingga
mengakibatkan terjadinya deformitas cubitus varus atau valgus. Deformitas
cubitus varus adalah mengenai kosmetik bukan fungsional atau kecacatan,
deformitas yang terjadi adalah ekstensi daripada siku. Pembedahan seperti
tekniklateral closing-wedge osteotomy, dome rotational osteotomy, dan step-
cut lateral closing-wedge osteotomy juga merupakan suatu indikasi kosmetik.
Namun, osteotomy tersebut berkaitan dengan tingkat komplikasi yang
signifikan. Seperti yang dilaporkan oleh Labelle dkk, yang menyebutkan bahwa
33% pasien mengalami loss of correction dan atau disertai cidera saraf.
Sedangkan deformitas cubitus valgus menyebabkan kehilangan fungsional
ekstensi dan paralisis saraf tardyulnaris.2,5
Cubitus varus dapat dicegah dengan menjaga agar garis Bauman tetap
utuh saat melakukan reduksi dan selama masa penyembuhan. Pirone dkk
melaporkan terjadinya deformitas cubitus varus pada 8 ( 8% ) dari 101 pasien
yang ditangani dengan imobilisasi dengan casting dibandingkan dengan 2
( 2% ) dari 105 pasien yang ditangani dengan fiksasi menggunakan pin, dengan
rentang usia penderita antara 1,5 tahun sampai 14 tahun ( mean 6,4 th ). Tiga
penyebab utama terjadinya deformitas berupa cubitus varus ataupun cubitus
valgus adalah (1) Ketidakmampuan untuk menginterpretasikan hasil reduksi
tidak acceptable pada gambaran radiologis, (2) Ketidakmampuan untuk
menginterpretasikan hasil radiologis yang baik karena kurangnya pengetahuan
terhadap patofisiologi dari fraktur tersebut, (3) Loss of 32 reduction. Tidaklah
sulit untuk menginterpretasikan hasil radiologis dari lateral view. Interpretasi
yang lebih rumit terdapat pada anterior view. Jones view merupakan
pemeriksaan radiologis dari anterior, dengan posisi siku dalam fleksi maksimal
dan kaset diletakan pada bagian posterior dari siku, dan arah sinar 90 derajat
terhadap kaset. Penanganan terhadap deformitas cubitus varus di masa lalu
hanya berdasarkan pada permasalahan kosmetik saja, namun terdapat beberapa
masalah yang timbul jika cubitus varustersebut tidak ditangani, yaitu dapat
berupa meningkatnya resiko terjadinya fraktur pada condylus lateral, nyeri,
tardy posterolateral rotatory instability, dimana gejala-gejala tersebut
merupakan suatu indikasi untuk dilakukannya operasi rekonstruksi dengan cara
melakukan osteotomy pada suprakondiler humerus.
Kekakuan dan Myositis Ossificans
Loss of motionjarang terjadi pada pasien fraktur suprakondiler yang
direduksi secara anatomis. Kehilangan fungsi fleksi dapat terjadi dengan
fragmen distal angulasi ke arah posterior. Henrikson dkk, melaporkan kurang
dari 5% pasien dengan suprakondiler berkaitan dengan kehilangan fungsi fleksi
atau ekstensi mencapai 50jika dibandingkan dengan sisi yang tidak cidera.
Walaupun manipulasi dan terapi fisik dapat memicu terjadinya myositis
ossificans, namun komplikasi tersebut sangat jarang.2,5
Sindrom Kompartemen
Sindrom kompartemenpada fraktur suprakondiler diperkirakan antara 0,1
% - 0,3 %. Sindrom kompartemen forearm dapat terjadi dengan atau tanpa
cidera arteri brachialis dan teraba atau tidaknya nadi radialis. Diagnosis
sindrom kompartemen berdasarkan lima tanda klasik yakni pain, pallor,
pulselessness, paresthesia, dan paralysis. Selain itu, adanya tahanan terhadap
gerakan pasif jari dan nyeri progresif setelah fraktur.Blakemore dkk
menemukan bahwa prevalensi terjadinya sindrom kompartemenpada forearm
adalah 3 berbanding 33 pada kasus fraktur suprakondiler disertai dengan fraktur
pada radius. Battaglia dkk, menemukan bahwa ambang posisi untuk dapat
terjadinya peningkatan tekanan intrakompartement adalah posisi fleksi elbow,
antara 900– 1200. Hal ini menentukan pentingnya untuk melakukan imobilisasi
pada siku dengan sudut fleksi kurang dari 9023 Skaggs dalam penelitian yang
dilakukannya menunjukan bahwa walaupun arteri radialis masih teraba dan
capillary refill time masih normal, namun jika disertai terjadinya echimosis dan
pembengkakan yang hebat, ancaman terhadap terjadinya suatu compartment
syndrome harus tetap diwaspadai. Perhatian khusus harus dilakukan pada
fraktur suprakondiler yang disertai cedera pada nervus medianus, karena pada
pasien yang mengalami cedera pada nervus tersebut, pasien tersebut tidak dapat
merasakan terjadinya nyeri pada kompartement bagian volarnya.