Anda di halaman 1dari 7

MK : Politik Lingkungan Global

Annastasya Dewi Yuwanto


195120400111019
Definisi Politik Lingkungan Global

Seiring majunya pengetahuan dan teknologi, masyarakat maupun pemerintah juga


semakin sadar akan pentingnya isu lingkungan. Berbicara mengenai lingkungan, hal ini
menjadi tanggung jawab seluruh masyarakat global dan merupakan isu yang lintas batas karena
penyebab maupun dampak dari permasalahan yang muncul melibatkan banyak pihak. Kajian
mengenai politik lingkungan global telah muncul semenjak 70an, berangkat dari kekhawatiran
akan berbagai krisis dan bencana yang disebabkan kerusakan lingkungan serta kesadaran
bahwa krisis ini tidak dapat selesai dengan upaya individu negara, melainkan perlu adanya
entitas kerjasama. Di Stockholm 1972, The Unilted Nations Conference on the Human
Environment diselenggarakan dan untuk pertama kalinya isu lingkungan diangkat menjadi
agenda internasional.1 Upaya tersebut dilanjutkan dengan pembentukan World Commission on
Environment and Development oleh PBB pada 1983.

Sejauh mana sesuatu dapat didefinisikan sebagai “politik lingkungan internasional”,


menurut Porter dan Brown, persoalan tersebut setidaknya merupakan threat bagi the global
commons, atau dalam kata lain yaitu ancaman bagi ekosistem secara global dan melampaui
lintas batas negara. Situasi lingkungan menjadi krisis multidimensi karena pengaruhnya pada
beragam aspek dan di mana-mana. Pentingnya krisis ini kemudian menjadi dorongan bagi
aktor-aktor untuk mencari solusi yang tepat (Keraf, 2014). Lingkup bahasan pada Politik
lingkungan kurang lebih adalah politik mengenai pengelolaan sumber daya alam. 2 Menurut
Kraftt terdapat tiga perspektif dalam politik lingkungan yaitu perspektif ilmu pengetahuan,
perspektif ekonomi dan perspektif etika lingkungan.3 Dalam perspektif ilmu pengetahuan,
politik lingkungan harus mengadopsi dan mengadaptasi kebenaran yang disepakati oleh
komunitas akademis.

Terdapat lima klasifikasi dari objek studi yang paling dominan dalam pembahasan
Politik Lingkungan; degradation and marginalization; conservation and control;

1
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/31229/F.%20BAB%20II.pdf?sequence=6&isAllowed
=y
2
Siahaan, Verdinand R. (2020). POLITIK LINGKUNGAN INDONESIA TEORI & STUDI KASUS. Jakarta: UKI Press.
Diakses dalam http://repository.uki.ac.id/1826/1/PolitikLingkunganIndonesiacetak.pdf
3
Kraft, Michael E. (2011). Environmental Policy and Politics. Boston: Longman.
environmental conflict and exclusion; environmental subjects and identity; political
objects and actor.4

1. Degradation and marginalizations

Satu contoh pada narasi degradasi lahan dan marjinalisasi masyarakat misalnya ada
pada kasus penambangan di Teluk Buyat, Sulawesi Utara yang dilakukan oleh PT
Newmont Minahasa Raya.5 Di mana sejak 1996, perusahaan multinasional ini telah
melakukan aktivitas pertambangan di Teluk Buyat hingga ditutup pada 2004. Dari
aktivitas tambang ini, telah dihasilkan setidaknya 4,78 ton emas. LSM melayangkan
tuduhan pada perusahaan akibat ditemukannya pencemaran berupa merkuri dan arsen
di area tersebut. Puslabfor Mabes Polri setempat melaporkan ditemukannya sebanyak
2,030 - 9,801 mg/l konsentrasi merkuri, sebanyak 2,428 - 7,086 mg/l konsentrasi
merkuri di tempat pembuangan limbah, sedangkan baku mutu arsen 12
mikrogram/liter.

Data di atas membuat kasus ini termasuk dalam kasus degradasi lahan, khususnya
degradasi kimiawi yang mana terjadi ketidakseimbangan unsur hara, keracunan,
alkalinization (alkanisasi), hingga polusi (pencemaran). Pengertian degradasi lahan
sendiri adalah penurunan produktivitas lahan, baik bersifat kimiawi, biologis,
maupun secara fisik yang kemdian berakibat munculnya lahan kritis yang tidak lagi
produktif.6 Dalam kasus ini juga dapat ditemukan adanya Marginalisasi, yang berarti
bahwa pengeksploitasian lahan membuat masyarakat terpinggirkan secara ekonomi,
politik, budaya dan sosial mengikuti kebijakan eksklusi yang terkait dengannya.
Degradasi lahan yang terjadi menghambat akses masyarakat asli sekitar ke sumber
daya lahan produktif. Selain itu, jika dilihat dari perspektif politik ekologi, maka ada
relasi kekuasaan yang timpang yang berpengaruh terhadap degradasi lingkungan ini.7
Perusahaan sebagai actor yang memiliki power lebih, lebih dominan dalam
pengekploitasian, sedangkan masyarakat sebagai actor marginal yang lebih lemah,
tidak mendapat manfaatnya dan justru dirugikan untuk menanggung akibatnya.

4
Robbins, P. 2004. Political ecology: A critical introduction. Malden, MA: Blackwell Publishing,
5
Kementrian Energi dan Sumber daya Mineral. Merkuri di Buyat, dari Mana Asalnya? Diakses dari
https://www.minerba.esdm.go.id/berita/minerba/detil/20121013-merkuri-di-buyat-dari-mana-asalnya
6
Shrestha, D.P. (1995) Land degradation assessment in a GIS and evaluation of remote sensing data
integration. International Institute For Aerospace Suvey and Earth Science (ITC), Enschede, The Netherlands
7
Bryant, L. R., & Bailey. (1997). Third world political ecology. London: Routledge
2. Conservation and control

Salah satu upaya konservatif yang dilakukan di Indonesia adalah dengan penetapan
status Taman Nasional untuk melindungi keaslian lingkungan pada suatu area. Salah
satu area yang masih menjadi sengketa hingga saat ini adalah kasus Taman Nasional
Gunung Halimun Salak.8 Wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak
(TNGHS) ditetapkan sebagai Taman Nasional sejak 1992 melalui SK Menteri
Kehutanan Nomor 282/ Kpts-1111992, dengan luas 40.000ha.9 Namun dalam
kondisi faktualnya di lapangan, kebijakan penetapan taman nasional dihadapkan
dengan banyak kendala seperti, adanya permukiman dan penambangan tanpa izin.
Tercatat setidaknya sebanyak 314 pemukiman berada dalam kawasan TNGHS.
Keberadaan kampung-kampung yang masyarakatnya berinteraksi langsung dengan
kawasan TNGHS ini merupakan situasi yang berpotensi mendukung ataupun
menghambat kegiatan pengelolaan TNGHS dalam jangka panjang, namun di sisi lain
secara historis masyarakat juga sudah sejak lama mendiami kawasan memanfaatkan
SDA di area tersebut.

Konflik di area konservatif ini membuktikan thesis ‘conservation and control’ yaitu
kontrol sumber daya yang direbut dari masyarakat lokal (berdasarkan kelas, gender,
atau etnis) melalui pelaksanaan upaya pelestarian alam. Dalam prosesnya,
pemerintah dan kepentingan global yang berusaha melestarikan “lingkungan” telah
melumpuhkan sistem penghidupan, produksi, dan organisasi sosial-politik lokal.
Praktik produksi lokal secara historis produktif dan relatif ramah, dicirikan sebagai
tidak ‘sustainable’ oleh otoritas pemerintahan dalam perjuangan untuk mengontrol
sumber daya. Taman nasional dikonstruksikan sebagai suatu lingkungan alam yang
hanya terdiri dari flora dan fauna eksotis dan endemis. Kenyataan bahwa masyarakat
telah lama bermukim di wilayah TNGHS tidak diterima sebagai bagian integral dari
TNGHS, melainkan harus berada diluar kawasan.

8
Prabowo, Sapto A. (2010) Konflik Tanpa Henti: Permukiman dalam Kawasan Taman Nasional Halimun Salak.
Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. XVI, (3) hal. 137–142 diakses dalam
https://core.ac.uk/download/pdf/289799338.pdf
9
Yogaswara, Herry (2009) Taman Nasional dalam Wacana Politik Konservasi Alam: Studi Kasus Pengelolaan
Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Jurnal Kependudukan Indonesia Vol. IV (1) diakses dalam
https://ejurnal.kependudukan.lipi.go.id/index.php/jki/article/view/178/210
3. Environmental conflicts and exlusion

Tesis konflik dan eksklusi lingkungan adalah tentang bagaimana peningkatan


kelangkaan dapat terjadi melalui penyitaan sumber daya oleh otoritas negara,
perusahaan swasta atau elit sosial yang dapat mempercepat konflik antar kelompok.
Demikian pula, konflik yang ada dan konflik jangka panjang di dalam dan di antara
masyarakat “diekologi” oleh perubahan dalam kebijakan konservasi atau
pengembangan sumber daya. Misalnya kasus pengembangan agrikultur di Gambia,
Gambia merupakan salah satu sasaran lembaga pembangunan internasional untuk
peningkatan produksi pangan dan tanaman komersial. Di sana tenaga kerja dibagi
dalam hal di mana tenaga kerja harus bekerja, serta siapa yang menguasai produk
pertanian dari berbagai jenis pekerjaan. Laki-laki dan perempuan masing-masing
memiliki hak dan kewajiban atas tempat dan waktu yang berbeda, dibawah inisiatif
‘pembangunan’ hal ini menjadi sumber manipulasi dan peningkatan konflik.10
Wanita diharapkan untuk menghasilkan makanan rumah tangga melalui peningkatan
tenaga kerja di lahan yang sebelumnya digunakan untuk produksi kamanyango
mereka sendiri. Tuntutan ini datang baik dari otoritas pembangunan.

Semua perubahan ini memicu konflik. Hilangnya tanah kamanyango dan tunjangan
tenaga kerja berarti hilangnya otonomi bagi perempuan serta hilangnya pendapatan
yang selanjutnya menimbulkan konflik dalam kerja sama dan timbal balik rumah
tangga. Singkatnya, perubahan dalam panen dan teknologi berarti perubahan
properti, yang berarti perubahan tenaga kerja dan beban kerja. Beberapa manfaat
komunitas adalah biaya pribadi orang lain. Dalam hal ini, seperti di banyak kasus
lainnya, harga pembangunan dibayar oleh perempuan, khususnya sebagai akibat dari
ekologi sosial yang dijelaskan di atas, di mana tenaga kerja dan hak-hak distratifikasi
secara sosial. Pelajaran langsung adalah bahwa peningkatan fokus pada perempuan
dalam pembangunan sama sekali tidak mewakili pemahaman atau keterlibatan yang
lebih baik dengan gender dan hubungan kekuasaan yang melekat dalam sistem
dengan pembagian kerja yang ketat. Oleh karena itu, kasus ini mengungkapkan
asumsi patriarki dalam upaya pengelolaan dan pembangunan lingkungan.

4. Environmental subjects and identity

10
Robbins P. Op. cit. hal. 202-204
Subjek dan identitas lingkungan baru diproduksi dalam kaitannya dengan
lingkungan. Tema ini juga mempertimbangkan bagaimana hubungan masyarakat
dengan lingkungan dimediasi oleh 'pengetahuan lingkungan' itu. Dengan demikian,
pengetahuan ekologis dan tata kelola ekologis saling menghasilkan. Tesis subjek
lingkungan dan identitas adalah kebalikan dari tesis degradasi dan marginalisasi; di
mana eksploitasi mengarah pada penghancuran simultan sumber daya produktif dan
produsen lokal, konservasi dan tata kelola alam menyatukan komunitas dan
kepentingan yang berbeda ke dalam tindakan kolektif dan dengan demikian menjadi
kesadaran kolektif. Di sini, komunitas menegaskan identitas mereka melalui cara
mereka mencari nafkah dan sebaliknya. Namun, pada saat yang sama, negara
konservasi dan otoritas lainnya, dengan menetapkan syarat-syarat pemerintahan
sendiri, kepemilikan, dan tanggung jawab, dapat mengembangkan dan menggunakan
kapasitas tidak hanya untuk mengatur lingkungan, tetapi juga untuk mengatur
subjektivitas lokalnya.

Misalnya kita berbicara tentang suku Maya, identik dengan suatu kultur grup yang
memiliki budaya literatur dan praktik ritual. Menciptakan identitas Maya telah
menjadi komponen marginalisasi dan kontrol Maya. Upaya NGO untuk menghargai
praktik agroforestri Maya yang dianggap tradisional atau asli telah menyebabkan
kelompok-kelompok yang bersaing semakin mengklaim mata pencaharian dan
identitas dalam upaya merebut dan menguasai sumber daya lahan. Produsen lokal –
yang mewakili berbagai komunitas bersejarah, pemukim, dan penduduk –
mengadaptasi kehutanan dan pertanian mereka agar sesuai dengan cita-cita NGO
yang sekarang memutuskan praktik yang sesuai.11

Keterikatan ini semakin mengonfigurasi ekspektasi tentang gender dan budaya, di


mana Kelompok Wanita Penyelamat Tanaman Obat Itza berinteraksi dengan
organisasi non-pemerintah internasional. Maya, dalam pengertian ini, adalah subjek
pembangunan: artefak sistem pengetahuan hegemonik yang terkait dengan sejarah
penjajahan, belum lagi harapan rasial dan maskulin. Namun, ini tidak berarti bahwa
identitas seperti itu selalu melumpuhkan. Memang, gerakan-gerakan sosial di
kawasan, yang seringkali merupakan upaya radikal untuk menciptakan kondisi dan
solidaritas demokrasi baru, terkadang justru memanfaatkan kiasan dan gagasan ini,

11
Robbins P. Op. cit. hal. 220-222
meskipun dengan cara yang rumit dan tidak merata. Namun, identitas Maya
sepenuhnya bergerak, terkait dengan hak untuk mengontrol lahan dan praktik
lingkungan, menghubungkan siapa yang menurut orang (atau dikatakan) dengan apa
yang mereka lakukan. Prioritas ekologis dan definisi diri masyarakat tidak
mendahului tindakan mereka dalam konteks pembangunan; mereka adalah bagian
dari hasil pembangunan yang sarat kekuasaan

5. Political objects and actor

Orang, institusi, komunitas, dan negara berkumpul dan berpartisipasi dalam jaringan
dan memanfaatkan kekuatan dan pengaruh, seperti yang dilakukan organisme dan
komunitas non-manusia. Institusi dan individu hegemonik (kementerian lingkungan,
perusahaan multinasional, dan rimbawan yang korup) telah memperoleh pengaruh
yang tidak proporsional dengan mengendalikan dan mengarahkan koneksi dan
transformasi baru, yang mengarah pada konsekuensi yang tidak diinginkan dan
seringkali hasil yang merusak. Dalam prosesnya, perlawanan muncul dari aliansi
manusia/non-manusia tradisional, alternatif, atau progresif yang terpinggirkan oleh
upaya tersebut. Argumen ini didasarkan pada dua pengamatan utama tentang alam
material, objek, dan non-manusia12

Konservasi telah lama menjadi tempat penyelidikan ekologi politik dari permainan
kekuasaan. Dengan menetapkan kawasan dan aturan konservasi dan dengan
menegakkan prioritas konservasi dalam berbagai bentuk, orang datang untuk
mengontrol lingkungan, satu sama lain, dan aliran nilai untuk lanskap. Perlu dicatat,
bagaimanapun, bahwa sebagian besar aktor utama dalam konservasi lingkungan
bukanlah manusia dan jarang melakukan perilaku dan tanggapan ekologis mereka
memetakan dengan baik ke dalam rencana bahkan rencana konservasi yang paling
kejam sekalipun. Ekologi spesifik beruang dan habitatnya berarti bahwa ia mengintai
medan, area, dan bagian lanskap tertentu. Ketika resolusi pertanyaan konservasi
menjadi terpusat secara khusus pada area habitat grizzly di awal 2000-an, oleh karena
itu, beruang datang untuk berdiri, sebagai pengganti, untuk keanekaragaman hayati
secara lebih umum. Ke mana beruang pergi, dalam arti tertentu, adalah di mana
sumber daya konservasi keuangan akan mengalir. Beruang, dalam pergerakan, pola
makan, dan pola hidupnya, menggambar peta konservasi di wilayah tersebut. Dengan

12
Robbins P. Op. cit. hal. 232
menyangkal peran beruang dalam semua ini, mungkin lebih mudah untuk melupakan
penderitaan mereka yang sebenarnya. Demikian juga, dengan mendesentralisasikan
beruang, kita menjadi kurang mampu mempertimbangkan ekologi mereka dalam
hubungan politik yang kita amati. Tetapi pengakuan atas kualitas-kualitas diskursif
dan material secara simultan dari interaksi-interaksi ini kurang terlayani oleh
argumen-argumen untuk dunia fisik yang begitu penuh dengan klaim-klaim
diskursif.13

Pengaruh non-manusia dalam politik sangat menyegarkan dalam banyak hal. Ini
memaksa ekologi politik untuk mempertimbangkan lebih serius ekologi, mekanika,
genetika, teknik, dan fisika dunia yang dikenal di mana perjuangan terjerat. Kasus
beruang, dan ekonomi brutal yang tidak dapat disangkal yang mengelilingi mereka,
jelas memaksa kita untuk berhenti sejenak dan berpikir tentang penderitaan dan kerja
keras dari makhluk lain (yang bukan manusia).

13
Robbins P. Op. cit. hal. 236-240

Anda mungkin juga menyukai