Anda di halaman 1dari 32

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Pengertian Evaluasi Program

Perkembangan Evaluasi sudah dimulai sejak masa lalu. Stufflebeam,

Madaus, Kellaghan (2000:4) membagi perkembangan evaluasi sebagai

berikut,...”the first in the period prior to 1900, which we call the Age of Reform;

the second from 1990 until 1930, we call the Age of Efficiency and Testing; the

third, from 1930 to 1945, may be called the Tylerian Age; the fourth, from 1946 to

about 1957, we call the Age of Innocence; the fifth, from 1958 to 1972, is the Age

of Development; the sixth, from 1973 to 1983, the Age of Professionalization; and

finally the seventh from 1938 to 2000 the Age of Expansion and Integration”.

Menurut Sukardi (2014:2), Evaluasi yaitu suatu proses mencari data atau

informasi tentang objek atau subjek yang dilaksanakan untuk tujuan pengambilan

keputusan terhadap objek atau subjek tersebut. Sedangkan Evaluasi Program

Sukardi (2014:3) merupakan evaluasi yang berkaitan erat dengan suatu program

atau kegiatan pendidikan, termasuk di antaranya tentang kurikulum, sumber daya

manusia, penyelenggaraan program, proyek penelitian dalam suatu lembaga.

Aziz, Mahmood, Rehman (2018) menerangkan ”Evaluation is the

process of determining the extent to which objectives are attained. It is concerned

not with the appraisal of achievement but also with the improvement”. Sementara

itu menurut Sukardi (2014:3), evaluasi bisa dipandang:”... as a structured process

that creates and synthesizes information intended to reduce uncertainty for

13
stakeholders about a given program or policy”. Artinya, evaluasi program

sebagai proses terstruktur yang menciptakan dan menyatukan informasi bertujuan

untuk mengurangi ketidakpastian para pemangku kepentingan tentang program

dan kebijakan yang ditentukan. Langbein dan Felbinger dalam Setyoko, Tunas,

Sunaryo (2016), menerangkan “is the application of emprical social science

research methods to the process of judging the effectiveness of public policies,

program, or project, as well as their management and implementation, for

decision-making purpose”. Sedangkan Sukardi (2014:8) Evaluasi adalah sebuah

proses sistematis pengumpulan dan penganalisisan data untuk pengambilan

keputusan. Dari aspek program, evaluasi dapat dikatakan suatu kegiatan

pengevaluasian yang dilakukan secara berkesinambungan dan ada dalam suatu

organisasi. Program dapat diartikan menjadi dua hal, yaitu sebagai rencana dan

juga sebagai kesatuan kegiatan pengelolaan. Chiriboga (2003) mengatakan bahwa

“program evaluation merged the perspectives of two populations of working

professionals: the program presenters and the program participants”.

Dalam Samuelson dan Ahmen (2000) mengatakan “the content and

disposition of the program was evaluated by the study patients utilizing a

questionnaire distributed immediately after the course.” Selanjutnya, menurut

Stufflebeam dan Shinkfield dalam Widoyoko (2013:3) menyatakan bahwa:

“evaluation is the process of delineating, obtaining, and providing descriptive and

judmental information about the worth and merit of some object’s goals, design,

implementation, and impact in order to guide decision making, serve needs for

accountability, and promote understanding of the involved phenomena. Copeland

14
dan Goss (2005), “the evaluation was completed to determine if the program has

had positive impact on the test scores and on the students perception of the

usefulness of the program in contributing to the their success in graduate school,

and to identify areas that could be improved.” Yang berarti, evaluasi merupakan

suatu proses menyediakan informasi yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan

untuk menentukan harga dan jasa (the worth and merit) dari tujuan yang dicapai,

desain, implementasi dan dampak untuk membantu membuat keputusan,

membantu pertanggungjawaban dan meningkatkan pemahaman terhadap

fenomena.

Menurut Komite Studi Nasional tentang Evaluasi (National Study

Committe on Evaluation) dari UCLA dalam Widoyoko (2013:4), ,menyatakan

bahwa: “evaluation is the process of ascertaining the decision of concern,

selecting appropriate information, and collecting and analyzing information in

order to report summary data useful to decision makers in selecting among

alternatives. Artinya, evaluasi merupakan suatu proses atau kegiatan pemilihan,

pengumpulan, analisis dan penyajian informasi yang dapat digunakan sebagai

dasar pengambilan keputusan serta penyusunan program selanjutnya. Sedangkan,

menurut Brinkerhoff dalam Widoyoko (2013:4) menjelaskan bahwa evaluasi

merupakan proses yang menentukan sejauh mana tujuan pendidikan dapat dicapai.

Dalam pelaksanaan evaluasi ada tujuh elemen yang harus dilakukan, yaitu: 1)

penentuan fokus yang akan dievaluasi (focusing the evaluation), 2) penyusunan

desain evaluasi (designing the evaluation), 3) pengumpulan informasi (collecting

information), 4) analisis dan interpretasi informasi (analyzing and interpreting),

15
5) pembuatan laporan (reporting information), 6) pengelolaan evaluasi (managing

evaluation), 7) evaluasi untuk evaluasi (evaluating evaluation). Menurut Eseryel

dalam Oluwatobi (2015) “...six basic approaches to evaluation: goal based

evaluation, goal-free evaluation, responsive evaluation, systems evaluation,

professional review and quasi-legal evaluation, and points out that researchers

and other evaluators should be familiar with the different

models and chose the one most appropriate to their aims.”

Selanjutnya menurut Suharsimi Arikunto (2013:325), evaluasi program

adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk melihat

tingkat keberhasilan program. Melakukan evaluasi program adalah kegiatan yang

dimaksudkan untuk mengetahui seberapa tinggi tingkat keberhasilan dari kegiatan

yang direncanakan. Lebih rinci menurut Encyclopedia of Evaluation dalam Warju

(2016), “evaluation is an applied inquiry process for collecting and synthesizing

evidence that culminates in conclusions about the state of affair, value, merit,

worth, significance, or quality of a program, product, person, policy, proposal or

plan.” Menurut Wirawan (2012:7), evaluasi sebagai riset untuk mengumpulkan,

menganalisis, dan menyajikan informasi yang bermanfaat mengenai objek

evaluasi, menilainya dengan membandingkannya dengan indikator evaluasi dan

hasilnya dipergunakan untuk mengambil keputusan mengenai objek evaluasi.

Revees dalam Pauzi, Saim, Kusenin, Kamaluddin (2017) mengatakan


“evaluation is a method of identifying how far a program or training course being
carried out is effective towards its organisation”. Dan Menurut Philips dalam
Rohman (2017), evaluasi terdiri dari komponen kompetensi pengembangan
karakter, kompetensi strategi permainan, kompetensi motivasi, dan kompetensi
teknik. Sedangkan Menurut Boulmetis dan Dutwin dalam Topno (2012), “...

16
evaluation as the systematic of collecting and analyzing data in order to
determine whether and to what degree objectives were or are being achieved...”
Menurut Daryanto dalam Putri dan Muslim (2017) Evaluasi merupakan sebuah
proses menggambarkan, memperoleh dan menyajikan informasi yang berguna
untuk menilai alternatif keputusan. Berdasarkan beberapa defini para ahli, dapat
disimpulkan evaluasi adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk menilai suatu
kegiatan yang hasilnya dapat dijadikan sebagai tolak ukur untuk melanjutkan,
memperbaiki atau menghentikan kegiatan tersebut.
2. Tujuan Evaluasi Program

Menurut Wirawan (2012:22), tujuan melaksanakan evaluasi antara lain

adalah:

a. Mengukur pengaruh program terhadap masyarakat. Program

dirancang dan dilaksanakan sebagai layanan atau intervensi sosial

(social intervention) untuk menyelesaikan masalah, problem, situasi,

keadaan yang dihadapi masyarakat. Program juga diadakan untuk

mengubah keadaan masyarakat yang dilayani.

b. Menilai apakah program telah dilaksanakan sesuai dengan rencana.

Setiap program direncanakan dengan teliti dan pelaksanaanya harus

sesuai dengan rencana tersebut.

c. Mengukur apakah pelaksaan program sesuai dengan standar. Setiap

program dilaksanakan berdasarkan standar tertentu.

d. Evaluasi program dapat mengidentifikasi dan menemukan mana

dimensi program yang jalan, mana yang tidak tidak berjalan. Suatu

evaluasi proses atau manfaat memungkinkan manajer program

menjawab berbagai pertanyaan mengenai program.

17
e. Pengembangan staf program. Evaluasi dapat dipergunakan

mengembangkan kemampuan staf garis depan yang langsung

menyajikan layanan kepada klien dan para pemangku kepentingan

lainnya.

f. Memenuhi ketentuan undang-undang. Suatu program dirancang dan

dilaksanakan berdasarkan ketentuan undang-undang untuk

menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh masyarakat.

g. Akreditasi program. Lembaga-lembaga yang melayani kebutuhan

masyarakat perlu dievaluasi untuk menentukan apakah telah

menyajikan layanan kepada masyarakat sesuai dengan standar

layanan yang ditentukan.

h. Mengukur cost effectiveness and cost-effectiveness. Untuk

melaksanakan suatu program diperlukan anggaran yang setiap

organisasi mempunyai keterbatasan jumlahnya.

i. Mengambil keputusan mengenai program. Salah satu tujuan evaluasi

program adalah untuk mengambil keputusan mengenai program.

j. Accountabilitas. Evaluasi dilakukan juga untuk pertanggungjawaban

pimpinan dan pelaksana program.

k. Memberikan balikan kepada pimpinan dan staf program.

Sedangkan menurut Sukardi (2014:10), fungsi evaluasi adalah sebagai

umpan balik terhadap proses penyelenggaraan lembaga, tetapi yang lebih penting

lagi adalah di dalam umpan balik terdapat fungsi pemberdayaan yang

mengevaluasi semua komponen dalam kinerja program sehingga program

18
memiliki nilai tambah dan dalam kerangka kerja yang wajar dan bisa

dipertanggung jawabkan. Evaluasi program juga bisa bermanfaat secara efektif

manakala dilengkapi dengan fungsi monitor, yaitu melihat secara kontinu dan

terus menerus suatu program atau proyek. Evaluasi juga menjadi berdaya guna

jika dalam evaluasi pimpinan melengkapinya dengan fungsi lainnya, yaitu

mengontrol agar program tetap berada dalam koridor mutu dan memliki

kewenangan untuk mengendalikan dalam tingkat penjaminan layanan atau servis

baik pada para penggunanya maupun pemangku kepentingan.

Selanjutnya menurut Widoyoko (2013:6), menyatakan bahwa tujuan

evaluasi adalah untuk memperoleh informasi yang akurat dan objektif tentang

suatu program. Informasi tersebut dapat berupa proses pelaksanaan program,

dampak atau hasil yang diacapai, efisiensi serta pemanfaatan hasil evaluasi yang

difokuskan untuk program itu sendiri, yaitu mengambil keputusan apakah di

lanjutkan, diperbaiki atau dihentikan. Selain itu, juga dipergunakan untuk

kepentingan penyusunan kebijakan yang terkait dengan program. Salsabila (2013)

mengatakan Evaluasi Program terbagi menjadi beberapa model yaitu; (1) Goal

Free Oriented Evaluation Mode. (2) Black Box Tyler Model. (3) Logic Model

Evaluation. (4) CSE-UCLA Model. (5) Discrepancy Evaluationt Model (DEM).

(6) Formatif-Sumatif Model. (7) Kirpatrick Model. (8) Responsive Model (9)

Transaction Evaluation. (10) Need Assesement Model. (11) Context, Input,

Process, Product (CIPP). (12) Context, Input, Process, Ouput (CIPO). (13)

Illuminative Model (14) Hammon Evaluation Model dan (15) Multiple Site

Evalluations (MSEs).

19
3. Evaluasi Model CIPP

Model evaluasi CIPP mulai dikembangkan oleh Daniel Stufflebeam pada

tahun 1966. Stufflebeam menyatakan model evaluasi CIPP merupakan kerangka

yang komprehensif untuk mengarahkan pelaksanaan evaluasi formatif dan sumatif

terhadap objek program, proyek, personalia, produk, institusi, dan sistem. Model

evaluasi ini dikonfigurasi untuk dipakai oleh evaluator internal yang dilakukan

oleh organisasi evaluator, evaluasi diri yang dilakukan oleh tim proyek atau

penyedia layanan individual yang dikontrak atau evaluator eksternal. Model

evaluasi ini dipakai secara meluas di seluruh dunia dan dipakai untuk

mengevaluasi berbagai disiplin dan layanan misalnya pendidikan, perumahan,

pengembangan masyarakat, transportasi, dan sistem evaluasi personalia militer.

Gunung dan Darma (2019) menjelaskan “CIPP Model was used because the

effectiveness of this evaluation model can be measured to obtain formative and

summative result and also to the ability in solving problem that occur”.

Lebih lanjut Stufflebeam (2007), mengatakan bahwa ‘the CIPP model is

a comprehensive framework for guiding evaluations of program, project,

personnel, products, instutions, and systems’. Menurut Wirawan (2012:92), model

CIPP terdiri dari empat jenis evaluasi, yaitu: Evaluasi Konteks (Context

Evaluation), Evaluasi Masukan (Input Evaluation), Evaluasi Proses (Process

Evaluation), dan Evaluasi Produk (Product Evaluation).

a. Evaluasi Konteks. Menurut Daniel Stufflebeam dalam Wirawan

(2012:92), evaluasi konteks untuk menjawab pertanyaan: Apa yang

perlu dilakukan? (What needs to be done?) Evaluasi ini

20
mengidentifikasi dan menilai kebutuhan-kebutuhan yang mendasari

disusunnya suatu program.

b. Evaluasi Masukan. Evaluasi masukan untuk mencari jawaban atas

pertanyaan: Apa yang harus dilakukan? (What should be done?)

evaluasi ini mengidentifikasi dan problem, aset, dan peluang untuk

membantu para pengambil keputusan mendefinisikan tujuan,

prioritas-prioritas, dan membantu kelompok-kelompok lebih luas

pemakai untuk menilai tujuan, prioritas, dan manfaat-manfaat dari

program, menilai pendekatan alternatif, rencana tindakan, rencana

staf, dan anggaran untuk feasibilitas dan potensi cost effectiveness

untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan yang ditargetkan. Para

pengambil keputusan memakai evaluasi masukan dalam memilih di

antara rencana-rencana yang ada, menyusun proposal pendanaan,

alokasi sumber-sumber, menempatkan staf, menskedul pekerjaan,

menilai rencana-rencana aktivitas, dan penggaguran.

c. Evaluasi Proses. Evaluasi proses berupaya untuk mencari jawaban

atas pertanyaan: apakah program sedang dilaksanakan? (Is it being

done?) Evaluasi ini berupaya mengakses pelaksanaan dari rencana

untuk membantu staf program melaksanankan aktivitas dan kemudian

membantu kelompok pemakai yang lebih luas menilai program dan

menginterpretasikan manfaat.

d. Evaluasi Produk. Evaluasi produk diarahkan untuk mencari jawaban

pertanyaan: Did itu succed? Evaluasi ini berupaya mengidetifikasikan

21
dan mengakses keluaran dan manfaat, baik yang direncanakan atau

yang tidak direncanakan, baik jangka pendek maupun jangka

panjang. Keduanya untuk membantu staf menjaga upaya

memfokuskan pada mencapai manfaat yang penting dan akhirnya

untuk membantu kelompok-kelompok pemakai yang lebih luas

mengukur kesuksesan upaya dalam mencapai kebutuhan-kebutuhan

yang ditargetkan.

Model Evaluasi CIPP juga mempunyai beberapa keunggulan menurut

Hakim, Tunas, Rubini (2018) “...(1) is a dynamic work system, (2) a

holistic approach in its evaluation process aimed at providing

a detailed and broad overview of a project from the context to

the time of its implementation process; (3) can make

improvements during the program as well as provide final

information; and (4) has the potential to move on formative

and summative evaluations; and more comprehensive than

other models [3]...”. Divayana dan Sanjaya (2017) mengatakan bahwa “one of the

strengths of CIPP model is especially, that it is a useful and simple tool for

helping evaluators produce questions of vital importance to be asked in an

evaluation process”.

22
4. Sistem Pembinaan Olahraga Prestasi

Menurut Suratman (2015), pembangunan olahraga pada dasarnya

merupakan suatu pelaksanaan sistem. Prestasi olahraga merupakan perpaduan dari

berbagai aspek usaha dan kegiatan yang dicapai melalui sistem pembangunan.

Tingkat keberhasilan pembangunan olahraga ini sangat tergantung pada

keefektifan kerja sistem tersebut. Makin efektif kerja sistem, maka akan makin

baik kualitas yang dihasilkan, demikian juga sebaliknya. Pembinaan dan

pengembangan pada dasarnya adalah upaya pendidikan formal maupun non

formal yang dilaksanakan secara sadar, berencana, terarah, teratur dan

bertanggung jawab. Kesemuanya itu dilakukan dalam rangka memperkenalkan,

menumbuhkan, membimbing, dan mengembangkan suatu dasar kepribadian yang

seimbang, utuh dan selaras, demi prestasi olahraga yang lebih baik lagi. Selain itu

sistem pembangunan dan pembinaan yang tepat diyakini akan menghasilkan mutu

dan kualitas sumber daya manusia yang optimal.

Pembinaan dan pembangunan olahraga prestasi dilaksanakan dan

diarahkan untuk mencapai prestasi olahraga pada tingkat daerah, nasional dan

internasional. Pembinaan dilakukan oleh induk organisasi cabang olahraga baik

pada tingkat daerah maupun pada tingkat pusat. Pembinaan juga dilaksanakan

dengan memberdayakan perkumpulan olahraga, menumbuh kembangkan sentra

pembinaan olahraga yang bersifat nasional dan daerah serta menyelenggarakan

kompetisi secara berjenjang dan berkelanjutan (Undang-undang nomor 3 tahun

2005).

23
Ada empat program pemerintah yang akan dilaksanakan dalam upaya

pembangunan olahraga nasional yaitu: 1) program pengembangan dan keserasian

kebijakan Olahraga; 2) program pemasyarakatan olahraga dan kesegaran jasmani;

3) program pemanduan bakat dan pembibitan olahraga; 4) program peningkatan

prestasi olahraga. Pelaksanaan program-program pembangunan tersebut dilakukan

secara merata, sistematis dan terpadu untuk seluruh lapisan masyarakat di seluruh

tanah air dengan menyesuaikan kondisi geografi dan budaya bangsa, serta

melibatkan seluruh potensi dan kekuatan bangsa sehingga dapat diwujudkan suatu

keluarga, masyarakat dan bangsa yang memiliki kemampuan olahraga yang

tangguh, yang pada akhirnya dapat meningkatkan mutu kehidupan dan prestasi

olahraga di tingkat nasional, regional maupun internasional (Undang-Undang No

25 tahun 2000).

Olahraga prestasi adalah kegiatan olahraga yang dilakukan dan dikelola

secara profesional dengan tujuan untuk memperoleh prestasi optimal pada

cabang-cabang olahraga. Atlet yang menekuni salah satu cabang tertentu untuk

meraih prestasi olahraga, dari mulai tingkat daerah, nasional, serta internasional

harus memiliki tingkat kebugaran yang baik dan harus memiliki keterampilan

pada salah satu cabang olahraga yang ditekuninya.

Olahraga prestasi menurut Undang-undang RI No. 3 Tahun 2005 adalah

olahraga yang membina dan mengembangkan olahragawan secara terencana,

berjenjang, dan berkelanjutan melalui kompetisi untuk mencapai prestasi dengan

dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan. Oleh karena itu

pemerintah harus bertanggung jawab untuk memajukan prestasi olahraga nasional

24
di ajang yang lebih tinggi yaitu di tingkat internasional. Olahraga prestasi

dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan dan potensi

olahragawan dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat bangsa yang

dilakukan setiap orang yang memiliki bakat, kemampuan, dan potensi untuk

mencapai prestasi.

Prestasi merupakan pencapaian akhir yang memuaskan yang telah

dicapai berdasarkan target awal yang dibebankan. Prestasi tidak selalu identik

dengan juara, walaupun tidak menjadi juara atau meraih kemenangan, tetapi bila

itu sudah dapat memenuhi atau melampaui target awal, maka itu sudah dapat

dikatakan berprestasi. Sedangkan kata olahraga mengandung makna segala

kegiatan yang sistematis untuk mendorong, membina, serta mengembangkan

potensi jasmani, rohani, dan sosial dan biasanya berorientasi terhadap pencapaian

prestasi. Jadi prestasi olahraga adalah suatu pencapaian akhir yang diperoleh

dengan melakukan kegiatan olahraga dan mampu mencapai hasil yang telah

ditargetkan sebelumnya. Undang-undang RI Nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem

Keolahragaan Nasional menjelaskan bahwa prestasi olahraga bisa tercapai,

apabila memenuhi beberapa kriteria seperti: atlet potensial, selanjutnya dibina dan

diarahkan oleh sang pelatih. Untuk memenuhi sarana dan prasarana latihan dan

kebutuhan kesejahteraan pelatih dan atlet perlu perhatikan dari pembina/pengurus

induk cabang olahraga. Untuk melihat dan mengevaluasi hasil pembinaan, perlu

memberikan uji coba dengan melakukan kompetisi dan try out baik di dalam

negeri maupun di luar negeri dengan tujuan mengukur kemampuan

bertanding/berlomba dan kematangan sebagai pembentukan teknik, fisik, dan

25
mental bertanding, tetapi perlu diingat bahwa aktivitas kriteria di atas bisa

bberjalan apabila ditunjang oleh pendanaan yang profesional serta penggunaannya

harus dengan penuh tanggungjawab. Berikut penjelasan tentang kriteria dalam

pembinaan prestasi olahraga:

a. Pengolahraga

Pengolahraga adalah orang yang berolahraga dalam usaha

mengembangkan potensi jasmani, rohani, dan sosial (UU RI Nomor 3 Tahun 2005

tentang Sistem Keolahragaan Nasional Bab I pasal 1 ayat 6). Pengolahraga yang

mengikuti pelatihan secara teratur dan kejuaraan dengan penuh dedikasi untuk

mencapai prestasi disebut sebagai olahragawan (atlet).

b. Tenaga Keolahragaan

Tenaga keolahragaan adalah setiap orang yang memiliki kualifikasi dan

sertifikat kompetensi dalam bidang olahraga yang di dalamnya terdapat pelatih,

wasit, guru, manajer, instruktur dan sebutan lain yang sesuai dengan

kekhususannya (UU RI Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan

Nasional Bab I pasal 1 ayat 9).

c. Pengorganisasian

Meningkatkan pembinaan dan pengembangan olahraga, khususnya

olahraga prestasi tidak lepas dari peran serta pengurus dan organisasi. Dalam UU

RI Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional Bab I pasal 1

ayat 24, organisasi olahraga adalah sekumpulan orang yang menjalin kerjasama

dengan membentuk organisasi untuk penyelenggaraan olahraga sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

26
Peningkatan prestasi dalam pembinaan dan pengembangan olahraga

tergantung bagaimana pengurus organisasi menjalankan fungsi-fungsi

keorganisasiannya. Pengurus organisasi dapat menyusun porgram-program kerja

yang dapat mendukung tercapainya prestasi yang maksimal dalam pembinaan dan

pengembangan olahraga. Program-program tersebut diantaraya adalah perekrutan

atau pengadaan pelatih, pengadaan sarana dan prasarana, perekrutan atlet,

menentukan perencanaan dan pelaksanaan pembinaan atlet melalui pemusatan

latihan cabang olahraga, mengadakan atau menyelenggarakan event olahraga,

mengikuti berbagai event olahraga sesuai dengan cabang olahraga yang dapat

dijadikan sebagai tambahan pengalaman bagi atlet, mencarikan dana untuk

pembinaan, dan lain sebagainya.

d. Pendanaan

Salah satu faktor pendukung terpenting dalam upaya mensukseskan

program pembinaan prestasi olahraga adalah tersedianya dana yang

memadai/representatif. Berbagai sumber dana alternatif perlu digali dalam upaya

memenuhi kebutuhan dana untuk pembinaan cabang-cabang olahraga prestasi.

Pendanaan mempunyai peranan yang sangat penting bagi pembinaan dan

pengembangan olahraga. Dengan adanya pendanaan, berbagai kebutuhan/hal yang

berhubungan dengan pembinaan dan pengembangan olahraga dapat dipenuhi

dengan baik, diantaranya adalah: a) pengadaan sarana dan prasarana olahraga

yang baru untuk melengkapi/mengganti fasilitas yang ada/rusak, b) pemeliharaan

dan perbaikan sarana dan prasarana olahraga termasuk alat dan fasilitas lapangan,

c) pendanaan pembinaan dan pengembangan atlet mulai dari perekrutan sampai

27
dengan pemusatan latihan dan ikut serta dalam event kejuaraan, d) kesejahteraan

atlet, pelatih, dan pengurus organisasi.

Menurut Suratman (2015), minimnya anggaran mengakibatkan berbagai

cabang olahraga di Indonesia seperti mati suri karena tanpa anggaran para atlet

tidak mendapatkan fasilitas olahraga yang layak. Padahal fasilitas olahraga

memiliki peran penting untuk mendukung para atlet selama pelatihan sebelum

bertanding. Tampaknya pengusulan dana tambahan perlu dipertimbangkan lagi

oleh Pemerintah dan khususnya Dewan Perwakilan Rakyat di Komisi X Republik

Indonesia, sehingga fasilitas dan kebutuhan atlet dapat terpenuhi. Ketika

kebutuhan atlet terpenuhi secara maksimal maka diharapkan prestasi olahragapun

juga akan meningkat secara optimal.

e. Metode

Metode merupakan cara-cara yang dilakukan untuk mendukung

terlaksananya pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi. Metode yang

digunakan tersebut antara lain melalui pemusatan latihan yang didalamnya

terdapat sistem-sistem pembinaan kepada atlet dan juga program-program latihan

yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan atlet baik dari segi fisik, teknik,

taktik, dan mental.

f. Prasarana dan sarana

UU RI No.3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional pasal 1

ayat 20 dan 21, dijelaskan apa yang dimaksud dengan sarana dan prasarana

olahraga. Prasarana olahraga adalah tempat atau ruang termasuk lingkungan yang

digunakan untuk kegiatan olahraga dan/atau penyelenggaraan olahraga.

28
Sedangkan sarana olahraga adalah peralatan atau perlengkapan yang digunakan

untuk kegiatan olahraga.

Lebih lanjut menurut Suratman, ketersediaan sarana dan prasarana

merupakan suatu kewajiban bagi pemerintah dan olahraga pendidikan untuk

meningkatkan sumber daya manusia yang dimiliki (SDM). Sarana olahraga adalah

segala sesuatu yang dipakai sebagai alat dalam mencapai makna dan tujuan.

Sedangkan prasarana adalah segala sesuatu yang merupakan penunjang utama

terselenggaranya suatu proses olahraga.

Sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 3 tahun 2005 Bab XI pasal

67 ayat 1 dan 2, mengatakan ada beberapa pokok penting, yaitu:

1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat bertanggung jawab

dalam pengawasan prasarana olahraga.

2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin ketersediaan prasarana

olahraga sesuai dengan standar dan kebutuhan Pemerintah dan

Pemerintah Daerah.

Pentingnya sarana olahraga seharusnya mendorong pemerintah

meningkatkan kerjasama dengan BUMN maupun swasta untuk bergerak secara

bersama-sama dalam menbangun proyek-proyek fisik, terutama di daerah. Dengan

adanya fasilitas olahraga yang memadai, maka standar dan kebutuhan para

atletpun dapat dipenuhi secara optimal. Ketersediaan sarana yang memadai

merupakan prasyarat mutlak bagi Indonesia dan tidak bisa lagi ditolerir, sehingga

sudah saatnya bagi Pemerintah untuk fokus merevitalisasi sarana dan prasarana

yang ada saat ini.

29
Revitalisasi prasarana dan sarana olahraga perlu melihat dua hal. Pertama

melakukan inventarisasi dan penetapan prasarana olahraga di tingkat nasional,

provinsi, kabupaten/kota, dan desa kelurahan. Dan kedua adalah perencanaan,

pengadaan, pemanfaatan, pemeliharaan, serta pengawasan prasarana dan sarana

olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, olahraga prestasi, dan industri olahraga.

Kedua target memang sesuai dengan salah satu sasaran program pembinaan dan

pengembangan olahraga untuk memperkuat prestasi olahraga Indonesia, baik

level regional maupun internasional.

g. Penghargaan Keolahragaan

Penghargaan olahraga adalah pengakuan atas prestasi dibidang olahraga

yang diwujudkan dalam bentuk material dan/atau nonmaterial. Setiap pelaku

olahraga, organisasi olahraga, lembaga pemerintah/swasta, dan perseorangan yang

berprestasi dan/atau berjasa dalam memajukan olahraga diberi penghargaan.

Penghargaan dapat berbentuk pemberian kemudahan, beasiswa, asuransi,

pekerjaan, kenaikan pangkat luar biasa, tanda kehormatan, kewarganegaraan,

warga kehormatan jaminan hari tua, kesejahteraan, atau bentuk penghargaan lain

yang bermanfaat bagi penerima penghargaan, (UU RI No.3 Tahun 2005).

Berdasarkan keterangan di atas tentang kriteria pembinaan prestasi

olahraga telah dijelaskan bahwa banyak aspek-aspek yang harus mendukung

untuk kemajuan pembinaan prestasi olahraga, salah satunya adalah organisasi-

organisasi di bawah naungan KONI juga harus mengevaluasi sistem pembinaan

prestasi yang telah dijalankan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan yang

masih ada dalam suatu pembinaan prestasi olahraga.

30
5. Manajemen Olahraga

Sistem pembinaan prestasi olahraga yang baik tidak lepas dari

manajemen olahraga yang dikelola sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan,

seperti yang telah dijelaskan dalam pembinaan olahraga bahwa komponen-

komponen dalam membangun sistem pembinaan olahraga itu sendiri adalah:

Tujuan, Managemen, Faktor ketenagaan, Atlet, Sarana dan prasarana, Struktur

dan isi program, Sumber belajar, Metodologi, Evaluasi dan penelitian, serta dana.

Menurut Prasetyo, Damrah, dan Marjohan (2018), Olahraga prestasi dimaksudkan

sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan dan potensi olahragawan dalam

rangka meningkatkan harkat dan martabat bangsa yang dilakukan setiap orang

yang memiliki bakat, kemampuan, dan potensi untuk mencapai prestasi.

Berkembangnya olahraga di Indonesia, baik olahraga pendidikan,

rekreasi, prestasi, kebudayaan tubuh, gimnologi, kinesiologi, sport, dan lain-lain,

maka olahraga telah menjadi disiplin ilmu tersendiri seperti halnya manajemen

yang sudah menjadi disiplin ilmu sendiri dan banyak dipelajari di perguruan

tinggi. Oleh karena itu, disiplin ilmu manajemen telah bertautan dengan disiplin

ilmu olahraga membentuk interdisiplin baru yang disebut manajemen olahraga,

maka manajemen olahraga telah menjadi salah satu bidang ilmu yang banyak

digeluti oleh para pakar atau praktisi olahraga.

Menurut Harsuki (2012:2), Manajemen olahraga pada dasarnya

merupakan perpaduan antara ilmu manajemen dengan ilmu olahraga, sehingga

seseorang yang telah lulus dari Sekolah Tinggi dan Ilmu Administrasi atau dari

Lembaga Ilmu Manajemen Bisnis tidak otomatis menguasai atau dapat

31
menerapkan manajemen olahraga. Jadi, seseorang apabila ingin menerapkan

manajemen olahraga dengan baik dan benar harus menguasai kedua bidang

disiplin ilmu manajemen dan ilmu olahraga.

Fungsi manajemen merupakan rangkaian berbagai kegiatan yang telah

ditetapkan dan memiliki hubungan dan saling ketergantungan satu sama lain dan

dilaksanakan oleh masing-masing orang, lembaga atau bagian-bagiannya yang

diberi tugas untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut. Harsuki (2012:77)

menjelaskan bahwa manajemen dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu yang

pertama fungsi organik di mana fungsi ini harus ada dan jika tidak dijalankan

maka menyebabkan ambruknya manajemen. Kedua, fungsi anorganik yaitu fungsi

penunjang di mana jika tersedia, maka manajemen akan lebih nyaman dan efektif.

Misalnya fasilitas penunjang untuk berolahraga, hal ini menjadikan nyaman untuk

berolahraga.

Perencanaan melibatkan mengembangkan garis besar hal-hal yang harus

dicapai dan metode untuk mencapai tujuan. Kegiatan ini mencoba untuk

meramalkan masa depan dan tindakan pengarahan organisasi. Penggorganisasian

menetapkan struktur formal kekuasaan melalui subdivisi busur yang bekerja

diatur, didefinisikan, dan terkoordinasi melaksanakan rencana. Staffing

melibatkan fungsi personil seluruh memilih, pelatihan, mengembangkan staf dan

memelihara kondisi kerja yang menguntungkan. Mengarahkan, terkait erat dengan

terkemuka, termasuk tugas terus-menerus membuat keputusan, komunikasi dan

melaksanakan keputusan, dan mengevaluasi bawahan dengan benar. Koordinasi

melibatkan semua kegiatan dan upaya yang diperlukan untuk mengikat bersama-

32
sama organisasi dalam rangka mencapai tujuan bersama. Pelaporan memverifikasi

kemajuan melalui catatan, penelitian, dan inspeksi; memaksimalkan bahwa

sesuatu terjadi sesuai dengan rencana; mengambil tindakan koreksi bila

diperlukan, dan memberikan informasi kepada siapa kepala eksekutif bertanggung

jawab. Penggangaran meliputi semua kegiatan penggangaran, termasuk

perencanaan fiskal, akuntansi, dan pengendalian.

Berdasarkan definisi manajemen yang telah diuraikan di atas, agar lebih

jelas tentang proses manajemen, maka akan dipaparkan tentang fungsi pokok

manajemen, yaitu: perencanaan (planning) dan pengorganisasian (organizing).

a. Perencanaan (planning)

Perencanaan merupakan salah satu fungsi manajemen yang berkaitan

dengan penentuan rencana yang akan membantu tercapainya sasaran yang telah

ditentukan. Perencanaan merupakan awal dalam melakukan proses manajemen.

Perencanaan yang baik akan memperoleh hasil yang lebih optimal.

Menurut Harsuki (2012:90), Perencanaan adalah inti disiplin persiapan

yang memberi kebebasan kepada semua orang dalam sebuah organisasi untuk

mengerjakan apa yang perlu, menciptakan, dan mengadaptasi perubahan yang

cerdas. Perencanaan yang baik hendaknya memperhatikan sifat-sifat kondisi yang

akan datang, sehingga keputusan dan tindakan dapat diambil dan dilaksanakan

dengan efektif.

Kriteria perencanaan yang baik harus dapat menjawab kapan rencana

dilakukan, sehingga perincian waktu seperti target tidak terlepas dari pelaksanaan.

Perhitungan waktu harus terjadwal untuk memungkinkan tercapainya tujuan,

33
jadwal penyediaan bahan harus singkron dengan anggaran yang ada. Perencanaan

harus disingkronkan dengan pelaksanaannya sehingga perlu penjadwalan agar

tidak terjadi benturan pada waktu kegiatan dilaksanakan.

b. Pengorganisasian

Penggorganisasian merupakan salah satu fungsi manajemen yang

berkaitan dengan struktur organisasi dan proses penggorganisasian. Harsuki

(2012: 103) penggorganisasian merupakan langkah pertama ke arah pelaksanaan

rencana yang telah tersusun sebelumnya. Penggorganisasian yang baik penting

untuk dilakukan untuk mencapai suatu kesuksesan dalam organisasi.

Penggorganisasian merupakan keseluruhan proses pengelompokan orang-orang,

alat-alat, serta wewenang dan tanggungjawab sehingga tercipta suatu organisasi

yang dapat digerakkan sebagai satu kesatuan yang utuh dan bulat dalam rangka

mencapai tujuan yang telah ditentukan.

Berdasarkan definisi penjelasan tentang definisi dan fungsi dari

manajemen olahraga di atas, dapat disimpulkan bahwa manajemen olahraga

sangat penting dalam mendukung pembinaan prestasi olahraga, dengan manjemen

yang baik akan menghasilkan sistem yang teratur juga dalam proses pembinaan

prestasi olahraga, manajemen dalam suatu organisasi olahraga tidak bisa

dipisahkan karena dalam manajemen memiliki fungsi pokok manajemen yang

harus ada dalam suatu organisasi olahraga. Fungsi pokok tersebut, yaitu:

perencanaan (planning), penggorganisasian (organizing), pengarahan (directing),

dan pengawasan (controlling).

34
6. Hakikat Latihan

Latihan dalam evaluasi program pembinaan prestasi ini mencakup

definisi dari latihan, program latihan, prinsip-prinsip latihan, dan tujuan dari

latihan itu sendiri dalam mendukung kemajuan program pembinaan prestasi.

Menurut Tzafrir dalam Boadu, Fokuo, Boakye, Kwaning (2014) menjelaskan

bahwa “training is an important element in producing the human capital”.

Menurut Sukadiyanto (2011:6) latihan sebagai suatu proses penyempurnaan

kemampuan berolahraga yang berisikan materi teori dan praktek, menggunakan

metode dan aturan pelaksanaan dengan pendekatan ilmiah, memakai prinsip

pendidikan yang terencana dan teratur sehingga tujuan latihan dapat tercapai tepat

pada waktunya. Penyusunan program latihan tidak bisa dibuat begitu saja tanpa

ada dasar pengetahuan atau pengalaman dari pelatih itu sendiri, penyusunan

program latihan harus berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi artinya harus

memperhitungkan kemampuan atlet dalam menerima program latihannya agar

bisa secara bertahap mampu mengembangkan kemampuan seorang atlet.

Tahir, Yousafzai, Jan, dan Hashim (2014) mengatakan, training and

development basically deals with the acquisition of understanding, know-how,

techniques and practices. Menurut Sukadiyanto (2011:43) penyusunan program

latihan adalah proses merencanakan dan menyusun materi, beban, sasaran, dan

metode latihan pada setiap tahapan yang akan dilakukan oleh setiap olahragawan.

Dalam menyusun program latihan perlu memperhatikan dan mempertimbangkan

berbagai faktor, antara lain meliputi: mengetahui biodata olahragawan, langkah-

langkah penyusunan program, dan karakteristik cabang olahraga. Sukadiyanto

35
(2011:45) menjelaskan tentang beberapa hal yang harus dilakukan dan

dipertimbangkan dalam menyusun program latihan, agar sasaran latihan dapat

tercapai sesuai dengan yang diharapkan. Adapun langkah-langkah tersebut adalah:

a) Waktu pelaksanaan pertandingan, b) Diagnosis kemampuan awal (pre tes),

c) Penyusunan program latihan, d) Penentuan sasaran dan beban latihan, e)

Tujuan mengacu pada periodisasi latihan, f) Pelaksanaan dan pemantauan proses

latihan, g) Umpan balik (feedback), h) Penyusunan kembali materi program dan

sasaran.

Ghafoor Khan, Ahmed Khan, dan Aslam Khan (2011), menjelaskan

training and development increse the employee performance like the researcher

said in his research that training and development is an important activity to

increase the perfomarce of health sector organization. Adapun tujuan latihan

menurut Sukadiyanto (2011:8) yaitu (a) meningkatkan kualitas fisik secara umum

dan menyeluruh, (b) mengembangkan dan meningkatkan potensi fisik yang

khusus, (c) menambah dan menyempurnakan keterampilan teknik, (d)

mengembangkan dan menyempurnakan strategi, taktik, dan pola bermain, dan (e)

meningkatkan kualitas dan kemampuan psikis olahragawan dalam bertanding.

7. Taekwondo

Menurut Suryadi dalam Verawati (2017), Taekwondo sendiri sudah

masuk dan berkembang di Indonesia selama kurang lebih 30 tahun dengan

pembuktian bahwa pada jaman itu Taekwondo berafialiasi ke ITF (International

Tae Kwon Do Federation) serta berkembang pula aliran

WTF (The World Taekwondo Federation) tahun 1982 bergabung menjadi TI (

36
Taekwondo Indonesia ). Taekwondo mulai berkembang di Indonesia pada tahun

1970-an, dimulai oleh aliran Taekwondo yang berafiliasi ke ITF (Internasional

Taekwondo Federation) yang pada waktu itu bermarkas besar di Toronto Kanada.

Aliran ini dipimpin dan dipelopori oleh Gen. Choi Hong Hi. Kemudian

berkembang juga aliran Taekwondo yang berafiliasi ke WTF (The World

Taekwondo Federation). Yang berpusat di Kuk Ki Won, Seoul, Korea Selatan

dengan Presiden Dr. Un Yong Kim. Pada waktu itu, kedua aliran ini masing-

masing mempunyai organisasi di tingkat nasional, yaitu Persatuan Taekwondo

Indonesia (PTI) yang berafiliasi ke ITF dipimpin oleh Letjen. Leo Lopolisa dan

Federasi Taekwondo Indonesia (FTI) yang berafiliasi ke WTF dipimpin oleh

Marsekal Muda Sugiri.

Atas kesepakatan bersama dan melihat prospek perkembangan dunia

olahraga di tingkat internasional dan nasional, Musyawarah Nasional Taekwondo

pada tanggal 28 Maret 1981 berhasil menyatukan kedua organisasi Taekwondo

tersebut menjadi organisasi baru yang disebut Taekwondo Indonesia yang

berkiblat ke WTF. Organisasi ini dipimpin oleh Leo Lapolisa sebagai ketua

umumnya, sedangkan struktur organisasi di tingkat nasional disebut PBTI

(Pengurus Besar Taekwondo Indonesia) dan berpusat di Jakarta. Munas

Taekwondo Indonesia I pada tanggal 17-18 September 1984 menetapkan Letjen.

Sarwo Edhie Wibowo (Alm) sebagai Ketua Umum Taekwondo Indonesia periode

1984-1988, maka era baru Taekwondo Indonesia yang bersatu dan kuat dimulai.

Kini Taekwondo di Indonesia telah berkembang di seluruh provinsi

Indonesia dan diikuti aktif oleh lebih dari 200.000 anggota, angka ini belum

37
termasuk yang tidak secara aktif berlatih. Taekwondo juga telah dipertandingkan

sebagai cabang olahraga resmi di arena PON. Beberapa atlet yang pernah berjaya

membela negara di event internasional antara lain adalah Budi Setiawan, Rahmi

Kurnia, Siauw Lung, Yefi Triaji, Lamting, Yeni Latif, Dirk Richard di masa 1986

sampai 1993. Pada generasi berikutnya antara lain adalah Yuana Wangsa Putri

yang mewakili Indonesia di Olympic Games 2000 di Sidney dan Ika Dian Fitria

yang berhasil meraih medali emas di Kejuaraan Dunia Yunior pada November

2000, dan munculnya calon bintang-bintang baru seperti Satrio Rahadani, Neta

dan lain-lain.

Gutierrez, Badilla, Garcia, Valenzuela (2017), “Taekwondo has been

considered one of the most important martial arts and combat sports (MA&CS) in

the world because of its debut as an official Olympic sport in 2000 Sydney

Olympic Games and its amount of practitioners (SVINTH,2010)”. Menurut

Handayani, Soegiyanto, Rustiadi (2018), “Taekwondo has the following belt

classifications : (1) Geup 10 (white); (2) Geup 9 (yellow); (3) Geup 8 (yellow

green stripe); (4) Geup 7 (green); (5) Geup 6 (green blue stripe); (6) Geup 4

(blue red stripe); (8) Geup 3 (red); (9) Geup 2 (red strip 1); (10) Geup 1 (red

stripes 2; (11) DAN KUKKIWON.” Menurut Choi Hong Hi dalam Rosman

(2017), Taekwondo berasal dari tiga suku kata, “tae” artinya kaki atau

menghancurkan dengan tendangan, “kwon” artinya tangan atau memukul atau

bertahan dengan tangan kosong, dan “do” artinya cara atau metode untuk

menghancurkan dan bertahan menggunakan kaki atau tangan. Jadi bila diartikan

38
secara keseluruhan, Taekwondo adalah suatu metode atau cara untuk

menghancurkan atau bertahan dengan menggunakan kaki dan tangan.

Fong, Cheung, IP, Chiu, Lam, Tsang (2012), menjelaskan “taekwondo

(tkd) is a combat sport renowned for its swift high kicks and dynamic footwork”.

Cho, Park, dan Lee (2018), melaporkan “taekwondo training positively affected

the self-control, execution function, class behaviors, and exercise function of

young student subjects”. Menurut Covarrubias, Bhatia, Campos, Nguyen, Chang

(2015), “athletes participate in full-sparring tournament, in which points are

awarded for punches and kicks to head and torso”. Bell dan Chang (2008)

menjelaskan bahwa “taekwondo training can increase strenght and muscle tone,

reduce body fat, improve cardiovascular conditioning, reduces stress, improve

concentration and focus, improve performance in one’s job, school, or sports,

provide a structured program a advancement with achievable goals, and improve

self discipline and self confidence.

Menurut Suryadi (2002:9), Dasar-dasar Taekwondo terbentuk dari

kombinasi berbagai teknik gerakan menyerang dan bertahan yang menggunakan

bagian tubuh kita untuk menghadapi lawan. Dasar-dasar Taekwondo terdiri dari 5

komponen dasar, yaitu:

a) Bagian tubuh yang menjadi sasaran (Keup So)

b) Bagian tubuh yang digunakan untuk menyerang atau bertahan

c) Sikap kuda-kuda (Seogi)

d) Teknik bertahan/menangkis (Makki)

e) Teknik serangan (Kongkyok Kisul) yang terdiri dari:

39
(1) Pukulan/Jierugi (Punching)

(2) Sabetan/Chigi (Striking)

(3) Tusukan/Chierugi (Thrusting)

(4) Tendangan/Chagi (Kicking)

B. Kajian Penelitian/evaluasi yang Relevan

Beberapa penelitian yang telah dilakukan dan relevan dengan penelitian dan

telah selesai dilaksanakan, dijelaskan sebagai berikut:

1. Penelitian Kamal Firdaus (2011) dengan judul Evaluasi program

Pembinaan Olahraga Tenis Lapangan di Kota Padang. Penelitian ini

bertujuan untuk mengevaluasi (1) context yang meliputi penyebaran

informasi, dukungan pemerintah dan masyarakat, ketersediaan sumber

daya manusia (2) Input melatih seleksi penrimaan atlet, pelatih dan

asisten pelatih, kelayakan sarana prasarana, pembiayaan pelaksanaan

program pembinaan, (3) Process meliputi pelaksanaa program latihan,

sistem promosi dan degradasi, koordinasi, kesejahteraan, dan

transportasi, (4) Product meliputi keberhasilan program pembinaan,

prestasi daerah, dan prestasi regional, prestasi nasional dan prestasi

internasional. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian evaluasi

program ini adalah CIPP Model (Stufflebeam’s) ditinjau dari tahapan-

tahapan Context, Input, Process dan Product. Metode penelitian evaluasi

menggunakan rancangan/desain dengan mixing method atau elective.

Penelitian ini menghasilkan temuan (1) Context program pembinaan

olahraga tenis lapangan yang ada di kota padang, sudah pada kondisi

40
baik (43%), (2) Input program pembinaan olahraga tenis lapangan yang

ada di kota padang sudah baik (58%). (3) Process program pembinaan

olahraga tenis lapangan yang dilaksanakan secara umum telah berjalan

dengan baik (42,8%). (4) Product program pembinaan olahraga tenis

lapangan sudah baik (45%). Dapat disimpulkan secara keseluruhan

program pembinaan belum baik (52,8%). Simpulan dari hasil penelitian

adalah konteks, kualitas masukan, proses, dan produk pembinaan

olahraga tenis lapangan yang ada di Kota Padang, sudah pada kondisi

yang baik.

2. Penelitian Ardhika Falaahudin dan Sugiyanto (2013) dengan judul

Evaluasi Program Pembinaan Renang di Klub Tirta Serayu, TCS, Bumi

Pala, Dezender, Spectrum di Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini

bertujuan untuk mengevaluasi konteks, input, process, dan produk

pelaksanaan program pembinaan olahraga renang di Tirta Serayu, TCS,

Bumi Pala, Dezender, Spectrum di Provinsi Jawa Tengah. Subjek

penelitian ini adalah atlet yang pernah mengikuti kejuaraan renang

tingkat Nasional di klub renang Tirta Serayu Banjarnegara, TCS

Semarang, Bumi Pala Temanggung, Dezender Purbalingga dan Spectrum

Semarang, pelatih dan orang tua atlet yang berjimlah 15 orang. Teknik

pengumpulan data menggunakan metode observasi, wawancara, angket,

dan dokumentasi. Teknik analisis data dalam penelitian ini yaitu analisis

deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

secara keseluruhan hasil evaluasi program pembinaan olahraga klub

41
renang Tirta Serayu, TCS, Bumi Pala, Dezender, Spectrum di Provinsi

Jawa Tengah sudah baik, meliputi: (1) evaluasi konteks dukungan dari

orang tua atlet kepada atlet sudah baik, (2) evaluasi input, secara umum

sumber daya manusia untuk mencapai tujuan program pembinaan

olahraga renang meliputi pelatih, atlet, dan pendukung lainnya seperti

sarana dan prasarana dan kualifikasi pelatihan telah memenuhi

ketercapaian ideal. Meskipun untuk tingkat pendidikan pelatih serta

sarana dan prasarana masih ada yang belum memadai, (3) evaluasi

proses, secara umum telah berjalan dengan baik. Dalam pemilihan

program setiap klub renang sebelumnya menganalisis program yang telah

berjalan dengan mempertimbangkan kondisi di lapangan, pelatih telah

mengikuti petunjuk teknis pelaksanaan program serta terdapat jadwal

rutin dan target latihan serta dilaksanakan latih tanding, try out dengan

klub atau atlet dari klub lain dan juga berperan aktif mengikuti kejuaraan,

(4) evaluasi Produk, secara garis besar prestasi klub renang di Provinsi

Jawa Tengah yang dicapai para atletnya terbilang sangat baik, dibuktikan

dengan prestasi yang telah diraih melalui tingkat daerah, provinsi,

nasional, bahkan ASEAN.

C. Kerangka Pikir

Evaluasi dalam penelitian ini, membahas tentang semua aspek yang

mendukung program pembinaan Taekwondo di Pengprov Papua, semua indikasi

permasalahan yang terdapat dalam program pembinaan prestasi akan dikaji

dengan lebih spesifik lagi untuk mendapatkan data yang nyata dan valid dalam

42
program pembinaan prestasi yang dijalankan di Pengprov Papua. Oleh karena itu,

peneliti menggunakan evaluasi model CIPP yang merupakan salah satu model

riset evalusai yang paling komprehensif untuk mendapatkan semua data yang ada,

data-data yang dimaksud telah disusun oleh peneliti dalam suatu kerangka

berpikir. Diharapkan dengan telah adanya kerangka berpikir, pada saat proses

pengambilan data yang berlangsung tidak keluar dari konteks penelitian yang

ingin dicapai.

Dalam evaluasi program pembinaan Taekwondo di Pengprov Papua,

peneliti menggunakan evaluasi model CIPP yang di dalamnya menjelaskan

tentang langkah-langkah dalam penentuan indikator yang akan dievaluasi, seperti:

1. Contexs membahas tentang Latar belakang program pembinaan, Tujuan

Program pembinaan dan Program pembinaan, 2. Input membahas tentang Pelatih,

Atlet, Sarana & Prasarana, Dana 3. Procces membahas tentang Pelaksanaan

program pembinaan, Pelaksanaan program latihan dan Monev (monitoring &

evaluasi), 4. Product membahas tentang Prestasi. Selanjutnya dalam penentuan

suatu metode evaluasi, memerlukan tolok ukur untuk mengetahui apakah evaluasi

yang dilakukan sudah sesuai dengan yang diharapkan, tolok ukur dalam evaluasi

ini berupa program pembinaan yang telah di programkan di Taekwondo di

Pengprov Papua dan kriteria program pembinaan prestasi yang baik sesuai dengan

UU No. 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional.

43
D. Pertanyaan Evaluasi

1. Bagaimana program pembinaan atlet taekwondo Pengprov Papua di lihat

dari evaluasi context?

2. Bagaimana program pembinaan atlet taekwondo Pengprov Papua di lihat

dari evaluasi input?

3. Bagaimana program pembinaan atlet taekwondo Pengprov Papua di lihat

dari evaluasi process?

4. Bagaimana program pembinaan atlet taekwondo Pengprov Papua di lihat

dari evaluasi product?

44

Anda mungkin juga menyukai