Anda di halaman 1dari 24

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah atas kehadirat Allah SWT, atas


segala rahmat, taufiq, hidayah dan inayah-Nya, sehingga kami dapat menyusun
dan menyelesaikan makalah Sejarah Pendidikan Islam.

Shalawat dan salam kami sampaikan kepada Nabi seluruh alam Nabi
Muhammad SAW, dan semoga Allah berikan syafaat beliau kepada kita semua.
Kami berharap semoga hasil makalah kami ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.Dan tak lupa kami banyak berterima kasih kepada dosen yang telah
membimbing kami dalam menyelesaikam makalah kami ini yaitu Umi Mislaina
Panjaitan,S.Ag., MA.

Dan kami mohon kiranya jika terdapat kesalahan dalam makalah kami ini
berilah kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan makalah kami ini,
sangat kami terima dengan senang hati. Mungkin itu saja sekedar kata pengantar
dari kami, dan kami Penulis mengucapkan banyak berterima kasih

Kisaran, November 2021

(Kelompok VI)

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................i

DAFTAR ISI.................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1

A. Latar Belakang Masalah..................................................................1


B. Rumusan Masalah............................................................................1
C. Tujuan Penulisan..............................................................................1

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................2

A. Sejarah Berdirinya Dinasti Umayyah Timur.................................2


B. Kondisi Pendidikan Islam Dinasti Umayyah Timur......................9

BAB III PENUTUP.....................................................................................22

A. KESIMPULAN...............................................................................22
B. SARAN.............................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dengan berakhirnya kekuasaan khalifah Ali ibn Abi Thalib, maka lahirlah
kekuasan bani Umayyah. Pada periode Ali dan Khalifah sebelumnya pola
kepemimpinan masih mengikuti keteladanan Nabi. Para khalifah dipilih melalui
proses musyawarah. Hal ini berbeda dengan masa setelah khulafaur rasyidin atau
masa dinasti-dinasti yang berkembang sesudahnya, yang dimulai pada masa
dinasti bani Umayyah. Adapun bentuk pemerintahannya adalah berbentuk
kerajaan, kekuasaan bersifat feodal (penguasaan tanah/daerah/wilayah, atau turun
menurun). Untuk mempertahankan kekuasaan, khilafah berani bersikap otoriter,
adanya unsur kekerasan, diplomasi yang diiringi dengan tipu daya, serta hilangnya
musyawarah dalam pemilihan khilafah.

Bani Umayyah berkuasa kurang lebih selama 91 tahun. Reformasi cukup


banyak terjadi, terkait pada bidang pengembangan dan kemajuan pendidikan
Islam. Perkembangan ilmu tidak hanya dalam bidang agama semata melainkan
juga dalam aspek teknologinya. Sementara sistem pendidikan masih sama ketika
Rasul dan khulafaur rasyidin, yaitu kuttab yang pelaksanaannya berpusat di
masjid.

B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana Sejarah Berdirinya Dinasti Umayah Timur ?
b. Bagaimana Kondisi Pendidikan Islam Dinasti Umayyah Timur ?
C. Tujuan 
a. Untuk Mengetahui Sejarah Berdirinya Dinasti Umayah Timur
b. Untuk Mengetahui Kondisi Pendidikan Islam Dinasti Umayah Timur

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Berdirinya Dinasti Umayah Timur

Dinasti Umayah adalah kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafa


al-Rasyidin yang memerintah dari 661 sampai 750 M di Jazirah Arab dan
sekitarnya. Ibukota dinasti ini sebelumnya berpusat di Madinah dan oleh
Mu'awiyah dipindahkan ke Damaskus, tempat ia berkuasa sebagai gubernur
sebelumnya. Karena itu, Dinasti Umayah Timur disebut juga dengan Dinasti
Umayah Damaskus. Dinasti Umayah didirikan oleh Mu'awiyah bin Abi Sufyan
dengan pusat pemerintahannya di Damaskus dan berlangsung selama 90 tahun
(41-132 H/661-750 M).' Nama dinasti ini dirujuk pada nama Umayah ibnu 'Abdi
Syam Ibnu'Abdi Manaf, salah seorang dari pemimpin kabilah Quraisy di zaman
jahiliah atau kakek bu- yut dari khalifah pertama Bani Umayah, Mu'awiyah bin
Abu Sufyan atau kadang kala disebut juga dengan Mu' awiyah 1.

Di masa Dinasti Umayah Timur ini dapat dikatakan sebagai masa transisi
dari Hasan bin Ali kepada Mu'awiyah bin Abu Sufyan. Peristiwa tersebut
termasuk masa perubahan sistem pemerintahan masyarakat Islam. Banyak sistem
pemerintahan pada masa Khulafa al-Rasyidin yang disempurnakan dan juga
diubah secara total. Seperti dikatakan Badri Yatim, memasuki masa kekuasaan
Mu'awiyah yang menjadi awal kekuasaan Dinasti Umayah, pemerintahan yang
bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun-temurun).
la bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan Bizantium. la memang tetap
menggunakan istilah khalifah, namun ia memberikan interpretasi baru dari kata-
kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. la menyebutnya "khalifah Allah"
dalam pengertian "penguasa yang diangkat Allah”.1

Di masa Mu'awiyah ini pula terjadi ekspansi atau perluasan wilayah


diberbagai daerah, sehingga membuat peradaban Islam berjaya. Selama masa
pemerintahan Mu'awiyah, wilayah kekuasaan Islam meluas sampai Lahore di

1
Badri Yatim, Sejarah Peradaban islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hlm.42

2
Pakistan. Perhatian khalifah diarahkan ke Byzantine di wilayah utara dan barat.
Pasukan Umayah mencapai 1.700 kapal perang, membuat Mu'awiyah dapat
menundukkan banyak pulau-pulau, di antaranya ialah Rhodes dan pulau yang lain
di Yunani.

Kemudian, ia juga mempersiapkan pasukan perangnya untuk menghadapi


peperangan kedua musim dingin dan panas dengan Byzantine. Peperangan ini
dikenal dengan al-Shawa’if (peperangan musim dingin) dan al-sawa'if
(peperangan musim panas). Pada 48 H/688 M, Mu'awiyah merencanakan
penyerangan laut dan darat terhadap Constantinopel, di bawah pimpinan Yazid. la
dipaksa untuk mundur setelah kehilangan banyak pasukan dan kapal perang
mereka. Adapun Ifriqiya (Tunisia) dapat ditundukkan dua tahun kemudian dan
banyak dari penduduk Barbar memeluk Islam. Kota Qayrawan didirikan dan
dijadikan sebagai ibukota.2 Kemenangan ini disebabkan kelicikan Mu'awiyah dan
terkadang meng- gunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya. Selain itu, ia
adalah kepala angkatan perang yang mula-mula mengatur angkatan laut, dan ia
pernah dijadikan sebagai Amir "Al-Bahar".

Daulah Bani Umayah yang berpusat di Damaskus yang berkuasa selama


90 tahun, telah diperintah oleh 14 orang khalifah. Namun di antara khalifah-
khalifah tersebut, yang paling menonjol adalah khalifah Mu'awiyah bin Abi
Sufyan, Abdul Malik bin Marwan, Walid bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz,
dan Hisyam bin Abdul Malik." Suksesi kepemimpinan secara turun-temurun
dimulai ketika Mu'awiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia
terhadap anaknya, Yazid Mu'awiyah. Khalifah besar Bani Umayah ini antara lain:

1. Mu'awiyah Ibn Abi Sufyan (661-680 M)


2. Yazid Ibn Mu'awiyah
3. Mu'awiyah Ibn Yazid
4. Marwan Ibnul Hakam
5. Abdullah Ibn Zubair Ibnul Awwam
6. Abdul-Malik ibn Marwan (685-705 M)
2
Hasan Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam. (Jakarta: Pustaka Setia, 1989), hlm. 66

3
7. Al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M)
8. Yazid ibn Abdul Malik
9. Umar ibn Abdul-Aziz (717-720 M)
10. Hasyim ibn Abd al-Malik (724-743 M)
11. Marwan II al-Himar

Upaya perluasan daerah kekuasaan Islam pada masa Bani Umayah,


Mu'awiyah selalu mengerahkan segala kekuatan yang dimilikinya untuk merebut
kekuasaan di luar Jazirah Arab, antara lain, upayanya untuk terus merebut kota
Konstantinopel. Ada tiga hal yang menyebabakan Mu'awiyah terus berusaha
merebut Byzantium. Pertama, karena kota tersebut merupakan basis kekuatan
Kristen Ortodoks, yang pengaruhnya dapat membahayakan perkembangan Islam.
Kedua, orang-orang Byzantium sering melakukan pemberontakan ke daerah
Islam. Ketiga, Byzantium termasuk wilayah yang memiliki kekayaan yang
melimpah.

Pada waktu Bani Umayah berkuasa, daerah Islam membentang ke


berbagai negara yang berada di Benua Asia dan Eropa. Dinasti Umayah, juga
terus memperluas peta kekuasanya ke daerah Afrika Utara pada masa khalifah
Walid bin Abdul Malik, dengan mengutus panglimanya Musa bin Nushair yang
kemudian ia diangkat sebagai gubernur. Musa juga mengutus Thariq bin Ziyad
untuk merebut daerah Andalusia.3 Keberhasilan Thariq memasuki Andalusia,
membuat peta perjalanan sejarah baru bagi kekuasaan Islam. Sebab, satu persatu
wilayah yang dilewati Thariq dapat dengan mudah ditaklukan, seperti kota
Cordova, Granada dan Toledo, Sehingga, Islam dapat tersebar dan menjadi agama
panutan bagi penduduknya. Tidak hanya itu, Islam menjadi sebuah agama yang
mampu memberikan motivasi para pemeluknya untuk mengembangkan diri dalam
berbagai bidang kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya.
Andalusia pun mencapai kejayaan pada masa pemerintahan Islam.

Sebagai sebuah dinasti, Bani Umayah tidak luput dari kekuatan dan
kelemahannya. Kekuatan Dinasti Bani Umayah dapat dilihat pada seorang
3
Dedi Supriadi. Sejarah Peradaban Islam. (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), hlm,103.

4
khalifah pada masa ini, yaitu Mu'awiyah bin Abu Sofyan sebagai pendiri Bani
Umayah di mana kepribadiannya juga menjadi salah satu kekuatan dalam
menjalankan pemerintahan pada masa Dinasti Bani Umayah. Ada sebuah
ungkapan yang dikenal luas dari pribadi Muawiyyah di kalangan Arab, bahkan
sampai sekarang, yang berbunyi:

"Aku tidak akan menggunakan pedangku selama cambukku sudah cukup.


Aku tidak akan menggunakan cambukku selama lidahku masih bisa
mengatasi. Jika ada rambut yang membentang antara diriku dan orang
yang menentang diriku, maka rambut itu tidak akan pernah putus
selamanya. Jika mereka mengulurnya, aku akan menariknya. Jika mereka
menariknya, maka aku akan mengulurnya"

Hal tersebut memang mengisyaratkan tentang sosok seorang Mu'awiyah


yang menaruh kepercayaan terhadap para gubernurnya, menggerakkan mereka
dari jauh, kemudian ia berpaling keurusan dalam negeri sendiri, yaitu Syam
karena di sana berdiri kesultanan dan kerajaannya, dan kerajaan tersebut tidak
akan hilang selama Syam masih dalam geng- gamannya, la sangat baik terhadap
kabilah-kabilah yang berada di Syam dan penduduk asli terutama mereka yang
berasal dari Bani Kalb dari Yaman. la sangat dekat dengan kabilah ini dan
menjadikan mereka sebagai keluarga dengan menikahi warga kabilah tersebut.

Di masa Dinasti Umayah mencapai puncak kejayaan banyak aspek yang


telah diraihnya. Pada aspek kebudayaan mengalami perkembangan daripada masa
sebelumnya. Di antara kebudayaan Islam yang mengalami perkembangan pada
masa ini adalah seni sastra, seni rupa, seni suara, seni bangunan, seni ukir, dan
sebagainya. Pada masa ini telah banyak bangunan hasil rekayasa umat Islam
dengan mengambil pola Romawi, Persia dan Arab. Contohnya, bangunan Masjid
Damaskus yang dibangun pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik, dan
juga Masjid Agung Cordova yang terbuat dari batu pualam.

Seni sastra berkembang dengan pesatnya, hingga mampu menerobos ke


dalam jiwa manusia dan berkedudukan tinggi di dalam masyarakat dan negara.

5
Sehingga syair yang muncul senantiasa sering menonjol dari sastranya, di
samping isinya yang bermutu tinggi. Dalam hal seni suara yang berkembang
adalah seni baca Al-Qur'an, kasidah, musik, dan lagu-lagu yang bernapaskan
cinta. Sehingga pada saat itu bermunculan seniman dan qori' atau qori'ah ternama.
Perkembangan seni ukir yang paling menonjol adalah penggunaan khat Arab
sebagai motif ukiran atau pahatan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya dinding
masjid dan tembok-tembok istana yang diukur dengan khat Arab. Salah satunya
yang masih tertinggal adalah ukiran dinding Qushair Amrah (Istana Mungil
Amrah), istana musim panas di daerah pegunungan yang terletak lebih kurang 50
mil sebelah Timur Amman.

Dalam bidang ilmu pengetahuan, perkembangan tidak hanya meliputi ilmu


pengetahuan agama saja, tetapi juga ilmu pengetahuan umum, seperti ilmu
kedokteran, filsafat, astronomi, ilmu pasti, ilmu bumi, sejarah, dan lain-lain. Hal
yang sama juga terjadi di bidang administrasi pemerintahan tepatnya pada masa
Mu'awiyah bin Abu Sofyan yang juga merupakan administrator yang baik. la
mengadakan perubahan-perubahan di dalamnya, yaitu membentuk pasukan
bertombak pengawal raja, Pada masa pemerintahannya dibangun bagian khusus di
dalam masjid untuk tindakan pencegahan pengamanan bagi dirinya selama
menjalan- kan shalat, untuk menghindarkan dari nasib buruk sebagaimana pernah
terjadi pada diri Ali.4

Mu'awiyah juga memperkenalkan meterai resmi untuk pengiriman


memorandum yang berasal dari khalifah. Naskah yang sah dibuat, dan kemudian
ditembus dengan benang dan disegel dengan lilin, yang pada akhirmya dicetak
dengan meterai resmi. la pula yang pertama kali menggunakan pos untuk
mengumumkan kejadian-kejadian penting dengan cepat. Kuda-kuda yang terlatih
ditempatkan di pos pemberhentian tertentu. Sehingga petugas yang tiba ditempat
itu dapat menggantikan kudanya yang kelelahan dan dapat meneruskan

4
Lihat Hasan Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam. (Jakarta: Pustaka Setia, 1989) hlm,67.

6
perjalanannya sampai ke pos berikutnya. Demikian seterusnya, sehingga petugas
tersebut dapat sampai ke tempat tujuan akhirnya.5

Pada masa ini juga, telah dibangun armada Islam yang hampir sempurna
hingga mencapai 17.000 kapal yang dengan mudah dapat menaklukan Pulau
Rhodus dengan panglimanya Laksamana Aqabah bin Amir. Di samping itu,
Mu'awiyah juga telah membentuk armada musim panas dan armada musim
dingin, sehingga memungkinkannya untuk bertempur dalam segala musim.

Dalam bidang sosial budaya, khalifah pada masa Bani Umayah juga telah
banyak memberikan kontribusi yang cukup besar. Seperti membangun rumah
sakit (mustasyfayat) di setiap kota oleh khalifah Walid bin Abdul Malik. Saat itu
juga dibangun rumah singgah bagi anak-anak yatim piatu yang ditinggal oleh
orang tua mereka akibat perang. Bahkan orang tua yang sudah tidak mampu pun
dipelihara di rumah-rumah tersebut. Usaha-usaha tersebut menimbulkan simpati
yang cukup tinggi dari kalangan non-Islam, yang pada akhirnya mereka
berbondong-bondong memeluk Islam.

Meskipun keberhasilan banyak dicapai dinasti ini, namun tidak berarti


bahwa politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Mu'awiyah tidak menaati isi
perjanjiannya dengan Hasan ibn Ali ketika ia naik tahta, yang menyebutkan
bahwa persoalan penggantian pemimpin setelah Mu'awiyah diserahkan kepada
pemilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid sebagai putra
mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat
yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan.
Terbukti, ketika Yazid naik tahta sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak
mau menyatakan setia kepadanya. Yazid kemudian mengirimkan surat kepada
gubernur Madinah, dan memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya.
Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husein ibn Ali dan
Abdullah ibn Zubair. Perlawanan terhadap Bani Umayah dimulai oleh Husein Ibn
Ali, pada 680 M. la pindah dari Mekkah ke Kuffah atas permintaan golongan

5
Ibid,,hlm. 68.

7
Syi'ah yang ada di Irak. Umat Islam di daerah ini tidak mengakui Yazid. Mereka
mengangkat Husein sebagai khalifah.

Banyak pemberontakan yang dipelopori kaum Syi'ah terjadi, termasuk di


antaranya pemberontakan Mukhtar di Kuffah pada 685-687 M. Mukhtar mendapat
banyak pengikut dari kalangan kaum Mawali, yaitu umat Islam bukan Arab,
berasal dari Persia, Armenia, dan lain-lain." Pada masa Bani Umayah dianggap
sebagai warga negara kelas dua. Mukhtar terbunuh dalam peperangan melawan
gerakan oposisi lainnya, yaitu gerakan Abdullah Ibnu Zubair. Abdullah Ibnu
Zubair membina gerakan oposisinya di Mekkah setelah ia menolak sumpah setia
terhadap Yazid. la baru menyatakan dirinya secara terbuka setelah Husein bin Ali
terbunuh. Yazid kemudian mengepung Mekkah, pertempuran pun tak
terhindarkan, namun peperangan terhenti karena Yazid wafat dan Bani Umayah
kembali ke Damaskus.

Sepeninggal Hisyam ibn Abd al-Malik, khalifah-khalifah Bani Umayah


yang tampil bukan hanya lemah, tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin
memperkuat golongan oposisi. Akhirnya, pada 750 M, Daulah Umayah
digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim al-Khurasani.
Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayah, melarikan diri ke Mesir,
ditangkap dan dibunuh di sana." Bani Umayah kemudian dipimpin al-Hajjaj
berangkat menuju Thaif, kemudian ke Madinah dan Mekkah. Ka'bah diserbu,
keluarga Zubair dan para sahabatnya melarikan diri, namun Ibnu Zubair sendiri
dengan gigih melakukan perlawanan sampai akhirnya terbunuh pada 73 H/ 692
M.

Terlepas dari persoalan sistim pemerintahan yang diterapkan, sejarah telah


mencatat bahwa Dinasti Umayah adalah Dinasti Arab pertama yang telah
memainkan peran penting dalam perluasan wilayah, ketinggian peradaban dan
menyebarkan agama Islam ke seluruh penjuru dunia, khususnya Eropa, sampai
akhirnya dinasti ini menjadi adikuasa. Masa pemerintahan Mu'awiyah tergolong
cemerlang. la berhasil menciptakan keamanan dalam negeri dengan membasmi
para pemberontak. la juga berhasil mengantarkan negara dan rakyatnya mencapai

8
kemakmuran dan kekayaan yang melimpah. Pemerintahan Bani Umayah dimulai
dari Mu'awiyah bin Abi Sufyan dan ditutup oleh Marwan bin Muhammad.

B. Kondisi Pendidikan Islam Dinasti Umayah Timur

Pada masa dinasti Umayah, pola pendidikan bersifat desentralistik dan


para intelektual Muslim mulai berkembang pada masa ini.Secara umum,
perkembangan peradaban pada masa Dinasti Umayah adalah sosialisasi tradisi
Arab pada seluruh lapisan sosial budaya di wilayah- wilayah yang telah
ditaklukkannya. Misi utama Arabisasi ini secara tidak langsung berdampak pada
masyarakat di mana dalam kehidupan sehari- hari harus berbahasa Arab sebagai
identitas bahwa mereka seorang Muslim, atau minimal mereka pernah mengenal
Islam.

Kebijakan Arabisasi ini secara tidak langsung berdampak atau


berakumulasi dari segi kepentingan mereka sendiri. Kebijakan-kebijakan Dinasti
Umayah ini secara umum, yaitu:

1. Mengikat orang-orang Arab sebagai orang pertama dalam


mengembangkan kepemimpinan umat Islam di seluruh kawasan yang
mereka taklukkan.
2. Bahasa Arab sebagai bahasa utama umat, baik bagi pengembangan
administrasi pemerintahan maupun keilmuan.
3. Kepentingan orang-orang luar Arab (ajam) dalam rangka memahami
sumber-sumber Islam (Al-Qur'an dan al-Sunnah) dituntut memahami
struktur dan budaya Arab, sehingga telah melahirkan berbagai ilmu bahasa
Arab, nahwu, sharaf, balaghah, bayan, badi', isti'arah dan sebagainya.
4. Pengembangan ilmu-ilmu agama (ulum al-diniyah) sudah mulai
dikembangkan, karena penduduk-penduduk di luar Jazirah Arab sangat
memerlukan berbagai penjelasan secara sistematis dan kronologis tentang
Islam. Ilmu-ilmu yang berkembang saat itu, di antaranya, tafsir, Hadis,
fikih, ushul fikih, ilmu kalam dan sirah/tarikh.6
6
Ajid Thohir. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam. (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004). hlm, 41.

9
Di antara ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa ini, yaitu:
Pertama, ilmu agama, seperti; Al-Qur'an, Hadis, dan fikih. Proses pembukuan
Hadis terjadi pada masa Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz, sejak saat itulah Hadis
mengalami perkembangan pesat. Kedua, ilmu sejarah dan geografi, yaitu; segala
ilmu yang membahas tentang perjalanan hidup, kisah, dan riwayat. Ubaid Ibn
Syariyah Al-Jurhumi yang berhasil menulis berbagai peristiwa sejarah. Ketiga,
ilmu pengetahuan bidang bahasa, yaitu; segala ilmu yang mempelajari bahasa,
saraf, dan lain-lain. Keempat, bidang filsafat, yaitu; segala ilmu yang pada
umumnya berasal dari bangsa asing, seperti ilmu mantik, kimia, astronomi, ilmu
hitung dan ilmu yang berhubungan dengan itu, serta ilmu kedokteran.

Di masa Bani Umayah terdapat dinamika tersendiri yang menjadi


karakteristik pendidikan Islam pada waktu itu, yakni dibukanya wacana kalam
yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sebagaimana dipahami dari
konstitusi sejarah Bani Umayah yang bersamaan dengan kelahirannya hadir pula
tentang orang yang berbuat dosa besar. Wacana kalam tidak dapat dihindari dari
perbincangan kesehariannya, meskipun wacana ini dilatarbelakangi oleh faktor-
faktor politik. Perbincangan ini kemudian telah melahirkan sejumlah kelompok
yang memiliki paradigma berpikir secara mandiri. Pola pendidikan pada periode
Bani Umayah telah berkembang jika dilihat dari aspek pengajarannya, walaupun
sis- temnya masih sama seperti pada masa Nabi Muhammad saw. dan Khulafa al-
Rasyidin. Pada masa ini peradaban Islam sudah bersifat internasional yang
meliputi tiga benua, yaitu sebagian Eropa, sebagian Afrika, dan sebagian besar
Asia yang kesemuanya itu dipersatukan dengan bahasa Arab sebagai bahasa resmi
negara.

Jaih Mubarok mengungkapkan bahwa pada masa Dinasti Umayah Timur


terjadi perkembangan kajian ilmu agama (penyempurnaan tulisan Al-Qur'an) pada
masa Khalifah Abd Al-Malik Ibn Marwan dan penulisan Hadis pada masa Umar
Ibn Abd Al-Aziz. Hal tersebut terjadi, karena banyaknya kaum non-Arab (ajam)
yang masuk Islam dan dalam rangka menjaga/melestarikan Hadis Nabi. Selain itu,

10
terdapat dua aliran fikih, yaitu aliran Kufah (Madrasat al-Ra'y) dan aliran
Madinah (Madrasat al- Hadis).

Adapun penjelasan dari materi pendidikan yang diselenggarakan pada


masa Dinasti Umayah sebagai berikut:

a) Bidang Al-Qur'an

Al-Qur'an yang telah dikodifikasi pada zaman Abu Bakar dan Utsman Ibn
Affan ditulis tanpa titik, sehingga tidak dapat dibedakan antara huruf "fa" dan
huruf "qa", atau antara huruf "ba" dengan huruf "ta", dan huruf "tsa"; dan baris
sehingga tidak dapat dibedakan antara dhammat yang berbunyi "u", fathat "a"
dengan kasrat "i". Menurut salah satu riwayat, ulama yang pertama yang
memberikan baris dan titik pada huruf-huruf Al-Qur'an adalah Hassan al-Bashri
(642-728 M) atas perintah Abd al-Malik Ibn Marwan (yang menjadi khalifah
antara 685-705 M). Abd al-Malik Ibn Marwan menginstruksikan kepada al-Bashri
untuk menyempurnakan tulisan Al-Qur'an. Al-Hajjaj meminta Hassan al-Bashri
untuk menyempurnakannya; dan Hassan Al-Bashri dibantu oleh Yahya Ibn
Ya'mura (murid Abu al-Ashwad al- Duwali). Adapun pada riwayat lain dikatakan
bahwa yang pertama membuat baris dan titik pada huruf-huruf Al-Qur'an adalah
Abu al- Ashwad al-Duwali.

b) Bidang Hadis

Adapun Umar Ibn Al-Aziz adalah khalifah yang mempelopori penulisan


(tadwin) Hadis. Beliau memerintahkan kepada Abu Bakar Ibn Muhammad Ibn
Amr Ibn Hajm (120 H), Gubernur Madinah, untuk menuliskan Hadis yang ada
dalam hafalan-hafalan penghafal Hadis. Umar Ibn Abd Al-Aziz menulis surat
sebagai berikut: "Periksalah Hadis Nabi saw. dan tuliskanlah; karena aku khawatir
bahwa ilmu Hadis akan lenyap dengan meninggalnya ulama; dan tolaklah Hadis
selain dari Nabi saw,. hendaklah Hadis disebarkan dan diajarkan da- lam majelis-
majelis sehingga orang-orang yang tidak mengetahuinya menjadi mengetahuinya;
sesungguhnya Hadis itu tidak akan rusak sehingga disembunyikan (oleh ahlinya).

11
Atas perintah khalifah Umar Ibn Abd Al-Aziz, pengumpulan Hadis dilakukan
oleh ulama. Di antaranya adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Muslim Ibn
Ubaidillah Ibn Syihab al-Zuhri (guru Imam Malik). Akan tetapi, buku Hadis yang
dikumpulkan oleh Imam al-Zuhri tidak diketahui dan tidak sampai kepada umat
Islam saat ini. Dalam sejarah tercatat bahwa ulama yang pertama membukukan
Hadis adalah Imam al-Zuhri.

c) Bidang Fikih

Secara umum, pada zaman Dinasti Umayah terdapat dua aliran fikih,yaitu
aliran Kufah (Madrasat al-Ra'y) dan aliran Madinah (Madrasat al-Hadis). Aliran
Kufah dibesarkan oleh Abu Hanifah dan aliran Madinah dibesarkan oleh Imam
Malik. Di Madinah terdapat Fuqahaa Sab'at. Thaha Jabir Fayadl al-'Ulwani
menjelaskan bahwa mazhab fikih Islam yang muncul setelah shahabat dan Kibar
al-tabi'in berjumlah 13 aliran, dan di antara pendiri aliran itu hidup pada zaman
Dinasti Umayah. Di antara mereka adalah Abu Sa'id Al-Hasan Ibn Yasar al-
Bashri (w. 110 H); dan Abu Hanifah al-Nu'man Ibn Tsabit Ibn Zuthi (w. 150 H).

Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M) yang dilahirkan di Kufah pada zaman


Dinasti Umayah, tepatnya pada zaman khalifah Walid Ibn Abd al-Malik Ibn
Marwan; dan meninggal pada zaman Dinasti Aba- siyah. Ia hidup selama 52 tahun
pada zaman Umayah dan 18 tahun pada zaman Abasiyah. Sikap politik Abu
Hanifah adalah berpihak kepada keluarga Ali (Ahl al-Bayt) yang selalu dianiaya
dan ditindas oleh Dinasti Umayah. Ketika Zaid berontak terhadap Hisyam dan
terbunuh, kemudian putranya, Yahya Ibn Zaid juga terbunuh, Abu Hanifah sangat
berduka dengan mengatakan bahwa perjuangan Zaid sama dengan perjuangan
Nabi saw. dengan perang Badar. Ketika Yazid Ibn Umar Ibn Hubairah zaman
Dinasti Umayah menjadi Gubernur Irak, Abu Hanifah diminta agar menjadi
hakim atau ben daharawan negara. Karena menolak tawaran tersebut, Abu
Hanifah ditangkap, dipenjarakan, dan dicambuk. Atas pertolongan juru cambuk,
Abu Hanifah berhasil meloloskan diri dari penjara dan pindah ke Mekkah. la
tinggal di sana selama 6 tahun (130-136 H). Setelah Umayah berakhir, ia kembali
ke Kufah dan menyambut kekuasaan Abasiah dengan rasa gembira.

12
Di masa Umayah pendidikan Islam semakin berkembang dengan pesat
tidak lepas dari perluasan wilayah negara Islam yang diikuti oleh para ulama dan
guru-guru agama yang juga ikut bersama-sama tentara Islam. Pendidikan yang
berkembang bersifat desentralisasi. Lembaga pendidikan Islam yang tersebar dan
terpusat di kota-kota besar, di antaranya:

a) Madrasah Makkah

Muaz bin Jabal adalah guru pertama yang mengajar di Mekkah, sesudah
pendudukan Mekkah (Fathul Mekkah). la mengajar disiplim ilmu pengetahuan
Al-Qur'an dan mana yang halal dan haram. Pada masa khalifah Abdul Malik bin
Marwa, Abdullah bin Abbas pergi ke Mekkah dan mengajar di masjidil Haram, ia
mengajar ilmu tafsir, fikih dan sastra. la adalah pembangun madrasah Mekkah.
Kemudian ia digantikan murid-muridnya, yaitu Mujahid bin Jabar (meriwayatkan
tafsir Al-Qur'an dari Ibnu Abbas), 'Athak bin Abu Rabah (ilmu fikih terutama
manasik haji), dan Thawus (seorang Fukaha dan Mufti). Ketiga guru itu
meninggal dan digantikan oleh Sufyan bin 'Uyainah dan Muslim bin Khalid Az-
Zanji. Keduanya adalah guru Imam Syafi'i yang pertama. Kemudian ia hijrah ke
Madinah berguru pada Imam Malik.

b) Madrasah Madinah

Madrasah Madinah adalah tempat para sahabat menuntut ilmu. Di


Madrasah Madinah lebih termasyur dan lebih dalam ilmunya, karena di sanalah
tempat tinggal sahabat-sahabat Nabi. Berarti di sana banyak terdapat ulama-ulama
terkemuka. Di antara ulama terkemuka di Madrasah Madinah adalah Sa'id bin Al-
Musaiyab (murid Zaid bin Sabit), dan 'Urwah bin Az-Zubair bin al-Awam.
Sesudah tingkat tabi'in digantikan oleh Ibnu Syihab Az-Zuhri al-Quraisyi (ahli
fikih dan Hadis). Madrasah Madinah ini melahirkan Imam Malik bin Anas dan
Imam Madinah.

c) Madrasah Basrah

Ulama sahabat yang terkenal di Basrah adalah Abu Musa Al-Asy'ari (ahli
fikih, ahli Hadis, dan ahli Al-Qur'an) dan Anas bin Malik (ilmu Hadis). Madrasah

13
Basrah melahirkan ulama-ulama terkenal, di an- taranya; al-Hasan Basry (ahli
fikih, ahli pidato dan kisah, ahli fikir, serta ahli tasawuf. Ada pula Ibnu Sirin yang
pernah belajar pada Zaid bi Sabit, Anas bin Malik, dan lain-lain. la ahli Hadis dan
hidup semasa dengan al-Hasan Basry.

d) Madrasah Kufah

Madrasah Ibnu Mas'ud di Kufah melahirkan enam orang ulama besar,


yaitu: 'Al-Qamah, Al-Aswad, Masroq, 'Ubaidah, Al-Haris Ibn Qais dan 'Amr Ibn
Syurahbil. Mereka itulah yang menggantikan Abdullah Ibn Mas'ud menjadi guru
di Kufah. Ulama Kufah, bukan saja belajar kepada Abdullah bin Mas'ud menjadi
guru di Kufah. Bahkan mereka pergi ke Madinah.

e) Madrasah Damsyik (Syam)

Madrasah Agama di Syam didirikan oleh Mu'az bin Jabal, 'Ubadah dan
Abud-Dardak. Ketiganya mengajar Al-Qur'an dan ilmu agama di negeri Syam
pada tiga tempat, yaitu Abud-Dardak di Damsyik, Mu'az bin Jabal di Palestina
dan "Ubadah di Hims. Selanjutnya mereka digantikan oleh murid-muridnya,
tabi'in, seperti Abu Idris al-Khailany, Makhul Ad-Dimasyki, Umar bin Abdul
Aziz dan Rajak bin Haiwah. Madrasah ini melahirkan imam penduduk Syam,
yaitu Abdurrahman al-Auza'iy yang ilmunya sederajat dengan imam Malik dan
Abu Ha- nifah. Namun, mazhabnya yang tersebar di Syam sampai ke Maghrib
dan Andalusia lenyap karena pengaruh mazhab Syafi'i dan Maliki.

f) Madrasah Fistat (Mesir)

Ketika Mesir telah menjadi negara Islam, Mesir menjadi pusat ilmu- ilmu
agama. Di Mesir mempunyai madrasah yang didirikan oleh Abdullah bin 'Amr bin
al-'As. Ulama-ulama yang ada di Mesir, yaitu Yazid bin Abu Habib An-Nuby. la
menyiarkan ilmu fikih dan men- jelaskan apa saja yang haram dan halal dalam
agama Islam. Selain itu, ada pula Abdullah bin Abu Ja'far bin Rabi'ah. Yazid
mempunyai murid bernama Abdullah bin Lahi'ah dan al-Lais bin Said. Abdullah
tidak hanya belajar kepada Yazid, tetapi juga kepada tabi'in. Adapun al-Lais

14
pernah menuntut ilmu di Mesir, Mekkah, Baitul Maqdis, dan Baghdad. la bahkan
berhubungan dengan Imam Malik dan berkiriman surat.

Selain lembaga pendidikan Islam yang tersebar dan terpusat di kota- kota
besar di masa Dinasti Umayah di Damaskus, terdapat pula beberapa tokoh
pendidikan Islam. Tokoh-tokoh pendidikan pada masa Bani Umayah terdiri dari
ulama-ulama yang menguasai bidangnya masing-masing, seperti dalam bidang
tafsir, Hadis, dan fikih. Selain para ulama juga ada ahli bahasa/sastra. Ulama-
ulama tabi'in ahli tafsir, yaitu: Mujahid, 'At- hak Ibn Abu Rabah, "Ikrimah, Sa'id
Ibn Jubair, Masruq Ibn Al-Ajda', dan Qatadah.

Pada masa ini tafsir Al-Qur'an bertambah luas dengan memasukkan


Israiliyat dan Nasraniyat, karena banyak orang-orang Yahudi dan Nasrani
memeluk agama Islam. Di antara mereka yang termasyhur ialah Ka'bul Ahbar,
Wahab bin Munabbih, Abdullah bin Salam, Ibnu Juraij. Adapun Hadis hanya
diriwayatkan dari mulut ke mulut, yaitu dari hafalan guru diberikannya kepada
murid, sehingga menjadi hafalan murid pula dan begitulah seterusnya. Setengah
sahabat dan pelajar-pelajar ada yang mencatat Hadis-hadis itu dalam buku
catatannya, tetapi belumlah berupa buku/kitab.

Ulama-ulama dari kalangan sahabat yang banyak meriwayatkan hadis-


hadis ialah Abu Hurairah (5374 Hadis), 'Aisyah (2210 Hadis), Ab- dullah Ibn
Umar (+ 2210 Hadis), Abdullah Ibn Abbas ( 1500 Hadis), Jabir Ibn Abdullah
(1500 Hadis), Anas Ibn Malik (2210 Hadis). Adapun ulama-ulama ahli fikih
adalah ulama-ulama tabi'in fikih pada masa bani Umayah, di antaranya, Syuriah
bin al-Harits, 'Al-Qamah Ibn Qais, Masuruq al-Ajda', dan Al-Aswad bin Yazid.
Kemudian diikuti oleh mu- rid-murid mereka, yaitu Ibrahim An-Nakh'i (wafat 95
H) dan 'Amir Ibn Syurahbil As-Sya'by (wafat 104 H). Sesudah itu digantikan oleh
Hammad Ibn Abu Sulaiman (wafat 120 H), guru dari Abu Hanafiah.

Adapun ahli bahasa/sastra yang masyhur, di antaranya; Sibawaih yang


karya tulisnya Al-Kitab, menjadi pegangan dalam soal berbahasa arab. Sejalan
dengan itu, perhatian pada syair Arab Jahiliah pun muncul kembali, sehingga

15
bidang sastra Arab mengalami kemajuan. Di zaman ini muncul penyair-penyair,
seperti Umar Ibn Abu Rabiah (w. 719), Jamil Al-Uzri (w. 701), Qys Ibn
Mulawwah (w. 699) yang dikenal dengan nama Laila Majnun, Al-Farazdaq (w.
732), Jarir (w. 792), dan Al-Akhtal (w. 710).

Sebegitu jauh kemajuan yang dicapai Bani Umayah terpusat pada bidang
ekspansi wilayah, bahasa dan sastra arab, serta pembangunan fisik. Sesungguhnya
di masa ini gerakan-gerakan ilmiah telah berkembang pula, seperti dalam bidang
keagamaan, sejarah dan filsafat. Dalam bidang yang pertama umpamanya
dijumpai ulama-ulama seperti Hasan al-Basry, Ibnu Syihab Az-Zuhri, dan Wasil
Ibn Ata. Pusat kegiatan ilmiah ini adalah Kufah dan Basrah di Irak. Khalid Ibn
Yazid Ibn Mu'awiyah (w. 79/04/709) adalah seorang orator dan penyair yang
berpikir tajam. Ia adalah orang pertama yang menerjemahkan buku-buku tentang
astronomi, kedokteran, dan kimia.

Berkaitan dengan pola pendidikan yang berkembang pada masa ini


sebenarnya sama dengan pendidikan yang berkembang pada masa sekarang.
Pendidikan yang ada pada waktu itu terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu, tingkat
pertama, tingkat menengah, dan tingkat tinggi. Adapun tempat belajar pada waktu
itu terbagi menjadi tiga, yaitu Kuttab, Masjid, dan Majelis Sastra. Kuttab adalah
tingkat pertama untuk belajar menulis, membaca atau menghafal Al-Qur'an dan
mempelajari pokok-pokok dari agama Islam. Di samping itu murid-murid juga
mempelajari tata bahasa Arab, cerita-cerita nabi, Hadis dan pokok agama. Peserta
yang dididik terdiri dari anak-anak dari lapisan sosial mana pun. Bahkan, sebagian
anak- anak yang kurang mampu diberi makan dan pakaian dengan cuma-cuma.
Anak-anak perempuan pun diberi hak belajar yang sama dengan laki-laki. Setalah
lulus, maka murid-murid melanjutkan pendidikan ke masjid.

Masjid merupakan pusat pendidikan yang terdiri dari tingkat menengah


dan tingkat tinggi. Pendidikan tingkat menengah kembali mendalami Al-Qur'an,
tafsir, Hadis, dan fikih. Selain itu, murid-murid juga diajarkan kesusasteraan,
sajak, gramatika bahasa, ilmu hitung, dan ilmu perbintangan." Masjid dijadikan
sebagai pusat aktifitas ilmiah. Pada tingkat menengah gurunya belumlah ulama

16
besar, berbeda halnya dengan tingkat tinggi yang diberi pengajaran oleh ulama
yang memiliki ilmu yang mendalam dan termasyhur kealiman dan kesalehannya.

Pada umumnya pelajaran yang diberikan guru kepada muridnya pada


tingkat pertama dan menengah dilakukan satu persatu atau perseorangan. Hal ini
mungkin hampir mirip dengan metode sorogan di lembaga pendidikan pondok
pesantren. Sistem pengajaran dengan pola sorogan dilaksanakan dengan jalan
santri yang biasanya pandai menyorogkan sebuah kitab kepada kiai untuk dibaca
dihadapan kiai itu Metode sorogan merupakan sistem metode yang ditempuh
dengan cara guru (kiai) menyampaikan pelajaran kepada santri secara individual.
Di pondok pesantren, sasaran metode ini adalah kelompok santri pada tingkat
rendah yaitu mereka yang baru menguasai pembacaan Al-Qur'an. Melalui
sorogan, perkembangan intelektual santri dapat ditangkap kiai secara utuh. Dia
dapat memberikan tekanan pengajaran kepada santri-santri tertentu atas dasar
observasi langsung terhadap tingkat kemampuan dasar dan kapasitas mereka.
Sebaliknya, penerapan metode sorogan menuntut kesabaran dan keuletan
pengajar. Santri dituntut memiliki disiplin tinggi. Di samping aplikasi metode ini
membutuhkan waktu lama, yang berarti kurang efektif dan efesien.

Adapun pada tingkat tinggi pelajaran diberikan dalam satu halakah yang
dihadiri oleh para pelajar secara bersama-sama. Di pondok pesantren juga hampir
sama yang dikenal dengan metode bandongan (weton). Para santri mendengarkan
seorang kiai yang membaca, menterjemahkan dan menerangkan buku-buku yang
berbahasa Arab. Dengan kata lain, sekelompok santri yang belajar di bawah
bimbingan kiai.

Selain itu, ada pula Majelis Sastra yang merupakan tempat berdiskusi
membahas masalah kesusasteraan dan juga sebagai tempat berdiskusi mengenai
urusan politik. Perhatian penguasa Umayah sangat besar pada pencatatan kaidah-
kaidah nahwu, pemakaian bahasa Arab dan mengumpulkan syair-syair Arab
dalam bidang Syariah, kitabah dan berkembang nya semi prosa.7 Bahkan
dilakukan pula penerjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam bahasa Arab.
7
Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam,(Jakarta:Bulan Bintang, 1992),hlm, 72.

17
Dalam khasanah keilmuan Islam terdapat tradisi yang sering disebut
"rihlah ilmiah", "perjalanan keilmuan" atau tepat "perjalanan untuk menuntut
ilmu". Rihlah ilmiah merupakan perjalanan yang di tempuh ke luar negara
ataupun daerah tempat tinggalnya dalam rangka kegiatan keilmuan. Rihlah ilmiah
pada dasarnya merujuk pada setiap perjalanan untuk menuntut ilmu, mencari
tempat belajar yang baik, mencari guru yang lebih otoritatif, atau juga perjalanan
seorang ilmuwan ke berbagai tempat, apakah ia secara formal melakukan aktivitas
akademik atau ti dak. Dengan demikian, rihlah ilmiah bisa mencakup sebuah
perjalanan yang memang direncanakan untuk tujuan ilmiah (belajar, mengajar,
berdiskusi, mencari kitab, dan seterusnya), atau sekadar perjalanan biasa yang
dilakukan oleh orang-orang yang terlibat dalam kegiatan keilmuan.Berdasarkan
term ini dapat dilihat tujuan dari rihlah ilmiah dari dua aspek, yaitu untuk
menuntut ilmu (thalabaan lil-lm) atau meningkatkan nilai ilmu pengetahuan
(rasikh fi'ilm) dan juga dengan tujuan untuk mengajarkan ilmu di berbagai negeri
atau negara lain.

Dalam tradisi keilmuan Islam, rihlah ilmiah bukanlah hal yang baru. Pasca
wafatnya Rasulullah saw. para sahabat melakukan rihlah ilmiah untuk
mengumpulkan dan merekam Hadis yang ditinggalkan Rasulullah saw. Dalam
perkembangan selanjutnya perjalanan keilmuan tersebut bukan hanya
menghasilkan kumpulan Hadis, tetapi juga mendorong terbentuknya "jaringan"
sahabat Nabi saw. yang terlibat dalam usaha merekam, menghafal, dan mencatat
Hadis Rasulullah saw.

Transmisi Hadis yang dimaksudkan di sini adalah kegiatan penerimaan


dan penyampaian Hadis, serta penyandaran Hadis itu kepada para periwayatnya
dengan lafal-lafal tertentu. Dengan demikian, orang yang telah menerima Hadis
dari seorang periwayat, tetapi ia tidak menyampaikannya kepada orang lain, maka
ia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan Hadis.
Begitupun sekiranya orang tersebut menyampaikan Hadis yang telah diterimanya
kepada orang lain, tetapi ketika menyampaikan Hadis itu ia tidak menyebutkan
rangkaian para periwayatnya, maka ia juga tidak dapat dinyatakan sebagai orang

18
yang telah melakukan periwayatan Hadis. Jadi, dalam transmisi Hadis setidaknya
tercakup tiga unsur kegiatan; (1) menerima Hadis dari periwayat sebelumnya; (2)
menyampaikan Hadis kepada orang lain; dan (3) ketika menyampaikan Hadis itu,
matarantai periwayatnya juga disebutkan. Dalam proses transmisi Hadis tersebut
terjalin hubungan yang kompleks dan saling silang antara guru dan murid, sesama
guru, atau- pun sesama murid, dan membentuk semacam "jaringan" yang dalam
disiplin ilmu Hadis dikenal dengan sanad (isnåd). Hubungan-hubungan seperti itu
pada gilirannya juga terbentuk dalam berbagai cabang disiplin ilmu keislaman
lainnya.

Peran generasi sahabat diakui sangat sentral dalam proses penyebaran dan
transmisi Hadis. Misalnya, Jábir ibn Abdillah (w. 78 H), ketika sampai kepadanya
sebuah Hadis yang konon berasal dari salah seorang sahabat Nabi saw., ia pun
membeli unta, lalu mengadakan perjalanan dengan mengendarai unta itu selama
satu bulan hingga sampai di negeri Syria. Ternyata sahabat dimaksud adalah
Abdullah ibn Unais. Jábir pun menanyakan langsung Hadis itu kepadanya.
Sahabat lainnya, Abû Ayyûb al-Anshâriy (w. 52 H) juga mengadakan perjalanan
dari Madinah ke Mesir untuk mencari sebuah Hadis dari Uqbah ibn Âmir. Selama
periode tabi'in, perjalanan keilmuan untuk mencari Hadis semakin gencar dila
kukan oleh para ulama Hadis. Sa'id ibn Musayyab (w. 94 H), misalnya, telah
mengadakan perjalanan siang dan malam selama beberapa hari untuk
mendapatkan sebuah Hadis. Abû Qilâbah (w. 104 H) mengaku pernah tinggal
selama tiga hari di Madinah untuk bertemu dengan seseorang yang memiliki
Hadis agar ia dapat meriwayatkan hadis darinya. Hasan al-Bashriy (w. 110 H)
juga mengadakan perjalanan dari Bashrah ke Kufah menemui Ka'ab ibn Ujrah
untuk menanyakan suatu masalah. Aktivitas serupa pernah dilakukan oleh Âmir
al-Sya'biy, Makhûl, Abû al- Âliyah, dan Ibn al-Dailamiy.

Daniel W. Brown mencatat, para sahabat menjadi mata rantai penghubung


yang sangat diperlukan dalam rantai epistemologis antara Nabi saw. dan manusia
lainnya. Para sahabat menjadi satu-satunya agen, yang dengan perantaraan mereka
pengetahuan andal mengenai diri Nabi Muhammad saw. (al-Hadis) dan Al-Qur'an

19
dapat ditransmisikan. Di sinilah, tanpa peran aktif mereka dalam proses
perekaman dan transmisi Hadis, maka sangat mungkin seluruh jejak hadis akan
hilang, tanpa dapat dikenali oleh generasi sesudahnya.

Transmisi Hadis pada awal sejarah Islam merupakan salah satu contoh
konkret yang menunjukkan begitu pentingnya jaringan ulama yang terbentuk dan
berkembang sepanjang sejarah meskipun tidak terorganisasi secara formal.
Jaringan antara mursyid dan wakilnya memang sering kali terjalin melalui
kerangka organisasi tarekat, tetapi jaringan antar mereka itu tidak berarti
terorganisasi secara formal. Oleh karena itu, jaringan ulama lebih merupakan
ikatan yang bersifat longgar dan informal. Namun, karena berbagai faktor, ikatan
tersebut menjadi cukup solid dan efektif dalam mencapai tujuan keilmuan Islam
khususnya, dan penyebaran Islam pada umumnya.

Proses tradisi intelektual ini tidak terlepas dari proses tranmisi dan difusi
ajaran dan gagasan Islam selalu melibatkan semacam "jaringan intelektual"
(intellectual networks), baik yang terbentuk di kalangan ulama maupun salah satu
segmen dari kaum intelektual secara keseluruhan. Yang disebut sebagai "jaringan
ulama" adalah jalinan hubungan yang kompleks dan luas, yang terdapat baik yang
terbentuk antar-ulama sendiri maupun antara ulama dan murid-muridnya.

Pada abad ke-16 M, jaringan ulama di Hadramain memperlihatkan


peningkatan minat dalam melacak dan menemukan Hadis-hadis baru untuk
selanjutnya menguji dan menyebarkannya kepada kaum Muslim guna diamalkan.
Dengan demikian, terjadi pergeseran dalam penekanan terhadap pengkajian
Hadis. Kebanyakan ulama mengkaji Hadis lebih untuk kepentingan praktis
meningkatkan pengamalan keagamaan kaum Muslimin daripada sekadar
kepentingan akademis dan ilmiah, Perkembangan semacam ini berkaitan dengan
upaya yang berkesinambungan di kalangan banyak ulama untuk memperbarui
tasawuf. Dalam konteks ini, pengkajian Hadis selain merupakan bidang keilmuan
penting dalam Islam, juga dipandang sebagai sebuah disiplin untuk mendukung
usaha ke arah rekonstruksi sosio-moral masyarakat Muslim.

20
Perkembangan jaringan ulama di Haramain mengalami akselerasi pada
abad ke-17 dan 18 M. Seperti diungkapkan Azyumardi Azra, jaringan ulama,
terutama berpusat di Mekkah dan Madinah menduduki posisi penting dalam
kaitannya dengan ibadah haji, sehingga mendorong sejumlah guru besar (ulama)
dan penuntut ilmu dari berbagai wilayah di dunia Muslim datang dan bermukim di
sana, yang pada gilirannya menciptakan semacam jaringan keilmuan yang
menghasilkan wacana ilmiah yang unik. Sesungguhnya pada abad ke-17 dan 18 M
merupakan salah satu masa yang paling dinamis dalam sejarah sosio-intelektual
kaum muslim.

BAB III

PENUTUP

21
A. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa keadaan


pendidikan pada masa kekuasaan bani Umayyah sudah lebih berkembang
dibandingkan pada zaman Khulafur Rasyidin. Perkembangan pendidikan tersebut
yang paling menonjol adalah pada aspek kelembagaan dan ilmu yang diajarkan.
Pada aspek kelembagaan telah muncul dan berkembang lembaga pendidikan baru,
yakni istana, badiah, perpustakaan, dan bimaristan. Adapun ilmu yang diajarkan
bukan hanya bidang agama saja, melainkan juga ilmu-ilmu umum. Namun
demikian, ilmu-ilmu agama masih dominan dibandingkan dengan ilmu umum.
Adapun bila kita lihat dari segi sistemnya masih bersifat sederhana dan
konvensional, dan belum dapat disamakan dengan sistem pendidikan yang sudah
berkembang seperti pada saat ini.

Perkembangan pendidikan yang demikian itu karena dipengaruhi oleh


situasi politik, sosial, dan keagamaan yang secara keseluruhan belum mendukung
kegiatan pendidikan. secara politik, masa bani Umayyah yang berlangsung lebih
kurang 90 tahun terlalu banyak digunakan untuk melakukan perluasan wilayah
serta meredam berbagai gejolak dan pemberontakan.

B. Saran

Ada sebuah pepatah yang mengatakan “tidak ada gading yang tak retak”.
Karena itulah penulis senantiasa menyadari bahwa begitu banyak kekurangan
kekurangan dan kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam makalah ini. Maka dari
pada itu, penulis mengharapkan kritik dan saran membangun dari para pembaca
sekalian agar kedepannya penulis bisa berusaha menjadi lebih baik lagi.

22

Anda mungkin juga menyukai