Anda di halaman 1dari 13

REVIEW JURNAL

Hukum Internasional
(kelas A)

Nama : M Rady Alamsyah


NIM : E061201036

TEMA
1. Penanganan Pengungsi di Indonesia (Jurnal Nasional)
2. Pengungsi Rohingya di Asia Tenggara (Jurnal Internasional)

Jurnal Nasional
Penulis Samuel Tunggul Jovano & Cornelius Agatha Gea

Latar Belakang Penulis Politeknik Imigrasi Depok

Judul Tulisan Penanganan Pengungsi yang Bunuh Diri di Indonesia


Berdasarkan Perspektif Hukum Keimigrasian

Jurnal Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum

Nomor Jurnal Volume. 15, No. 3

Tahun Terbit 2021

Penerbit Creative Commons Attribution

Abstrak Abstrak jurnal Penanganan Pengungsi yang Bunuh Diri di


Indonesia Berdasarkan Perspektif Hukum Keimigrasian karya
Jovano dan Gea berfokus pada bahasan pencegahan atau
penanganan kasus bunuh diri pengungsi di Indonesia dimana
penulis menyampaikan bahwa tindakan preventif merupakan
langkah yang begitu penting dalam mencegah kasus bunuh diri
pengungsi. Selain itu, penulis juga mengatakan dalam abstrak
ini bahwa terdapat beberapa faktor bunuh diri di Indonesia,
seperti masalah perekonomian, perilaku masyarakat setempat,
hingga kebijakan politik yang berlaku. Penulis menggunakan
metode penelitian bersifat kualitatif dengan pendekatan
normatif dalam melakukan penelitiannya.

Kata Kunci Pengungsi; Bunuh diri; Keimigrasian

Pengantar Pada bagian pengantar jurnal, penulis menyajikan 3 point


penelitian. Pertama yaitu pendahuluan yang berisikan latar
belakang bagaimana perilaku bunuh diri yang tidak
memandang status sosial hingga umur dan penulis pada point
pendahuluan juga menyajikan data angka pengungsi yang
melakukan bunuh diri di kamp Rwanda, Penulis juga
mengatakan bahwa UNHCR dan IOM turun dalam
penanganan aksi bunuh diri pengungsi di Indonesia dimana
UNHCR memberikan fasilitas penempatan pada pengungsi
dan IOM turut berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan
hidup pengungsi di Negara penampung. Kedua, pada bagian
pengantar penulis menyampaikan tujuan dari penelitian yang
dilakukan, yaitu untuk mengetahui latar belakang
kecenderungan aksi bunuh diri yang dilakukan pengungsi,
memahami tujuan perilaku bunuh diri dan apa dampak yang
diberikannya terhadap rakyat Indonesia, serta untuk
mengetahui peranan rumah detensi imigrasi lebih jauh. Ketiga,
point rumusan dimana penulis mempertanyakan faktor apa saja
yang melatarbelakangi kasus bunuh diri pengungsi di
Indonesia, seberapa besar rasio tindakan bunuh diri tersebut,
dan apa yang dilakukan rumah detensi imigrasi dalam
menghadapi kasus bunuh diri tersebut.

Setelah mengetahui 3 point tersebut, penulis dalam jurnal ini


juga menjelaskan metode penelitian yang digunakan, sumber
data apa saja saja yang digunakan, serta memaparkan metode
analisis data yang digunakan.

Isi Pembahasan Kasus Bunuh Diri Pengungsi di Indonesia:


pada bagian pertama isi pembahasan, penulis menyuguhkan
kita dengan fakta-fakta yang melatarbelakangi pengungsi
dalam melakukan aksi bunuh diri di Indonesia, faktor yang
melatarbelakangi kasus bunuh diri di Indonesia, yakni
perubahan kebijakan politik internasional, masalah
perekonomian pengungsi, perlakukan tidak menyenangkan
yang dirasakan pengungsi dari masyarakat yang tinggal
disekitar area pengungsian, serta tekanan mental yang dialami
para pengungsi.
Lebih lanjut pada bagian pertama isi pembahasan, penulis juga
memberikan contoh-contoh kasus bunuh diri pengungsi yang
pernah terjadi di Indonesia, seperti Kasus Qasem Musa asal
Afganistan (2020) yang ditemukan dalam keadaan gantung diri
di ruang detensi Imigran, Kasus pemuda berinisial MA asal
Afganistan (2020) ditemukan gantung diri di dalam tempat
tinggalnya, Kasus Munir asal Rohingya (2021) yang
ditemukan tewas gantung diri di Community House Makassar,
serta Kasus Ali Joya asal Afganistan (2021) yang juga
ditemukan dalam keadaan gantung diri.
Dari keempat kasus diatas penulis memaparkan fakta yang
melatarbelakangi aksi bunuh diri tersebut, mulai dari kinerja
rumah detensi imigran yang tidak memperhatikan keluhan
kesehatan pengungsi, masalah perekonomian, hingga depresi.

Rasio angka kasus bunuh diri pengungsi di Indonesia


dengan negara Lain:
Pada bagian ini, penulis memaparkan perbandingan angka
kasus bunuh diri yang terjadi di Negara yang belum
menandatangani konvensi 1951, seperti Indonesia dan
Singapura, serta Negara yang telah menandatangani konvensi
1951, seperti Australia dan Amerika Serikat.
Sebagai Negara yang belum menandatangani konvensi 1951,
penulis menyajikan data bahwa angka bunuh diri di Indonesia
yang tercatat di tahun 2021 oleh UNHCR sebanyak 6 kasus,
namun realitanya kasus bunuh diri pengungsi di Indonesia
sudah ada sejak tahun 2013 tetapi UNHCR tutup mulut
terhadap informasi tersebut, sehingga menciptakan aksi demo
yang dilakukan para pengungsi di kantor pusat UNHCR
dimana pendemo meminta kepastian status Ressetlement yang
dijanjikan pihak UNHCR kepada para pengungsi tersebut.
Selanjutnya di Singapura, sama seperti Indonesia yang belum
menandatangani konvensi 1951. Tercatat angka kasus bunuh
diri pengungsi yang terjadi di Singapura sebanyak 640 jiwa
sejak 2007, dimana penulis mengatakan bahwa rasio kasus
bunuh diri paling tinggi dilakukan oleh kalangan dewasa.
Sebagai Negara yang telah menandatangani konvensi 1951,
realita data yang ditemukan penulis tidak jauh berbeda dengan
yang terjadi di Indonesia dan Singapura, dimana angka aksi
bunuh diri di Australia tercatat sebanyak 5.541 jiwa di tahun
2014, sedangkan di Amerika tercatat angka kematian dari aksi
bunuh diri yang dilakukan pengungsi sebesar 10.000 jiwa/
tahun, dimulai dari tahun 2010-2019.

Peranan Rumah Detensi Imigrasi:


Bagian terakhir dari isi pembahasan, penulis menyajikan
penjelasan terkait peran rumah detensi imigrasi dalam
mencegah pengungsi melakukan tindakan bunuh diri. Dimana,
pada bagian ini penulis menjelaskan bahwa tugas dan fungsi
RUDENIM ialah sebagai pihak yang melakukan pendataan
dan pengawasan terhadap pengungsi yang memiliki
permasalahan psikologis, konflik sosial dengan pengungsi
lainnya, konflik terhadap masyarakat domestik, tindakan
impulsif pengungsi atas kesadaran terhadap ketidakjelasan
status pengungsi yang dimilikinya.
Dari hasil wawancara penulis bersama dengan Surya Pranata
sebagai pakar yang memahami permasalahan pengungsi di
RUDENIM Indonesia, penulis diberitahu bahwa tindakan
preventif yang dilakukan bersama pihak kepolisian dan IOM
terhadap para pengungsi merupakan langkah yang wajib
direalisasikan.

Kesimpulan Penulis pada bagian kesimpulan Penanganan Pengungsi yang


Bunuh Diri di Indonesia Berdasarkan Perspektif Hukum
Keimigrasian mengatakan bahwa tindakan preventif
merupakan tindakan yang begitu penting untuk dilakukan guna
mencegah kasus bunuh diri pengungsi di Indonesia. Kedua,
penulis mengharapkan pihak imigrasi melakukan pengawasan
secara rutin terhadap para pengungsi. Ketiga, penulis
berpendapat bahwa kebijakan terhadap para pengungsi di
Indonesia perlu dibenahi. Terakhir, penulis menegaskan bahwa
peran Rumah Detensi Imigrasi dalam mencari solusi dan
sebagainya terhadap masalah-masalah pengungsi harus lebih
efektif dan penuh inovasi.

Kelebihan Jurnal Kelebihan dari jurnal ini berada pada susunan poin antar poin
yang selaras sehingga nyaman dibaca.

Kekurangan Jurnal kekurangan dari jurnal ini berada pada kosakata yang penulis
tidak jelaskan terlebih dahulu, seperti kata ‘preventif’.
Selanjutnya penulis dalam jurnalnya kurang menelusuri kinerja
RUDENIM lebih lanjut dan tidak begitu mengelaborasi terkait
peranan RUDENIM lebih dalam sebagaimana yang mereka
nyatakan pada poin ketiga tujuan penelitiannya.
Jurnal Internasional

Penulis Antje Missbach & Gunnar Stange

Latar Belakang Penulis 1. Anne Missbach from Bielefeld University, Faculty of


Sociology, German
2. Gunnar Stange from University of Vienna, Department
of Geography and Regional Research, Austria

Judul Tulisan Muslim Solidarity and The Lack of Effective Protection for
Rohingya Refugees in Southeast Asia

Jurnal Social Sciences

Nomor Jurnal Vol. 10, No. 5

Tahun Terbit 2021

Penerbit MDPI

Abstrak
Abstrak tulisan Missbach dan Stange menyoroti reaksi negara-negara
mayoritas Islam di ASEAN terhadap kasus Rohingnya, dimana pada
jurnal Muslim Solidarity and The Lack of Effective Protection for
Rohingya Refugees in Southeast Asia para penulis berfokus
membahas bentuk persaingan intervensi politik serta melemahnya
kekuatan solidaritas Negara kaum muslim di ASEAN, sebagai
contoh pada yaitu Indonesia dan Malaysia pada abstrak tulisan
Missbach dan Stange ini tertulis bahwa kedua Negara mayoritas
Islam tersebut (Indonesia dan Malaysia) pada forum bilateral,
nasional, hingga internasional begitu keras mengkritik pemerintah
Myanmar atas pelanggaran HAM, namun Indonesia dan Malaysia
begitu enggan untuk mengulurkan bantuan perlindungan terhadap
pengungsi Rohingnya dari Myanmar. Sehingga kedua penulis jurnal
ini melihat bahwa solidaritas muslim tetap menjadi retorika simbolis,
sekaligus menemukan tingkat kegagalan bantuan terhadap para
pengungsi begitu meningkat selama 5 Tahun terakhir (sejak 2015).

Kata Kunci
Forced displacement; Refugee Protection; Rohingya;
Association of Southeast Asian Nation (ASEAN); Indonesia;
Malaysia; Myanmar

Pengantar
Pada bagian pengantar, penulis mengatakan bahwa ASEAN
merupakan kawasan dengan tingkat perlindungan pengungsi
terlemah di dunia dan juga menyajikan sejarah singkat terkait
lika-liku perjalanan penduduk Rohingnya mencari tempat
pengungsian di berbagai Negara termasuk Indonesia dan
Malaysia. Jurnal Muslim Solidarity and The Lack of Effective
Protection for Rohingya Refugees in Southeast Asia karya
Antje Missbach dan Gunnar Stange fokus menjawab
pertanyaan mengapa hanya Indonesia dan Malaysia sebagai
state di ASEAN yang aktif dalam membantu pengungsi
Rohingya serta mengapa pergeseran pemikiran menciptakan
kerenggangan solidaritas muslim. Missbach dan Stange
pertama-tama akan menyajikan penjelasan singkat terkait
metodologi yang diaplikasikan dalam menganalisis penelitian
ini, selanjutnya memberikan hasil diskusi singkat tentang krisis
Rohingya yang berlangsung di Asia Selatan dan Tenggara, lalu
memperkenalkan konsep penahanan kemanusiaan, kemudian
diakhiri presentasi penelitian Missbach dan Stange dan
kesimpulan. Sedikit tambahan, bahwa tulisan ini juga
menyoroti langkah-langkah atau keputusan yang diambil oleh
pemerintah Indonesia dan Malaysia terhadap Rohingya.

Missbach dan Stange menggunakan metode kualitatif terarah


dalam menganalisis penelitian Muslim Solidarity and The Lack
of Effective Protection for Rohingya Refugees in Southeast Asia
dimana kedua penulis mengidentifikasi kumpulan literatur
ilmiah melalui data google yang relevan dengan konsep analisis
utama tulisan penulis. Missbach dan Stange juga melakukan
pencarian di google news dengan menggabungkan istilah
Rohingya, ASEAN, Malaysia, dan Indonesia guna mengambil
segala informasi atau laporan media yang relevan. Penelusuran
yang dilakukan oleh kedua penulis berfokus pada literatur
komunikasi internasional yang diterbitkan dari tahun 2015
hingga 2020.

Isi Pembahasan
A Crisis Unfolding: Pada bagian Pertama yang fokus terhadap
beberapa realita Rohingya, ASEAN, Indonesia dan Malaysia,
penulis menemukan fakta bahwa kurangnya mekanisme
pengelolaan dan respon regional terhadap pengungsi dan
orang-orang yang dipindahkan secara paksa di ASEAN,
dimana fakta ini ditemukan dari kabar krisis laut andaman
tahun 2015. Hal kedua yang diketahui pada bagian ini ialah
bagaimana Indonesia dan Malaysia tetap menganggap diri
mereka sebagai negara non-imigran, artinya kedua negara
tersebut (Indonesia dan Malaysia) tidak mengizinkan
pemukiman pengungsi permanen negaranya. Ketiga, diungkap
dalam jurnal ini bahwa ASEAN belum mengatasi inti
terciptanya atau penyebab krisis Rohingya serta gagal
mendukung upaya penyelidikan kejahatan dan kekejaman
militer yang dialami Rohingya. Beberapa fakta lain yang turut
disajikan pada jurnal ini ialah tantangan-tantangan pengungsi
Rohingnya melintasi krisis laut Andaman di tahun 2015 dan
2019, bagaimana penduduk Rohingya ketika masuk di
Indonesia dan Malaysia dimana Malaysia pada tahun 2020
mendorong keluar atau memulangkan kapal-kapal pengungsi
Rohingya dengan alasan pembatasan Covid-19 dan Indonesia
yang melihat dua kapal Rohingya di dekat pantai Aceh
menolak untuk menyelamatkan para pengungsi Rohingya,
namun pada 2020 Indonesia kembali menerima kapal
pengungsi Rohingya yang turun di Aceh. Fakta lain ialah
bagaimana Indonesia dan Malaysia menyuarakan solidaritas
anggota-anggota ASEAN terhadap Rohingya diperlukan
dengan cara memberikan tanggapan keras terhadap pemerintah
Myanmar. Namun, Asean pada forum regional realitanya tetap
diam atas serangan kekerasan, kekejaman, pemindahan paksa
yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar kepada Rohingya.
Terakhir pada bagian ini, penulis memberikan pernyataan
bahwa meskipun penderitaan yang dialami oleh Rohingya terus
mendapat liputan dan siaran signifikan di Malaysia dan
Indonesia, namun belum mengurangi atau meredakan konflik
yang dialami oleh Rohingya.

Conceptual Framework: Penulis pada bagian kerangka


konseptual paragraf pertama tertulis bahwa krisis yang dialami
Rohingya terkait pemindahan paksa tetap tidak diintervensi
oleh ASEAN dikarenakan adanya batasan prinsip
non-intervensi ASEAN. Paragraf kedua penulis menjelaskan
bahwa Negara yang berpotensi menjadi tuan rumah bagi
Rohingya cenderung menganggap gelombang besar
perpindahan Rohingnya merupakan ancaman keamanan bagi
Negara penampung dikarenakan dapat menyalakan api
radikalisasi penduduk muslim domestik di Negara mereka
(penampung). Penulis disini mengambil contoh kasus yang
terjadi di Indonesia, dimana sejak 2012 lahirnya tindakan
protes para demonstran di Indonesia untuk mendukung
Rohingya yang tidak mendapat keadilan HAM,
demonstran-demonstran tersebut bahkan mengirimkan relawan
bersenjata sebagai pasukan pembela dan balas dendam bagi
Rohingya. Fenomena yang terjadi di Indonesia itulah yang
menjadi bukti ketakutan atau kecemasan Negara-Negara
ASEAN yang berbatasan dengan Myanmar, sehingga mereka
melakukan penahanan terhadap pengungsi Rohingnya yang
ingin mengungsi ke Negara mereka. pada paragraf selanjutnya
penulis menyajikan ungkapan pikiran dari McConnachie
(2016) yang mengatakan bahwa tindakan penahanan yang
dilakukan negara-negara terhadap penduduk Rohingya begitu
berbeda-beda, dimana penahanan yang dilakukan mengacu
pada metode pelumpuhan pengungsi dan mencegah para
pengungsi Rohingya untuk melintasi perbatasan Internasional
dengan cara dikurung di suatu kamp. terkurungnya para
pengungsi membuat mereka hanya bisa berharap dan
bergantung pada persediaan makanan, perawatan medis, hingga
informasi sehari-hari yang begitu terbatas dikarenakan para
pengungsi tidak boleh keluar dari kamp tersebut.

Malaysia Responses: pada bagian reaksi Malaysia, penulis


mengatakan bahwa respon, tanggapan, atau reaksi dari
Malaysia sendiri begitu berubah-ubah. Dikatakan pada paragraf
pertama bagian respon Malaysia bahwa Malaysia sendiri belum
menandatangani konvensi pengungsi 1951 dan Malaysia tidak
memiliki kerangka hukum domestik untuk memberikan
perlindungan terhadap pengungsi. Dari hal tersebut, Malaysia
yang tidak dilihat sebagai Negara penerima pengungsi tetap
memberikan ruang penampungan bagi para pengungsi muslim
tertentu. Namun pada paragraf selanjutnya, yaitu realita pada
tahun 1990-an, pengungsi Rohingya yang tiba di Malaysia
diberikan toleransi izin tinggal selama 6 bulan dan toleransi
tersebut berakhir pada tahun 1997 dikarenakan krisis keuangan
Asia, sehingga pemerintah Malaysia mulai memenjarakan dan
mendeportasi sebagian besar pengungsi termasuk pengungsi
Rohingya ke Thailand.Tahun 2004, penulis mengatakan bahwa
pemerintah Malaysia kembali mengumumkan rencana residensi
penduduk Rohingya. Namun, Realita selanjutnya yang diterima
oleh penduduk Rohingya selama di Malaysia ialah dicatat
sebagai penduduk peringkat terendah, terbatasnya bantuan
yang diterima, besarnya pajak ekstra-legal yang harus dibayar
guna menghindari deportasi, kurangnya prospek untuk menjadi
warga Negara Malaysia dimana mereka (para penduduk
Rohingya) hanya mendapatkan pekerjaan kotor, berbahaya, dan
begitu rendah, ditambah dengan perlakukan eksploitasi majikan
tempat mereka bekerja. Tulisan Missbach dan Stange
memperlihatkan realita yang lebih memprihatinkan di Malaysia
ialah kenyataan bahwa banyak penduduk Rohingya di Malaysia
diperdagangkan dan menjadi sasaran pengaturan yang sangat
eksploitatif dan pemerintah Malaysia tetap memilih hal tersebut
berjalan tanpa mengintervensinya selama ekonomi negaranya
berjalan stabil. Hasil dari penyelundupan dan perdagangan
penduduk Rohingya terlihat pada awal tahun 2015, dimana data
atau informasi yang ditemukan oleh penulis ialah terungkapnya
ratusan kuburan yang ditemukan di perbatasan antara Malaysia
dan Thailand, jenazah rohingya tersebut diidentifikasi
merupakan korban penyelundupan manusia yang dilakukan
oleh Thailand-Malaysia dimana Malaysia dan Thailand
melakukan operasi penjualan dan penyelundupan tersebut
diketahui otoritas regional masing-masing negara. Lebih lanjut
dikatakan bahwa daripada menyelidiki kuburan yang telah
ditemukan, pemerintah Malaysia dan Thailand justru
mengarahkan pihak kepolisian mereka untuk menghancurkan
situs atau bukti penting dari keterlibatan mereka (Thailand dan
Malaysia). Bukan hanya pemerintah sebagai bentuk respon
Malaysia terhadap penduduk Rohingya, sebagian besar
masyarakat Malaysia yang awalnya menerima pengungsi
Rohingya justru berputar arah datang untuk menolak Rohingya
ke Malaysia karena mereka dinilai sebagai ancaman sosial,
ekonomi, dan keamanan. Namun, masyarakat Malaysia
memanfaatkan pandemi Covid-19 sebagai alasan utama mereka
menolak masuknya pengungsi Rohingya.

Indonesia Responses: Sebagai negara yang belum


menandatangani konvensi pengungsi internasional 1951 dan
belum mengembangkan kerangka hukum untuk melindungi
pengungsi, respon atau tindakan yang diambil oleh Indonesia
begitu berbeda dalam jurnal ini. Dimana pemerintah indonesia
lebih memilih mengambil pendekatan yang terkoordinasi dalam
menangani pengungsi yang tiba di Indonesia. Di tingkat
regional, Indonesia telah menyatakan dirinya sebagai
pendukung Rohingya. Indonesia selalu memberikan contoh
kepada Negara-Negara ASEAN dalam memberikan bantuan
penyelamatan jiwa kepada pengungsi Rohingya, dimana begitu
banyak kelompok-kelompok organisasi dan masyarakat dari
berbagai provinsi indonesia yang aktif membantu pengungsi
Rohingya.

Kesimpulan
Penulis menyimpulkan bahwa di luar implikasi politik dan
keamanan, masalah rohingya telah memberikan dorongan
reputasi terhadap kredibilitas komunitas ASEAN. Besarnya
kritik eksternal dan internal atas ketidakmampuan ASEAN
menangani masalah Rohingya. Solidaritas Muslim di Indonesia
terhadap Rohingya terbukti dalam tindakan Indonesia yang
membela Rohingya dari tekanan Internasional. Sedangkan
Malaysia dilihat memiliki standar perlindungan dan perlakukan
yang minimum bagi penduduk Rohingya di Negaranya.

Kelebihan Jurnal
Setelah membaca jurnal Muslim Solidarity and The Lack of
Effective Protection for Rohingya Refugees in Southeast Asia.
Saya melihat kelebihan jurnal karya Antje Missbach & Gunnar
Stange berada pada cara pengungkapan fakta dan pembagian
perspektif penulis yang mudah dipahami walaupun jurnal yang
dibuatnya menggunakan bahasa Inggris atau jurnal
internasional.

Kekurangan Jurnal
Kekurangan dari jurnal ini berada pada metode penelitiannya
yang hanya mengandalkan atau bergantung pada informasi dan
data google tanpa ditinjau secara empiris melihat jurnal yang
dibuat antje Missbach & Gunnar Stange berskala internasional.

Daftar Pustaka

Jovano, T., Gea, A., 2021, Penanganan Pengungsi yang Bunuh Diri di Indonesia
Berdasarkan Perspektif Hukum Keimigrasian, Vol. 15, No. 3, Jurnal Ilmiah
Kebijakan Hukum, Creative Commons Attribution 4.0 International License

Missbach, A., Stange, G., 2021, Muslim Solidarity and The Lack of Effective
Protection for Rohingya Refugees in Southeast Asia, Social Sciences, Vol. 10, No. 5,
MDPI, Switzerland

Anda mungkin juga menyukai