Anda di halaman 1dari 10

SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT ISLAM

Helmi Khoirulloh*

Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang


Email : helmykhoirulloh@gmail.com
PENDAHULUAN
Filsafat selalu dikaitkan dengan peradaban Yunani, hal ini memang berdasarkan fakta
bahwa banyak filsuf yang muncul pada masa kejayaan Yunani. Plato, Aristotels, Socrates
adalah tiga orang filsuf yang terkenal dari peradaban Yunani. Karya-karyanya banyak
dijadikan rujukan sebagai pijakan dasar dalam berpikir falsafi. Pun begitu pula pada saat
umat Islam mengalami puncak kemajuan peradabannya.
Pada masa Daulah Abbasiyah yang disebut The Golden Age bagi umat Islam, banyak
muncul tokoh pemikir atau filsuf muslim. Para filsuf muslim yang melakukan perenungan
dan mencetuskan pemikiran-pemikiran mereka sedikit-banyak juga dipengaruhi oleh
pemikiran para filsuf Yunani yang telah dibukukan. Bahkan, ada anggapan bahwa para filsuf
muslim hanya mengkombinasikan pemikiran filsuf Yunani dengan ajaran-ajaran Islam
kepada setiap pembahasan.1 Hal ini seakan-akan menyatakan bahwa filsuf muslim menjiplak
pemikiran filsuf Yunani, dan tinggal mengkombinasikan dengan ajaran Islam.
Dalam al-Qur’an sudah tersurat bahwa manusia khususnya umat Islam diperintahkan
oleh Allah SWT untuk berpikir filsafat, berpikir rasional untuk memahami hakikat dari
sesuatu. Banyak ayat al-Qur’an yang menyatakan agar manusia menggunakan akalnya,
memikirkan tentang kejadian alam, dan menjadikannya sebagai sarana untuk memahami
keagungan Sang Pencipta. Afalaa ta’qiluun, afalaa tatafakkaruun, dan masih banyak kalimah
dalam al-Qur’an yang maknanya senada dengan itu.
Salah satu ayat yang menjadi dasar agar umat Islam berpikir filsafat adalah QS. ar-
Ruum ayat 21. Dalam ayat ini Allah menjelaskan tentang diantara tanda-tanda kekuasaan-
Nya adalah menciptakan manusia secara berpasang-pasangan, dan manusia diperintahkan
untuk memikirkan dan mencari rahasia dibalik penciptaannya itu.
Cara berpikir rasional menjadi salah satu ciri khas ajaran Islam. Islam yang dibawa
Nabi Muhammad SAW sebagai agama terahir menjadi agama yang menyempurnakan agama-
agama sebelumnya. Oleh karena itu, pemahaman terhadap ajaran Islam harus sesuai dengan

*
Jl. Narotama Barat no. 26 - Kota Malang Telp. +62 857 3264 9078
1
Ahmad, Mustofa. 1977. Filsafat Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia. Hal. 17
nalar dan bisa diterima oleh semua golongan. Tujuannya adalah golongan non muslim
memahami dan mengakui kebenaran logis yang dibangun dalam ajaran agama Islam.
Ajaran Islam yang mendorong umatnya untuk berpikir rasional bisa mematahkan teori
bahwa para filsuf muslim menjiplak teori-teori filsuf Yunani. Para filsuf muslim
mengembangkan teori filsuf Yunani, dan menyempurnakannya dengan menyesuaikannya
dengan ayat-ayat al-Qur’an.
SEBAB MUNCULNYA FILSAFAT ISLAM
Menelusuri sejarah filsafat Islam secara akurat dan komprehensif bukanlah hal yang
mudah. Berbagai versi sejarah akan muncul karena perbedaan cara pandang terhadap fakta
sejarah yang ada. Persinggungan peradaban Islam yang dibawa orang Arab dengan buah
pemikiran para filsuf dari kalangan non-Arab seperti Yunani, Persia, Suryani, dan India. Hal
ini yang menyebabkan adanya kesukaran dalam merumuskan definisi filsafat Islam. Filsafat
Islam bisa didefinisikan sebagai filsafat yang murni digali dari sumber ajaran Islam yakni al-
Qur’an dan as-Sunnah, atau dalam kata lain filsafat yang bersumber dari al-Qur’an dan as-
Sunnah.
Ada pula yang mengatakan bahwa filsafat Islam adalah buah pemikiran filsosofis para
filsuf sebelum masa Islam yang kemudian dielaborasi dan dikembangkan menurut dalil al-
Qur’an dan as-Sunnah. Hal ini yang kemudian menjadikan ada sebagian umat Islam yang anti
terhadap filsafat. Terlepas dari hal itu, yang jelas para filsuf muslim menimba inspirasi
filosofisnya dari kedua sember fundamental umat Islam yakni al-Qur’an dan as-Sunnah.2
Sudah mafhum bahwa filsafat mulai berkembang pada masa Yunani dengan banyaknya
tokoh filsafat seperti Aristotels, Plato, dan Socrates.3 Kendatipun filsafat berkembang pada
masa Yunani, filsafat Islam tidak sepenuhnya berasal dari filsafat Yunani. Peradaban Yunani
berasimilasi dengan peradaban Mesir dan meluas hingga ke Baghdad. Ketika masa
pemerintahan khalifah al-Ma’mun, Harun al-Rasyid dan al-Amin dari Bani Abbasiyah,
mereka berusaha mengembangkan peradaan Islam dengan memberikan perhatian yang lebih
pada bidang pengembangan ilmu pengetahuan. Berdirinya Baytul Hikmah sebagai tempat
belajar menjadi fakta perhatian besar khalifah terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.
Adalah khalifah Abu Ja’far al-Manshur, pemegang kekuasaan kedua Bani Abbasiyah
pasca wafatnya Abul Abbas ash-Shaffah, dialah pemrakarsa didirikannya Baytul Hikmah,
sebuah perpustakaan yang digunakan sebagai pusat penerjemahan dan pengembangan ilmu

2
https://www.researchgate.net/publication/333958216_Filsafat_Islam_Dalam_Tinjauan_Historis (diakses
pada 09 Feb 2021 pukul 21.00 WIB)
3
Amsal Bakhtiar. 2005. Tema-Tema Filsafat Islam. Jakarta: UIN Jakarta Pers, hal 15
pengetahuan. Pada Masa Khalifah kelima Bani Abbasiyah yakni Harun Ar-Rasyid (786-809
M), Baitul Hikmah diubah menjadi Khizanahal Hikmah (Khazanah Kebijaksanaan) yang
berfungsi sebagai perpustakaan dan penelitian.4
Ketika Bani Abbasiyah dibawah pemerintahan khalifah al-Makmun berhasil
menaklukkan wilayah Persia dan Byzantium, orang-orang yang tidak beragama Islam diberi
kebebasan untuk pindah ke agama Islam atau tetap pada agama mereka. Hal ini yang menjadi
salah satu faktor yang menarik simpati orang-orang nonmuslim untuk membantu
pengembangan peradaban Islam pada masa itu, dengan tetap pada agama mereka. Jalan yang
mereka tempuh adalah dengan turut serta dalam program kerajaan, yakni penerjemahan
manuscript-manuscript Yunani.
Para penganut Kristen Nestorian dari wilayah Suriah yang menguasai bahasa Yunani
dan Aramaik (bahasa pada masa Yesus yang masih digunakan di Suriah) turut
menerjemahkan naskah-naskah keilmuan berbahasa Yunani ke bahasa Arab. Diantara
penerjemah itu adalah Abu Yahya ibn al-Bathriq, Yahya ibn Masawayh, dan Hunayn ibn
Ishaq. Pada awal penerjemahan, naskah yang diterjemahkan terutama dalam bidang
Astrologi, Kimia dan Kedokteran. Kemudian naskah-naskah filsafat karya Aristoteles dan
Plato juga diterjemahkan. Sejumlah hasil pikiran para tokoh Yunani banyak dipelajari oleh
para pemikir Islam. Dengan pemahaman dan kreatifitas para intelektual muslim, pemikiran-
pemikiran filsuf Yunani dipadukan dengan ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan
as-Sunnah. Ajaran Islam yang menganjurkan sikap rasional, kritis dan terbuka sangat
menunjang perkembangan dialog peradaban. Inilah yang kemudian membuat banyak
munculnya pemikiran khas para filsuf muslim.5
Karena religiusitas mereka, pemikiran spekulatif kefilsafatan terjadi hanya dalam batas-
batas yang masih dibenarkan oleh agama, yang agama itu sendiri bagi mereka telah cukup
rasionalitas sebagaimana yang telah dituntut oleh filsafat. Dalam ajaran Islam, penggunaan
akal tidak diperkenankan melewati batas yang telah ditentukan oleh nash al-Qur’an dan as-
Sunnah. Dalam hadits Nabi SAW disebutkan bahwa yang harus dipegang teguh adalah al-
Qur’an dan as-Sunnah agar manusia tidak masuk kedalam kesesatan. Sehingga akal harus
selaras dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Perlu ditegaskan di sini bahwa pemakaian akal yang
diperintahkan al-Quran, seperti yang terdapat dalam ayat-ayat kauniyah, mendorong manusia
untuk meneliti alam-alam sekitarnya, dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
4
Lathiful Khuluq, et.al. Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern. 2003. Yogyakarta: Lesfi hal
126
5
Amroeni Drajat. Dalam Hasan Asari (ed). Dari Pemikiran Yunani ke Pengalaman Indonesia Kontemporer,
(Bandung: Ciptapustaka Media, 2006), hal. 14-15
Ringkasnya, dapat dikatakan bahwa perbedaan filsafat Yunani dengan filsafat Islam
terletak pada penggunaan akal. Dalam filsafat Yunani akal diberikan keleluasaan dalam
memikirkan segala sesuatu termasuk dalam memikirkan Tuhan. Sedangkan dalam filsafat
Islam akal adalah alat untuk mencari pengetahuan yang diberi kebebasan dengan batasan al-
Qur’an dan as-Sunnah. Misalnya adalah hadits Nabi SAW yang menyatakan bahwa umat
Islam diperintahkan memikirkan ciptaan Allah SWT, namun dilarang memikirkan Dzat Allah
SWT.6
Menurut Ahmad Khudhori Filsafat Islam berbeda dengan Filsafat Yunani, meskipun
munculnya filsafat Islam yang dilandasi oleh al-Qur’an dipengaruhi oleh filsafat Yunani.
Menurut Ahmad Khudhori, belajar kepada satu guru tidaklah harus menuntut murid untuk
sama persis dengan gurunya, sebab ilmu yang telah diterima murid akan diaplikasikan sesuai
dengan kondisi murid itu sendiri. Al-Farabi yang meyakini kebenaran teori Emanasi yang
disampaikan oleh Plotinus, namun al-Farabi memberikan penjelasan bahwa Tuhan adalah
Dzat Yang Maha Esa dan menjadi pencipta dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada.
Menciptakan yang banyak dari wujud yang tunggal. Hal ini berbeda dengan teori Aristoteles
yang mengatakan bahwa Tuhan adalah penggerak pertama, bukan pencipta alam semesta.
Oleh al-Farabi kemudian pendapat tersebut dielaborasi sehingga membuahkan pemikiran
bahwa Tuhan adalah akal pertama yang menjadi sebab adanya alam semesta.
Selanjutnya, mengutip pendapat Karl A. Steenbrink, adalah ekspresi dan hasil dari
proses komunikasi sang tokoh dengan kondisi sosial lingkungannya, yang artinya bahwa ide
yang muncul dari setiap individu berasal dari hasil interaksinya dengan kondisi sosial budaya
disekitarnya.7 Buah pemikiran al-Farabi dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitarnya
yang beragama Islam, sehingga selain keyakinan Islam yang dianutnya, al-Farabi juga
mengemukakan buah pemikiran yang sesuai dengan kehidupan sosial-budaya masyarakat
Islam pada masa itu.
Timbulnya Filsafat Islam dapat dilihat dari beberapa faktor, yaitu:
1. Perintah al-Qur’an kepada umat Islam untuk merenungi dan memikirkan
penciptaan langit dan bumi, serta pergantian siang-malam, dan berbagai
kejadian yang ada di alam semesta. Hal itu dilakukan untuk mengetahui bahwa
adanya alam semesta ini berada dibawah kendali Dzat yang Maha Tunggal dan
berkuasa penuh terhadapnya.

6
Dedi Suriyadi, Pengantar Filsafat Islam, CV Pustaka Setia, Bandung, 2009, hal. 35.
7
A. Khudori Soleh, Jurnal TSAQAFAH Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam, Vol. 10, No. 1, Mei
2014, hal. 65-66
2. Perintah al-Qur’an untuk menyeru manusia kepada jalan Tuhan dengan
hikmah dan cara yang baik. Tentu hikmah dan cara yang baik adalah dengan
cara yang rasional, dapat dibenarkan oleh logika umum, sehingga kebenaran
Islam dapat diterima oleh orang yang diajak menuju jalan Tuhan.
3. Islam adalah agama yang selalu relevan dengan zaman. Al-Qur’an dan as-
Sunnah sebagai dasar fundamental dalam ajaran Islam harus dimaknai sesuai
dengan perkembangan zaman, sehingga dengan memaknai al-Qur’an dan as-
Sunnah sesuai dengan perkembangan zaman, pemikiran umat Islam tidak kolot
dan tertinggal. Tentu dengan batasan bahwa pemaknaan terhadap al-Qur’an
dan as-Sunnah tidak sekehendak manusia sendiri, harus ada batasan dalam
menggunakan akal untuk memaknai al-Qur’an dan as-Sunnah.
4. Selain sesuai dengan setiap zaman, ajaran Islam juga sesuai dengan setiap
tempat. Dimana ajaran Islam dibawa, maka ajaran Islam akan dapat dengan
mudah disesuaikan dengan peradaban masyarakat di tempat itu. Hal ini banyak
sekali ditemukan dalam beberapa teori filsafat Islam, misalnya pada “teori
emanasi” dari Al-Farabi. Dalam peradaban Jawa yang ada di Indonesia
diyakini bahwa pencipta alam semesta adalah Sang Hyang Taya (menurut
agama Kapitayan), dengan datangnya dakwah Walisongo maka sebutan Sang
Hyang Taya sebagai Tuhan Yang Maha Tunggal, Sang Pencipta dan Penguasa
alam raya disematkan kepada Allah SWT.

MAKNA FILSAFAT DALAM ISLAM


Filsafat dalam bahasa Arab disebut dengan ‫ فلس فة‬yang merupakan terjemah dari kata

philosophia dalam bahasa Yunani. Kata philosophia berasal dari kata philein (cinta) dan
shopia (kearifan). Dari sudut pandang bahasa dapat difahami bahwa filsafat adalah sebuah
disiplin ilmu yang mengedepankan kearifan dalam mencapai kebenarannya. Makna kata arif
berasal dari bahasa Arab yakni memahami atau mengerti. Dalam al-Qur’an Allah SWT
menggunakan kata arif dalam bentuk masdar ma’ruuf dalam QS. an-Nisa’ ayat 19. Dalam
ayat tersebut Allah SWT memerintahkan laki-laki yang berperan sebagai suami untuk
bersosialisasi dengan istri dengan cara yang ma’ruf, yakni penuh pengertian dan pemahaman
terhadap karakter istri.
Abu Nahir al-Farabi mengatakan falsafah adalah ilmu yang menyelidiki hakikat
sebenarnya dari segala yang ada, termasuk menyingkap tabir metafisika penciptaan. Al-
Farabi termasuk orang pertama yang memperkenalkan ilmu logika dalam peradaban Islam.
Pencapaian hakikat dari segala sesuatu dilakukan dengan perenungan mendalam hingga
mencapai titik kematangan yang signifikatif.
Menurut al-Farabi ilmu logika adalah disiplin keilmuan yang mampu menjaga manusia
dari kesalahan fikir. Dengan cara berfikir yang benar, maka akan terbentuk sebuah kesatuan
dalam pemikiran. Dengan kesatuan pemikiran yang benar, maka prilaku individu atau person
akan benar juga. Kehancuran manusia adalah akibat dari kesalahan dalam cara berpikir.
Dalam kisah Nabi Adam a.s dan Ibu Hawa a.s terjadi kesalahan berfikir dengan menganggap
yang dikatakan iblis bahwa buah khuldi adalah buah abadi adalah sebuah kebenaran. Padahal
Allah SWT telah memberikan warning yang jelas bahwa iblis adalah musuh abadi bagi Nabi
Adam a.s dan Ibu Hawa a.s hingga anak cucunya. Berkaca dari kisah tersebut, berbagai
kesalahan dalam sisi-sisi kehidupan manusia berasal dari sebuah kesalahan dalam berpikir.
Kekeruhan dalam perpolitikan intern pemerintahan Islam sendiri juga diawali oleh
kesalahan dalam berpikir. Hal itu juga yang menjadi landasan bagi al-Farabi mengeluarkan
statement bahwa kesalahan berpikir membuat manusia salah dalam etika dan perbuatannya.
Apa yang diperbuat oleh seseorang merupakan buah dari caranya menyikapi keadaan
disekitarnya. Cara bersikap berangkat dari cara berpikir atau logika berpikir.
Dalam tradisi filsuf muslim generasi awal, kata falsafah disamakan dengan kata hikmah.
Salah satu tokoh filsuf muslim yang menyatakan hal itu adalah Abu Yusuf Yaʻqub ibn Isḥaq
aṣ-Ṣabbaḥ al-Kindi, ia mengatakan bahwa falsafah adalah hubbul hikmah (cinta terhadap
kearifan). Setting sosio-historis masa itu, telah berhasil menstimulusi al-Kindi untuk
memberangus Gnotisme dan melakukan pembelaan terhadap filsafat Islam dari serangan ahli
fikih, tanpa melecehkan aksioma-aksioma dalam agama.
Statement al-Kindi yang digunakan untuk menyanggah kritikan dari para ahli fiqh adalah
konsep kesamaan kebenaran akal manusia biasa dengan Nabi. Menurut al-Kindi kebenaran
yang dicapai para Nabi dapat pula dicapai oleh manusia biasa. Hanya saja yang
menjadikannya berbeda adalah proses pencapaian kebenaran itu. Kebenaran yang dibawa
para Nabi melalui wahyu tidak bertentangan dengan kebenaran yang dicapai para filsuf
melalui pemikiran dan penalaran rasionalnya.8
Abu ‘Ali al-Husayn bin ‘Abdullah bin Sina menyatakan bahwa hikmah adalah
kesempurnaan jiwa manusia tatkala berhasil menangkap makna segala sesuatu dan mampu
menyatakan kebenaran dengan akal pikiran maupun perbuatan sebatas kemampuannya
sebagai manusia, barang siapa yang berhasil menggapai ‘hikmah’ beginilah yang mendapat
8
Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, (Bairut: al-Markaz al-Tsaqafi al-arabi, 1991), hal 417.
anugerah kebaikan berlimpah. Senada dengan al-Kindi, bagi Ibnu Sina orang yang
mendapatkan anugerah adalah orang yang mampu mendayagunakan segenap jiwanya untuk
menangkap hakikat dari kebenaran akal, kebenaran mutlak, dan orang yang demikian adalah
orang yang disebut ahli hikmah.9
Akan tetapi, pendapat tersebut berbeda dengan pemahaman Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad al-Ghazali, dalam kitab Ihya’ Ulumuddin al-Ghazali menjelaskan bahwa hikmah
adalah syariat agama yang diturunkan Allah kepada para Nabi dan Rasul. Kemampuan akal
manusia biasa tidak sama dengan kemampuan akal Nabi dan Rasul. Sebab kemampuan akal
Nabi dan Rasul adalah kemampuan akal dengan bekal mukjizat dari Allah SWT. Sedangkan
kemampuan akal manusia biasa adalah kemampuan karomah, yang derajatnya ada dibawah
mukjizat.10 Al-Ghazali sendiri pun melalui Kitab Ihya’-nya banyak mengkritik para filsuf,
meskipun dirinya sendiri sebelum menjadi seorang sufi adalah seorang filsuf. Salah satu
alasannya adalah hadits Nabi SAW yang menyatakan bahwa wajib bagi umat Islam untuk
memikirkan, mentadabburi ciptaan Allah, dan dilarang bagi umat Islam untuk memikirkan
dzat Allah SWT.
Jika dikaitkan dengan pemikiran filsuf Yunani, materi yang dibahas oleh filsafat Islam
dan filsafat Yunani pada dasarnya adalah sama. Yang menjadi perbedaan diantara keduanya
adalah cara dalam mencapai hakikat kebenaran. Para filsuf muslim tidak hanya
mengedepankan peran rasio mereka dalam memahami sesuatu, namun juga dibarengi dengan
naskah suci al-Qur’an dan as-Sunnah yang menjadi dasar dalam kehidupan. Contohnya,
menurut Plotinus alam semesta ada melalui proses emanasi, yakni proses terjadinya alam
semesta yang berasal pancaran suatu Dzat Yang Maha Besar dan tidak terikat pada ruang dan
waktu. Pemikiran filsafat emanasi ini kemudian dielaborasi oleh al-Farabi yang menyatakan
bahwa alam semesta ini digerakkan oleh Dzat yang Qadim (akal pertama). Dzat yang Qadim
itulah yang menciptakan partikel alam semesta dari pancaran Dzat-Nya.
Salah satu hal yang menjadi sorotan al-Ghazali terhadap pemikiran al-Farabi adalah
konsep al-Farabi tentang ketuhanan. Al-Farabi yang menyatakan bahwa Tuhan disebut
sebagai akal pertama yang menjadi sebab adanya alam semesta (akal kedua) dari pancaran
Dzat-Nya. Kemudian akal kedua digerakkan oleh akal pertama. Dengan demikian dalam
pandangan al-Farabi alam semesta tidaklah sesuatu yang huduts (baru), alam semesta adalah
Qadim. Hal ini termasuk salah satu hal yang dikritik oleh al-Ghazali. Pemikiran al-Ghazali

9
Syamsuddin Arif, Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontrofersi, Jurnal Tsaqafah, Vol. 10 No 1, Mei 2014.,
hal. 5
10
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, Juz 1, Surabaya : al-Hidayah., hal. 38
sejalan dengan pemikiran al-Asy’ariy yang menyatakan bahwa segala sesuatu selain Allah
tidaklah Qadim.
Al-Ghazali menjadi orang yang menguatkan tradisi sufi, ia mengkampanyekan ajaran-
ajaran tasawuf melalui pembahasan-pembahasan fiqh. Dalam kitab-kitabnya banyak dijumpai
pembahasan fiqh disertai penjelasan dari sudut pandang tasawuf. Salah satu kitab susunannya
adalah Bidayatul Hidayah yang membahas fiqh disertai pemaknaan ibadah mahdhah dari
perspektif tasawuf. Al-Ghazali berpendapat bahwa setiap ibadah tidak hanya bersifat fisik,
harus ada dimensi bathiniyah yang memperkokoh kualitas ibadah tersebut menuju
kesempurnaan.
Berangkat dari pemikiran al-Ghazali ini maka pasca masanya banyak bermunculan tokoh
sufi dan mulai berkurangnya tokoh filsuf muslim sekaliber Ibnu Sina, al-Kindi, dll. Pasca al-
Ghazali muncul Imam Suhrowardi yang memadukan metode filsafat (burhani) dengan
tasawuf (irfani). Pasca al-Ghazali para tokoh tasawuf terkenal dengan kekuatan melakukan
riyadhahnya.
Berkembang pesatnya aliran tasawuf pada masa itu membuat filsuf muslim makin
berkurang. Para filsuf muslim kemudian tergolong pada kelompok tasawuf falsafi, sedangkan
para pelaku tasawuf yang mengedepankan riyadhah bathiniyah disebut dengan golongan
tasawuf amali.
Tasawuf amali adalah aliran tasawuf yang mengedepankan laku batin atau riyadhah
bathiniyah untuk mendekatkan diri kepada Sang Khaliq. Tasawuf amali banyak berkembang
di kalangan Sunni. Selain itu, muncul aliran tasawuf falsafi, tasawuf yang banyak
berkembang di kalangan Syiah. Tasawuf falsafi mencoba melestarikan tradisi para filsuf
muslim, yakni mengedepankan kelimuan dari riyadhah bathiniyah.
Secara sederhana karakteristik filsafat Islam dapat dirangkum menjadi tiga :
1. Filsafat Islam membahas masalah yang sama dengan pembahasan para filsuf
Yunani. Perbedaannya adalah dalam membahas masalah itu, para filsuf muslim
menyandarkan pemikiran mereka kepada dasar fundamental ajaran Islam, yakni
al-Qur’an dan as-Sunnah. Para filsuf muslim mengelaborasi buah pemikiran filsuf
Yunani dengan makna-makna tersirat dan tersurat dalam al-Qur’an dan as-
Sunnah. Sebagaimana bidang teknik, filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan di
perdalam dan di sempurnakan oleh generasi sesudahnya.
2. Filsafat Islam membahas masalah yang belum pernah di bahas filsafat
sebelumnya seperti filsafat kenabian (al-nazriyyat al nubuwwat).
3. Dalam filsafat Islam terdapat perpaduan antara agama dan filsafat, antara akidah
dan hikmah, antara wahyu dan akal.11

PENUTUP
Filsafat Islam mengalami perkembangan pesat sejak masa khalifah Abu Ja’far al-
Manshur, Harun al-Rasyid, dan al-Makmun dari Dinasti Abbasiyah. Para khalifah
memberikan perhatian yang begitu intens terhadap kegiatan keilmuan di Baytul Hikmah,
sebuah perpustakaan tempat berlangsungnya penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan dari
Yunani kedalam bahasa Arab.
Al-Farabi, al-Kindi, dan Ibnu Sina adalah tokoh filsuf muslim yang memberikan
elaborasi dan penyempurnaan terhadap buah pikiran para filsuf Yunani. Mereka
mengkomparasikan pemikiran para filsuf Yunani dengan pemahaman mereka berdasarkan
naskah suci al-Qur’an dan as-Sunnah. Perbedaan filsuf Yunani dan filsuf muslim terletak
pada sejauh mana posisi akal digunakan untuk menggali kebenaran hakiki. Para filsuf muslim
mendasarkan pemahaman akal mereka pada landasan fundamental ajaran Islam yakni al-
Qur’an dan as-Sunnah.
Filsafat Islam mengalami kemunduran pasca masa al-Ghazali yang mengkritik para
filsuf. Al-Ghazali gencar melakukan kampanye pemikirannya melalui pembahasan ilmu fiqh
dengan perspektif tasawuf. Setelah periode al-Ghazali yang berkembang di peradaban umat
Islam adalah tasawuf. Tasawuf amali yang mengedepankan riyadhan bathiniyah dan tasawuf
amali yang masih mengedepankan ilmu pengetahuan.

DAFTAR PUSTAKA
A. Khudori Soleh. Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam. Jurnal TSAQAFAH
Vol. 10, No. 1, Mei 2014
Abid, Muhammad al-Jabiri. 1991. Bunyah al-Aql al-Arabi. Bairut: al-Markaz al-Tsaqafi al-
arabi
Al-Ghazali. Ihya’ Ulumiddin, Juz 1. Surabaya : al-Hidayah
Arif, Syamsuddin. Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontrofersi. Jurnal TSAQAFAH. Vol.
10 No 1, Mei 2014
Bakhtiar, Amsal. 2005. Tema-Tema Filsafat Islam. Jakarta: UIN Jakarta Pers

11
Hasymi, sejarah kebudayaan islam, jakarta: bulan bintang, 1975., hal 227
Drajat, Amroeni Dalam Hasan Asari (ed). 2006. Dari Pemikiran Yunani ke Pengalaman
Indonesia Kontemporer. Bandung: Ciptapustaka Media
Khuluq, Lathiful et.al. Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern. 2003.
Yogyakarta: Lesfi
Mustofa, Ahmad. 1977. Filsafat Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia
Suriyadi, Dedi. 2009. Pengantar Filsafat Islam. Bandung : CV Pustaka Setia
https://www.researchgate.net/publication/333958216_Filsafat_Islam_Dalam_Tinjauan_Histo
ris (diakses pada 09 Feb 2021 pukul 21.00 WIB)

Anda mungkin juga menyukai