Anda di halaman 1dari 5

Kajian yuridis tanggung jawab

pembisnis jika konsumen


mengalami kerugian
1.Undanng-undang perlindungan konsumen

2.Tanggung jawab pelanggan

3.Purnal jurnal

Pembukaan
Perkembangan teknologi di era saat ini sangat pesat, media internet merupakan salah satu
contoh bukti bahwa kecanggihan teknologi sangat mempengaruhi perkembangan
kehidupan manusia.

Sebagai modal besar dalam mempromosikan atau menjual produk usaha, maka
usaha komersial dilakukan melalui media online semakin berkembang. Perkembangan dan
kemajuan dunia bisnis online juga didukung oleh peningkatan produktivitas dari industri
sebagai penyedia produk yang akan dipasarkan melalui internet atau media online yang
memicu maraknya bisnis jual beli melalui media online karena mudah dijalankan, tidak
membutuhkan modal besar, hanya modal kecil dan tidak harus membutuhkannya.
Kemudahan jual beli barang melalui media online di Masyarakat Indonesia
menyebabkan tingkat kewaspadaan dalam transaksi jual beli berkurang atau bahkan
diabaikan,mengingat kemudahan yang dihadirkan dalam berbelanja melalui media online.
Harus ada aturan dan yang mengatur pembelian barang melalui Media Jual Beli Online,
banyaknya dampak kerugian, atau modus penipuan yang akan menjerat atau menimpa
konsumen melalui media online.
Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan hubungan multi-dimensi dengan
tautan dan ketergantunganantara konsumen, pengusaha, dan pemerintah (Simanullang,
2013). Saat ini, kita sering mendengar tentangbanyaknya pelanggaran hak konsumen yang
seringkali diabaikan atau tidak ditanggapi oleh produsen.

Apalagi dalam belanja online, dimana konsumen hanya bisa melihat produk
berupagambar-gambar. Beberapa penipuan yang dilakukan oleh produsen untuk
mendapatkan keuntungan yang besar sangat bervariasi, antara pengirimanbarang dengan
kualitas lebih rendah dari yang dijanjikan atau mengurangi jumlah barang yang dikirim. Kami
membutuhkan undang-undang atau peraturanmengatur perlindungan konsumen
dimanapun berada.
Perlindungan konsumen yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen merupakan kepastian hukum bagi segala kebutuhan
konsumen. Kepastian hukum meliputi segala upaya yang berdasarkan hukum untuk
memberdayakan konsumen agarmemperoleh atau menentukan pilihan mereka atas barang
dan jasa yang dibutuhkan dan mempertahankan atau mempertahankan hak mereka jika
bisnisperilaku pelaku merugikan mereka sebagai penyedia kebutuhan konsumen.

Metode Pembelian
Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif karena mengkaji tentang asas-
asas hukum, sistematika hukum,dan aplikasi mereka. Sumber data mengacu pada bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder yang diolah secara deskriptif, dianalisis, dan
argumentatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang yaitu peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan konsumen melalui penelusuran
kepustakaan.

Hasil dan Diskusi


Perlu dicatat bahwa masih ada pelaku usaha yang hanya memikirkan untuk mendapatkan
keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa berpikir untuk bertanggung jawab atas resiko
dariproduk yang mereka hasilkan.

1.Prinsip tanggung jawab didasarkan pada unsur kesalahan/kelalaian.


Tanggung jawab berdasarkan kesalahan (kelalaian) adalah tanggung jawab pribadi,
tanggung jawab yang ditentukan olehpelaku usaha (Milamarta, 2012). Berdasarkan uraian di
atas, unsur kesalahan (oversight) dapat digunakan sebagai dasar bagi konsumen untuk
mengajukan gugatan dengan dipenuhinya syarat-syarat sebagai berikut: a) Perbuatan yang
menyebabkan kerugian, tidak mengikuti kehati-hatian biasa. b) Harus dibuktikan bahwa
terdakwa lalai dalam menjalankan kewajibannya untuk berhati-hati dengan penggugat. c)
Perilaku inilah yang menjadi penyebab sesungguhnya dari kerugian yang ditimbulkan. Harus
ada bukti antara kerugian dan kesalahan pelaku dalam perbuatan melawan hukum. Setiap
konsumen yang merasa dirugikan, jika ingin menuntut hal ini yaitu kerugian, maka
konsumen dibebani untuk membuktikan kesalahan pelaku usaha.

2. Asas Praduga Selalu Bertanggung Jawab (Presumption of Liability)

UU Perlindungan Konsumen menganut sistem pembuktian bahwa tergugat selalu dimintai


pertanggungjawaban sampai terdakwa dapat membuktikan ketidakbersalahannya, beban
pembuktian ada pada terdakwa. Asas ini bertentangan dengan asas praduga tak bersalah
yang sering digunakan dalam hukum. Asas ini relevan dengan sengketa konsumen, sehingga
kewajiban pembuktian kesalahan terletak dengan pelaku usaha yang digugat oleh
konsumen. Terdakwa harus dapat menunjukkan bukti bahwa terdakwa tidak bersalah.
Konsep ini bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi konsumen karena penggugat
tidak perlu membuktikan kesalahan pelaku usaha yang menjadi tergugat.

3. Asas praduga tidak selalu bertanggung jawab (Presumption of Non-Liability)

Prinsip ini merupakan kebalikan dari praduga tanggung jawab. Terdakwa masih dalam posisi
tidak bertanggung jawab sampai terbukti bahwa terdakwa bersalah. Namun, prinsip ini tidak
bisa lagi diterapkan mutlak dan mengarah pada tanggung jawab dengan membatasi uang
kompensasi

4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability)


Strict Liability adalah bentuk tort (perbuatan melawan hukum), yang merupakan asas
pertanggungjawaban hukum atas perbuatan yang salah. Namun, prinsip ini mengharuskan
pelaku usaha untuk bertanggung jawab langsung atas kerugian yang timbul dari tindakan
melawan hukum. Menempatkan prinsip tanggung jawab yang ketat dalam perlindungan
konsumen mengenai tanggung jawab produk akan memudahkan dalam hal pembuktian.
Alasan lain yang dapat digunakan sebagai dasar lain yang dapat digunakan sebagai dasar
untuk memaksakan atau menggunakan konsep Tanggung Jawab Ketat dalam perlindungan
konsumen khususnya tanggung jawab produk adalah dengan melihat tujuan dari melindungi
dirinya sendiri; kata perlindungan berarti memberikan kemudahan bagi konsumen untuk
mempertahankan haknya sehingga dengan konsep strict liability pelaku usaha harus
bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, ada beberapa pengecualian yang
akan dikecualikan dari tanggung jawab, yaitu kondisi Force majeure. Secara historis,
tanggung jawab produk lahir karena adanya ketidakseimbangan tanggung jawab antara
pelaku usaha dan konsumen. Pelaku usaha yang awalnya hanya menerapkan strategi
product oriented dalam memasarkan produknya harus merubah pendekatannya
berorientasi pada konsumen (Windari, 2017). Meskipun sistem tanggung jawab untuk
kewajiban produk menerapkanPrinsip tanggung jawab yang ketat, produsen dapat
membebaskan dirinya dari beban baik untuk semua atau sebagian dari hal-hal yang
dapatmelepaskan tanggung jawab produsen:

a) Jika produsen tidak mengedarkan produk. Cacat ini menyebabkankerugian tidak ada
ketika produsen mendistribusikan produk, atau kesalahan hanya terjadi kemudian.
b) Bahwa produk tidak dibuat oleh produsen baik untuk dijual atau diedarkan untuk tujuan
ekonomi atau dibuat atau didistribusikan untuk tujuan bisnis.
c) Bahwa terjadinya cacat pada produk disebabkan adanya kewajiban untuk memenuhi
kewajiban yang diatur dalam peraturan pemerintah.
d) Bahwa secara ilmiah dan teknis, State of Scientific Technique, Knowledge state atau art
Defense, tidak mungkin cacat pada saat produk itu didistribusikan.
e) di pabrik pembuat komponen yang cacatnya disebabkan oleh desain produk itu sendiri di
mana: potongan telah cocok atau disebabkan oleh kesalahan dalam instruksi pabrik.
f) jika pihak yang menderita kerugian atau pihak ketiga juga menyebabkan kerugian,
kerugian yang terjadi disebabkan oleh Force mayor.

5.Pembatasan tanggung jawab


Prinsip ini sangat disukai oleh pelaku usaha untuk dimasukkan sebagai klausul eksonerasi
dalam standar persetujuan. Fokus tanggung jawab dengan pembatasan ini sangat
merugikan konsumen jika ditentukan secara sepihak oleh pelaku usaha dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; pelaku usaha tidak boleh
secara sepihak menetapkan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi
maksimal tanggung jawab mereka. Jika ada pembatasan mutlak, harus berdasarkan
peraturan perundang-undangan.

4. Kesimpulan
Perumahan hukum Pemerintah untuk melindungi konsumen adalah Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, idealnya sepenuhnya menerapkan prinsip
Strict Liability. Bisnis harus bertanggung jawab atas kerugian konsumen
tanpa membuktikan apakah ada kesalahan dalam dirinya atau mereka. Fokus dari tanggung
jawab yang ketat adalah tanggung jawab yang
tidak didasarkan pada aspek kesalahan (fault) dan hubungan kontraktual tetapi didasarkan
pada cacat produk (objektif)

kewajiban) dan risiko atau kerugian yang diderita konsumen (tanggung jawab berbasis
risiko)

5.REFERENSI
Pelanggan di Indonesia. Seminar Nasional Riset Dan Teknologi (SEMNASRISTEK), 4(1), 225–
232.
http://www.proceeding.unindra.ac.id/index.php/semnasristek2020/article/view/2543
Putra, S. (2013). Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi Jual-Beli
Melalui E-Commerce. Journal of Chemical
Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.
Rahmanto, T. Y. (2019). Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Penipuan Berbasis
Transaksi Elektronik. Jurnal Penelitian Hukum
De Jure, 19(1), 31. https://doi.org/10.30641/dejure.2019.v19.31-52

Setiantoro, A., Putri, F. D., Novitarani, A., & Njatrijani, R. (2018). Urgensi Perlindungan
Hukum Konsumen Dan Penyelesaian Sengketa
E-Commerce Di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Rechts Vinding, 7(April), 1–17.
Sidik. (2009). Pengaruh Kualitas Layanan Terhadap Kepercayaan Dan Niat Pelanggan Untuk
Melakukan Transaksi E- Commerce.
Jurnal Akuntansi,Manajemen Bisnis Dan Sektor Publik, 5(3), 235–249.

Simanullang, H. N. (2013). Perlindungan Hukum terhadap Konsumen dalam Transaksi E-


Commerce. Journal of Chemical Information
and Modeling, 53(9), 1689–1699.
Widiana, M. E., Supit, H., & Hartini, S. (2012). Penggunaan Teknologi Internet dalam Sistem
Penjualan Online untuk Meningkatkan
Kepuasan dan Pembelian Berulang Produk Batik pada Usaha Kecil dan Menengah di Jawa
Timur. Jurnal Manajemen Dan
Kewirausahaan, 14(1), 71–81. https://doi.org/10.9744/jmk.14.1.72-82

Windari, R. A. (2017). Pertanggungjawaban Mutlak (Strict Liability) Dalam Hukum


Perlindungan Konsumen. Journal of Chemical
Information and Modeling, 53(9), 21–25. http://www.elsevier.com/locate/scp
Yustiani, R., & Yunanto, R. (2017). Peran Marketplace Sebagai Alternatif Bisnis Di Era
Teknologi Informasi. Komputa : Jurnal Ilmiah
Komputer Dan Informatika, 6(2), 43–48. https://doi.org/10.34010/komputa.v6i2.2476

Anda mungkin juga menyukai