Disusun Oleh:
Arie Mahardika P.
2017
BAB I
PENDAHULUAN
Pada dasarnya tujuan organisasi sektor publik atau pemerintah maupun organisasi
sektor swasta atau bisnis adalah sama, yaitu meningkatkan kesejahtraan pemiliknya (Ritonga,
2017). Akan tetapi, cara yang ditempuh keduanya sangat berbeda. Dimana sektor bisnis
dalam mensejahterakan pemiliknya dengan cara memaksimalkan laba. Oleh sebab itu
organisasi bisnis sering disebut sebagai organisasi yang berorientasi laba. Sedangkan,
organisasi sektor publik atau pemerintah merupakan organisasi yang bertujuan sebagai
penyelenggara kegiatan negara. Tidak seperti organisasi swasta yang bertujuan memperoleh
profit, organisasi publik mempunyai tujuan melayani masyarakat umum dimana sumber-
sumber keuangannya tidak berasal dari penjualan melainkan sebagian besar dari pendapatan
pajak, pendapatan negara bukan pajak (PNBP), hibah dari lembaga pendonor dan lain-lain.
Sebagai organisasi yang secara tidak langsung didanai oleh masyarakat dalam
menjalankan keigatannya maka pemerintah dituntut untuk memberikan kontribusi yang
nyata bagi masyarakat. Kinerja organisasi publik ini telah menjadi perdebatan yang cukup
lama karena para stakeholder sulit untuk mengukur apakah suatu organisasi publik berhasil
atau tidak dalam mencapai sasaran dan tujuannya. Masyarakat tentunya menginginkan
bahwa setiap organisasi sektor publik dapat mencapai tujuan dan sasarannya tersebut,
sehingga rakyat tidak akan merasa membuang uangnya untuk kegiatan negara yang tidak
dapat memberikan dampak yang positif. Rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap
organisasi publik atau pemerintah mengharuskan setiap organisasi sektor publik dapat
mempertanggung jawabkan setiap kegiatan yang dilaksanakan dengan terukur tingkat
keberhasilannya.
Pengukuran kinerja organisasi sektor publik merupakan elemen yang berguna untuk
pengambilan keputusan dan mendukung pelaporan eksternal. Penggunaan ukuran kinerja
penting bagi manajemen publik, parlemen, dan masyarakat dalam menilai kinerja organisasi
sektor publik. Bagi manajemen, pengukuran kinerja adalah bagian integral dari sistem
manajemen, sedangkan bagi pihak luar atau eksternal pegukuran kinerja bermanfaat untuk
memonitor dan menilai pencapaian kinerja sektor publik yang dimana demi terlaksananya
akuntabilitas.
Handayani (2011) menyatakan dalam artikel yang ia tulis bahwa tolak ukur kinerja
organisasi sektor publik berkaitan dengan ukuran keberhasilan yang dapat dicapai oleh
organisasi tersebut. Mardiasmo (2009) menyatakan bahwa kinerja sektor publik bersifat
multi dimensional, sehingga tidak ada indikator tunggal yang dapat digunakan untuk
menunjukkan kinerja secara komprehensif. Berbeda dengan sektor swasta, karena sifat
output yang dihasilkan sektor publik lebih banyak bersifat intangible output, maka ukuran
financial saja tidak cukup untuk mengukur kinerja sektor publik. Oleh karena itu, perlu
dikembangankan ukuran kinerja nonfonancial. Ukuran kinerja dimaksudkan untuk dapat
membantu pemerintah berfokus pada tujuan dan sasar program unit kerja yang mereka susun.
Hal ini pada akhirnya aka meningkatkan ekonomis, efesiensi dan efektivitas organisasi sektor
publik.
Terkait dengan hal diatas, konsep value for money merupakan konsep untuk
mengukur ekonomi, efektivitas, dan efisien kinerja program, kegiatan dan organisasi (Halim,
2014). Value for money merupakan inti pengukuran kinerja pada organisasi pemerintah
(Mardiasmo, 2009). Kinerja pemerintah harus mempertimbangankan input, output, dan
outcome secara bersama-sama. Bahkan, untuk beberapa hal perlu ditambahkan pengukuran
distribusi atau layanan (equity and oservice). Permasalahan yang sering dihadapi oleh
pemerintah dalam melakukan pengukuran kinerja adalah sulitnya mengukur output, karena
output yang dihasilkan tidak selalu berupa output yang berwujud, akan tetapi lebih banyak
berupa intangible output.
Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahn tersebut Balanced Scorecard dirasa
perlu untuk digunakan sebagai alternatif pengukuran kinerja pemerintah. Robert S. Kaplan
dari Harvard Bussiness School memperkenalkan konsep pengukuran kinerja Balanced
Scorecard ini melalu artikel merka yang berjudul balanced scorecard-measure that drive
performance pada tahun 1992. Pada konsep ini diperkenalkan empat perspektif yang harus
diperhatikan untuk mencapai tujuan perusahaan secara menyeluruh yaitu perspektif
keuangan (financial perpective), perspektif pelanggan (customer perpective), perspektif
internal (internal perspective) dan perspektif pembelajaran dan berkembang (learning and
growth perspective). BSC tidak hanya berfokus kepada aspek financial seperti model
tradisional namun dengan pendekatan kepada empat perspektif tersebut diyakini mampu
untuk memberikan gambaran mengenai keadaan suatu perusahaan atau organisasi.
BSC sendiri tidak hanya dapat digunakan pada sektor swasta atau perusahaan saja
di sektor pemerintah pun telah ada yang menerapkannya seperti Kementrian Keuangan dan
Badan Pengawas Keuangan. Namun hingga saat ini belum ada peraturan presiden yang
mengatur mengenai penerapan BSC, orgnisasi sektor publik masih menggunakan keputusan
Menteri atau kepala organisasinya masing-masing sehingga hal tersebut mengakibatkan
belum adanya standar penyusunan maupun pelaksaan BSC di organisasi sektor publik.
BAB II
PEMBAHASAN
Setelah melaksanakan tugas dan kegiatannya tentu suatu organisasi baik di sektor
publik maupun sektor swasta perlu melakukan evaluasi atas kinerjanya agar dapat
mengetahui seberapa berhasil organisasi tersebut dalam mencapai tujuannya. Kinerja
organisasi seharusnya merupakan hasil yang dapat diukur dan menggambarkan keadaan
suatu organisasi.
Dari beberapa definisi tersebut bahwa pengukuran kinerja adalah suatu kegiatan
penilaian yang dilakukan terhadap aktivitas organisasi yang berkaitan dengan tujuan yang
ingin mereka capai. Hasil dari pengukuran kinerja diharapakan dapat dijadikan bahan
evaluasi dalam rangka pengambilan keputusan bagi para manajer. Dimana semakin akurat
dan jelas suatu hasil pengukuran kinerja yang dilakukan maka semakin baik pula keputusan
yang dapat diambil. Mulyadi (2001) mengatakan bahwa pengukuran kinerja dilakukan pula
untuk menekan perilaku yang tidak semestinya (dysfunctional behaviour) dan untuk
mendorong perilaku yang semestinya.
Disamping itu, manfaat disusunnya pengukuran kinerja bagi sektor publik adalah
(Mardiaso, 2009):
Balanced Scorecard terdiri dari dua kata yaitu balanced dan scorecard. Scorecard
artinya kartu skor, maksudnya adalah kartu skor yang akan digunakan untuk merencanakan
skor yang diwujudkan di masa yang akan datang, sedangkan balanced artinya berimbang,
maksudnya adalah untuk mengukur kinerja seseorang diukur secara berimbang dari dua
perspektif yaitu keuangan dan non keuangan, jangka pendek dan jangka panjang, intern dan
ekstern (Mulyadi, 2005). Menurut Kaplan dan Norton (1996) Balanced Scorecard bertujuan
mengukur kinerja perusahaan dari empat aspek yaitu: customer (pelanggan), proses intern
perusahaan, inovasi dan pembelajaran, dan finansial. Oleh karena itu empat aspek tersebut
harus dipertimbangkan dalam menyusun visi dan strategi (Wardhani, 1999).
Balanced Scorecard memberikan kepada para pengelola rerangka komprehensif
yang menerjemahkan visi dan strategi perusahaan kedalam seperangkat pengukur kinerja.
Contoh rerangka kerja Balanced Scorecard untuk penerjemahan strategi kedalam kerangka
operasional dapat dilihat dalam gambar dibawah ini:
Dampak positif dalam penerapkan BSC tersebut ialah semakin jelasnya konsep misi, visi,
tujuan dan sasaran yang ingin dicapai suatu organisasi. Misi adalah seperangkat gagasan atau
ide yang akan dijalankan suatu organisasi untuk mencapai visi yang mereka buat. Sedangkan
visi adalah suatu pikiran yang melampaui realitas sekarang, sesuatu yang diciptakan yang
belum pernah ada sebelumnya, atau suatu keadaan yang akan diwujudkan kedepannya.
Dalam rangka mewujudkan kondisi yang digambarkan dalam visi. Perusahaan perlu
merumuskan strategi. Dalam perumusan strategi, visi organisasi dijabarkan dalam tujuan
(goals) (Lasdi, 2002). Dimana tujuan (goals) adalah kondisi perusahaan yang akan
diwujudkan dimasa mendatang yag merupakan gambaran lebih lanjut dari visi perusahaan.
Dalam proses perencanaan strategik, tujuan ini kemudian dijabarkan kedalam sasaran-
sasaran strategik dengan ukuran-ukuran pencapaiannya yang dapat dilihat dalam gambar
berikut ini (Lubis dan Sutopo, 2003):
Gambar 2.2. Pennjabaran Visi kedalam Tujuan Dan Sasaran
Sumber: Mulyadi (2001)
Robert S. Kaplan dan David Norton (1969) menjelaskan bahwa esensi penerapan
BSC bukanlah adanya pengendalian terhadap devisi, akan tetapi setiap devisi satu korporasi
sedemikian rupa akan berinisiasi, menentukan ukuran kinerja dan mengkaitkannya dengan
visi, misi dan strategi korporasi. Dalam hal ini keunggulan BSC adalah teridentifikasinya
struktur ataupun kerangka yang ada di korporasi guna mencapai atau merealisasikan visi dan
misi korporasi. Hal ini mudah dipahami karena 4 perspektif: keuangan, pelanggan, proses
bisnis internal serta pembelajaran dan pertumbuhan yang oleh Kaplan digambarkan sebagai
perspektif yang berkaitan satu dengan lainnya. Bahkan dirangkum dalam satu hubungan
“cause and effect relationship”. Adapun kaitan masing-masing perspektif dapat dijelaskan
sebagai berikut Kaplan dan Norton (1996):
1. Komprehensif
Balanced Scorecard memperluas perspektif yang dicakup dalam perencanaan strategi
dari yang sebelumnya terbatas hanya pada perspektif keuangan, meluas menjadi tiga
perspektif yang lain : costumer, proses bisnis internal, serta pertumbuhan dan
pembelajaran. Dengan perluasan perspektif rencana strategi keperspektif non keuangan
akan memberikan manfaat sebagai berikut:
a. Menjadikan kinerja keuangan yang berlipat ganda dan berjangka penjang
b. Memampukan perusahaan untuk memasuki lingkungan bisnis yang kompleks.
Untuk menghasilkan keberhasilan dalam kinerja keuangan, Balanced Scorecard akan
memotivasi personel untuk mengarahkan usahanya kesasaran–sasaran strategi yang
menjadi penyebab utama berhasilnya kinerja keuangan. Perusahaan harus mampu
menghasilkan produk dan jasa yang menghasilkan value yang terbaik bagi costumer yang
dihasilkan dari personel yang produktif dan berkomitmen. Kinerja seperti diatas akan
memberikan kinerja keuangan yang sesungguhnya, yang berasal dari usaha nyata dalam
bisnis, serta memberikan kinerja keuangan yang berlipat ganda dan berjangka panjang.
2. Koheren
Balanced Scorecard akan membangun hubungan sebab akibat diantara beebagai sasaran
strategi yang dihasilkan dalam perencanaan strategi. Setiap sasaran strategi harus
mempunyai hubungan kausal dengan sasaran keuangan, baik secara langsung maupun
tidak secara langsung. Sebagai contoh, sasaran penyebab diwujudkannya sasaran strategi
diperspektif proses bisnis intern atau costumer akan menjadi penyebab secara langsung
diwujudkannya sasaran strategi diperspektif keuangan karena perusahaan adalah institusi
pencipta kekayaan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
3. Seimbang
Balanced Scorecard akan memberikan gambaran mengenai tujuan dan cara pencapaian
tujuan tersebut secara seimbang, terutama jika dikaitkan antara perspektif satu dengan
yang lainnya. Masing–masing perspektif mempunyai suatu tinjauan pokok yang hendak
dicapai:
a. Financial returns yang berlipat ganda dan berjangka panjang adalah tujuan dari
perspektif keuangan.
b. Produk dan jasa yang mampu menghasilkan value yang terbaik bagi costumer adalah
tujuan dari perspektif pelanggan.
c. Proses yang produktif dari cost effective adalah tujuan dari perspektif bisnis / intern.
d. Sumber daya manusia yang produktif dan berkomitmen adalah tujuan dari perspektif
pembelajaran dan pertumbuhan.
4. Terukur
Keterukuran sasaran strategi yang diabaikan oleh sistem perencanaan strategi
menjanjikan ketercapaian berbagai sasaran strategi yang dihasilkan oleh sistem tersebut.
Balanced Scorecard mengukur sasaran– sasaran strategi yang sulit untuk diukur.
Sasaran–sasaran strategi diperspektif costumer, proses bisnis/intern, serta pembelajaran
dan pertumbuhan merupakan sasaran yang tidak mudah diukur, namun dalam pendekatan
Balanced Scorecard, sasaran diketiga perspektif non keuangan tersebut ditentukan
ukurannya agar dapat dikelola sehingga diwujudkan. Dengan demikian keterukuran
sasaran strategi non keuangan akan menjanjikan perwujudan kinerja keuangan yang
berlipat ganda dan berjangka panjang.
Implementasi Balanced Scorecard Pada Organisasi Sektor Publik
Meskipun sebagian besar BSC telah banyak digunakan dan diaplikasikan pada
organisasi swasta namun penerapan BSC sendiri dapat digunakan pada organisasi sektor
publik dalam sistem menajemen kinerjanya. Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa
organisasi sektor publik yang menggunakan BSC antara lain Kementrian Keuangan, Badan
Pengawas Keuangan dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Namun karena
tujuan dasar dari organisasi sektor publik sangat berbeda dengan organisasi swasta tentu
perlu ada penyesuaian dalam penggunaan BSC di organisasi sektor publik.
Efektifitas dan efesiensi kinerja organisasi sektor publik dapat diukur dari sejauh
mana organisasi sektor publik dapat mengelola uang rakyat sehingga dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Tentunya pengukuran atas kepuasan publik tersebut cukup sulit
maka pengukuran tersebut membutuhkan komitmen pimpinan, waktu dan juga pendamping
dari ahli agar penggunaan BSC dapat dilaksanakan secara maksimal. Konsep manajemen
pemerintahan yang berfokus kepada kesejahteraan masyarakat ini membutuhkan suatu
paradigma baru untuk menggangtikan paradigma lama (Gasperz, 2006). Adapun beberapa
perbedaan paradigma lama dengan paradigma baru tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Dengan membaca tabel diatas maka terlihat jelas bahwa fokus utama dari organisasi
sektor publik adalah kepuasan masyarakat. Pada tabel tersebut tidak disinggung mengenai
tujuan mencari laba dalam organisasi sektor publik atau pemerintah yang dimana hal tersebut
bertolak belakang dengan tujuan dari organisasi sektor swasta yang bertujuan mencari laba.
Internal process
Daftar Pustaka
Bahtiar Arif, Muchlis, dan Iskandar. 2002. Akuntansi Pemerintahan. Jakarta: Salemba
Empat.
Gasperz, Vincent. 2003. Sistem Manajemen Kinerja Terintegrasi Balanced Scorecard
Dengan Six Sigma Untuk Organisasi Bisnis Dan Pemerintah. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Halim, Abdul dan M. Syam Kusufi. 2014. Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan
Daerah, edisi ke-2. Jakarta: Salemba Empat.
Handayani, Bestari D. 2011. Pengukuran Kinerja Organisasi Dengan Pendekatan Balanced
Scorecard Pada RSUD Kabupaten Kebumen. JDW Vol. 2, No. 1, pp: 787-91\
Kaplan, Robert S & D.P. Norton. 1996. The BSC: Translating Strategy Into Action. Boston:
Harvard Business School Press.
Kaplan, Robert S. dan Norton, David P. 1992. The Balanced Scorecard – Measure Thaat
Drive Performance. Harvard bussiness review. Pp: 71-79.
Kustadi Arinta. 1996. Akuntansi Sektor Publik. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Lasdi, Lodovicus. 2002. Balanced Scorecard Sebagai Rerangka Pengukuran Kinerja
Perusahaan Secara Komprehensif Dalam Lingkungan Bisnis Global. Jurnal Widya
Manajemen dan Akuntansi. Vol. 2, No. 2, Agustus.
Lubis, Arfan Ikhsan, dan Sutopo. 2003. Implementasi Konsep Balance Scorecard (BSc) Bagi
Small And Medium Business di Indonesia Suatu Tinjauan Teoritis. EKOBIS. Vol. 4,
No.1. Januari.
Mahmudi. 2007. Manajemen Kinerja Sektor Publik. Edisi revisi. Yogyakarta: UPP STIM
YKPN.
Mardiasmo. 2009. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: CV Andi Offset.
Mulyadi dan styawan. 2009. Balanced Scorecard Sebagai Kerangka Pengukuran Kinerja.
Yogyakarta: aditya media.
Mulyadi. 2001. Balanced Scorecard: Alat Manajemen Kontemporer Untuk Pelipatganda
Kinerja Keuangan Perusahaan. Jakarta: salemba empat.
Mulyadi. 2005. “Alternatif Pemacuan Kinerja Personel dengan Pengelolaan Kinerja
Terpadu Berbasis Balanced Scorecard.” Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia.
Vol.20, No.3.
Revrisond Baswir. 2000. Akuntansi Pemerintahan Indonesia. Ypgyakarta: BPFE.
Ritonga, Irwan Taufiq. 2017. Akuntansi Publik dan Akuntansi Bisnis: Dua Hulu yang
Berbeda. Simposium Nasional Akuntansi XX (SNA). Jember
Srimindarti, Ceacilia. 2004. Balanced Scorecard Sebagai Alternatif untuk Mengukur
Kinerja. Fokus Ekonomi. Vol. 3, No. 1, April.