Anda di halaman 1dari 12

FILSAFAT ILMU

TUGAS KE-4
KAJIAN MERDEKA BELAJAR DAN DAMPAK COVID-19 TERHADAP PBM DAN
HASIL BELAJAR KIMIA SERTA BAGAIMANA PARA ILMUWAN MENCARI
KEBENARAN

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Ramlan Silaban, M.Si

Oleh :

Nama : Eva Theresia Patrisia Marbun


NIM : 8216142008
Program Studi : Magister Pendidikan Kimia
Kelas :B

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN KIMIA


UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MEDAN
2021
1. MERDEKA BELAJAR

Merdeka belajar mungkin bisa dibilang merupakan istilah baru yang sering terdengar saat
ini. Konsep ini dicetuskan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia di
Kabinet Indonesia Maju, Nadiem Makarim, yang mengadopsi slogan sebuah sekolah swasta di
Jakarta. Tujuan konsep ini baik agar peserta didik bahagia dalam menempuh pendidikan.
Merdeka belajar dalam arti sekolah, guru-guru, dan muridnya, mempunyai kebebasan
dalam berinovasi dan bertindak dalam proses belajar mengajar. Konsekuensinya, guru sangat
dianjurkan untuk tidak bersikap monoton dan berorientasi pada guru saja.
Esensi kemerdekaan dan kebebasan berpikir harus dimulai oleh guru terlebih dahulu
sebelum kemudian diajarkan pada para siswa dan siswi. Sistem pengajaran berubah dari yang
sebelumnya dilakukan di dalam kelas menjadi dilakukan di luar kelas. Murid dapat berdiskusi
lebih dalam dengan guru, belajar dengan outing class, dan tidak hanya mendengarkan penjelasan
guru saja. Terbentuknya karakter peserta didik yang berani, mandiri, cerdik dalam bergaul,
beradab, sopan, berkompetensi, dan tidak hanya sekedar mengandalkan sistem rangking di kelas
yang dapat membuat galau anak dan orang tua saja, karena sebenarnya setiap anak memiliki bakat
dan kecerdasannya dalam bidang masing-masing, itulah yang diharapkan metode ini.
Program Merdeka Belajar menurut Mendikbud akan menjadi arah pembelajaran ke depan
yang fokus pada meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sebagaimana arahan bapak
presiden dan wakil presiden (dikutip dari situs web kemendikbud.go.id, Rabu, 11/12). Selanjutnya
dijelaskan oleh Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Ade Erlangga, Merdeka
Belajar merupakan permulaan dari gagasan untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional yang
terkesan monoton. Merdeka Belajar menjadi salah satu program untuk menciptakan suasana
belajar di sekolah yang bahagia suasana yang happy, bahagia bagi peserta didik maupun para
guru. Makanya tag-nya merdeka belajar. Adapun yang melatarbelakangi diantaranya banyak
keluhan para orangtua pada sistem pendidikan nasional yang berlaku selama ini. Salah satunya
ialah keluhan soal banyaknya siswa yang dipatok dengan nilai-nilai tertentu
(https://mediaindonesia.com/read/detail/278427). Ditambahkan pula bahwa program Merdeka
Belajar merupakan bentuk penyesuaian kebijakan untuk mengembalikan esensi dari asesmen yang
semakin dilupakan. "Konsepnya, mengembalikan kepada esensi undang-undang kita untuk
memberikan kemerdekaan sekolah menginterpretasi kompetensi-kompetensi dasar kurikulum,
menjadi penilaian mereka sendiri, seperti disampaikan Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan
(Dirjen GTK) Kemendikbud Supriano (https://www.alinea.id/nasional/merdeka-belajar).
Program pendidikan “Merdeka Belajar” meliputi empat pokok kebijakan, antara lain: 1)
Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN); 2) Ujian Nasional (UN); 3) Rencana Pelaksanaan
Pembelajaan (RPP), dan 4) Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) zonasi. Bila
dicermati dari isi pokok kebijakan merdeka belajar jelas lebih difokuskan pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah, meskipun pada perkembangan selanjutnya berdimensi juga ke jenjang
pendidikan tinggi (Dikti) melalui program “Kampus Merdeka”. Untuk Lebih jelasnya lagi
keempat prinsip merdeka belajar diuraikan sebagai berikut:
1) USBN 2020. Berdasarkan Permendikbud Nomor 43 Tahun 2019, tentang Penyelenggaraan
Ujian yang Diselengarakan Satuan Pendidikan dan Ujian Nasional, khususnya pada Pasal 2,
ayat 1; menyatakan bahwa ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan merupakan
penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan yang bertujuan untuk menilai pencapaian
standar kompetensi lulusan untuk semua mata pelajaran. Selanjutnya dijelaskan pada Pasal 5,
ayat 1, bahwa; bentuk ujian yang diselenggarakan oleh Satuan Pendidikan berupa portofolio,
penugasan, tes tertulis, atau bentuk kegiatan lain yang ditetapkan Satuan Pendidikan sesuai
dengan kompetensi yang diukur berdasarkan Standar Nasional Pendidikan. Ditambahkan pula
pada penjelasan Pasal 6, ayat 2, bahwa; untuk kelulusan peserta didik ditetapkan oleh satuan
pendidikan/program pendidikan yang bersangkungan.  Dengan demikian jika melihat isi
Permendikbud tersebut menunjukkan, bahwa Guru dan sekolah lebih merdeka untuk menilai
hasil belajar siswa.
2) UN adalah kegiatan pengukuran capaian kompetensi lulusan pada mata pelajaran tertentu
secara nasional dengan mengacu pada standar kompetensi lulusan. Merupakan penilaian hasil
belajar oleh pemerintah pusat yang bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan
secara nasional pada mata pelajaran tertentu (Permendikbud No. 43 Tahun 2019). Terkait
untuk pelaksanaan UN tahun 2020, sebagaimana disampaikan Mendikbud merupakan
kegiatan UN yang terakhir kalinya, selanjutnya ditahun 2021, UN telah digantikan dengan
istilah lain yaitu Asesmen Kompetensi Minimun dan Survey Karakter. Asesmen dimaksudkan
untuk mengukur kemampuan peserta didik untuk bernalar menggunakan bahasa dan literasi,
kemampuan bernalar menggunakan matematika atau numerasi, dan penguatan pendidikan
karakter. Adapun untuk teknis pelaksanaan ujian tersebut akan dilakukan ditengah jenjang
sekolah. Misalnya di kelas 4, 8, 11, dengan maksud dapat mendorong guru dan sekolah untuk
memetakan kondisi pembelajaran, serta mengevaluasi sehingga dapat memperbaiki mutu
pembelajaran.  Dengan kata lain, agar bisa diperbaiki kalau ada hal yang belum tercapai.
Sebagai catatan hasil ujian ini tidak digunakan sebagai tolok ukur seleksi siswa kejenjang
berikutnya. Adapun untuk standarisasi ujian, arah kebijakan ini telah mengacu pada level
internasional, mengikuti tolak ukur penilaian yang termuat dalam Programme for
International Student Assessment (PISA) dan Trends in International Mathematics and
Science Study (TIMSS), tetapi penuh dengan kearifan lokal (Media Indonesia, 12/12/2019).
Terkait Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, dimaksudkan supaya setiap
sekolah bisa menentukan model pembelajaran yang lebih cocok untuk murid-murid, daerah,
dan kebutuhan pembelajaran mereka, serta Asesmen Kompetensi Minimum tidak sekaku UN,
seperti yang disampaikan Dirjen GTK Supriano (https://www.alinea.id/nasional/merdeka-
belajar). Selanjutnya untuk aspek kognitif Asessmen Kompetensi Minimum, menurut
Mendikbud materinya dibagi dalam dua bagian: (1) Literasi; bukan hanya kemampuan untuk
membaca, tapi juga kemampuan menganalisa suatu bacaan, kemampuan memahami konsep
di balik tulisan tersebut; (2) Numerasi; berupa kemampuan menganalisa, menggunakan
angka-angka. Jadi ini bukan berdasarkan mata pelajaran lagi, bukan penguasaan konten, atau
materi.
3) Dalam hal RPP, berdasarkan Surat Edaran Mendikbud Nomor 14 Tahun 2019, tentang
Penyederhanaan RPP, isinya meliputi: (1) penyusunan RPP dilakukan dengan prinsip efisien,
efektif, dan berorientasi pada siswa; (2) Dari 13 komponen RPP yang tertuang dalam
Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016, yang menjadi komponen inti adalah tujuan
pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran, dan penilaian pembelajaran (assesment) yang
wajib dilaksanakan oleh guru, sedangkan sisanya hanya sebagai pelengkap; dan (3) Sekolah,
Kelompok Guru Mata Pelajaran dalam sekolah, Kelompok Kerja Guru/Musyawarah Guru
Mata Pelajaran (KKG/MGMP) dan individu guru secara bebas dapat memilih, membuat,
menggunakan, dan mengembangkan format RPP secara mandiri untuk sebesar-besarnya
keberhasilan belajar siswa. Bila dicermati dari keseluruhan isi surat edaran mendikbud
tersebut, dapat dimaknai bahwa penyusunannya lebih disederhanakan dengan memangkas
beberapa komponen. Guru diberikan keleluasaan dalam proses pembelajaran untuk memilih,
membuat, menggunakan, dan mengembangkan format RPP, sebab gurulah yang mengetahui
kebutuhan siswa didiknya dan kebutuhan khusus yang diperlukan oleh siswa di daerahnya,
Diharapkan melalui kebebasan menyusun RPP kepada guru, siswa akan lebih banyak
berinteraksi secara aktif, dinamis, dengan model pembelajaran yang tidak kaku.
4)  Untuk PPDB, berdasarkan Permendikbud baru Nomor 44 Tahun 2019 tentang PPDB 2020,
sebagaimana dinyatakan pada Pasal 11, dalam persentase pembagiannya meliputi: (1) untuk
jalur zonasi paling sedikit 50 persen; (2) jalur afirmasi paling sedikit 15 persen; (3) jalur
perpindahan tugas orang tua/wali lima persen; dan (4) jalur prestasi (sisa kuota dari
pelaksanaan jalur zonasi, afirmasi dan perpindahan orang tua /wali (0-30 persen). Jelas ini
berbeda dengan kebijakan PPDB pada tahun-tahun sebelumnya, setidaknya terdapat dua hal
penting:  (1) kuota penerimaan siswa baru lewat jalur berprestasi, semula 15 persen, sekarang
menjadi 30 persen; dan (2) adanya satu penambahan baru jalur PPDB, yaitu melalui jalur
afirmasi, yang ditujukan terutama  bagi mereka yang memegang Kartu Indonesia Pintar
(KIP). Secara umum sistem zonasi dalam PPDB itu sudah baik, karena dapat mendorong
hilangnya diskriminasi bagi anggota masyarakat untuk bersekolah di sekolah-sekolah terbaik.

Supaya lebih memahami konsep merdeka belajar sebagaimana telas dikupas tuntas di
atas, ada baiknya konsep Merdeka Belajar juga dikaji secara teoritis berdasarkan terminologi arti
kata “Merdeka” dan konsep “Belajar” itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), kata Merdeka memiliki tiga pengertian: (1) bebas (dari perhambatan, penjajahan dan
sebagainya), berdiri sendiri; (2) tidak terkena atau lepas dari tuntutan; (3) tidak terikat, tidak oleh
tergantung kepada orang atau pihak tertentu. Adapun konsep “Belajar” menurut Sagala (2006),
dapat dipahami sebagai usaha atau berlatih supaya mendapatkan suatu kepandaian. Ditambahkan
pula menurut Sudjana (2013), belajar bukan semata kegiatan menghafal dan bukan mengingat.
Belajar adalah; (1) suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang,
dapat ditunjukkan seperti berubah pengetahuannya, pemahamannya, sikap dan tingkah lakunya,
keterampilannya, kecakapan, dan kemampuannya, daya reaksinya, daya penerimaannya dan lain-
lain aspek yang ada ada individu; (2) belajar adalah proses aktif, proses berbuat melalui berbagai
pengalaman; (3) belajar adalah proses mereaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar
individu; (4) Belajar adalah proses yang diarahkan kepada tujuan; dan (5) Belajar adalah proses
melihat, mengamati, memahami sesuatu. Jadi apabila kita berbicara tentang belajar, maka
prinsipnya berbicara bagaimana mengubah tingkah laku seseorang.
Berdasarkan kajian teori tersebut diatas maka konsep Merdeka dan Belajar menurut
hemat penulis dapat dipersepsikan sebagai upaya untuk menciptakan suatu lingkungan belajar
yang bebas untuk berekspresi, bebas dari berbagai hambatan terutama tekanan psikologis. Bagi
guru dengan memiliki kebebasan tersebut lebih fokus untuk memaksimalkan pada pembelajaran
guna mencapai tujuan (goal oriented) pendidikan nasional, namun tetap dalam rambu kaidah
kurikulum. Bagi siswa bebas untuk berekspresi selama menempuh proses pembelajaran di
sekolah, namun tetap mengikuti kaidah aturan di sekolah. Siswa bisa lebih mandiri, bisa lebih
banyak belajar untuk mendapatkan suatu kepandaian, dan hasil dari proses pembelajaran tersebut
siswa berubah secara pengetahuan, pemahaman, sikap/karakter, tingkah laku, keterampilan, dan
daya reaksinya, sejalan dengan apa yang diamanatkan dalam tujuan UU Sisdiknas Tahun 2003,
yakni; untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab. (https://gtk.kemdikbud.go.id/read-news/merdeka-belajar)

2. DAMPAK COVID-19 DALAM PEMBELAJARAN KIMIA DAN HASIL BELAJAR


PESERTA DIDIK

Terobosan kebijakan pendidikan baru yang disebut dengan “Merdeka Belajar” telah
digulirkan pada akhir tahun 2019. Merdeka belajar bertujuan untuk memberikan keleluasaan
para pendidik dan peserta didik dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran tentunya harus
disertai dengan keinginan masing masing pelaku pendidikan untuk meningkatkan
kompetensinya. Internet of things yang berkembang di era industri 4.0 telah merambah di
berbagai bidang kehidupan masyarakat, salah satunya yaitu di bidang pendidikan (Lestiyani,
2020).
Di masa pandemi Covid-19 yang berimbas pada kegiatan pendidikan mulai dari jenjang
TK sampai dengan Perguruan Tinggi, Pembelajaran daring mau tidak mau harus dipilih sebagai
salah satu model kegiatan belajar yang sangat efektif selama pandemi Covid-19, meskipun
sangat banyak tantangan yang dihadapi oleh peserta didik, guru dan orang tua seperti kesiapan
sarana dan prasarana, tidak ada standar untuk hasil pembelajaran, fasilitas pembelajaran
seperti konektivitas internet y a n g t e r b a t a s dan peralatan komunikasi seperti laptop dan
smartphone yang tidak dimiliki oleh semua peserta didik. Pembelajaran di kelas diganti
menjadi Belajar dari rumah (BDR). Model pembelajaran tatap muka menjadi tatap layar.
Namun, pelaksanaannya tak semudah apa yang kita bayangkan. Di karenakan ketersediaan
internet dan infrastruktur teknologi yang merupakan keharusan selama pembelajaran di masa
Pandemi Covid-19. Masih banyaknya area yang memiliki keterbatasan aksesbilitas seperti
konektivitas internet menjadi tantangan tersendiri dalam kegiatan pembelajaran daring selama
pandemic covid-19.
Belajar dari Rumah (BDR) dilaksanakan dengan sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 15, dijelaskan bahwa PJJ adalah
pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan
berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi dan media lain. Dalam
pelaksanaannya, PJJ dibagi menjadi dua pendekatan, yaitu pembelajaran jarak jauh dalam
jaringan (daring) dan pembelajaran jarak jauh luar jaringan (luring). Dalam pelaksanaan PJJ,
satuan pendidikan dapat memilih pendekatan (daring atau luring atau kombinasi keduanya)
sesuai dengan karakteristik dan ketersediaan, kesiapan sarana dan prasarana (Asmuni, 2020;
Ahmad, 2020, Nurhayati, 2020).
Pembelajaran Kimia yang seyogianya kebanyakan dilaksanakan di laboratorium
menjadi sebuah tantangan yang ditemukan di lapangan. Tentu saja yang paling utama adalah
sarana pembelajaran jarak jauh yang dikenal dengan daring (dalam jaringan). Agar proses
pembelajaran Kimia dapat terlaksana dengan baik dan membangun proses komunikasi yang
efektif , salah satu aplikasi yang bisa di download melalui playstore atau laptop yang banyak
digunakan selama pembelajaran daring adalah aplikasi Zoom dan WAG (Whatapp Group).
Dalam pengembangannya, saat ini sudah banyak bermunculan aplikasi-aplikasi yang khusus
digunakan sebagai media untuk melakukan pendidikan atau pembelajaran jarak jauh dua di
antaranya yakni dengan menggunakan Whatsapp Group dan Pembelajaran Tatap Muka Zoom
(Kusuma & Hamidah, 2020; Daniati, 2020). Kolaborasi antara Zoom dengan WAG merupakan
suatu alternative terbaik yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran daring, karena lebih
efektif dalam melakukan diskusi atau pembahasan materi dengan komunikasi yang didukung
dengan fitur- fitur yang terdapat dalam Zoom dan WAG. (Brahma, 2020; Kusuma & Hamidah,
2020; Yulianto et al., 2020; Najafi & Tridane, 2015). Penggunaan aplikasi Zoom dan WAG
mendeskripsikan potret merdeka belajar melalui kolaborasi Zoom dengan WA Group di masa
New Normal.
Selain aplikasi Zoom dan WAG (Whatapp Group), media pembelajaran yang efektif dan
menarik juga banyak dikembangkan selama pandemic Covid-19 salah satunya video
pembelajaran yang bersumber dari youtube. Banyak guru kimia memanfaatkan video
pembelajaran yang bersumber dari youtube sebagai media ajar. Video pembelajaran tersebut
dapat berupa penjelasan terkait materi ajar dan penyelesaian soal-soal kimia yang dapat
digunakan perserta didik untuk sumber belajar. Diharapkan dengan banyaknya aplikasi belajar
dan media belajar yang tersedia, semakin meningkatkan motivasi belajar dan hasil belajar
peserta didik dalam belajar materi kimia.
3. MENEMUKAN PENGERTIAN KEBENARAN DALAM ILMU PENGETAHUAN

“Kebenaran” merupakan kata benda. Namun janganlah terlalu cepat langsung


menanyakan dan mencari benda yang namanya “kebenaran”, jelas itu tidak akan ada hasilnya; itu
merupakan usaha yang sesat. Meskipun ada kata benda “kebenaran”, namun dalam realitanya
tidak ada benda “kebenaran”, yang ada dalam kenyataan secara ontologis adalah sifat “benar”.
Sebagaimana sifat-sifat lain pada umumnya, kita dapat menemukan serta mengenalnya
pada hal yang memiliki sifat bersangkutan, demikian pula sifat “benar” tentu saja juga dapat dicari
dan dapat ditemukan dalam hal-hal yang memiliki sifat “benar” terse- but. Misalnya sifat “bersih”
dapat ditemukan pada udara yang bersih, lantai yang bersih; sifat “tenang” dapat ditemukan dalam
suasana kelas yang tenang, suasana hati yang tenang. Demikian pula sifat “benar” pada umumnya
dapat ditemukan pada hal-hal berikut: pemikiran yang benar, jawaban yang benar, pengetahuan
yang be- nar, penyataan yang benar, penjelasan yang benar, pendapat yang benar, pandangan yang
benar, informasi yang benar, berita yang benar, tindakan yang benar, kebijaksanaan yang benar.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sifat “benar” dapat berada pada kegiatan
berpikir maupun hasil pemikiran yang da pat diungkapkan dalam bahasa lisan maupun tertulis,
yang berupa: jawaban, penyataan, penjelasan, pendapat, informasi, berita, tindakan, peraturan.
Hasil pemikiran pada pokoknya menunjukkan ada atau tidak adanya hubungan antara yang
diterangkan dengan yang menerangkan. Misalnya yang menunjukkan adanya hubungan: udara
bersih, lampu menyala, rumah terbakar api, binatang menggigit orang, orang makan mangga.
Pernyataan yang menunjukkan tidak adanya hubungan antara yang diterangkan dan yang
menerangkan dinyatakan dengan menggunakan kata ’tidak’. Contoh, pasar sayur ini tidak bersih,
tanaman padi tidak subur, kambing tidak hidup di air, manusia tidak bersayap.
Hasil pemikiran dikatakan benar, bila memahami bahwa ada hubungan antara yang
diterangkan dengan yang menerangkan, dan ternyata memang ada hubungan, atau memahami
bahwa tidak ada hubungan antara yang diterangkan dengan yang menerangkan, dan ternyata
memang tidak ada hubungan. Hasil pemikiran dikatakan salah, bila memahami bahwa ada
hubungan antara yang dite- rangkan dengan yang menerangkan, padahal tidak ada, atau mema
hami bahwa tidak ada hubungan antara yang diterangkan dengan yang menerangkan, padahal ada.
Karena kebenaran merupakan sifat dari pengetahuan, untuk membahas adanya berbagai
kebenaran, kita perlu mengetahui adanya berbagai macam pengetahuan. Sebagaimana
pengetahuan dapat dibedakan atas dasar berbagai kriteria penggolongan, demikian pula berkenaan
dengan kebenaran pengetahuan juga dapat digolongkan atas dasar beberapa kriteria (Tim Dosen
Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2003: hal. 136-138). Pertama, atas dasar sumber atau asal
dari kebenaran pengetahuan, dapat bersumber antara lain dari: fakta empiris (kebenaran empiris),
wahyu atau kitab suci (kebenaran wahyu), fiksi atau fantasi (kebenaran fiksi). Kebenaran
pengetahuan perlu dibuktikan dengan sumber atau asal dari pengetahuan terkait. Kebenaran
pengetahuan empiris harus dibuk- tikan dengan sifat yang ada dalam obyek empiris (yang
didasarkan pengamatan inderawi) yang menjadi sumber atau asal pengetahuan tersebut.
Kebenaran wahyu sumbernya berasal dari wahyu atau kitab suci yang dipercaya sebagai ungkapan
tertulis dari wahyu. Sehingga yang menjadi acuan pembuktian kebenaran wahyu adalah wahyu
atau kitab suci yang merupakan tertulis dari wahyu. Sedangkan kebenaran fiksi atau fantasi
bersumber pada hasil pemikiran fiksi atau fantasi dari orang bersangkutan. Dan yang menjadi
acuan pembuktiannya adalah alur pemikiran fiksi atau fantasi yang terwujud dalam ungkapan lisan
atau tertulis, visual atau auditif, atau dalam ungkapan keempat-empatnya.
Kedua, atas dasar cara atau sarana yang digunakan untuk memperoleh kebenaran
pengetahuan. Antara lain dapat menggunakan: indera (kebenaran inderawi), akal budi
(kebenaran intelektual), intuisi (kebenaran intuitif), iman (kebenaran iman). Kebenaran
pengetahuan perlu dibuktikan dengan sarana yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan
terkait. Kebenaran pengetahuan inderawi (penglihatan) harus dibuktikan dengan kemampuan
indera untuk menangkap hal atau obyek inderawi dengan segala kelebihan dan
kekurangannya. Penglihatan dapat menghasilkan pengetahuan tentang warna, ruang, ukuran
besar/kecilnya obyek, serta adanya suatu gerak atau perubahan. Sesuai dengan perspektif
penglihatan disadari bahwa penangkapan penglihatan sering tidak tepat. Kita mengalami tipu
mata. Misalnya, bintang yang semestinya besar tampak di penglihatan sebagai bintang kecil;
sepasang rel kereta api yang seharusnya sejajar ternyata tampak di penglihatan sebagai yang
semakin menciut di kejauhan. Kebenaran intelektual didasarkan pada pemakaian akal budi
atau pemikiran agar dapat berpikir secara lurus, yaitu mengikuti kaidah-kaidah berpikir logis,
sehingga tidak mengalami kesesatan dalam berpikir. Kebenaran intuitif didasarkan pada
penangkapan bathin secara langsung (konkursif) yang dilakukan oleh orang bersangkutan,
tanpa melalui proses pe- nalaran terlebih dahulu (diskursif). Sedangkan kebenaran iman di-
dasarkan pada pengalaman hidup yang berdasarkan pada kepercayaan orang bersangkutan.
Ketiga, atas dasar bidang atau lingkup kehidupan, membuat pengetahuan diusahakan
dan dikembangkan secara berbeda. Antara lain, pengetahuan agama (kebenaran agama),
pengetahuan moral (kebenaran moral), pengetahuan seni (kebenaran seni), pengetahuan
budaya (kebenaran budaya), pengetahuan sejarah (kebenaran historis), pengetahuan hukum
(kebenaran yuridis), pengetahuan politik (kebenaran politik). Kebenaran pengetahuan perlu
dipahami berdasarkan bahasa atau cara menyatakan dari lingkup/bidang kehidupan terkait.
Misalnya, penilaian baik atas tindakan dalam bidang moral tentu saja perlu dibedakan dengan
penilaian baik tentang hasil karya dari bidang seni.
Keempat, atas dasar tingkat pengetahuan yang diharapkan dan diperolehnya: yaitu
pengetahuan biasa sehari-hari (ordinary knowledge) memiliki kebenaran yang sifatnya
subyektif, amat terikat pada subyek yang mengenal, pengetahuan ilmiah (scientific knowledge)
menghasilkan kebenaran ilmiah, pengetahuan filsafati (philosofical knowledge) menghasilkan
kebenaran filsafati. Kriteria yang dituntut dari setiap tingkat kebenaran ternyata berbeda.
Kebenaran pengetahuan yang diperoleh dalam pengetahuan biasa sehari cukup didasarkan
pada hasil pengalaman sehari-hari, sedangkan kebenaran pengetahuan ilmiah perlu diusahakan
dengan pemikiran rasional (kritis, logis, dan sistematis) untuk memperoleh pengetahuan yang
selaras dengan obyeknya (obyektif).

Teori Kebenaran
Teori kebenaran selalu paralel dengan teori pengetahuan yang dibangunnya. Sebagaimana
pengetahuan dilihat tidak secara menyeluruh, melainkan dari aspek atau bagian tertentu saja,
demikian pula kebenaran hanya diperoleh dari pemahaman terhadap pe- ngetahuan yang tidak
menyeluruh tersebut. Dengan demikian seti- ap teori kebenaran yang akan dibahas, lebih
menekankan pada salah satu bagian atau aspek dari proses orang mengusahakan kebenaran
pengetahuan. Berikut ini beberapa teori kebenaran yang menekankan salah satu langkah proses
manusia mengusahakan pengetahuan. Kelompok pertama terkait dengan bagaimana manusia
mengusahakan dan memanfaatkan pengetahuan, yaitu teori kebenaran korespondensi, teori
kebenaran koherensi, dan teori kebenaran pragmatis. Kelompok kedua terkait dengan bagaimana
pengetahuan itu diungkapkan dalam bahasa. Misalnya teori kebenaran sintak sis, teori kebenaran
semantis, dan teori kebenaran performatif.
1. Teori Kebenaran Korespondensi
Aristoteles sudah meletakkan dasar bagi teori kebenaran korespondensi, yakni
kebenaran sebagai persesuaian antara apa yang dikatakan dengan kenyataan. Pernyataan
dianggap benar kalau apa yang dinyatakan di dalamnya berhubungan atau punya keterkaitan
(correspondence) dengan kenyataan yang diungkapkan dalam pernyataan itu. Benar dan salah
adalah soal sesuai tidaknya apa yang dikatakan dengan kenyataan sebagaimana adanya. Menu-
rut teori ini, kebenaran terletak pada kesesuaian antara subyek dan obyek. Apa yang diketahui
oleh subyek sebagai benar harus sesuai atau harus cocok dengan obyek, harus ada kesesuaian
dengan reali- tas. Apa yang diketahui oleh subyek berkaitan dan berhubungan dengan realitas.

2. Teori Kebenaran Koherensi


Teori kebenaran koherensi dianut oleh kaum rasionalis. Menurut teori ini, kebenaran tidak
ditemukan dalam kesesuaian an tara proposisi dengan kenyataan, melainkan dalam relasi antara
proposisi baru dengan proposisi yang sudah ada sebelumnya dan telah diakui kebenarannya. Suatu
pengetahuan, teori, pernyataan proposisi, atau hipotesis dianggap benar kalau sejalan dengan pe-
ngetahuan, teori, proposisi, atau hipotesis lainnya. Artinya proposisi itu konsisten dengan
proposisi sebelumnya yang dianggap benar. Matematika dan ilmu-ilmu pasti sangat menekankan
teori kebenaran koherensi. Teori kebenaran koherensi lebih menekankan kebenaran rasional-logis
dan juga cara kerja deduktif.

3. Teori Kebenaran Pragmatis


Bagi kaum pragmatis, kebenaran sama artinya dengan ke- gunaan. Ide, konsep, pernyataan,
atau hipotesis yang benar adalah ide yang berguna. Ide yang benar adalah ide yang paling
memung- kinkan seseorang melakukan sesuatu secara paling berhasil dan te- pat guna. Dengan
kata lain, berhasil dan berguna adalah kriteria utama untuk menentukan apakah suatu ide benar
atau tidak.
4. Teori Kebenaran Sintaksis
Para penganut teori kebenaran sintaksis, berpangkal tolak pada keteraturan sintaksis atau
gramatika yang dipakai dalam suatu pernyataan atau tata-bahasa yang melekat. Kebenaran ini
terkait dengan bagaimana suatu hasil pemikiran diungkapkan dalam suatu pernyataan bahasa
(lisan atau tertulis) yang perlu dirangkai dalam suatu keteraturan sintaksis atau gramatika yang
digunakannya.
5. Teori Kebenaran Semantis
Teori kebenaran semantis dianut oleh faham filsafat analiti- ka bahasa yang dikembangkan
oleh paska filsafat Bertrand Russell. Teori kebenaran semantis sebenarnya berpangkal atau
mengacu pada pendapat Aristoteles dengan ungkapan sebagai berikut: “Mengatakan sesuatu yang
ada sebagai yang ada dan sesuatu yang ti- dak ada sebagai yang tidak ada, adalah benar”, juga
mengacu pada teori korespondensi, yang menyatakan bahwa: “kebenaran terdiri dari hubungan
kesesuaian antara apa yang dikatakan dengan apa yang terjadi dalam realitas”.
6. Teori Kebenaran Performatif
Teori ini terutama dianut oleh filsuf analitika bahasa seperti John Austin. Filsuf ini mau
menentang teori klasik bahwa benar dan salah adalah ungkapan yang hanya menyatakan
sesuatu. Menurut teori klasik, proposisi yang benar berarti proposisi itu menyatakan sesuatu
yang memang dianggap benar, demikian pula sebaliknya untuk proposisi yang salah.

Kebenaran Ilmiah
Kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari proses kegiatan ilmiah sampai dengan
menghasilkan karya ilmiah yang diungkapkan atau diwujudkan. Suatu kebenaran tidak mungkin
muncul tanpa adanya prosedur baku yang harus dilaluinya. Prosedur baku yang harus dilalui
mencakup langkah-langkah, kegiatan-kegiatan pokok, serta cara-cara bertindak untuk memperoleh
pengetahuan ilmiah, hingga hasil pengetahuan ilmiah itu diwujudkan sebagai hasil karya ilmiah.
Pada awalnya setiap ilmu secara tegas perlu menetapkan atau membuat batasan tentang
obyek yang akan menjadi sasaran pokok persoalan dalam kegiatan ilmiah. Obyek tersebut dapat
bersifat konkret atau abstrak. Bertumpu pada penetapan obyek tersebut, kegiatan ilmiah berusaha
memperoleh jawaban sebagai penjelasan terhadap persoalan yang telah dirumuskan. Jawaban
tersebut tentu saja relevan dengan obyek yang menjadi sasaran pokok persoalan dalam kegiatan
ilmiah. Kebenaran dari jawaban yang merupakan hasil dari kegiatan ilmiah ini bersifat obyektif,
didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan yang berada dalam keadaan obyektif. Kenyataan
yang dimaksud di sini adalah kenyataan yang berupa sesuatu yang dipakai sebagai acuan, atau
kenyataan yang pada mulanya merupakan obyek dari kegiatan ilmiah ini. De- ngan demikian suatu
konsep, teori, pengetahuan memiliki kebenaran, bila memiliki sifat yang berhubungan
(korespondensi) dengan fakta-fakta yang merupakan obyek dari kegiatan ilmiah yang dila- kukan.
Setelah menetapkan batasan tentang obyek yang disajikan sebagai pokok persoalan, lebih lanjut
perlu dibuat kerangka sistem- atis untuk menentukan langkah dalam mengusahakan jawaban. Atas
dasar teori-teori yang sudah ada serta telah memiliki kebenaran yang diandalkan, kita dapat
menjalankan penalaran untuk mem- peroleh kemungkinan jawaban atas persoalan yang diajukan
dalam kegiatan ilmiah tersebut. Agar menghasilkan jawaban yang benar, perlu ada konsistensi
dengan teori-teori yang telah diakui kebenar- annya, sehingga jawaban yang dihasilkan koheren
dengan teori-teori bersangkutan. Kebenaran yang dituntut dalam proses penalaran deduktif adalah
kebenaran koherensi, ada hubungan logis dan kon- sisten dengan teori-teori sebelumnya yang
relevan.
Untuk mengetahui apakah hipotesis tersebut memiliki kebenaran dalam realitasnya,
perlulah diadakan uji hipotesis. Secara induktif perlu mengusahakan fakta-fakta yang relevan
yang mendukung hipotesis tersebut. Bila ternyata hipotesis tersebut memiliki hubungan
kesesuaian (korespondensi) dengan fakta-fakta yang relevan dengan obyek kajian, hipotesis
tersebut benar (kebenaran ko respondensi). Bila sebaliknya tentu saja salah. Setelah hipotesis diuji
dan ternyata benar, hipotesis tersebut tidak lagi merupakan jawaban sementara, melainkan sudah
merupakan jawaban yang memiliki kebenaran yang dapat diandalkan.
Manusia tidak hanya cukup berhenti berusaha dengan memperoleh pengetahuan,
melainkan ada dorongan kehendak untuk bertindak, melakukan aktivitas dalam mengusahakan
sarana bagi kebutuhan hidupnya. Pengetahuan ilmiah yang telah diperoleh tersebut dapat menjadi
kekayaan yang cukup berharga sebagai sumber jawaban terhadap berbagai persoalan dan
permasalah yang dihadapinya. Bila pengetahuan yang dihasilkan tersebut ternyata memiliki
konsekuensi praktis, yaitu berguna dan berhasil dalam memecahkan berbagai persoalan yang kita
hadapi, pengetahuan tersebut memiliki kebenaran pragmatis.
Pada tahap menyampaikan dan mempublikasikan hasil pengetahuan ilmiah yang telah
diusahakan, kita perlu menggunakan bahasa yang sesuai dengan bidang ilmu terkait. Khususnya
berke- naan dengan istilah-istilah, rumus-rumus maupun simbol-simbol yang biasa dipakai dalam
bidang ilmu bersangkutan. Kebenaran dalam ilmu pengetahuan harus selalu merupakan hasil
persetujuan atau konvensi dari para ilmuwan pada bidangnya. Selain itu juga perlu diungkapkan
berdasarkan kebenaran sintaksis, kebenaran se- mantis, bahkan juga kebenaran performatif.
DAFTAR RUJUKAN

Paulus, Wahana. (2008). Menguak Kebenaran Ilmu Pengetahuan dan Aplikasinya Dalam Kegiatan
Perkuliahan. Jurnal Filsafat. 18 (3).

Zaenab. (2021). Kolaborasi Zoom dengan WAG Sebagai Potret Merdeka Belajar Pada Masa New
Normal di SMK Negeri 4 Gowa. Jurnal Paedagogy : Jurnal Penelitian dan Pengembangan
Pendidikan. 8 (1).

https://gtk.kemdikbud.go.id/read-news/merdeka-belajar (diakses 10 November 2021)

https://revolusimental.go.id/index.php/kabar-revolusi-mental/detail-berita-dan-artikel?url=kemerdekaan-
dalam-konsep-merdeka-belajar (diakses 10 November 2021)

Anda mungkin juga menyukai