Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

“Landasan Filsafat Ilmu”


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu: Drs. H. M. Salman, M. Pd.

 
Disusun oleh kelompok: 3

Ana Fauziah : (19.11.2427)


Ibadillahhis Solikhina : (19.11.2452)
M. Nur Afandi : (19.11.2473)
Ummi Ni’matun Nada : (19.11.2545)

Jurusan Pendidikan Agama Islam


Semester V B
 
 
YAYASAN PENDIDIKAN DAN AMAL SOSIAL AN-NADWAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AN-NADWAH
KUALA TUNGKAL
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya,yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah mata kuliah Filsafat Ilmu.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai Landasan Filsafat Ilmu. Kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa didalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang terlibat
dalam makalah ini yang tidak bisa Kami sebutkan satu persatu.
Oleh sebab itu, kami berharap kritik, saran dan usulan demi perbaikan
makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada
sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Kuala Tungkal, 18 Oktober 2021

Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

A. Latar Belakang...............................................................................................1

B. Rumusan Masalah........................................................................................2

C. Tujuan.............................................................................................................2

D. Manfaat..........................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................4

A. Landasan Ontologis Keilmuan....................................................................4

B. Landasan Epiatimologis Keilmuan...........................................................11

C. Landasan Aksiologi Filsafat.......................................................................19

BAB III PENUTUP..............................................................................................24

A. Kesimpulan..................................................................................................24

B. Saran.............................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat berasal dari bahasa Yunani kuno “philosophia”, dari akar kata
philo berarti cinta, dan sophia yang berarti kebijaksanaan atau hikmah. Jadi
filsafat secara etimologi berarti Love of Wisdom (Cinta kepada kebijaksanaan
atau kearifan). Bagi Socrates (469-399 SM) filsafat ialah kajian mengenai
alam semesta ini secara teori untuk mengenal diri sendiri. Sedangkan menurut
Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) filsafat adalah kajian
mengenai hal-hal yang bersifat asasi dan abadi untuk menghamonikan
kepercayaan mistik atau agama dengan menggunakan akal pikiran.
Para filosof muslim juga memberi makna kepada filsafat. Menurut Al-
Kindi (790-873 M) filsafat merupakan ilmu yang mulia dan terbaik, yang tidak
wajar ditinggalkan oleh setiap orang yang berpikir, karena ilmu ini membahas
hal-hal yang berguna, dan juga membahas cara-cara menjauhi hal-hal yang
merugikan. Al-Farabi, (870-950), menegaskan bahwa filsafat adalah ilmu
mengenai yang ada, yang tidak bertentangan dengan agama, bahkan sama-
sama bertujuan mencari kebenaran. Al-Ghazali (1059-1111) pada mulanya
adalah juga ahli filsafat, tetapi kemudian ia lebih memusatkan perhatian
kepada tasawuf. Al Ghazali dalam bukunya “Tahafut al- Falasifa” mengecam
para filosof yang dipandang pemikiran mereka telah melampau batas ajaran
Islam dengan menyebut mereka kafir zindiq. Ibnu Rusyd (1126-1198) yang
memandang filsafat sebagai jalan menuju Yang Maha Pencipta, menentang
pendirian Al-Ghazali yang menyerang filsafat, dan berpendapat bahwa filsafat
tidak bertentangan dengan agama, malah menjelaskan dan memantapkan hal-
hal berkenaan dengan agama. Hal itu ditulis dalam bukunya “Thahafut al-
Thahafut”.
Secara umum ilmu filsafat terdiri atas tiga bagian, yaitu: ontologi,
epistemologi, dan aksiologi.

Ontologi mempersoalkan tentang yang ada atau tentang realitas


(reality), dalam alam semesta ini, yang meliputi: alam (kosmos), manusia

1
(antropos), dan Tuhan (Theos), sehingga dikenal adanya filsafat alam
(kosmologi), filsafat manusia (antropologi filsafat), dan filsafat ketuhanan
(theologi). Ontotologi disebut juga filsafat Metafisika karena yang
dipersoalkan itu termasuk juga realitas non-fisik atau di luar dunia fisik
(beyond the physic), seperti hal-hal yang gaib.
Epistemologi atau teori pengetahuan, yang mempersoalkan tentang
kebenaran (truth) meliputi: dasar atau sumber pengetahuan, luas
pengetahuan, metode pengetahuan, dan kebenaran pengetahuan. Ada juga
memasukkan logika ke dalam ruang lingkup epistemology karena logika
merupakan bagian filsafat yang membahas tentang sarana berpikir logis.
Aksiologi yang mempersoalkan tentang nilai-nilai kehidupan. Axiologi
disebut juga filsafat nilai, yang meliputi meliputi: etika, estetika, dan religi.
Etika adalah bagian filsafat aksiologi yang menilai perbuatan seseorang dari
segi baik atau buruk. Estetika adalah bagian filsafat yang menilai sesuatu dari
segi indah atau tidak indah. Sedangkan religi merupakan sumber nilai yang
berasal dari agama atau kepercayaan tertentu.
Dari latar belakang di atas penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih
dalam literatur-literatur yang telah ada berkenaan tentang landasan filsafat
ilmu agar mendapatkan pemahaman lebih jauh tentang landasan ontologi,
epistemologi dan aksiologi serta menuliskan hasilnya dalam makalah yang
berjudul “Landasan Filsafat Ilmu”.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan landasan ontologi filsafat ilmu?
2. Apa yang dimaksud dengan landasan epistemologi filsafat ilmu?
3. Apa yang dimaksud dengan landasan aksiologi filsafat ilmu?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui landasan ontologi dari filsafat ilmu.
2. Untuk mengetahui landasan epistemologi dari filsafat ilmu.
3. Untuk mengetahui landasan aksiologi dari filsafat ilmu.
D. Manfaat
Makalah ini dapat bermanfaat untuk memberikan informasi dan
pemahaman mengenai landasan filsafat ilmu mulai dari landasan ontologi,
epitemologi serta aksiologi. Dengan demikian, makalah ini dapat dijadikan
sebagai bahan acuan belajar bagi mahasiswa secara khusus dan bagi
masayarakat secara umum.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Landasan Ontologis Keilmuan


1. Pengertian dan Karakteristik Ontologi
Berdasarkan landasan ontologis, filsafat mempermasalahkan
tentang ciri khas dari ilmu pengetahuan yang memuat segala jenis ilmu
pengetahuan jika dibandingkan dengan berbagai macam pengetahuan dan
kegiatan yang dilakukan oleh manusia. Secara ontologis pula perlu
dipersoalkan mengenai lingkup wilayah kerja ilmu pengetahuan sebagai
objek dan sasarannya, serta perlu diketahui mengenai target dari kegiatan
ilmu pengetahuan yang ingin diusahakan serta dicapainya.1
Ontologi adalah salah satu filsafat yang paling kuno dari Yunani.
Ontologi membahas mengenai keberadaan sesuatu secara konkret (nyata).
Tokoh Yunani yang memiliki pandangan bersifat ontologi adalah Thales,
Plato dan Aristoteles.
Menurut bahasa atau secara etimologis, ontologi berasal dari kata
on/ontos yang merupakan bahasa Yunani yang berarti ada dan Logos yang
juga merupakan bahasa Yunani yang berarti ilmu. Jadi, dari kata tersebut
dapat diartikan bahwa ontologi adalah ilmu yang membahas mengenai
yang ada. Sedangkan berdasarkan terminology atau istilah, ontologi
merupakan ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang
merupakan realitas tertinggi, baik secara jasmani yang bersifat konkret
atau rohani yang bersifat abstrak.2
Dalam Ensiklopedia Britanica, ontologi adalah teori atau studi
mengenai yang ada (being/wujud) seperti karakteristik dasar dari seluruh
kenyataan.

1
Sanusi Hamid dan Ismail Suardi, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Bintang
Pustaka Madani, 2021), hlm. 35.
2
Nunu Burhanuddin, Filsafat Ilmu, (Jakarta Timur: Kencana, 2018), hlm. 50.
Pengertian umum mengenai ontologi adalah sebagai bagian dari
filasafat yang mencoba mencari hakikat dari sesuatu. Ontology
memberikan pengertian untuk menjelaskan secara eksplisit (terus terang
atau tidak terbelit-belit) dari konsep terhadap representasi pengetahuan
pada sebuah knowledge base (pengetahuan dasar). Sebuah ontology juga
dapat diartikan dengan struktur hirarki (tingkatan) dari istilah untuk
menjelaskan domain yang dapat digunakan sebagai landasan untuk
pengetahuan dasar. Dengan demikian, ontologi adalah suatu teori
mengenai makna dari sebuah objek, property dari sebuah objek, serta
relasi atau hubungan objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu
domain pengetahuan. Jadi singkatnya adalah ontologi merupakan studi
mengenai sesuatu yang ada.3
Jadi, dapat disimpulkan bahwa ontologi merupakan teori atau studi
yang berkenaan tentang sesuatu yang ada baik secara jasmani maupun
rohani.
Beberapa istilah-istilah penting dalam ontologi adalah: yang ada
(being), kenyataan (reality), eksistensi (existence), esensi (essence),
subtansi (substance), perubahan (change), tunggal (one), dan jamak
(many).
Menurut Loren Bagus, ontologi memiliki karakteristik sebagai
berikut:
a. Ontologi adalah kajian tentang arti “ada” dan “berada”, tentang ciri-
ciri esensial dari yang ada dalam dirinya sendirinya, berdasarkan
bentuknya yang paling abstark.
b. Ontologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tata dan struktur
realitas dalam arti seluas mungkin, dengan menggunakan kategori-
kategori seperti: ada atau menjadi, aktualitas atau potensialitas, nyata
atau penampakan, esensi atau eksistensi, kesempurnaan, ruang dan
waktu, perubahan dan sebagainya.

3
Ibid, hlm. 51.
c. Ontologi adalah cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat
terakhir yang ada, yaitu yang satu, yang absolut, bentuk abadi,
sempurna dan keberadaan segala sesuatu yang mutlak bergantung
padanya.
d. Cabang filsafat yang mempelajari tentang status realitas apakah nyata
atau semu, apakah pikiran itu nyata dan sebagainya.4
2. Aliran-aliran dalam Ontologi
a. Monoisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh
kenyataan itu adalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu
hakikat saja sebagai sumber asal, baik yang asal berupa materi
ataupun berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing
bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah satunya merupakan sumber
yang pokok dan dominan menentukan perkembangan yang lainnya.
b. Paralelisme/Dualisme
Paham ini merupakan kebalikan dari paham monoisme. Kalau paham
monoisme menyatakan bahwa hakikat yang ada itu adalah satu, maka
paham paralelisme/dualisme menyatakan bahwa hakikat yang ada itu
ada dua. Aliran ini ber- pendapat bahwa benda terdiri dari dua macam
hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat
rohani, ben- da dan roh, dan roh bukan muncul dari benda, sama-sama
hakikat. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri
sendiri, sama-sama asal dan abadi. Hubungan kedua- nya menciptakan
kehidupan dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang adanya
kerja sama kedua hakikat ini ialah dalam diri manusia. Tokoh dari
paham ini adalah Rene Descartes (1596-1650 M) yang dianggap
sebagai Bapak Filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu
dengan istilah dunia kesadaran (ruhani) dan dunia ruang (kebendaan).
Selain Descartes, ada juga Benedictus De Spinoza (1632-1677 M),

4
Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Ar-Ruuz Media, 2005),
hlm. 111.
dan Gitifried Wilhelm Von Leibniz (1646-1716 M) yang berpendapat
demikian.
c. Pluralisme
Paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan
kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa
segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam
Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang
menyatakan bahwa kenyata- an alam ini tersusun dari banyak unsur,
lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani
Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa
sub- stansi yang ada itu terbentuk dan terdiri atas empat unsur,yaitu
tanah, air, api dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William
James (1842-1910 M), kelahiran New York dan terkenal sebagai
seorang filsuf Amerika. James mengatakan bahwa, tiada kebenaran
yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang sendiri-
sendiri, lepas dari akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita
berjalan terus, dan segala yang kita anggap benar dalam
perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena dalam
praktiknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh
pengalaman berikutnya. Oleh karena itu, tiada kebenaran yang mutlak,
yang ada adalah kebenaran-kebenaran, yaitu apa yang benar dalam
penga- laman-pengalaman yang khusus, yang setiap kali dapat di-
ubah oleh pengalaman berikutnya. Kemudian pendekatan kualitatif
tentang ontologi meliputi beberapa aliran berikut.
d. Naturalisme
Paham ini menolak "yang ada" yang supranatural, me- nolak yang
mental, dan menolak universal platonik. Sejak tahun 1960
sebagaimana disebutkan oleh Noeng Muhadjir, banyak karya ontologi
yang dipengaruhi oleh filsuf naturalis, Williard Van Orman Quine.
Lalu, William R. Dennis seorang pengenut paham natu- ralisme
dewasa ini mengatakan, naturalisme modern-ketika berpendirian
bahwa apa yang dinamakan kenyataan pasti bersifat kealaman-
berpendapat bahwa kategori pokok untuk memberikan keterangan
mengenai kenyataan ialah kejadian. Kejadian dalam ruang dan waktu
merupakan satuan-satuan penyusun kenyataan yang ada, dan
senantiasa dapat dialami oleh manusia biasa. Hanya satuan-satuan
semacam itulah yang merupakan satu-satunya penyusun dasar bagi
segenap hal yang ada. Yang nyata pasti bereksistensi. Ada dua macam
kesimpulan yang segera dapat ditarik dari pendirian di atas, yaitu,
pertama, sesuatu yang terdapat di luar ruang dan waktu tidakmungkin
merupakan kenyataan. Kedua, apa pun yang diang- gap tidak mungkin
untuk ditangani dengan menggunakan metode-metode yang digunakan
dalam ilmu-ilmu alam, tidak mungkin merupakan kenyataan. Ini
bukan hanya berarti bah- wa yang bereksistensi bukan merupakan
himpunan bawahan dari kenyataan melainkan bahwa kedua himpunan
tersebut persis sama artinya.5
e. Materialisme
Menurut aliran ini yang terdalam adalah materi. Seorang naturalisme
mendasarkan ajarannya pada pengertian "alam", berusaha melampaui
pengertian “alam" dan berpijak pada macam substansi terdalam yang
dinamakan "materi". Sebelum berkembangnya fisika modern dengan
hasil penye- lidikannya yang menunjukkan bahwa substansi reniks
yang keras, bulat serta tidak tertembus yaitu atom, ternyata masih
dapat dipecahkan lebih lanjut, maka substansi semacam itulah yang
dipandang sebagai materi. Kaum materalisme pada masa lampau
memandang alam semesta tersusun dari zat-zat renik yang terdalam
tersebut dan memandang alam semesta dapat diterangkan berdasarkan
hukum-hukum dinamika. Berangkat dari pemahaman itu kaum
materielis dewasa ini mengenal rumus yang paling mengejutkan di

5
Louis o. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta Tiara Wacana, 2004), hlm. 208.
dalam fisika yaitu E=MC2, yang menggambarkan bahwa tenaga E
kedudukannya dapat saling dipertukarkan dengan massa M.6
f. Idealisme
Aliran Idealisme atau disebut juga aliran spiritualisme sebagai lawan
dari aliran materielisme adalah satu aliran yang berpandangan bahwa
hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari roh
(sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak terbentuk
dan menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis
daripada penjelmaan rohani. Alasan aliran ini menyatakan bahwa
hakikat benda adalah rohani, spirit atau sebangsanya, yaitu: 1) Nilai
roh lebih tinggi daripada badan, lebih tinggi nilainya dari materi bagi
kehidupan manusia. Roh dianggap seba- gai hakikat yang sebenarnya,
sedangkan materi hanyalah badannya, bayangan atau penjelmaan. 2)
Manusia lebih dapat memahami dirinya daripada dunia luar dirinya. 3)
Materi adalah kumpulan energi yang menempati ruang. Benda tidak
ada, yang ada energi itu saja. Pandangan ini dipelopori oleh Plato
(428-348 SM) dengan teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di
alam mesti ada idenya, yaitu konsep universal dari tiap sesuatu.
Selainnya, ada Aristoteles (348-322 SM) yang memberikan sifat
kerohanian dengan ajarannya yang menggambarkan alam ide itu
sebagai sesuatu tenaga yang berada dalam benda-benda itu sendiri dan
menjalankan pengaruhnya dari dalam benda itu. Pada Filsafat Modern,
pandangan ini dapat dilihat pada George Berkeley (1685-1753 M)
yang menyatakan objek-objek fisis adalah ide- ide. Kemudian
Immanuel Kant (1724-1804 M), Fichte (1762- 1814 M), Hegel (1770-
1831 M), dan Schelling (1775-1854 M). Secara umum dapat dikatakan
ada dua macam kaum idea- lis; kaum spiritualis dan kaum dualis. Para
penganut paham spiritualisme berpendirian bahwa segenap tatanan
alam da- pat dikembalikan kepada sekumpulan roh yang beraneka
ragam dan berbeda-beda derajatnya. Mereka memandang alam sebagai

6
Ibid, hlm. 212.
keseluruhan yang bertingkat-tingkat dan diri kita masing-masing
sebagai pusat-pusat rohani yang berkesinambungan dengan tingkat-
tingkat yang lain. Sebab, kita sendiri merupakan pusat-pusat dan
berkesinambungan dengan ting- kat-tingkat yang lain dan dapat
disimpulkan bahwa tingkat- tingkat yang lain pun tentu merupakan
pusat rohani pula. Apa yang kita namakan dunia materiel juga
merupakan dunia dengan pusat-pusat rohani yang memengaruhi alat-
alat indriawi kita.7
g. Agnostisisme
Agnostisisme adalah suatu pandangan filosofis bahwa suatu nilai
kebenaran dari suatu klaim tertentu yang umumnya berkaitan dengan
teologi, metafisika, keberadaan Tuhan, dewa, dan lainnya yang tidak
dapat diketahui dengan akal pikiran manusia yang terbatas. Seorang
agnostik mengatakan bahwa tidak mungkin untuk dapat mengetahui
secara definitif pengetahuan tentang "Yang-Mutlak"; atau, dapat
dikatakan juga bahwa walaupun perasaan secara subjektif dimungkin-
kan, namun secara objektif pada dasarnya mereka tidak memi- liki
informasi yang dapat diverifikasi. Dalam kedua hal ini, maka
agnostisisme mengandung unsur skeptisisme. Agnostisisme berasal
dari perkataan Yu- nani gnostein (tahu) dan a (tidak). Arti harfiahnya
"seseorang yang tidak mengetahui." Agnostisisme tidak sinonim
dengan ateisme.90 Paham agnostisime mengingkari kesanggupan
manusia untuk mengetahui hakikat benda, baik hakikat materi maupun
hakikat rohani. Aliran ini dengan tegas menyangkal adanya suatu
kenyataan mutlak yang bersifat trancendent. Tokohnya antara lain
adalah Soren Kierkegaar, Heidegger, Sarter, dan Jaspers.
h. Hylomorphisme
Paham Hylomorphisme diketengahkan pertama kali oleh Aristoteles
dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli

7
Ibid, hlm. 216.
selanjutnya dipahami sebagai upaya mencari alter- natif bukan
dualisme, tetapi menampilkan aspek materielisme dari mental.

i. Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa Latin yaitu nihil atau no- thing atau
tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif
yang positif. Doktrin tentang nihilisme telah ada sejak zaman Yunani
Kuno oleh Gorgias (483-360 SM) yang memberikan tiga proposisi
tentang realitas. Pertama, tidak ada sesuatu pun yang eksis. Realitas
itu sebenarnya tidak ada. Kedua, Bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat
diketahui, sebab pengindraan itu tidak dapat dipercaya. Pengindraan
adalah suatu ilusi. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia
tidak akan dapat kita beritahu kepada orang lain. Tokoh sentralnya
adalah Friedrich Nietzche (1844-1900 M) dengan teori
monumentalnya dalam dunia Kristiani "Tuhan sudah mati". Dari
pembahasan di atas dapat disimpulkan ontologi adalah bagian dari
bidang filsafat yang mencoba mencari hakikat dari sesuatu. Sebuah
ontologi memberikan pengertian untuk penjelasan secara eksplisit dari
konsep terhadap re- presentasi pengetahuan pada sebuah knowledge
base. Sebuah ontologi juga dapat diartikan sebuah struktur hierarki
dari istilah untuk menjelaskan sebuah domain yang dapat digunakan
sebagai landasan untuk sebuah knowledge base". Dengan demikian,
ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek,
property dari suatu objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin
terjadi pada suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan
filsafat, ontologi ada- lah studi tentang sesuatu yang ada. Di samping
itu, terdapat pula aspek-aspek permasalahan ontologi yang sangat
nyata, yaitu kejadian. Ini sebagaimana dinyatakan William R. Den-
nis, seorang penganut paham naturalisme kontemporer yang
menyebutkan bahwa kategori pokok untuk memberikan kete- rangan
mengenai kenyataan ialah kejadian.
E. Landasan Epiatimologis Keilmuan
Epistemologi merupakan salah satu cabang Filsafat yang mengkaji
tentang pengetahuan pada umumnya, baik terkait dengan sumber
pengetahuan, otoritas, validitas, kebenaran, dan terutama cara-cara
memperoleh pengetahuan.
Dimensi epistemologis ilmu menjelaskan tentang prosedur atau tata
cara ilmu menghasilkan pengetahuan-pengetahuan ilmiah. Dimensi ini
sekaligus menjadi landasan penyelidikan ilmiah, yang harus dimiliki oleh
setiap ilmu, sebagai salah satu persyaratan utama.
Pembahasan tentang dimensi epistemologis tersebut meliputi dua
aspek penting yang saling berkaitan, yaitu: Kebenaran ilmiah dan metode
ilmiah, sebagaimana yang akan diuraikan sebagai berikut.
1. Cara Mendapatkan Pengetahuan
Sebagaimana telah dibicarakan pada Bab I bahwa pengetahuan
berkembang antara lain karena manusia memiliki rasa ingin tahu
(curiousity). Hasrat ingin tahu manusia terpuaskan bila dirinya
memperoleh pengetahuan yang benar (kebenaran) mengenai apa yang
dipertanyakan. Untuk itu manusia menempuh berbagai cara agar
keinginan tersebut terwujud.
Berbagai tindakan untuk memperoleh pengetahuan secara garis
besar dibedakan menjadi dua, yaitu: secara non-ilmiah, yang mencakup:
a) akal sehat; b) prasangka; c) intuisi; d) penemuan kebetulan dan coba-
coba; dan e) pendapat otoritas dan pikiran kritis, serta tindakan secara
ilmiah (Sumadi Suryabrata, 2000: 3). Usaha yang dilakukan secara non-
ilmiah menghasilkan pengetahuan (knowledge), bukan ilmu (science).
Sedangkan melalui usaha yang bersifat ilmiah menghasilkan pengetahuan
ilmiah atau ilmu.
W. Huitt (1998), dalam artikelnya yang berjudul Measurement,
Evaluation, and Research: Ways of Knowing, menyatakan lima macam
cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar yaitu: pengalaman,
intuisi, agama, filsafat, dan ilmu.
Dengan cara-cara tersebut akan diperoleh kebenaran sesuai
bidangnya masing-masing. Dengan pengalaman akan diperoleh kebenaran
inderawi, dengan intuisi akan diperoleh kebenaran intuitif, dengan agama
akan diperoleh kebenaran religius, dengan filsafat akan diperoleh
kebenaran filosofis, dan dengan ilmu akan diperoleh kebenaran ilmiah.
2. Pengetahuan dan Kebenaran
Sebagaimana telah dipaparkan di atas bahwa berdasarkan cara
perolehannya, kebenaran dibedakan menjadi lima jenis, yaitu: kebenaran
pengalaman (inderawi), kebenaran intuitif, kebenaran religius, kebenaran
filosofis, dan kebenaran ilmiah. Meskipun kebenaran dapat dibedakan
antara yang satu dengan lainnya, namun masih menyisakan persoalan
esensial yang harus dijawab. Apa itu kebenaran? Atau Bilamana suatu
pernyataan itu dinyatakan benar?
Jawaban atas pertanyaan tersebut terdapat dalam beberapa teori
yang berbicara tentang kebenaran, yaitu: teori koherensi, teori
korespondensi, dan teori pragmatis, sebagaimana yang telah dijelaskan
pada pembahasan di atas. Ketiga teori ini menjelaskan kebenaran yang
terkait dengan pernyataan (proposisi): kesesuaian pernyataan dengan fakta
(korespondensi); kesesuaian antar pernyataan yang benar
(koherensi); dan kesesuaian pernyataan dengan kegunaan praktis
(pragmatis). Makna kebenaran dalam hal ini ditunjukkan oleh pernyataan-
pernyataan, dan pernyataan-pernyataan tersebut mengandung
pengetahuan-pengetahuan.
Oleh karena itu terdapat hubungan timbal-balik dan tidak
terpisahkan antara pengetahuan dan kebenaran. Berbicara masalah
pengetahuan akan memunculkan persoalan kebenaran sebagai
konsekuensinya. Demikian juga pembahasan tentang kebenaran akan
berimplikasi pada masalah pengetahuan yang melandasinya.
Pengetahuan mengandung keterangan tentang suatu objek (objek
pengetahuan) secara tepat atau bersifat akurat (benar), sebagaimana
adanya, sehingga pengetahuan menghasilkan suatu kebenaran. Kebenaran
merupakan suatu nilai atau kualitas yang terkandung dalam suatu
pengetahuan, bahwa pengetahuan itu benar atau memiliki kebenaran
karena alasan tertentu.
Ilmu dikembangkan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar
atau kebenaran ilmiah, dan pengetahuan yang benar tersebut harus
ditempuh melalui suatu tata cara atau prosedur tertentu. Dalam ilmu, tata
cara atau prosedur tersebut dikenal dengan istilah “metode ilmiah”,
sebagaimana yang akan jelaskan dalam pembahasan berikut ini.
3. Metode Ilmiah
Ilmu, yang dalam bahasa Inggris dinyatakan dengan science,
bukanlah sekedar kumpulan fakta, meskipun di dalamnya juga terdapat
berbagai fakta. Selain fakta, di dalam ilmu juga terdapat teori, hukum,
prinsip, dan seterusnya, yang diperoleh melalui prosedur tertentu yaitu
metode ilmiah. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat
metode ilmiah. Sedangkan pengetahuan dapat diperoleh melalui beberapa
cara, yaitu: pengalaman, intuisi, pendapat otoritas, penemuan secara
kebetulan dan coba-coba (trial and error) maupun penalaran.
Ada paradigma baru yang memandang ilmu bukan hanya sebagai
produk. Setelah mengkaji berbagai pendapat tentang ilmu, Jujun S.
Suriasumantri (1996: 119) menyatakan bahwa ilmu dapat dipandang
sebagai proses, prosedur, dan produk. Sebagai proses, ilmu terwujud
dalam aktivitas penelitian. Sebagai prosedur, ilmu tidak lain adalah
metode ilmiah. Dan sebagai produk, ilmu merupakan kumpulan
pengetahuan yang tersusun secara sistematis.
Ketiga dimensi ilmu tersebut merupakan kesatuan logis yang harus
ada secara berurutan. Ilmu harus diusahakan dengan aktivitas tertentu,
yaitu penelitian ilmiah. Aktivitas tersebut harus dilaksanakan dengan
metode ilmiah untuk menghasilkan pengetahuan-pengetahuan ilmiah.
a. Pengertian Metode Ilmiah
Menurut Soerjono Soemargono (1993: 17), istilah metode
berasal dari Bahasa Latin: methodos, yang secara umum berarti “cara”
atau “jalan” untuk memperoleh pengetahuan. Sedangkan metode
ilmiah adalah cara atau jalan untuk memperoleh pengetahuan ilmiah.
Dengan pengertian tersebut dapatlah dipahami bahwa ”cara”
(atau jalan) yang dimaksudkan sebagai metode ilmiah berbeda dengan
cara-cara lainnya. Pengetahuan ilmiah dapat diperoleh hanya dengan
metode (tata cara) ilmiah, sedangkan pengetahuan-pengetahuan
lainnya diperoleh dengan cara-cara non-ilmiah.
Secara lebih tegas The Liang Gie (2010: 110) menyatakan
bahwa metode ilmiah adalah ”prosedur” yang mencakup berbagai
tindakan pikiran, pola kerja, tata langkah, dan cara teknis untuk
memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan
yang telah ada (Beerling, et. all, 1998: 23).
Pengertian yang kedua ini lebih jelas menggambarkan metode
ilmiah, karena mencakup fungsi, dan peran serta kegunaannya bagi
ilmu dalam menghasilkan pengetahuan-pengetahuan ilmiah. Cakupan
metode ilmiah tersebut menggambarkan proses yang harus dilalui
dalam kegiatan-kegiatan penelitian ilmiah, dan proses ini akan
menentukan produk yang akan dihasilkannya, yaitu kualitas
pengetahuan ilmiah.
Di samping itu, dalam beberapa literatur metode sering kali
disamakan atau dicampuradukkan dengan pendekatan maupun teknik.
Metode (method), pendekatan (approach), dan teknik (technique)
merupakan tiga hal yang berbeda walaupun bertalian satu sama lain.
Dengan mengutip pendapat beberapa pakar, The Liang Gie (2010)
menjelaskan perbedaan ketiga hal tersebut sebagai berikut.
Pendekatan pada dasarnya merupakan ukuran-ukuran untuk
memilih masalah-masalah dan data yang bertalian, sedangkan metode
adalah prosedur untuk mendapatkan dan mempergunakan data.
Pendekatan dalam menelaah suatu masalah dapat dilakukan
berdasarkan atau dengan memakai sudut tinjauan dari bidang ilmuilmu
tertentu, misalnya Psikologi (pendekatan psikologis), Sosiologi
(pendekatan sosiologis), Ilmu Politik (pendekatan politis), dan
seterusnya. Dengan mempergunakan pendekatan psikologis, masalah
tersebut dianalisis dan dipecahkan berdasarkan konsep-konsep
Psikologi. Sedangkan jika masalah tersebut ditinjau berdasarkan
pendekatan sosiologis, maka yang dipakai untuk menganalisis dan
memecahkan masalah tersebut adalah konsep-konsep Sosiologi.
Pengertian metode juga tidak sama dengan teknik. Metode
ilmiah adalah berbagai prosedur yang mewujudkan pola-pola dan tata
langkah dalam pelaksanaan penelitian ilmiah. Pola dan tata langkah
prosedural tersebut dilaksanakan dengan cara-cara operasional yang
lebih rinci, yaitu teknik. Jadi, teknik adalah suatu cara operasional
yang sering kali bercorak rutin, mekanis, atau spesialistis untuk
memperoleh dan menangani data dalam penelitian.
b. Unsur-unsur Metode Ilmiah
Metode ilmiah merupakan suatu prosedur yang memuat
berbagai unsur atau komponen yang saling berhubungan. Unsurunsur
utama metode ilmiah adalah: pola prosedural, tata langkah, teknik, dan
instrumen (The Liang Gie, 2010: 116-117).
Pola prosedural antara lain terdiri dari: pengamatan,
percobaan, pengukuran, survei, deduksi, induksi, dan analisis. Tata
langkah mencakup: penentuan masalah, perumusan hipotesis (bila
perlu), pengumpulan data, penurunan kesimpulan, dan pengujian hasil.
Teknik antara lain terdiri dari: wawancara, angket, tes, dan
perhitungan. Aneka instrumen yang dipakai dalam metode ilmiah
antara lain adalah: pedoman wawancara, kuesioner, timbangan,
meteran, komputer (The Liang Gie, 2010: 118).
Unsur-unsur utama yang membentuk metode ilmiah tersebut
(pola prosedural, tata langkah, teknik, dan instrumen) merupakan
komponen yang harus ada dalam setiap kegiatan penelitian ilmiah.
Tetapi berbeda halnya dengan sub-unsur (bagian-bagian dari
unsur)nya, karena penggunaannya tergantung pada pendekatan, model
atau bidang penelitian ilmiah tertentu. Dalam hal penggunaan teknik
misalnya, penelitian kualitatif tidak menggunakan angket, kecuali
wawancara. Tetapi sebaliknya, penelitian kuantitatif menggunakan
angket, bukan wawancara. Demikian halnya dengan penggunaan
instrumen, penelitian sosial menggunakan pedoman wawancara
(daftar pertanyaan), sedangkan penelitian ilmu alam tertentu
menggunakan meteran (sebagai alat ukur).
c. Ragam Metode Ilmiah
Secara garis besar, dalam artikelnya yang berjudul
Educational Research: Quantitative and Qualitative, Johns,
membedakan metode ilmiah menjadi dua macam: metode deduktif dan
metode induktif (http://www.south.edu/coe/bset/johns). Kedua metode
tersebut merupakan komponen utama yang membentuk konstruksi
metode ilmiah.
Pada dasarnya ilmu dihasilkan dan dikembangkan berdasarkan
metode ilmiah, yaitu melalui korelasi antara deduksi dan induksi
dalam proses yang silih berganti dan saling melengkapi. Secara lebih
eksplisit, kedua metode tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Metode Deduktif
Jujun S. Suriasumantri (1996: 6) menyatakan bahwa
metode ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan menyusun
tubuh pengetahuannya berdasarkan: 1) kerangka pemikiran yang
bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan
pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun; 2)
menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka
pemikiran tersebut; dan 3) melakukan verifikasi terhadap hipotesis
tersebut untuk menguji kebenaran pernyataannya secara faktual.
Selanjutnya ia menyatakan bahwa kerangka berpikir ilmiah
yang berintikan proses logico-hypothetico-verifikatif ini terdiri dari
langkah-langkah sebagai berikut:
Perumusan masalah, yang merupakan pertanyaan mengenai
objek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat
diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di dalamnya.
Penyusunan kerangka berpikir dalam penyusunan hipotesis
yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang
mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling terkait dan
membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini
disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang
telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor
empiris yang relevan dengan permasalahan.
Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara
atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan, yang materinya
merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang
dikembangkan.
Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan
faktafakta yang relevan dengan hipotesis, yang diajukan untuk
memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung
hipotesis tersebut atau tidak.
Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah
hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima.
Menurut Johns, metode deduktif terdiri dari tiga langkah
utama, yaitu: first, state the hypothesis (based on theory or
research literature); next, collect data to test hypothesis; finally,
make decision to accept or reject the hypothesis (pertama,
menyatakan hipotesis [berdasarkan teori atau literatur penelitian];
selanjutnya mengumpulkan data untuk menguji hipotesis; dan
akhirnya membuat keputusan untuk menerima atau menolak
hipotesis) Johns (diakses dari
http://www.south.edu/coe/bset/johns).
2) Metode Induktif
Metode induktif merupakan metode ilmiah yang diterapkan
dalam penelitian kualitatif. Metode ini memiliki dua macam
tahapan: tahapan penelitian secara umum dan secara siklikal.
Tahapan penelitian secara umum terdiri dari tiga tahap
utama, yaitu: 1) tahap pra-lapangan; 2) tahap pekerjaan lapangan;
dan 3) tahap analisis data. Masing-masing tahap tersebut terdiri
dari beberapa langkah.
Tahapan penelitian secara siklikal menurut Spradle (dalam
J. Lexy Moleong, 2005: 126), adalah tahap penelitian kualitatif,
khususnya dalam etnografi merupakan proses yang berbentuk
lingkaran, yang terdiri dari langkah-langkah: 1) pengamatan
deskriptif; 2) analisis domain; 3) pengamatan terfokus; 4) analisis
taksonomi; 5) pengamatan terpilih; 6) analisis komponen; dan 7)
analisis tema.
Sedangkan tahapan utama metode induktif menurut Johns,
adalah: first, observe the world; next, search for a pattern
in what is observed; and finally, make a generalization about what
is occurring (pertama, mengamati dunia; selanjutnya mencari pola
dalam apa yang diamati; dan akhirnya membuat generalisasi
tentang apa yang terjadi) Johns (diakses dari
http://www.south.edu/coe/bset/johns).8
F. Landasan Aksiologi Filsafat
Aksiologi secara bahasa bearasal dari kata “axios” berarti bermanfaat
dan “logos” berarti ilmu pengetahuan atau ajaran dalam bahasa Yunani.9
Aksiologi diartikan seabagai teori nilai. Menurut Jujun S Suriasumantri
8
Saifullah Idris dan Fuad Ramly, Dimensi Filsafat Ilmu dalam Diskursus Integrasi Ilmu,
(Yogyakarta: Darussalam Publishing, 2016), hlm 129-136.
9
Agus Salim, Teori dan Paradigma (Penelitian Sosial), (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2006), hlm. 53.
aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan
yang diperoleh.10
Sarwan menyebutkan bahwa aksiologi adalah studi mengenai hakikat
tertinggi, realitas dan arti dari nilai-nilai (kebaikan, keindahan dan kebenaran).
Maka aksiologi merupakan studi tentang hakikat tertinggi nilai-nilai etika dan
estetika.11
Melalui aksiologi, dunia filsafat melakukan apa yang disebut
investigasi secara rasional terhadap saling hubungan antara ilmu pengetahuan
dan eksistensi manusia berdasarkan sudut pandang etis. Aksiologi menelisik,
sejauhmana hubungan antara ilmu pegetahuan dan eksistensi manusia tak
memporak- porandakan tatanan etis. Terutama ketika kehidupan sosial,
ekonomi dan politik sedemikian rupa berada dalam pusaran kompleksitas
sehingga berkembang menjadi obyek dari berbagai kecamuk kepentingan,
maka aksiologi berperan penting sebagai kerangka studi terhadap makna
kebaikan dalam kehidupan manusia. Aksiologi mengusung tugas-tugas
evaluatif terhadap opsi rasional maupun opsi irasional manusia dalam
kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Setiap ilmu pengetahuan akan
menghasilkan teknologi yang masyarakat. Proses terjadinya ilmu pengetahuan
menjadi sebuah teknologi yang benar-benar dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat tentu tidak terlepas dari ilmuwan itu sendiri. Ilmu pengetahuan
merupakan sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan manusia, karena
dengan ilmu kebutuhan dan keperluan manusia bisa terpenuhi secara lebih
cepat, tepat, dan lebih mudah. Maka, hadirnya aksiologi sebagai arena
penghubung teori dan praktik. Adanya teori justru karena didukung olch
adanya ruang dan waktu untuk melakukan praktik. Dan adanya praktik
dimungkinkan oleh tersedianya dasar-dasar teoritik yang berkedudukan
sebagai pemberi landasan pijak implementasi sebuah disiplin ilmu. kemudian

10
Jujun. S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka
Sinar, 2001), hlm. 83.
11
Sarwan, Persoalan-persoalan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 22.
akan diterapkan dalam semua Konteks perjumpaan antara teori dan praktik itu
mengambil titik tolak dari nilai-nilai.12
1. Pengertian Etika
Etika ialah cabang filsafat (bagian dari filsafat axiologi) yang
membahas mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku
manusia dalam hidupnya. Secara etimologi etika berasal dari bahasa
Yunani „ethos‟ yang berarti watak dan kesusilaan. Sedangkan istilah
moral berasal dari bahasa Latin „mores‟ (jamak) yang berarti adat atau
cara hidup. Etika berkenaan dengan nilai baik atau buruk mengenai
perilaku manusia. Etika dapat juga di artikan sebagai sistem nilai dalam
kehidupan manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat, untuk menjadi pegangan dalam mengatur perilakunya.
2. Etika, Moralitas, dan Norma

Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pada pendekatan


kritis dalam melihat nilai moral serta masalahmasalah yang timbul
berkaitan dengannya. Etika dapat juga dikatakan sebagai refleksi kritis dan
rasional mengenai ajaran moral atau moralitas. Antara etika dengan
moralitas mempunyai fungsi yang sama, yaitu memberi arah atau orientasi
mengenai bagaimana kita harus berbuat dalam hidup ini. Keduanya
memberikan pedoman bertingah laku. Bedanya ialah bahwa moralitas
memberi petunjuk konkrit tentang bagaimana kita harus hidup, sedangkan
etika hanya memberikan refleksi kritis terhadap norma itu.
Moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana kita harus hidup
secara baik sebagai manusia. Sistem nilai itu terkandung dalam ajaran
berbentuk nasihat, petuah, pepatah-petitih, peraturan dan semacamnya
yang diwariskan secara turun temurun dalam kebudayaan masyarakat
tertentu. Sedangkan etika merupakan sikap kritis seseorang atau kelompok
masyarakat dalam melaksanakan moralitas atau ajaran moral itu. Karena
itu moralitas bisa saja sama, tetapi sikap etis antara seorang dengan orang

12
Sudibyo, Lies, dkk, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Deepublish, 2012), hlm. 76-78.
lain atau antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain dapat
berbeda.
Ada dua macam etika, yaitu etika deskriptif dan etika normatif.
Etika deskriptif berbicara mengenai fakta apa adanya, yaitu mengenai nilai
atau pola perilaku manusia yang terkait dengan situasi dan realitas konkrit
yang membudaya. Misalnya tentang sikap orang dalam menghadapi hidup
ini, dan tentang kondisi-kondisi yang memungkinkan manusia bertindak
secara etis. Sedangkan etika normatif berusaha menetapkan sikap dan pola
perilaku yang seharusnya (yang ideal) dimiliki oleh manusia. Etika
normatif berbicara mengenai norma-norma yang menuntun tingkah laku
manusia dan mengenai bagaimana seharusnya bertindak sesuai dengan
norma-norma itu.
Dalam hidup kita, norma yang akan dijadikan pedoman bertindak
itu bermacam-macam, namun dapat dibagi atas dua macam, yaitu norma
khusus dan norma umum. Norma khusus adalah aturan yang berlaku
dalam bidang kehidupan yang khusus, misalnya mengenai aturan bermain
dalam olahraga, peraturan dalam bertamu ke rumah sakit, dan sebagainya.
Sedangkan norma umum bersifat umum dan universal, yang dapat dibagi
atas 3 macam, yaitu: norma sopan santun, norma hukum, dan norma moral.
Norma sopan santun adalah norma yang mengakur perilaku yang
bersifat lahiriah, misalnya tatacara bertamu, tata cara makan, dan
sebagainya. Norma sopan santun bersifat lahiriah dan terdapat dalam
pergaulan sehari-hari, yang disebut etiket.
Norma hukum adalah norma yang dituntut dengan tegas oleh
masyarakat karena menyangkut keselamatan dan kesejahteraan
masyarakat. Norma hukum itu lebih tegas dan pasti karena dijamin oleh
adanya sanksi terhadap para pelanggarnya.
Norma moral adalah aturan mengenai sikap dan perilaku seseorang
dari sudut nilai baik atau buruk. Norma moral menjadi tolok ukur yang
dipakai oleh masyarakat untuk menentukan baik baik buruknya perilaku
manusia sebagai manusia.13
4. Ilmu dan Asas Moral
Hubungan antara ilmu dengan moral oleh Jujun S. Suriasumantri
(1996) dikaji secara hati-hati dengan mempertimbangkan tiga dimensi
filosofis ilmu. Pandangan Jujun S. Suriasumantri (1990: 15-16) mengenai
hal tersebut adalah sebagai berikut:
a. Untuk mendapatkan pengertian yang benar mengenai kaitan antara
ilmu dan moral maka pembahasan masalah ini harus didekati dari
segi-segi yang lebih terperinci yaitu: ontologi, epistemologi, dan
aksiologi.
b. Menafsirkan hakikat ilmu dan moral sebaiknya memperhitungkan
faktor sejarah, baik sejarah perkembangan ilmu itu sendiri, maupun
penggunaan ilmu dalam lingkup perjalanan sejarah kemanusiaan.
c. Secara ontologis, dalam pemilihan wujud yang akan dijadikan objek
penelaahannya (objek ontologis/objek formal) ilmu dibimbing oleh
kaidah moral dengan asas tidak mengubah kodrat manusia, tidak
merendahkan martabat manusia, dan tidak mencampuri masalah
kehidupan.
d. Secara epistemologis, upaya ilmiah tercermin dalam metode keilmuan
yang berporoskan proses logiko-hipotetiko-verifikatif dengan kaidah
moral yang berasaskan penemuan kebenaran, yang dilakukan dengan
penuh kejujuran, tanpa kepentingan langsung tertentu dan berdasarkan
kekuatan argumentasi an sich.
e. Secara aksiologis, ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk
kemaslahatan manusia dengan jalan meningkatkan taraf hidupnya dan
dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan
keseimbangan serta kelestarian alam. Upaya ilmiah ini dilakukan
13
Darwis A. Soelaiman, FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN Perspektif Barat dan Islam,
(Banda Aceh: Penerbit Bandar Publishing, 2019), hlm. 96-100.
dengan penggunaan dan pemanfaatan pengetahuan ilmiah secara
komunal dan universal.
Ternyata keterkaitan ilmu dengan sistem nilai khususnya moral
tidak cukup jika dibahas dari tinjauan aksiologi semata. Tinjauan
ontologis dan epistemologi diperlukan juga karena asas moral juga
mewarnai perilaku ilmuwan dalam pemilihan objek telaah ilmu maupun
dalam menemukan kebenaran ilmiah. Objek telaah ilmu menjangkau
wilayah kehidupan manusia secara luas, sehingga ilmu tidak terlepas dari
integrasinya dengan berbagai aspek kehidupan manusia.14

14
Saifullah Idris dan Fuad Ramly, Op. Cit, hlm. 138-139.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai