Anda di halaman 1dari 34

Jurnal Sains,

Akuntansi dan Manajemen


Jurnal Sains, Akuntansi dan Manajemen (Vol. 1, No. 1: Januari, 2019)
ANALISIS PERBEDAAN PENERIMAAN PAJAK SEBELUM DAN
SESUDAH PENERAPAN PROGRAM PENGAMPUNAN PAJAK
(TAX AMNESTY) PADA KPP PRATAMA DENPASAR

DEVI PERMATA SARI


email: dhevisari61@yahoo.com
Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Mahasaraswati Denpasar

Abstrak
Program pengampunan pajak (tax amnesty) merupakan salah satu kebijakan pemerintah
yang dikeluarkan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan penerimaan pajak serta
memperbarui basis data. Dampak yang ditimbulkan dari penerapan program tax amnesty
(pengampunan pajak) bukan hanya dalam jangka pendek atau pada saat program pengampunan
pajak diterapkan tetapi juga dalam jangka panjang yaitu meningkatkan penerimaan pajak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan penerimaan pajak sebelum dan sesudah
penerapan program tax amnesty (pengampunan pajak) pada KPP Pratama Denpasar.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 34 data penerimaan pajak.
Penentuan sampel menggunakan metode sampel total. Alat analisis yang digunakan dalam
peneltian ini adalah uji beda T-test dengan sampel berpasangan (Paired T-test).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan penerimaan pajak
sebelum dan sesudah penerapan program tax amnesty (pengampunan pajak) pada KPP Pratama
Denpasar yang ditunjukkan dengan nilai signifikasi 0,658 lebih besar dari 0,05. Hal ini
dikarenakan program pengampunan pajak yang belum lama selesai diberlakukan sehingga
belum terlihat pengaruhnya terhadap penerimaan pajak setelah program tersebut telah selesai
diberlakukan. Selain itu, terdapat WP yang melakukan penghindaran pajak dengan
mendeklarasikan assetnya dengan nilai yang lebih rendah sehingga belum memberikan dampak
yang signifikan terhadap penerimaan pajak jangka panjang akibat basis data yang ada masih
belum mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Di sisi lain, terdapat WP tidur yaitu istilah yang
digunakan untuk WP yang mendaftar untuk mendapatkan NPWP dan tidak memiliki
penghasilan rutin. Sehingga setelah program pengampunan pajak selesai diberlakukan WP
tersebut tidak dikenai pajak. Kemudian faktor yang juga berpengaruh adalah penghasilan wajib
pajak yang tidak menentu menyebabkan pajak yang harus dibayarkan juga ikut tidak menentu.

Kata kunci: penerimaan pajak sebelum penerapaan program tax amnesty (pengampunan pajak)
dan penerimaan pajak sesudah penerapaan program tax amnesty (pengampunan
pajak).

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kebijakan pengampunan pajak merupakan salah satu kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak. Selain untuk meningkatkan penerimaan
pajak, kebijakan tersebut diharapkan dapat mendorong kepatuhan wajib pajak. Pada tahun 2008,
pemerintah mengeluarkan kebijakan pengampunan pajak berupa sunset policy. Sunset policy
merupakan kebijakan pemerintah yang diterapkan di Indonesia, yaitu berupa pemberian

1
DOI: https://doi.org/10.1234/jasm.v1i1.22 http://journals.segce.com/index.php/JSAM/article/view/22
penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan
pembayaran pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 37A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1993 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Sunset policy yang diterapkan ini dinilai sukses karena berhasil memperoleh tambahan
penerimaan pajak pada tahun 2008 sebesar RP. 7,64 triliun. Di mana telah memberikan
kontribusi sebesar 15,2 % terhadap surplus penerimaan pajak tahun 2008. Tercatat bahwa hanya
dalam 2008 inilah Ditjen Pajak melampaui target penerimaan dalam kurun waktu sepuluh tahun
terakhir. Selain itu, melalui sunset policy diperoleh tambahan wajib pajak baru sejumlah 5,5 juta.
Meskipun dinilai sukses menurut Wiko Saputra Peneliti Kebijakan Ekonomi Perkumpulan
Prakarsa (dalam Okezone.com), sunset policy 2008 dalam jangka pendek dapat menggenjot
penerimaan pajak dan hanya efektif meningkatkan kepatuhan pajak selama satu tahun. Namun,
setelah pemberian kebijakan tersebut tingkat kepatuhan maupun realisasi penerimaan pajak
anjlok kembali. Selain itu, menurut Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro (dalam
Detik.com), perlu dikeluarkan terobosan di mana orang secara sukarela akan mendeklarasikan
assetnya sehingga dapat memperbarui basis data. Maka dari itu, pemerintah mengeluarkan
kebijakan atau terobosan baru yaitu program pengampunan pajak (tax amnesty) sebagai jawaban
atas permasalahan yang ada yang dapat memberikan dampak yaitu memperbarui basis data,
meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan meningkatkan penerimaan pajak bukan hanya dalam
jangka pendek tetapi juga dalam jangka panjang.
Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2016, pengampunan pajak adalah penghapusan pajak
yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di
bidang perpajakan, dengan cara mengungkapkan harta dan membayar uang tebusan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini. Tax amnesty (pengampunan pajak) sendiri diberlakukan sejak
bulan Juli 2016 sampai dengan bulan Maret 2017. Di mana dengan diterapkannya program tax
amnesty (pengampunan pajak) diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan
meningkatkan penerimaan pajak baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.
Menurut Yustiari (2016), tax amnesty merupakan terobosan kebijakan yang memiliki
dimensi yang lebih luas dari hanya sekedar kebijakan ekonomi. Potensi hasil pajak dari tebusan
tax amnesty akan menambah penerimaan APBN sehingga akan membuat APBN lebih
sustainable. Perubahan dalam penerimaan negara ini berdampak secara langsung pada
kemampuan negara untuk menjalankan fungsinya secara baik, melaksanakan program-program
pembangunan, mempercepat distribusi manfaat dari hasil pembangunan dan perbaikan
kesejahteraan masyarakat. Sedangkan menurut Syafrida (2015), penerapan tax amnesty di
Indonesia jika dilihat dari pengalaman berbagai negara yang telah menerapkan, Indonesia masih
memiliki potensi dan peluang untuk meningkatkan dana-dana masuk ke Indonesia yang cukup
banyak disimpan di luar negeri. Agar program pengampunan pajak (tax amnesty) berhasil,
pemerintah bersama DPR harus segera menyelesaikan Rancangan Undang-Undang tersebut serta
mensosialisasikan peraturan kepada masyarakat agar dapat meningkatkan penerimaan pajak dan
meningkatkan kepatuhan wajib pajak (Alberto: 2016).
Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Dewantari, dkk. (2017), bahwa program
pengampunan pajak memiliki dampak positif bagi penerimaan pajak dan kepatuhan wajib pajak.
Implikasi positif dari program pengampunan pajak (tax amnesty) antara lain meningkatkan
penerimaan pajak, melahirkan objek pajak baru, terjaminnya rahasia wajib pajak baru,
penghapusan pajak terutang dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Peningkatan penerimaan
pajak dalam jangka pendek berasal dari uang tebusan yang dibayarkan wajib pajak yang
mengikuti program pengampunan pajak (tax amnesty). Sedangkan menurut Gunawan dan
Sukartha (2016), tax amnesty berpengaruh positif pada penerimaan pajak. PMK

2
DOI: https://doi.org/10.1234/jasm.v1i1.22 http://journals.segce.com/index.php/JSAM/article/view/22
No.91/PMK.03/2015 merupakan tax amnesty yang dilakukan pemerintah pada tahun 2015.
Pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak. Tranformasi
kelembagaan Ditjen Pajak berpangaruh positif terhadap penerimaan pajak.
Peningkatan kepatuhan wajib pajak yang juga mengakibatkan meningkatnya penerimaan
pajak didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Wirawan dan Noviari (2017). Menurut
Wirawan dan Noviari (2017), tax amnesty berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan
wajib pajak. Hal ini menunjukkan bahwa apabila tax amnesty mengalami kenaikan maka angka
kepatuhan wajib pajak akan mengalami kenaikan pula. Hal ini menunjukkan bahwa semakin
tinggi sanksi perpajakan maka tingkat kepatuhan wajib pajak akan cenderung semakin tinggi.
Selain itu, ketika kepatuhan wajib pajak meningkat, maka wajib pajak tersebut akan memenuhi
kewajiban perpajakannya, bukan hanya pada saat program pengampunan pajak (tax amnesty)
diberlakukan tetapi juga setelah program pengampunan pajak (tax amnesty) tersebut telah selesai
diberlakukan yaitu dengan membayar pajak yang menjadi kewajiban wajib pajak tersebut.
Selain memberikan dampak positif terhadap penerimaan pajak dalam jangka pendek,
program pengampunan pajak (tax amnesty) juga memberikan dampak terhadap penerimaan pajak
dalam jangka panjang. Menurut Sari dan Khairani (2017), Konsultan pajak beranggapan bahwa
tax amnesty memiliki prospek yang positif dalam meningkatkan penerimaan pajak di Indonesia
baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Sedangkan menurut Johanes (2016),
program pengampunan pajak tetap memberikan hasil yang relatif bagi kepentingan penerimaan
negara baik untuk jangka pendek, menengah dan panjang. Penerimaan pajak dalam jangka
panjang diperoleh dari wajib pajak yang sudah mengikuti program pengampunan pajak baik
wajib pajak yang sudah terdaftar ataupun yang baru mendaftar menjadi wajib pajak pada saat
program pengampunan pajak (tax amnesty) diberlakukan. Selain itu, terdapat pembaharuan basis
data perpajakan di Indonesia, terutama mengenai jumlah asset dan / penghasilan wajib pajak serta
meningkatnya kepatuhan wajib pajak juga mempengaruhi penerimaan pajak. Hal ini menandakan
bahwa terdapat perbedaan penerimaan pajak sebelum dan sesudah diterapkannya program
pengampunan pajak (tax amnesty).
Berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya. Menurut Adam, dkk. (2017) program
pengampunan pajak (tax amnesty) tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
efektivitas penerimaan pajak KPP di Indonesia. Sedangkan menurut Sari (2017), dampak
program amnesti pajak terhadap penerimaan negara transisi masih belum signifikan. Adapun di
Indonesia, program amnesti pajak baru saja diberlakukan sehingga program amnesti pajak
terhadap peningkatan penerimaan Negara Indonesia belum dapat disimpulkan. Menurut Jamil
(2017), penerapan tax amnesty hingga periode kedua belum berjalan efektif dan perlu dilakukan
perbaikan dalam penerapan tax amnesty periode selanjutnya, baik berupa kebijakan baru atau
yang lainnya. Implementasi tax amnesty dalam jangka pendek sebaiknya ditunda terlebih dahulu
menunggu kesiapan berbagai perangkat dan piranti hukum yang melandasi pelaksanaan
kebijakan ini (Ragimun:2016).
Berdasarkan latar belakang diatas mengenai perbedaan hasil penelitian, penerimaan pajak
dan keterkaitannya dengan pelaksanaan kebijakan pemerintah mengenai pengampunan pajak (tax
amnesty) yang diharapkan dapat memberikan dampak terhadap penerimaan pajak, serta telah
berakhirnya program pengampunan pajak (tax amnesty), maka peneliti tertarik untuk meneliti
dan membahas fenomena setelah pengampunan pajak (tax amnesty) terhadap penerimaan pajak
yang berjudul “Analisis Perbedaan Penerimaan Pajak Sebelum Dan Sesudah Penerapan
Program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) Pada KPP Pratama Denpasar”.

1.2 Rumusan Permasalahan

3
DOI: https://doi.org/10.1234/jasm.v1i1.22 http://journals.segce.com/index.php/JSAM/article/view/22
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan tersebut, maka yang menjadi rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah: Apakah terdapat perbedaan penerimaan pajak sebelum dan sesudah
penerapan program pengampunan pajak (tax amnesty) pada KPP Pratama Denpasar ?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan pokok permasalahan di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui perbedaan penerimaan pajak sebelum dan sesudah penerapan program
pengampunan pajak (tax amnesty) pada KPP Pratama Denpasar.

1.4 Kegunaan Penelitian


1) Bagi Mahasiswa
a. Untuk meningkatkan, memperluas dan menerapkan ilmu yang dimiliki secara teoritis
dengan kenyataan yang diperoleh selama melaksanakan penelitian dilapangan.
2) Bagi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Denpasar
a. Sebagai bahan informasi tentang penerapan tax amnesty (pengampunan pajak) yang
dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Denpasar.
b. Sebagai bahan informasi mengenai perbedaan penerimaan pajak sebelum dan sesudah
penerapan program pengampunan pajak (tax amnesty).
3) Bagi Universitas Mahasaraswati Denpasar
Untuk menambah referensi ilmiah sehingga dapat dipergunakan sebagai acuan dalam
penelitian tugas akhir studi selanjutnya.

BAB II. KAJIAN PUSTAKA


2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Kepatuhan (Compliance Theory)
Teori kepatuhan, teori yang lebih menekankan pada pentingnya proses sosialisasi dalam
mempengaruhi perilaku kepatuhan seseorang individu. Menurut Nowak (2005: 31), kepatuhan
wajib pajak adalah suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban atas perpajakan,
tercermin dalam situasi di mana wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua
ketentuan perundang-undangan perpajakan, mengisi formulir pajak dengan jelas dan lengkap,
menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar dan membayar pajak yang terutang tepat
pada waktunya.
James dan Alley (1999) mengemukakan kepatuhan wajib pajak menyangkut sejauh mana
wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan aturan perpajakan yang berlaku.
Dengan demikian tingkat kepatuhan wajib pajak dapat diukur dengan tax gap yaitu perbedaan
antara apa yang tersurat dalam peraturan perpajakan dengan apa yang dilaksanakan oleh wajib
pajak. Tax gap dapat pula diartikan sebagai perbedaan antara seberapa besar pajak yang dapat
dikumpulkan dengan besar pajak yang seharusnya terkumpul. Frey memperkenalkan adanya
moral pajak (tax morale) disebut juga motivasi intrinsik individu untuk bertindak yang didasari
oleh nilai-nilai yang dipengaruhi norma-norma budaya (Frey 1997 dikutip Hamonangan dan
Mukhlis, 2012). Menurut teori ini, tax morale dapat dipahami sebagai penjelasan prinsip-
prinsip moral atau nilai-nilai yang diyakini seseorang mengapa mau membayar pajak.
Sedangkan menurut Tahar dan Rachman (2014), kepatuhan mengenai perpajakan merupakan
tanggung jawab kepada Tuhan, bagi pemerintah dan rakyat sebagai wajib pajak untuk
memenuhi semua kegiatan kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya.
Kepatuhan wajib pajak merupakan perilaku yang didasarkan pada kesadaran seorang wajib
pajak terhadap kewajiban perpajakannya dengan tetap berlandaskan pada peraturan perundang-
undangan yang telah ditetapkan.

4
DOI: https://doi.org/10.1234/jasm.v1i1.22 http://journals.segce.com/index.php/JSAM/article/view/22
Kesadaran itu sendiri merupakan bagian dari motivasi instrinsik yaitu motivasi yang
datangnya dalam diri individu itu sendiri dan motivasi ekstrinsik yaitu motivasi yang datangnya
dari luar individu seperti dorongan dari aparat pajak untuk meningkatkan kepatuhan perpajakan.
Salah satu cara yang dilakukan pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan program
pengampunan pajak (tax amnesty). Hal tersebut dilakukan agar wajib pajak melakukan
pengungkapan atas harta yang dimiliki, menghitung dan membayar tebusan sesuai dengan
Undang-Undang No. 11 Tahun 2016. Hal ini sesuai dengan teori kepatuhan (compliance
theory).

2.1.2 Teori Atribusi (Attribution Theory)


Atribusi merupakan salah satu proses pembentukan kesan. Atribusi mengacu pada
bagaimana orang menjelaskan penyebab perilaku orang lain atau dirinya sendiri. Atribusi
adalah proses di mana orang menarik kesimpulan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku orang lain (Fikriningrum, 2012). Sedangkan menurut Ishak, dkk. (2005:55),
merupakan suatu proses untuk menginterpretasikan suatu peristiwa, alasan atau sebab perilaku
seseorang.
Menurut Robbins (2008: 177), pada dasarnya teori atribusi menyatakan bahwa bila
individu-individu mengamati perilaku seseorang, mereka mencoba untuk menentukan apakah
itu ditimbulkan secara internal atau eksternal. Perilaku yang disebabkan secara internal adalah
perilaku yang diyakini berada di bawah kendali pribadi individu itu sendiri atau berasal dari
faktor internal seperti kepribadian, kesadaran dan kemampuan, sedangkan perilaku yang
disebabkan secara eksternal adalah perilaku yang dipengaruhi dari luar atau berasal dari faktor
eksternal seperti peralatan atau pengaruh social dari orang lain, artinya individu akan terpaksa
berperilaku karena situasi. Penentuan internal atau eksternal menurut Robbins (1996: 177)
tergantung pada tiga faktor yaitu :
1) Kekhususan (kesendirian atau distinctiveness)
Kekhususan artinya seseorang akan mempersepsikan perilaku individu lain secara berbeda
dalam situasi yang berlainan. Apabila perilaku seseorang dianggap suatu hal yang luar biasa,
maka individu lain yang bertindak sebagai pengamat akan memberikan atribusi eksternal
terhadap perilaku tersebut. Sebaliknya jika hal itu dianggap hal yang biasa, maka akan
dinilai sebagai atribusi internal.
2) Konsensus
Konsensus artinya jika semua orang mempunyai kesamaan pandangan dalam merespon
perilaku seseorang dalam situasi yang sama. Apabila konsensusnya tinggi, maka termasuk
atribusi internal. Sebaliknya jika konsensusnya rendah, maka termasuk atribusi eksternal.
3) Konsistensi
Faktor terakhir adalah konsistensi, yaitu jika seorang menilai perilaku-perilaku orang lain
dengan respon sama dari waktu ke waktu. Semakin konsisten perilaku itu, orang akan
menghubungkan hal tersebut dengan sebab-sebab internal.
Teori atribusi relevan untuk menjelaskan kemauan wajib pajak untuk mengikuti program
pengampunan pajak dengan mendeklarasikan hartanya dan membayar tebusan yang dikaitkan
dengan persepsi wajib pajak dalam membuat penilaian terhadap pajak itu sendiri. Dimana
kondisi internal maupun eksternal dari orang tersebut mempengaruhi persepsi seseorang untuk
membuat penilaian mengenai sesuatu.

2.1.3 Pajak
Menurut Yuesti (2017: 2), pajak adalah iuran rakyat kepada negara berdasarkan undang-
undang, sehingga dapat dipaksakan, dengan tidak mendapat balas jasa secara langsung.

5
DOI: https://doi.org/10.1234/jasm.v1i1.22 http://journals.segce.com/index.php/JSAM/article/view/22
Sedangkan menurut Brotodiharjo (1991:2), pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat
dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayar menurut peraturan-peraturan, dengan
tidak mendapatkan prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah
untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara yang
menyelenggarakan pemerintahan. Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2007, pajak adalah kontribusi
wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang dianggap sesuai undang-
undang, dengan hak yang sama akan kemakmuran rakyat. Berdasarkan pengertian pajak diatas,
terdapat beberapa unsur pajak yaitu:
a) Subjek pajak
Orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan termasuk pemungutan pajak
atau pemotong pajak tertentu. Misalnya pegawai, pengusaha dan perusahaan.
b) Objek Pajak
Objek pajak adalah sesuatu yang dikenakan pajak. Misalnya penghasilan seseorang yang
melebihi jumlah tertentu, tanah, bangunan, laba perusahaan, kekayaan dan mobil.
c) Tarif pajak
Tarif pajak adalah ketentuan besar kecilnya pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak
terhadap objek pajak yang menjadi tanggungannya.
Menurut Yuesti (2017: 10), pajak yang merupakan pendapatan utama negara yang
memegang peranan yang penting, di mana pajak memiliki empat fungsi utama yaitu sebagai
berikut:
1) Fungsi Penerimaan (Fungsi Budgeter)
Pajak merupakan sumber pemasukkan keuangan negara yang menghimpun dana ke kas
negara untuk membiayai pengeluaran negara atau pembangunan nasional. Jadi, fungsi
pajak adalah sebagai sumber pendapatan negara, yang bertujuan agar posisi anggaran
pendapatan dan pengeluaran mengalami keseimbangan (balanace budget).
2) Fungsi Mengatur (Fungsi Regulasi)
Pajak digunakan sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam
lapangan ekonomi dan sosial.
3) Fungsi Pemerataan (Fungsi Distribusi)
Pajak mempunyai fungsi pemerataan artinya dapat digunakan untuk menyeimbangkan dan
menyesuaikan antara pembagian pendapatan dengan kesejahteraan masyarakat.
4) Fungsi Stabilitas
Pajak dapat dikatakan untuk menstabilkan keadaan ekonomi, misalnya dengan menetapkan
pajak yang tinggi, pemerintah dapat mengatasi inflasi, karena jumlah uang yang beredar
dapat dikurangi.

2.1.4 Teori-Teori yang Mendukung Pemungutan Pajak


Menurut Yuesti (2017: 8), teori-teori yang mendukung pemungutan pajak antara lain adalah :
1) Teori Asuransi
Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda dan hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu
rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena
memperoleh jaminan perlindungan tersebut.

2) Teori Kepentingan
Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan (misalnya
perlindungan) masing-masing orang. Semakin besar kepentingan seseorang terhadap
negara, makin tinggi pajak yang harus dibayar.

6
DOI: https://doi.org/10.1234/jasm.v1i1.22 http://journals.segce.com/index.php/JSAM/article/view/22
3) Teori Daya Pikul
Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar sesuai
dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan 2
pendekatan yaitu:
a) Unsur obyektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki oleh
seseorang.
b) Unsur subyektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang harus
dipenuhi.
4) Teori Bakti
Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya.
Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran
pajak adalah sebagai suatu kewajiban.
5) Teori Asas Daya Beli
Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut pajak berarti
menarik daya beli dan rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara. Selanjutnya
negara akan menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan
masyarakat.
2.1.5 Pengelompokkan Pajak
Menurut Yuesti (2017: 12), pajak dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, adalah
sebagai berikut:
1) Pengelompokkan pajak menurut golongannya, dibagi menjadi berikut ini:
a) Pajak Langsung (Direct Tax)
Pajak langsung adalah pajak yang dikenakan secara berkala pada wajib pajak
berdasarkan surat ketetapan pajak (kohir) yang dibuat oleh kantor pajak. Contoh:
Pajak Penghasilan dan PBB.
b) Pajak Tidak Langsung (Indirect Tax)
Pajak tidak langsung adalah pajak yang dikenakan pada wajib pajak hanya jika wajib
pajak melakukan perbuatan atau peristiwa tertentu. Contoh: Pajak Penjualan atas
Barang Mewah.
2) Pengelompokkan pajak menurut sifat
a) Pajak Subyektif
Pajak subjektif adalah pajak yang pemungutannya berdasarkan atas subjeknya
(orangnya), di mana keadaan diri pajak dapat memengaruhi jumlah pajak yang harus
dibayar. Contoh: Pajak Penghasilan.
b) Pajak Obyektif
Pajak obyektif adalah pajak yang pemungutannya berdasarkan atas objeknya.
Contoh: Pajak Bumi dan Bangunan, PPN, Pajak Kendaraan Bermotor dan
sebagainya.

3) Pengelompokkan pajak menurut lembaga pemungutannya


a) Pajak Negara (Pusat)
Pajak negara adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat melalui aparatnya,
yaitu Ditjen Pajak, Kantor Inspeksi Pajak yang tersebar di seluruh Indonesia, maupun
Ditjen Bea dan Cukai. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak
Penjualan atas Barang Mewah dan Bea Materai.
b) Pajak Daerah (Lokal)
Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan
untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak Provinsi seperti Pajak Kendaraan

7
DOI: https://doi.org/10.1234/jasm.v1i1.22 http://journals.segce.com/index.php/JSAM/article/view/22
Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan
Bermotor, Pajak Air Permukaan, Pajak Rokok, dan Pajak Kabupaten/Kota seperti
Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan,
Pajak Air Tanah, Pajak Bumi dan Bangunan pedesaan dan perkotaan, Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan/Bangunan dan lain sebagainya.

2.1.6 Tata Cara Pemungutan Pajak


Menurut Yuesti (2017: 14), tiga garis besar yang harus diperhatikan dalam tata cara pemngutan
pajak, yaitu:
1) Stelsel Pajak
Tata cara pemungutan pajak yang dapat dilakukan berdasarkan pada 3 stelsel pajak:
a) Stelsel Pajak Nyata
Pengenanan pajak didasarkan pada obyek (penghasilan yang nyata), sehingga
pemungutannya pajak baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak yaitu setelah
diketahui penghasilan yang sesungguhnya.
b) Stelsel Pajak Anggapan
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang.
Contoh: penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga
pada waktu awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk
tahun pajak berjalan.
c) Stelsel Pajak Campuran
Pengenaan pajak campuran ini merupakan kombinasi antara stelsel pajak nyata dengan
stesel pajak anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu
anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang
sebenarnya.
2) Asas Pemungutan Pajak
a) Asas Pajak Domisili (Asas Tempat Tinggal)
Dalam tata cara pemungutan pajak harus memperhatikan asas domisili (asas tempat
tinggal). Negara memiliki kewenangan mengenakan pajak atas seluruh penghasilan
wajib pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik itu penghasilan yang berasal
dari dalam maupun luar negeri. Asas pajak domisili berlaku untuk wajib pajak dalam
negeri.
b) Asas Pajak Sumber
Dalam tata cara pemungutan pajak harus memperhatikan sumber pajaknya berasal.
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya
tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib pajak.
c) Asas Pajak Kebangsaan
Dalam tata cara pemungutan pajak harus dihubungkan dengan kebangsaan suatu
negara.
3) Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi berikut ini:
a) Official Assessment System
Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak terutang oleh
wajib pajak.
b) Self Assessment System
Self Assessment System adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.

8
DOI: https://doi.org/10.1234/jasm.v1i1.22 http://journals.segce.com/index.php/JSAM/article/view/22
c) With Holding System
With Holding System adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.

2.1.7 Hambatan Pemungutan Pajak


Menurut Yuesti (2017: 20), hambatan-hambatan pemungutan pajak ada dua, yaitu:
1) Perlawanan pasif
Perlawanan yang inisiatifnya bukan dari wajib pajak itu sendiri tetapi terjadi karena
keadaan yang ada disekitar wajib pajak itu. Hambatan-hambatan tersebut berasal dari
struktur ekonomi, perkembangan moral dan intelektual penduduk dan teknik pemungutan
pajak itu sendiri.
2) Perlawanan aktif
Perlawanan aktif adalah perlawanan yang inisiatifnya berasal dari wajib pajak itu sendiri.
Hal ini merupakan usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan terhadap fiskus dan
bertujuan untuk menghindari pajak atau mengurangi kewajiban pajak yang seharusnya
dibayar. Ada 3 cara perlawanan aktif terhadap pajak, yaitu:
a) Penghindaran pajak (tax avoidance), yaitu wajib pajak secara jelas melanggar
perundang-undangan sekalipun kadang-kadang dengan jelas menafsirkan undang-
undang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pembuat undang-undang.
b) Penghindaran pajak (tax evasion), yaitu pelanggaran terhadap undang-undang dengan
maksud melepaskan diri dari pajak atau mengurangi dasar penetapan pajak dengan cara
menyembunyikan sebagian dari penghasilannya.
c) Melalaikan pajak, yaitu menolak membayar pajak yang telah ditetapkan dan menolak
memenuhi formalitas-formalitas yang harus dipenuhi oleh wajib pajak dengan cara
menghalangi penyitaan.

2.1.8 Tarif Pajak


Menurut Yuesti (2017: 26), tarif pajak adalah dasar pembebanan besarnya pajak yang
harus dibayar wajib pajak, yang umumnya dinyatakan dalam bentuk persentase (%). Berikut ini
adalah macam-macam tarif pajak:
1) Tarif Tetap
Tarif tetap adalah tarif pajak yang ditetapkan dalam nilai rupiah tertentu yang jumlahnya
tetap (tidak berubah).
2) Tarif Proporsional
Tarif proporsional adalah tarif pajak yang menggunakan persentase tetap terhadap berapa
pun jumlah objek pajak sehingga jika dihitung besarnya pajak akan proporsional
(sebanding) dengan besarnya jumlah objek pajak.
3) Tarif Progresif
Tarif progresif adalah tarif pajak yang persentasenya semakin meningkat jika jumlah objek
pajak semakin bertambah.
4) Tarif Regresif atau Degresif
Tarif regresif atau degresif adalah tarif pajak yang persentasenya justru semakin menurun
jika jumlah objek pajak semakin bertambah.

2.1.9 Wajib Pajak


Menurut Suandy (2002: 3), wajib pajak aalah orang pribadi atau badan yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban

9
DOI: https://doi.org/10.1234/jasm.v1i1.22 http://journals.segce.com/index.php/JSAM/article/view/22
perpajakan termasuk pemungut atau pemotongan pajak tertentu. Berdasarkan UU No. 28 Tahun
2007, wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, pengertian pembayar pajak, pemotong
pajak, dan pemungut pajak, yang memiliki hak dan kewajiban perpajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Sedangkan dalam KUP, wajib pajak adalah pribadi atau badan
yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk
melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungutan pajak atau pemotongan pajak.

2.1.10 Penerimaan Pajak


Hutagaol (2007:325), penerimaan pajak merupakan sumber penerimaan yang dapat
diperoleh secara terus-menerus dan dapat dikembangkan secara optimal sesuai kebutuhan
pemerintah serta kondisi masyarakat. Sedangkan menurut Yeni (2013), penerimaan pajak
merupakan penghasilan yang diperoleh oleh pemerintah yang bersumber dari pajak rakyat.
Tidak hanya sampai pada definisi singkat di atas bahwa dana yang diterima di kas negara
tersebut akan dipergunakan untuk pengeluaran pemerintah guna meningkatkan kemakmuran
rakyat, sebagaimana maksud dari tujuan negara yang disepakati oleh para pendiri awal negara
ini yaitu mensejahterakan rakyat, menciptakan kemakmuran yang berasaskan kepada keadilan
sosial. Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa penerimaan pajak adalah
penerimaan yang diperoleh dari rakyat secara terus-menerus yang digunakan untuk kepentingan
rakyat atau untuk mensejahterakan rakyat.
Kontribusi penerimaan pajak di Indonesia terhadap penerimaan negara sebesar lebih dari
75 persen terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sehingga dapat
dikatakan penerimaan pajak merupakan penerimaan yang paling dominan atau merupakan
penerimaan utama negara. Menurut Siti (2004:2) dikutip oleh Yeni (2013) faktor-faktor yang
berperan penting dalam mempengaruhi dan menentukan optimalisasi pemasukkan dana ke kas
negara melalui pemungutan pajak kepada warga negara antara lain:
1. Kejelasan dan Kepastian
Peraturan Perundang-undangan dalam Bidang Perpajakan secara formal, pajak harus
dipungut berdasarkan undang-undang demi tercapainya keadilan dalam pemungutan pajak
(No taxation without representation. atau Taxation without representation is robbery)
(Mayhew, 1750). Namun keberadaan undang-undang saja tidaklah cukup. Undang-undang
haruslah jelas sederhana dan mudah dimengerti, baik oleh fiskus maupun oleh pembayar
pajak. Timbulnya konflik mengenai interpretasi atau tafsiran mengenai pemungutan pajak
akan berakibat pada terhambatnya pembayaran pajak itu sendiri.
2. Tingkat Intelektualitas Masyarakat
Sejak tahun 1984, sistem perpajakan di Indonesia menganut prinsip Self Assessment System.
Prinsip ini memberikan kepercayaan penuh kepada pembayar pajak untuk melaksanakan hak
dan kewajibannya dalam bidang perpajakan, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang
No. 28 Tahun 2007 Pasal 4 ayat (1) menyatakan: wajib pajak wajib mengisi dan
menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, jelas dan menandatanganinya.
Sementara di Pasal 12 ayat (1) dinyatakan: setiap wajib pajak wajib membayar pajak yang
terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak
menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Dalam hal ini, pembayar pajak mengisi
sendiri Surat Pemberitahuan (SPT) yang dibuat pada setiap akhir masa pajak atau akhir
tahun pajak. Selanjutnya, fiskus melakukan penelitian dan pemeriksaan mengenai kebenaran
pemberitahuan tersebut. Dengan menerapkan prinsip ini, pembayar pajak harus memahami
peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan sehingga dapat melakukan tugas

10
DOI: https://doi.org/10.1234/jasm.v1i1.22 http://journals.segce.com/index.php/JSAM/article/view/22
administrasi perpajakan. Untuk itu, intelektualitas menjadi sangat penting sehingga tercipta
masyarakat yang sadar pajak dan mau memenuhi kewajibannya tanpa ada unsur pemaksaan.
Namun, semuanya itu hanya dapat terjadi bila memang undang-undang itu sendiri sederhana,
mudah dimengerti dan tidak menimbulkan kesalahan persepsi.
3. Kualitas Fiskus (Petugas Pajak)
Kualitas fiskus sangat menentukan di dalam efektivitas pelaksanaan peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan. Bila dikaitkan dengan optimalisasi target penerimaan pajak,
maka fiskus haruslah orang yang berkompeten di bidang perpajakan, memiliki kecakapan
teknis dan bermoral tinggi.
4. Sistem Administrasi Perpajakan yang Tepat
Seberapa besar penerimaan yang diperoleh melalui pemungutan pajak juga dipengaruhi oleh
bagaimana pemungutan pajak itu dilakukan.

2.1.11 Kepatuhan wajib pajak


Indonesia negara yang menerapkan self assessment system, di mana dalam sistem ini
wajib pajak memenuhi kewajiban pajaknya secara penuh. Sehingga dibutuhkan kepatuhan
wajib pajak yang tinggi. Menurut Rahayu (2009), kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan
sebagai suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan
melaksanakan hak perpajakannya. Menurut Deviano dan Rahayu (2006:110) mengatakan
bahwa kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana wajib pajak
memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakan terdapat 2 macam
kepatuhan yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material.
1) Kepatuhan formal adalah suatu keadaan di mana wajib pajak memenuhi kewajiban secara
formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan.
2) Kepatuhan material adalah suatu keadaan di mana wajib pajak secara substantif atau
hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan. Kepatuhan material dapat juga
meliputi kepatuhan formal.
Menurut Santoso (2008) menyatakan bahwa terdapat dua jenis kepatuhan yaitu kepatuhan
administratif atau kepatuhan formal, yakni kepatuhan yang terkait dengan ketentuan umum dan
tata cara perpajakan. Sedangkan kepatuhan teknis adalah kepatuhan material, yakni kepatuhan
yang terkait dengan kebenaran pengisian SPT dalam menentukan jumlah pajak yang harus
dibayar. Kepatuhan perpajakan menurut Supriyati dan Hidayati (2008) memiliki karakteristik
sebagai berikut:
1) Membayar nominal sesuai besarnya pajak yang ditanggung
2) Mengerti dan mematuhi hak dan kewajibannya dalam bidang perpajakan, serta memenuhi
kriteria-kriteria tertentu.
Selanjutnya kedua karakteristik menurut Supriyati dan Hidayati dijabarkan dalam indikasi-
indikasi sebagai berikut:
a) Menyampaikan SPT tepat waktu
b) Melakukan perhitungan pajak dengan benar
c) Membayar pajak tepat waktu
d) Tidak memiliki tunggakan pajak
e) Tidak melanggar peraturan perpajakan

2.1.12 Tax Amnesty (Pengampunan Pajak)


Menurut Waluyo (2011:381), pengampunan pajak yaitu kebijakan pemerintah di bidang
perpajakan dalam bentuk pengampunan pajak terhadap wajib pajak dengan memberikan
penghapusan pajak yang seharusnya terutang oleh wajib pajak dalam tahun pajak. Sedangkan

11
DOI: https://doi.org/10.1234/jasm.v1i1.22 http://journals.segce.com/index.php/JSAM/article/view/22
menurut UU No. 11 Tahun 2016, pengampunan pajak adalah penghapusan pajak yang
seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang
perpajakan, dengan cara mengungkapkan harta dan membayar uang tebusan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini. Sebenarnya tax amnesty sendiri pernah diberlakukan di Indonesia
pada tahun 1984. Namun saat itu dianggap kurang berhasil karena respon wajib pajak yang
rendah dan tidak diikuti dengan reformasi administrasi perpajakan secara menyeluruh. Lalu ada
juga kebijakan sunset policy yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di tahun 2008
dimana wajib pajak dapat mengajukan permohonan pengampunan sanksi administrasi
meskipun pajak terutang tetap harus dibayarkan secara penuh. Pada tahun 2015 juga ditetapkan
sebagai Tahun Pembinaan Wajib Pajak (TPWP) yaitu berupa penghapusan sanksi perpajakan
dan administrasi untuk wajib pajak yang belum mematuhi peraturan perpajakan secara
memadai.
Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan kebijakan tax amnesty (Akbar:
2016; Yuesti, 2018). Yang pertama adalah dibutuhkan sebuah momentum yang tepat dan
sesuai. Jika melihat situasi di Indonesia dewasa ini, sebenarnya momentum tersebut sudah ada.
Dari sisi internal, dapat dilihat dari upaya pemerintah melakukan berbagai reformasi di berbagai
sektor mulai dari reformasi subsidi BBM dengan melakukan realokasi belanja subsidi ke
belanja yang lebih produktif. Hal ini dapat dilihat dari belanja infrastruktur dan berbagai paket
kebijakan yang menunjukkan niat pemerintah untuk meningkatan investasi di Indonesia. Hal ini
menunjukkan persepsi kepada publik bahwa saat ini Indonesia sedang berbenah menuju ke arah
yang lebih baik. Selain itu, faktor lain yang dapat dijadikan sebagai momentum adalah semakin
kuatnya penindakan yang dilakukan oleh DJP dengan semakin gencar diberlakukannya
gijzeling atau penyanderaan kepada wajib pajak yang tidak patuh. Hal tersebut menunjukkan
keseriusan pemerintah dalam menghadapi para pelanggar pajak.
Dari sisi eksternal, adanya perjianjian Automatic Exchange of Information (AEOI) yang
akhir-akhir ini digalakkan oleh G20 dan OEC. AEOI sendiri adalah komitmen antar negara
yang tergabung dalam komunitas tersebut untuk saling bertukar informasi dalam mengurangi
tingkat penghindaran pajak. Perjanjian ini direncanakan akan mulai diberlakukan pada tahun
2017-2018. Hal ini dapat dijadikan sebuah momentum kuat dan sinyal kepada mereka yang
pernah melakukan pelanggaran pajak terutama yang menyelamatkannya ke luar negeri bahwa
dana yang mereka larikan tersebut akan terdeteksi oleh pemerintah. Syarat untuk dapat
mengikuti program pengampunan pajak yaitu:
1) Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak
2) Membayar uang tebusan
3) Melunasi seluruh tunggakan pajak
4) Melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar atau melunasi pajak yang seharusnya tidak
dikembalikan bagi wajib pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan
dan/atau penyidikan
5) Menyampaikan SPT PPh terakhir bagi wajib pajak yang telah memiliki kewajiban
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
6) Mencabut permohonan:
a) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
b) Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi perpajakan dalam Surat Ketetapan
Pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak yang di dalamnya terdapat pokok pajak yang
terutang.
c) Pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar.
d) Keberatan.
e) Pembetulan atas surat ketetapan pajak dan surat keputusan.

12
DOI: https://doi.org/10.1234/jasm.v1i1.22 http://journals.segce.com/index.php/JSAM/article/view/22
f) Banding.
g) Gugatan.
h) Peninjauan kembali.
Tarif uang tebusan atas harta yang dialihkan ke dalam NKRI dan diinvestasikan dalam wilayah
NKRI dalam jangka waktu paling singkat 3 (tiga) tahun terhitung sejak dialihkan adalah
sebesar:
a) Dua persen (2%) untuk periode penyampaian Surat Pernyatan pada 1 Juli 2016 sampai
dengan 30 September 2016.
b) Tiga persen (3%) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada 1 Oktober 2016
sampai dengan 31 Desember 2016.
c) Lima persen (5%) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal 1
Januari 2017 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.
Tarif uang tebusan atas harta yang berada di luar wilayah NKRI dan tidak dialihkan ke dalam
wilayah NKRI adalah sebesar:
a. Empat persen (4%) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada 1 Juli 2016 sampai
dengan 30 September 2016.
b. Enam persen (6%) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada 1 Oktober 2016
sampai dengan 31 Desember 2016.
c. Sepuluh persen (10%) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak
tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.
Sedangkan tebusan uang bagi wajib pajak yang peredaran usahanya sampai dengan Rp.
4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada tahun pajak terakhir adalah
sebesar:
a. Nol koma lima persen (0,5%) bagi wajib pajak yang mengungkapkan nilai harta sampai
dengan Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam surat pernyataan.
b. Dua persen (2%) bagi wajib pajak yang mengungkapkan nilai harta lebih dari Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam surat pernyataan.
Apabila terdapat atau ditemukan data dan/ atau informasi mengenai harta yang belum
atau kurang diungkapkan maka dianggap sebagai penghasilan yang diterima atau diperoleh
wajib pajak. Atas tambahan penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan dan ditambah
dengan sanksi administrasi perpajakan berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari
Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang bayar.

2.1.13 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2017


Pemerintah mengeluarkan kebijakan PP No. 36 Tahun 2017 sebagai tindakan lanjut atas
program pengampunan pajak, PP No. 36 Tahun 2017 berisi tentang Pajak Penghasilan Final
atas harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan, harta tersebut
dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima wajib pajak. Tarif pajak penghasilan
yang bersifat final:
1) Wajib pajak badan sebesar dua puluh lima persen (25%)
2) Wajib pajak orang pribadi sebesar tiga puluh persen (30%)
3) Wajib pajak tertentu sebesar dua belas koma lima persen (12,5%)
Wajib pajak tertentu sebagaimana yang dimaksud merupakan:
a) Wajib pajak yang menerima penghasilan bruto dari usaha dan /atau pekerjaan bebas
pada tahun pajak terakhir paling banyak Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan
ratus juta rupiah).

13
DOI: https://doi.org/10.1234/jasm.v1i1.22 http://journals.segce.com/index.php/JSAM/article/view/22
b) Wajib pajak yang menerima penghasilan bruto selain dari usaha dan/ atau pekerjaan
bebas pada tahun pajak terakhir paling banyak Rp. 632.000.000,00 (enam ratus tiga
puluh dua juta rupiah) atau
c) Wajib pajak yang menerima penghasilan bruto dari usaha dan/ atau pekerjaan bebas
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan selain dari usaha dan/ atau pekerjaan bebas
pada huruf b, dengan ketentuan:
1. Jumlah penghasilan bruto yang bersumber selain dari usaha dan/ atau pekerjaan
bebas sebagaimana dimaksud pada huruf b paling banyak Rp. 632.000.000,00
(enam ratus tiga puluh dua juta rupiah) dan
2. Jumlah penghasilan bruto yang bersumber:
a) Dari usaha dan/ atau pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada huruf a dan
b) Selain dari usaha dan/ atau pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada huruf
b, paling banyak Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

2.2 HASIL PENELITIAN SEBELUMNYA


Santoso dan Setiawan (2009) melakukan penelitian terhadap tax amnesty dan
pelaksanaannya di beberapa negara: perspektif bagi pebisnis Indonesia. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa secara umum dari beberapa penelitian, hanya sedikit negara yang berhasil
dalam program tax amnesty, karena pemerintah tidak mengantisipasi perbaikan struktural pasca
amnesti yang mencakup kebijakan ekonomi, sistem perpajakan dan penerapan law enforcement.
Mandala (2015) melakukan penelitian terhadap penerapan kebijakan tax amnesty dan
sunset policy dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak 2015. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa target tinggi untuk penerimaan pajak yang dibebankan oleh Direktorat Jenderal Pajak
pada tahun 2015 maka perlu untuk melaksanakan kebijakan tax amnesty dan Sunset Policy yang
selain untuk meningkatkan penerimaan pajak tahun ini dan juga untuk meningkatkan kepatuhan
wajib pajak. Tax amnesty ini juga dapat dipandang sebagai rekonsilisasi nasional untuk
menghapus masa lalu wajib pajak yang tidak patuh dan perilaku otoritas pajak yang melanggar
aturan.
Syafrida (2015) melakukan penelitian terhadap analisis Penerapan tax amnesty di Indonesia
dalam rangka meningkatkan penerimaan negara pada sektor perpajakan, Syafrida menemukan
bahwa penerapan tax amnesty di Indonesia jika dilihat dari pengalaman berbagai negara yang
telah menerapkan, Indonesia masih memiliki potensi dan peluang untuk meningkatkan dana-dana
masuk ke Indonesia yang cukup banyak disimpan di luar negeri.
Alberto (2016) melakukan penelitian terhadap pengaruh kebijakan pengampunan pajak (tax
amnesty) oleh pemerintah terhadap potensi peningkatan penerimaan pajak di Indonesia tahun
2015. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi pengampunan pajak di Indonesia
memiliki peluang untuk berhasil dilaksanakan dengan jenis investigation amnesty yang juga telah
sukses diterapkan di beberapa negara lain. Namun pemerintah bersama DPR harus segera
menyelesaikan Rancangan Undang-Undang tersebut serta mensosialisasikan peraturan kepada
masyarakat agar dapat meningkatkan penerimaan pajak.
Gunawan dan Sukartha (2016) melakukan penelitian tentang pengaruh persepsi tax
amnesty, pertumbuhan ekonomi dan transformasi Kelembagaan Direktorat Jendral Pajak pada
penerimaan pajak, hasil penelitian menunjukkan bahwa tax amnesty berpengaruh positif pada
penerimaan pajak. PMK No.91/PMK.03/2015 merupakan tax amnesty yang dilakukan
pemerintah pada tahun 2015. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap penerimaan
pajak. Tranformasi kelembagaan Ditjen Pajak berpangaruh positif terhadap penerimaan pajak.
Ragimun (2016) melakukan penelitian mengenai analisis implementasi pengampuan pajak
(tax amnesty) di Indonesia, hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi tax amnesty dalam

14
DOI: https://doi.org/10.1234/jasm.v1i1.22 http://journals.segce.com/index.php/JSAM/article/view/22
jangka pendek sebaiknya ditunda terlebih dahulu menunggu kesiapan berbagai perangkat dan
piranti hukum yang melandasi pelaksanaan kebijakan ini. Namun dalam rangka meningkatkan
penerimaan negara, pemerintah (Ditjen Pajak) dapat menerapkan kebijakan-kebijakan inovatif
lainnya seperti sunset policy, tax holiday dan lain-lain yang dapat menggantikan tax amnesty
yang masih mendapat pertentangan dari berbagai lapisan masyarakat.
Johanes (2016) melakukan penelitian tentang analisis efektivitas implementasi
pengampunan pajak (tax amnesty) di Indonesia tahun 2016, Johanes menemukan bahwa program
pengampunan pajak tetap memberikan hasil yang relatif bagi kepentingan penerimaan negara
baik untuk jangka pendek, menengah dan panjang.
Yustiari (2016) melakukan penelitian mengenai tax amnesty dalam perspektif good
governance. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tax amnesty merupakan terobosan kebijakan
yang memiliki dimensi yang lebih luas dari hanya sekedar kebijakan ekonomi. Potensi hasil
pajak dari tebusan tax amnesty akan menambah penerimaan APBN sehingga akan membuat
APBN lebih sustainable. Perubahan dalam penerimaan negara ini berdampak secara langsung
pada kemampuan negara untuk menjalankan fungsinya secara baik, melaksanakan program-
program pembangunan, mempercepat distribusi manfaat dari hasil pembangunan dan perbaikan
kesejahteraan masyarakat. Tax amnesty terbukti mampu meningkatkan kesadaran dan kepatuhan
masyarakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Sejalan dengan hal tersebut kemampuan
negara untuk mengelola sumber daya ekonomi baru dari dana tebusan pajak akan mencerminkan
komitmen untuk keadilan sosial dalam mencapai tujuan-tujuan pembangunan. Kebijakan tax
amnesty yang diikuti dengan pembaruan dan penyesuaian manajemen perpajakan yang
memberikan rasa keadilan akan menjamin kepastian hukum dengan relasi pemerintah, sektor
swasta dan masyarakat yang lebih transparan, akuntabel dan partisipasif dalam upaya negara
untuk menajamkan penerapan good governance.
Adam, dkk. (2017) melakukan penelitian mengenai pengaruh program pengampunan pajak
terhadap efektivitas penerimaan pajak di Indonesia, yang menunjukkan bahwa program
pengampunan pajak (tax amnesty) tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
efektivitas penerimaan pajak KPP di Indonesia. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari 341 KPP
yang tingkat efektivitas penerimaan pajaknya mencapai efektif hanya diraih oleh 53 KPP (16%)
sedangkan sebagian besarnya sebanyak 288 KPP atau sebesar 84% belum mencapai efektif.
Awaeh, dkk. (2017) melakukan penelitian tentang analisis efektivitas penerapan tax
amnesty (pengampunan pajak) terhadap penerimaan pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Bitung. Kesimpulan penelitian tersebut adalah penerapan efektivitas Amnesti Pajak pada periode
pertama sebesar 77,94% dan penurunan yang sangat signifikan terjadi pada periode kedua
sebesar 22,27% atau mengalami penurunan sebesar 55,65% sehingga dikatakan tidak efektif. Hal
ini dikarenakan program Amnesti Pajak hanya dapat mengambil 4,24% bagian dalam penerimaan
pajak pada KPP Pratama Bitung.
Dewantari, dkk. (2017) melakukan penelitian tentang implikasi dan evaluasi program
pengampunan pajak (tax amnesty) pada tingkat kepatuhan wajib pajak dalam upaya peningkatan
penerimaan pajak pada wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama Singaraja. Dewantari
menemukan bahwa implikasi positif dari program tax amnesty antara lain meningkatkan
penerimaan pajak, melahirkan objek pajak baru, terjaminnya rahasia wajib pajak baru,
penghapusan pajak terutang dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Tidak ada implikasi
negatif dari program tersebut. Implikasi yang terjadi termasuk pada jenis implikasi manajerial.
Evaluasi dari program tax amnesty antara lain meningkatkan sosialisasi dan memfokuskan
kepada wajib pajak baru, wajib pajak prominen, wajib pajak yang masih memiliki tunggakan
pajak dan wajib pajak UMKM. Evaluasi yang dibahas menggunakan model evaluasi UCCLA
dan Brikerhoff.

15
DOI: https://doi.org/10.1234/jasm.v1i1.22 http://journals.segce.com/index.php/JSAM/article/view/22
Fatmala dan Ardini (2017) melakukan penelitian tentang persepsi wajib pajak pada
program tax amnesty untuk meningkatkan penerimaan pajak, hasil penelitian menunjukkan
bahwa penerapan tax amnesty akan berhasil apabila dijalankan sedemikian rupa dengan
diimbangi reformasi sistem administrasi perpajakan secara menyeluruh dalam segi tujuan melalui
tax amnesty akan dapat bertambahnya tax base. Jika program tax amnesty direncanakan dalam
jangka panjang dan dikelola dengan baik, negara akan memperoleh peningkatan penerimaan
pajak dalam waktu singkat.
Kartika, dkk. (2017) melakukan penelitian tentang analisis efektivitas penerapan tax
amnesty (pengampunan pajak) terhadap penerimaan pajak dari wajib pajak badan usaha pada
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Manado. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan tax
amnesty (pengampunan pajak) periode pertama sudah sangat efektif, namun berbeda pada
periode kedua yang mengalami penurunan sangat signifikan sehingga tergolong tidak efektif,
penyebabnya adalah sebagian besar wajib pajak sudah berpartisipasi pada periode pertama. Tax
amnesty juga mengambil 12,61% bagian dalam penerimaan pajak. Pimpinan KPP Pratama
Manado seharusnya membuat inovasi dalam sosialisasi-sosialisasi tentang kebijjakan tax amnesty
kepada msyarakat, agar masyarakat sadar akan pentingnya membayar pajak dan mengambil
bagian dalam meningkatkan pembangunan nasional.
Siregar (2017) melakukan penelitian tentang pengampunan pajak (tax amnesty) sebagai
upaya peningkatan pendapatan nasional dari sektor fiskal, dari hasil penelitian dapat disimpulkan
bahwa pajak memegang peran vital dalam pendapatan nasional. Alam meningkatkan penerimaan
pajak pada tahun 20016, pemerintah meluncurkan program pengampunan pajak (tax amnesty).
Program pengampunan pajak diharapkan meningkatkan penerimaan pajak melalui uang tebusan
yang dibayarkan oleh wajib pajak. Dengan meningkatnya penerimaan pajak, diharapkan
program-program pemerintah seperti pembangunan sarana umum dan fasilitas atau pelayanan
pemerintah dapat dilakukan dengan maksimal. Target penerimaan pajak dari program
pengampunan pajak adalah sebesar Rp. 165 T dimana sampai dengan Bulan Februari 2017
realisasi dari program ini adalah Rp. 104 T, sehingga sangat optimis bahwa program
pengampunan pajak dapat berjalan sukses dan memberikan sumbangan yang signifikan pada
pendapatan nasional.
Nafisah (2017) melakukan penelitian tentang implementasi kebijakan tax amnesty wajib
pajak badan guna mengoptimalkan penerimaan pajak. Kesimpulan penelitian kebijakan tax
amnesty merupakan upaya untuk menggali penerimaan negara dari sektor pajak yaitu salah
satunya tax amnesty, yang dimana pada Tahun 2016 diterapkan kebijakan program tax amnesty
yaitu penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan
dan sanksi pidana dibidang perpajakan dengan cara mengungkapkan harta dan membayar uang
tebusan sebagaimana diatur dalam UU pengampunan pajak. Di Jombang sendiri pelaku wajib
pajak badan Tahun 2016 sejumlah 2.994 dan yang melaporkan tax amnesty pada periode 1 dan 2
berjumlah 159. Memang jumlah ini masih sangat kecil dibandingkan jumlah keseluruhan wajib
pajak badan, karena masyarakat di Jombang belum sepenuhnya mengerti akan UU tax amnesty
2016.
Jamil (2017) melakukan penelitian tentang efektivitas penerapan tax amnesty di Indonesia,
hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan tax amnesty hingga periode kedua belum berjalan
efektif dan perlu dilakukan perbaikan dalam penerapan tax amnesty periode selanjutnya, baik
berupa kebijakan baru atau yang lainnya. Pemerintah perlu menentukan sebuah langkah awal
untuk mengatasi dan mendeteksi masalah kekayaan WNI baik di dalam maupun di luar negeri.
Hal ini diperlukan agar pemerintah maupun menentukan kebijakan yang tepat untuk mengatasi
masalah penghindaran pajak di Indonesia.

16
DOI: https://doi.org/10.1234/jasm.v1i1.22 http://journals.segce.com/index.php/JSAM/article/view/22
Pangkey, dkk. (2017) tentang analisis kepatuhan wajib pajak orang pribadi sebelum dan
sesudah pelaksanaan tax amnesty di KPP Pratama Manado, hasil penelitian menunjukkan bahwa
pelaksanaan tax amnesty memberikan dampak positif dalam meningkatkan jumlah wajib pajak
dan tingkat kepatuhan wajib pajak, yaitu sebagai berikut: perbandingan jumlah WPOP terdaftar
tahun sebelum tax amnesty mengalami peningkatan jumlah ditahun sesudah pelaksanaannya.
Meskipun persentase peningkatannya terbilang kecil, bila dilakukan evaluasi pasca pelaksanaa,
tax amnesty dapat menjadi peluang untuk dapat menaikkan minat masyarakat menjadi WP
terdaftar (memiliki NPWP) apabila tax amnesty dilaksanakan kembali. Terjadi peningkatan
kepatuhan WP OP, yaitu tercatat keikutsertaan WP OP dalam tax amnesty, kenaikan jumlah WP
OP menjadi WP wajib SPT, kontribusi penerimaan tax amnesty dan meningkatkanya jumlah
penerimaan pajak, serta jumlah SKP diterbitkan berkurang.
Putri (2017) melakukan penelitian tentang pemberlakuan tax amnesty berdasarkan UU
Nomor 11 Tahun 2016 tentang pengampunan pajak, yang menunjukkan bahwa pengampunan
pajak dalam perspektif hukum berdasarkan pengalaman-pengalaman di negara-negara lain dan 2
(dua) kali pengampunan pajak di Indonesia, materi yang diatur pada dasarnya sama, yaitu tentang
wajib pajak yang diberi pengampunan (eligbility), jenis pajak (coverage), lama waktu
kesempatan pengampunan (duration), persyaratan yang harus dipenuhi, hutang pakal/sanksi yang
dihapus (incentives) dan uang tebusan yang dikenakan sebagai pengganti penghapusan
hutang/sanksi. Perbedaan terletak pada bentuk hukum/ peraturan perundang-undangan yang
dijadikan sebagai wadah pengampunan pajak. Peraturan pengampunan pajak dalam bentuk
perundang-undangan ini akan berpengaruh terhadap kepastian hukum pelaksanaan
pengampunan. Dampak tax amnesty bagi negara Indonesia adalah: penerimaan APBN dari sektor
perpajakan semakin meningkat, tax amnesty akan memperkuat perekonomian nasional, revolusi
mental bagi wajib pajak yang tidak taat membayar pajak, semakin meningkatnya jumlah investor
yang menanamkan modal di Indonesia dan memudahkan pengusaha dan UKM dan UMKM
dalam mengembangkan usahanya.
Sari (2017) melakukan penelitian tentang amnesti pajak : sejarah dan efektivitas di
berbagai negara. Kesimpulan penelitian yang dilakukan oleh Sari adalah dampak program
amnesti pajak terhadap penerimaan negara transisi masih belum signifikan. Adapun di Indonesia,
program amnesti pajak baru saja diberlakukan sehingga program amnesti pajak terhadap
peningkatan penerimaan negara Indonesia belum dapat disimpulkan.
Sari dan Khairani (2017) melakukan penelitian tentang prospek tax amnesty dalam
meningkatkan penerimaan pajak dari sudut pandang konsultan pajak, hasil penelitian Sari
menunjukan bahwa Konsultan pajak beranggapan bahwa tax amnesty memiliki prospek yang
positif dalam meningkatkan penerimaan pajak di Indonesia baik dalam jangka pendek maupun
dalam jangka panjang. Prospek tax amnesty dalam jangka pendek dapat meningkatkan
penerimaan negara dari pembayaran tebusan yang dibayarkan wajib pajak atas harta yang belum
dilaporkan pada SPT 2015. Prospek tax amnesty dalam jangka panjang dapat meningkatkan
penerimaan pajak secara menyeluruh di Indonesia khususnya di Palembang dengan cara
pembaruan basis data perpajakan di Indonesia, terutama jumlah, aset dan/atau penghasilan tiap
wajib pajak serta meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
Wirawan dan Noviari (2017) melakukan penelitian tentang pengaruh penerapan kebijakan
tax amnesty dan sanksi perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi. Kesimpulan
penelitian Wirawan adalah tax amnesty berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan
wajib pajak. Hal ini menunjukkan bahwa apabila tax amnesty mengalami kenaikan maka angka
kepatuhan wajib pajak akan mengalami kenaikan pula. Hal ini menunjukkan bahwa semakin
tinggi sanksi perpajakan maka tingkat kepatuhan wajib pajak akan cenderung semakin tinggi.

17
DOI: https://doi.org/10.1234/jasm.v1i1.22 http://journals.segce.com/index.php/JSAM/article/view/22
Huda dan Agus (2017) melakukan penelitian tentang Tax Amnesties in Indonesia and
Other Countries: Opportunities and Challenges. Hasil penelitian Huda dan Agus adalah tax
amnesty pada tahun 2016 harus berhasil dan untuk melakukannya, pemerintah tidak hanya
menghapus hak penagihan terhadap pembayar pajak tetapi juga meningkatkan kesadaran
membayar pajak untuk meningkatkan anggaran nasional, meningkatkan data pembayar pajak,
meningkatkan stok devisa melalui masuknya mata uang asing, investasi terbuka, menciptakan
panggilan baru dan mendorong reformasi birokrasi pajak.

BAB III. KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS


3.1 Kerangka Berpikir
Pajak merupakan pendapatan utama negara, di mana 75 persen lebih kontribusi pajak
terhadap APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Meskipun pajak memiliki
kontribusi yang besar terhadap APBN, namun kenyataanya penerimaan pajak masih dikatakan
belum optimal. Menurut BPS (Badan Pusat Statistik) jumlah penduduk Indonesia yang
merupakan usia produktif sebanyak 124 juta penduduk. Tetapi hanya 10,1 juta penduduk yang
mendaftar menjadi wajib pajak dan membayar pajak. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
kepatuhan wajib pajak di Indonesia sangat rendah. Untuk mendorong kepatuhan wajib pajak
dalam memenuhi kewajibannya yaitu membayar pajak, pemerintah mengeluarkan langkah
khusus dan terobosan kebijakan berupa tax amnesty (pengampunan pajak).
Tax amnesty adalah salah satu kebijakan pemerintah dalam bentuk pengampunan pajak,
di mana pajak terutang dihapuskan dengan mengungkapkan harta dan membayar tebusan.
Dengan diterapkannya program pengampunan pajak (tax amnesty) diharapkan dapat
meningkatkan penerimaan pajak, kepatuhan wajib pajak dan dapat memperbarui basis data
perpajakan. Kepatuhan wajib pajak yang meningkat menyebabkan wajib pajak akan memenuhi
semua kewajiban perpajakannya, bukan hanya ketika program pengampunan pajak diterapkan
tetapi setelah program pengampunan pajak selesai diberlakukan. Selain itu, dengan adanya
pembaruan basis data perpajakan secara tidak langsung dapat meningkatkan penerimaan pajak
jangka panjang.
Gambar 3.1
Kerangka Berpikir
Analisis Perbedaan Penerimaan Pajak Sebelum Dan Sesudah Program Tax Amnesty
(Pengampunan Pajak) Pada KPP Pratama Denpasar

Penerimaan Pajak

Sesudah Tax Sebelum Tax


Amnesty Amnesty

18
DOI: https://doi.org/10.1234/jasm.v1i1.22 http://journals.segce.com/index.php/JSAM/article/view/22
Analisis Rasio
Pertumbuhan

Uji Beda T-test

Sumber: Hasil Pemikiran Peneliti, 2018

3.2 Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara atas pokok permasalahan yang sedang dibahas.
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian dan kajian-kajian teori yang relevan, serta hasil
penelitian sebelumnya, maka hipotesis yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini sejumlah
satu hipotesis.

3.21 Analisis Perbedaan Penerimaan Pajak Sebelum Dan Sesudah Penerapan Program Tax
Amnesty (Pengampunan Pajak)
Berdasarkan teori kepatuhan, dikeluarkannya kebijakan tax amnesty (pengampunan
pajak) agar wajib pajak mau mengungkapkan asset yang dimiliki, menghitung dan membayar
tebusan sesuai dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2016. Peraturan tersebut mengisyaratkan
adanya kepatuhan wajib pajak untuk melakukan kewajiban perpajakannya dalam mengikuti
program tax amnesty (pengampunan pajak). Berdasarkan teori atribusi, wajib pajak mau
mengikuti program tax amnesty (pengampunan pajak) dengan mendeklarasikan assetnya dan
membayar tebusan yang dikaitkan dengan persepsi wajib pajak dalam membuat penilaian
terhadap pajak itu sendiri. Di mana persepsi seseorang dalam membuat penilaian dipengaruhi
oleh kondisi internal maupun kondisi eksternal dari orang tersebut.
Pengampunan pajak yaitu kebijakan pemerintah di bidang perpajakan dalam bentuk
pengampunan pajak terhadap wajib pajak dengan memberikan penghapusan pajak yang
seharusnya terutang oleh wajib pajak dalam tahun pajak (Waluyo, 2011:381). Dengan adanya
pengampunan pajak, dapat memperbarui basis data perpajakan dan meningkatkan kepatuhan
wajib pajak sehingga wajib pajak akan memenuhi semua kewajiban perpajakannya bahkan
setelah program pengampunan pajak selesai diberlakukan yang pada akhirnya berdampak
terhadap peningkatan penerimaan pajak baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka
panjang.
Hasil penelitian yang dilakukan Gunawan dan Sukartha (2016) menunjukkan bahwa tax
amnesty berpengaruh positif pada penerimaan pajak. Penelitian yang dilakukan oleh Johanes
(2016) juga menunjukkan bahwa bahwa program pengampunan pajak tetap memberikan hasil
yang relatif bagi kepentingan penerimaan negara baik untuk jangka pendek, menengah dan
panjang. Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Sari dan Khairani (2017)
menunjukan bahwa tax amnesty memiliki prospek yang positif dalam meningkatkan penerimaan

19
DOI: https://doi.org/10.1234/jasm.v1i1.22 http://journals.segce.com/index.php/JSAM/article/view/22
pajak di Indonesia baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Berdasarkan uraian
di atas maka hipotesis yang dikembangkan adalah sebagai berikut:
H1: Terdapat perbedaan penerimaan pajak sebelum dan sesudah penerapan program
pengampunan pajak (tax amnesty) pada KPP Pratama Denpasar.

BAB IV. METODE PENELITIAN


4.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Denpasar Timur yang
bertempat di Jalan Tantular No. 4 Renon, Denpasar Timur dan Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Denpasar Barat yang bertempat di Jalan Raya Puputan No. 13, Denpasar Barat. Tempat
penelitian tersebut dipilih dengan mempertimbangkan bahwa baik data maupun informasi yang
dibutuhkan mudah diperoleh serta relevan dengan pokok permasalahan yang menjadi obyek
pokok penelitian.
4.2 Obyek Penelitian
Obyek penelitian merupakan suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, objek atau
kegiatan yang mempunyai variabel tertentu yang ditetapkan untuk dipelajari dan ditarik
kesimpulan. Obyek penelitian dalam penelitian ini adalah mengenai penerimaan pajak sebelum
dan sesudah penerapan program tax amnesty pada KPP Pratama Denpasar .
4.3 Identifikasi Variabel
Menurut Sugiyono (2018:63), variabel penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu
yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh
informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulan. Variabel-variabel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah:
1) Penerimaan pajak sebelum penerapan program tax amnesty (pengampunan pajak).
2) Penerimaan pajak sesudah penerapan program tax amnesty (pengampunan pajak).

4.3 Definisi Operasional Variabel


Definisi operasional variabel adalah suatu definisi yang berkaitan dengan variabel,
dengan tujuan memberikan arti dan menafsirkannya. Definisi operasional variabel dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut: menurut Hutagaol (2007:325), penerimaan pajak
merupakan sumber penerimaan yang dapat diperoleh secara terus-menerus dan dapat
dikembangkan secara optimal sesuai kebutuhan pemerintah serta kondisi masyarakat.

4.4 Jenis dan Sumber Data


4.4.1 Jenis Data
1) Data kuantitatif
Menurut Sugiyono (2018:6), data kuantitatif adalah data yang berbentuk angka atau data
kualitatif yang diangkakan/scoring. Data kuantitatif yang digunakan berupa laporan
penerimaan pajak dan data lainnya yang terkait dengan penelitian.
2) Data kualitatif
Menurut Sugiyono (2018:6), data kualitatif adalah data yang berbentuk kata, kalimat, gerak
tubuh, ekspresi wajah, bagan, gambar dan foto. Data kualitatif dalam penelitian ini diperoleh
melalui wawancara.

4.4.2 Sumber Data

20
DOI: https://doi.org/10.1234/jasm.v1i1.22 http://journals.segce.com/index.php/JSAM/article/view/22
Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah:
1) Data Primer
Meurut Sugiyono (2018:187), sumber primer adalah sumber data yang langsung
memberikan data kepada pengumpul data. Data penelitian seperti mengadakan wawancara
langsung dengan pihak terkait yang berhubungan dengan penerimaan pajak.
2) Data Sekunder
Menurut Sugiyono (2018:187), sumber sekunder adalah sumber yang tidak langsung
memberikan data kepada pengumpul data. Data yang bukan diperoleh dari hasil
pengumpulan dan pengolahan sendiri oleh penulis, melainkan dilakukan orang lain atau
lembaga tertentu. Meskipun demikian, data tersebut sangat mendukung permasalahan yang
disajikan dalam penelitian ini, yaitu berupa buku-buku dan laporan yang berkaitan dengan
penerimaan pajak.

4.5 Populasi dan Sampel


4.5.1 Populasi
Menurut Sugiyono (2018:119), populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas
objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk mempelajari kemudian ditarik kesimpulan. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah 17 data penerimaan pajak sebelum program tax amnesty dari bulan Februari 2015-Juni
2016 pada KPP Pratama Denpasar Timur dan KPP Pratama Denpasar Barat dan 17 data
penerimaan pajak sesudah program tax amnesty dari bulan April 2017-Agustus 2018 pada
KPP Pratama Denpasar Barat dan KPP Pratama Denpasar Timur sehingga total populasi
sebanyak 34 data.

4.5.2 Sampel
Menurut Sugiyono (2018:120), sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang
dimiliki oleh populasi tersebut. Penarikan sampel pada penelitian ini adalah dengan
menggunakan penarikan sampel total. Sampel total adalah teknik penentuan sampel bila
anggota populasi digunakan sebagai sampel. Hal ini sering dilakukan bila jumlah populasi
relatif kecil, kurang dari 30 orang atau peneliti ingin membuat generalisasi dengan kesalahan
yang sangat kecil. Istilah lain sampel total adalah sensus, dimana semua anggota populasi
dijadikan sebagai sampel (Sugiyono, 2018:125). Maka dapat diketahui sampel yang akan
diteliti adalah sebanyak 34 data penerimaan pajak.

4.6 Metode Pengumpulan Data


Untuk mendapatkan data yang lebih lengkap dan akurat, maka penulis menggunakan metode
yaitu:
1) Wawancara Tidak Terstruktur
Menurut Sugiyono (2018:191), wawancara tidak terstruktur adalah wawancara bebas di mana
peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan
lengkap untuk pengumpulan datanya. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi
mengenai penerimaan pajak pada KPP Pratama Denpasar Timur dan KPP Pratama Denpasar
Barat.
2) Teknik Pengumpulan Data dengan Dokumen

21
DOI: https://doi.org/10.1234/jasm.v1i1.22 http://journals.segce.com/index.php/JSAM/article/view/22
Menurut Sugiyono (2018:326), dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu.
Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan (life histories),
ceritera, biografi, peraturan, kebijakan. Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data penerimaan pajak pada KPP Pratama Timur dan KPP Pratama Barat.

4.7 Teknik Analisis Data


Teknik analisis data yang digunakan untuk memecahkan masalah dalam penelitian ini
adalah teknik analisis rasio pertumbuhan dan uji beda T-test. Sebelum melakukan analisis uji
beda, data diuji dengan uji normalitas.
4.7.1 Teknik Analisis Rasio Pertumbuhan
Teknik analisis rasio pertumbuhan digunakan untuk menunjukkan kemampuan
pemerintah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang telah dicapainya dari
periode ke periode berikutnya. Sehingga rasio pertumbuhan dapat menggambarkan kinerja
pemerintah pada periode tersebut. Di mana rumus dari rasio pertumbuhan yaitu:

Penerimaan Pajak t – Penerimaan Pajak (t-1)


Rasio Pertumbuhan = ......(1)
Penerimaan pajak (t-1)
4.7.2 Uji Normalitas
Uji normalitas adalah analisis yang dilakukan untuk mengetahui apakah data
berdistribusi normal. Cara yang dapat digunakan untuk menguji apakah variabel pengganggu
atau residual memiliki distribusi normal adalah dengan menggunakan uji Kolmogorov-
Smirnov. Kriteria pengambilan keputusan adalah apabila nilai probabilitas > 0,05, maka
residual memiliki distribusi normal dan apabila probabilitas < 0,05, maka residual tidak
memiliki distribusi normal.

4.7.3 Uji Beda T-test dengan Sampel Berhubungan (Paired T-test)


Uji beda T-test dengan sampel berhubungan dilakukan dengan tujuan untuk menguji
apakah ada perbedaan rata-rata dua sampel yang berhubungan. Kriteria pengambilan keputusan
adalah apabila probabilitas > 0,05, maka rata-rata sampel berhubungan sama dan apabila
probabilitas < 0,05, maka rata-rata sampel berhubungan tidak sama. Dalam uji beda, peneliti
ingin meneliti apakah ada perbadaan rata-rata penerimaan pajak sebelum dan sesudah
penerapan pengampunan pajak (tax amnesty).

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN


5.1 Gambaran Umum Perusahaan
5.1.1 Sejarah Berdirinya KPP Pratama Pajak Se Denpasar
Pada awalnya Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dikenal dengan nama Kantor Inspeksi
Pajak yang berkedudukan di Jalan Ahmad Yani No. 67, Singaraja. Wilayah kerja kantor ini
meliputi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Tahun 1984
seluruh Kantor Inspeksi Pajak berubah menjadi Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Pada saat itu
terdapat 121 KPP di seluruh Indonesia dengan 15 Kantor Wilayah (Kanwil). Pada tahun 1996,
Kantor Pelayanan Pajak Denpasar menempati gedung baru di Gedung Keuangan Negara II di
Jalan Kapten Tantular No. 4 Renon, Denpasar bersama-sama dengan Kantor Wilayah XIV DJP

22
DOI: https://doi.org/10.1234/jasm.v1i1.22 http://journals.segce.com/index.php/JSAM/article/view/22
Bali, NTB, NTT, dan Timor Timur serta Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan
Denpasar.
Pada tahun 2001, terjadi beberapa pemekaran KPP dan perubahan Kanwil. Sementara
itu, pada tahun 2002 Kantor Pelayanan Pajak Denpasar yang sebelumnya bertanggung jawab
pada daerah Kota Madya Denpasar, Kabupaten Badung, Tabanan, Gianyar, Klungkung dan
Bangli kemudian dipecah menjadi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Denpasar Barat meliputi
wilayah Tabanan, Badung, Kecamatan Denpasar Barat dan Denpasar Utara, serta KPP
Denpasar Timur meliputi wilayah Kecamatan Denpasar Timur, Denpasar Selatan, Gianyar,
Klungkung dan Bangli. Kemudian pada tahun 2007 Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPPBB), serta Kantor Inspeksi Pemeriksaan dan
penyelidikan Pajak (Karikpa) bergabung dan berubah nama menjadi Kantor Pelayanan Pajak
(KPP) Pratama berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 55 PMK.01/2007 tanggal 31
Mei 2007 dan Keputusan Ditjen Pajak Nomor: Kep.158/PJ/2007 tanggal 5 November 2007.
Pembentukan KPP Pratama ini merupakan bagian dari program reformasi birokrasi perpajakkan
yang bersifat komprehensif dan telah berjalan secara bertahap. Sejak tahun 2002 yang ditandai
dengan terbentuknya Kantor Pelayanan wajib pajak Besar. Namun untuk wilayah Jawa dan Bali
pembentukan KPP Pratama baru diresmikan akhir tahun 2007 sebanyak 156 KPP Pratama, di
mana KPP Pratama Denpasar Barat dan KPP Pratama Denpasar Timur merupakan salah satu
diantaranya.

5.1.2 Struktur Organisasi, Tugas dan Tanggung Jawab


Disetiap perusahaan mempunyai struktur organisasi untuk menggambarkan secara jelas
unsur-unsur yang membantu pimpinan dalam menjalankan perusahaan. Dengan adanya struktur
organisasi yang jelas dapat diketahui posisi, tugas dan wewenang setiap anggota. Tujuan
adanya struktur organisasi adalah untuk pencapaian kerja dalam organisasi yang berdasarkan
pada pola hubungan kerja serta lalu lintas wewenang dan tanggung jawab. Adapun struktur
organisasi KPP Pratama Denpasar adalah sebagai berikut:

Gambar 5.1
Struktur Oganisasi KPP Pratama Denpasar

Kepala Kantor
Kelompok
Subbagian
Jabatan
Umum
Fungsional

Seksi Seksi Seksi Seksi Seksi


Seksi
PDI Pelayanan Penagihan Pemeriksaan Waskon I-IV
Ekstensifikasi

Sumber: KPP Pratama Denpasar (2018)

Adapun uraian tugas dan tanggung jawab masing-masing fungsi yang terdapat di KPP Pratama
Denpasar adalah sebagai berikut:

23
DOI: https://doi.org/10.1234/jasm.v1i1.22 http://journals.segce.com/index.php/JSAM/article/view/22
1) Kepala Kantor
a) Tugas
1. Memimpin jalannya organisasi.
2. Menentukan strategi dan program yang tepat untuk kemajuan organisasi.
3. Membimbing bawahan dalam menjalankan segala aktivitasnya.
b) Tanggung jawab
Kepala Kantor bertanggung jawab terhadap kondisi kantor.
2) Sub Bagian Umum
a) Tugas
Sub Bagian Umum memiliki tugas melakukan urusan kepegawaian, keuangan, tata usaha
dan rumah tangga kantor.
b) Tanggung jawab
Sub Bagian Umum bertanggung jawab dalam aktivitasnya kepada Kepala KPP Pratama.
3) Seksi Pengolahan Data dan Informasi
a) Tugas
1. Melakukan pengumpulan, pencarian dan pengolahan data.
2. Pengamatan potensi perpajakan.
3. Penyajian informasi perpajakan.
4. Perekaman dokumen perpajakan.
5. Pelayanan dukungan teknis komputer.
6. Pemantauan aplikasi sistem pelaporan pajak (e-SPT) dan e-filling.
7. Penyiapan laporan kerja.
b) Tanggung jawab
Seksi Pengolahan Data dan Informasi bertanggung jawab dalam aktivitasnya kepada
Kepala KPP Pratama.
4) Seksi Pelayanan
a) Tugas
1. Melakukan penetapan dan penerbitan produk hukum perpajakan.
2. Melaksanakan pengadministrasian dokumen dan berkas perpajakan.
3. Melaksanakan penerimaan dan pengolahan surat pemberitahuan (SPT) penerimaan
surat lainnya.
4. Melakukan penyuluhan perpajakan.
5. Melaksanakan registrasi wajib pajak.
6. Melaksanakan ekstensifikasi.
7. Melakukan kerjasama perpajakan.
b) Tanggung jawab
Seksi Pelayanan bertanggung jawab dalam aktivitasnya kepada Kepala KPP Pratama.
5) Seksi Penagihan
a) Tugas
1. Melakukan penatausahaan piutang pajak, penundaan dan angsuran tunggakan pajak,
penagihan aktif dan usulan penghapusan piutang pajak.
2. Melaksanakan penyimpanan dokumen-dokumen penagihan.
b) Tanggung jawab
Seksi Penagihan bertanggung jawab dalam aktivitasnya kepada Kepala KPP Pratama.
6) Seksi Pemeriksaan
a) Tugas
1. Menyusun rencana pemeriksaan, pengawasan, pelaksanaan aturan pemeriksaan,
menerbitkan dan menyalurkan Surat Perintah Pemeriksaan pajak.

24
DOI: https://doi.org/10.1234/jasm.v1i1.22 http://journals.segce.com/index.php/JSAM/article/view/22
2. Melaksanakan administrasi pemeriksaan pajak lainnya.
b) Tanggung jawab
Seksi Pemeriksaan bertanggung jawab dalam aktivitasnya kepada Kepala KPP Pratama.
7) Seksi Ektensifikasi Perpajakan
a) Tugas
Meningkatkan jumlah wajib pajak yang dapat meningkatkan penerimaan pajak. Tugas
tersebut dilakukan dengan cara pemeliharaan basis data PBB, ekstensifikasi wajib pajak
orang pribadi melaui pemeliharaan PBB OP, ekstensifikasi WP OP karyawan penilaian
individu PBB OP, memproses berkas permohonan wajib pajak melalui PST, seperti
mutasi, pendaftaran objek pajak baru, pembetulan, pembatalan dan keberatan.
b) Tanggung jawab
Seksi Ektensifikasi perpajakan bertanggung jawab dalam aktivitasnya kepada Kepala KPP
Pratama.
8) Seksi Pengawasan dan Konsultasi I,II, III, IV
a) Tugas
1. Melakukan pengawasan kepatuhan wajib pajak.
2. Melakukan penyusunan profil wajib pajak.
3. Menganalisis kinerja wajib pajak.
4. Melakukan rekonsiliasi data wajib pajak dalam rangka melakukan intensifikasi,
melakukan evalusi hasil pemeriksaan, keberatan dan banding.
b) Tanggung jawab
Seksi Pengawasan dan Konsultasi I, II, III, IV bertanggung jawab dalam aktivitasnya
kepada Kepala KPP Pratama.
9) Pegawai Fungsional
a) Tugas
1. Melakukan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan wajib pajak dan tujuan
lainnya.
2. Melakukan penilaian terhadap tanah dan/atau bangunan sebagai dasar pengenaan
Pajak Bumi dan Bangunan.
b) Tanggung jawab
Pegawai fungsional dalam aktivitasnya berkoordinasi kepada Kepala KPP Pratama.
5.1.3 Visi dan Misi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Denpasar
1) Visi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Denpasar
Visi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Denpasar merupakan visi Direktorat Jendral Pajak
(DJP) yaitu menjadi Institusi Pemerintah yang menyelenggarakan sistem administrasi
perpajakan modern yang efektif, efisien dan dipercaya masyarakat dengan integritas
profesionalisme tinggi.
2) Misi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Denpasar
Menghimpun penerimaan pajak negara berdasarkan Undang-Undang Perpajakan yang
mampu mewujudkan kemandirian pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
melalui sistem administrasi perpajakan yang efektif dan efisien.

5.2 Hasil dan Pembahasan


5.2.1 Deskripsi Data Sampel
Penelitian ini digunakan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan penerimaan pajak
sebelum dan sesudah penerapan program pengampunan pajak (tax amnesty) pada KPP Pratama
Denpasar. Data dikumpulkan melalui dokumentasi. Adapun ringkasan data ditunjukkan dalam
Tabel 5.1 dan Tabel 5.2 sebagai berikut:
Tabel 5.1

25
DOI: https://doi.org/10.1234/jasm.v1i1.22 http://journals.segce.com/index.php/JSAM/article/view/22
Penerimaan Pajak KPP Pratama Denpasar Barat
(dalam jutaan)

Bulan Realisasi Tahun Realisasi Tahun Realisasi Tahun Realisasi Tahun Realisasi Tahun
2014 2015 2016 2017 2018

Januari Rp 33.014 Rp 31.891 Rp 32.833 Rp 43.032 Rp 45.707

Februari Rp 30.915 Rp 30.387 Rp 34.223 Rp 43.426 Rp 47.684

Maret Rp 37.684 Rp 39.504 Rp 44.417 Rp 100.616 Rp 60.932

April Rp 36.616 Rp 39.283 Rp 44.497 Rp 47.518 Rp 70.587

Mei Rp 32.019 Rp 38.958 Rp 42.101 Rp 46.657 Rp 57.290

Juni Rp 37.681 Rp 45.563 Rp 53.205 Rp 48.702 Rp 52.763

Juli Rp 47.767 Rp 44.634 Rp 39.472 Rp 53.850 Rp 98.264

Agustus Rp 40.109 Rp 46.519 Rp 56.698 Rp 58.751 Rp 118.021

September Rp 41.530 Rp 47.722 Rp 212.776 Rp 49.598

Oktober Rp 44.978 Rp 54.608 Rp 55.312 Rp 61.142

Nopember Rp 48.088 Rp 54.033 Rp 54.449 Rp 64.400

Desember Rp 72.484 Rp 124.689 Rp 114.298 Rp 93.861


Sumber: Seksi PDI KPP Pratama Denpasar Barat (2018)

Tabel 5.2
Penerimaan Pajak KPP Pratama Denpasar Timur
(dalam jutaan)

Bulan Realisasi Tahun Realisasi Tahun Realisasi Tahun Realisasi Tahun Realisasi Tahun
2014 2015 2016 2017 2018

Januari Rp 31.605 Rp 38.835 Rp 31.626 Rp 37.915 Rp 51.574

Februari Rp 31.069 Rp 26.731 Rp 31.015 Rp 37.520 Rp 45.402

Maret Rp 32.952 Rp 36.558 Rp 43.324 Rp 103.066 Rp 64.335

April Rp 38.422 Rp 42.849 Rp 55.055 Rp 59.441 Rp 81.503

Mei Rp 35.974 Rp 39.527 Rp 40.013 Rp 11.125 Rp 66.774

Juni Rp 39.313 Rp 43.679 Rp 96.857 Rp 45.255 Rp 63.422

Juli Rp 53.697 Rp 51.597 Rp 44.859 Rp 63.086 Rp 76.490

Agustus Rp 39.911 Rp 47.896 Rp 53.733 Rp 68.001 Rp 80.390

September Rp 44.184 Rp 46.257 Rp 194.400 Rp 59.217

Oktober Rp 55.127 Rp 51.520 Rp 46.693 Rp 68.798

Nopember Rp 55.138 Rp 63.148 Rp 56.977 Rp 67.451

Desember Rp 82.575 Rp 172.462 Rp 125.599 Rp 127.365


Sumber: Seksi PDI KPP Pratama Denpasar Timur (2018)

5.2.2 Analisis Rasio Pertumbuhan

26
DOI: https://doi.org/10.1234/jasm.v1i1.22 http://journals.segce.com/index.php/JSAM/article/view/22
Analisis rasio pertumbuhan adalah teknik analisis yang digunakan untuk menunjukkan
kemampuan pemerintah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang telah
dicapai dari periode ke periode selanjutnya. Di mana hasil analisis rasio pertumbuhan
penerimaan pajak sebelum dan sesudah penerapan program pengampunan pajak (tax amnesty)
ditunjukkan dalam Tabel 5.3 dan Tabel 5.4 sebagai berikut:

Tabel 5.3
Pertumbuhan Penerimaan Pajak Sebelum Tax Amnesty
(dalam jutaan)

27
DOI: https://doi.org/10.1234/jasm.v1i1.22 http://journals.segce.com/index.php/JSAM/article/view/22
Tabel 5.4
Pertumbuhan Penerimaan Pajak Sesudah Tax Amnesty
(dalam jutaan)

Berdasarkan Tabel 5.3 dan Tabel 5.4 di atas, menunjukkan bahwa nilai rasio
pertumbuhan mengalami fluktuasi yang disebabkan oleh berbagai faktor. salah satu faktor yang
berpengaruh adalah kebijakan pemerintah yaitu berupa program pengampunan pajak (tax
amnesty). Di mana nilai rasio pertumbuhan terendah sebelum penerapan program tax amnesty
(pengampunan pajak) pada KPP Pratama Denpasar Barat sebesar -0,066 dengan nilai rasio
tertinggi sebesar 0,720 dan pada KPP Pratama Denpasar Timur nilai rasio terendah sebesar -
0,186 dengan nilai rasio tertinggi sebesar 1,089. Sedangkan hasil analisis rasio pertumbuhan
setelah penerapan program tax amnesty (pengampunan pajak) menunjukkan nilai rasio
terendah pada KPP Pratama Denpasar barat sebesar -0,767 dengan nilai rasio tertinggi sebesar
1,009 dan nilai rasio terendah pada KPP Pratama Denpasar Timur sebesar -0,722 dengan nilai
rasio tertinggi sebesar 5,002.

5.2.3 Uji Normalitas


Menurut Sugiyono (2018:228), uji normalitas merupakan analisis yang dilakukan untuk
mengetahui apakah data berdistribusi normal. Hal ini merupakan syarat yang harus dilakukan
untuk menggunakan statistik parametrik. Kriteria pengujian normalitas menggunakan level
signifikasn sebesar 0,05. Untuk mengetahui data berdistribusi normal atau tidak, maka
penelitian ini menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Data dianggap normal jika nilai
probabilitas lebih besar dari signifikan 0,05.
Berdasarkan tabel diatas, hasil uji normalitas data penerimaan pajak sebelum tax
amnesty menunjukkan bahwa nilai Asymp. Sig. (2-tailed) sebesar 0,503 lebih besar
dibandingkan dengan 0,05 maka data berdistribusi normal, sedangkan hasil uji normalitas untuk

28
DOI: https://doi.org/10.1234/jasm.v1i1.22 http://journals.segce.com/index.php/JSAM/article/view/22
data penerimaan pajak sesudah tax amnesty menunjukkan bahwa nilai Asymp. Sig. (2-tailed)
sebesar 0,284 lebih besar dibandingkan dengan 0,05 maka data berdistribusi normal.
Tabel 5.5
Uji Normalitas

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Sebelum TA Sesudah TA
N 34 34
Normal Parameters a,b Mean .1649 .2372
Std. Deviation .29485 .93047
Most Extreme Absolute .312 .307
Differences Positive .312 .307
Negative -.129 -.170
Kolmogorov-Smirnov Z .825 .987
Asymp. Sig. (2-tailed) .503 .284
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.

Sumber: data diolah (2018)

Menurut Ghozali (2016:66), uji beda T-test dengan sampel berpasangan merupakan uji yang
digunakan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan rata-rata dua sampel yang berhubungan.
Hasil uji beda T-test dengan sampel berpasangan yang dilakukan dapat ditunjukkan pada Tabel 5.4
sebagai berikut:

Tabel 5.6
Uji Beda T-test dengan Sampel Berpasangan
Uji Beda T-test dengan Sampel Berpasangan (Paired T-test)

Paired Samples Test

Paired Differences
95% Confidence
Interval of the
Std. Error Difference
Mean Std. Deviation Mean Lower Upper t df Sig. (2-tailed)
Pair Sebelum TA -
-.07226 .94264 .16166 -.40117 .25664 -.447 33 .658
1 Sesudah TA

Sumber: data diolah (2018)

Di mana dari hasil pengujian dapat diketahui nilai rata-rata sebelum tax amnesty adalah
0,1649 dengan simpangan baku 0,29485 dan nilai rata-rata sesudah tax amnesty adalah 0,2372
dengan simpangan baku 0,93047. Korelasi antara penerimaan pajak sebelum tax amnesty
dengan penerimaan pajak sesudah tax amnesty adalah sebesar 0,510 yang lebih besar dari 0,05

29
DOI: https://doi.org/10.1234/jasm.v1i1.22 http://journals.segce.com/index.php/JSAM/article/view/22
yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara penerimaan pajak sebelum tax
amnesty dan penerimaan pajak sesudah tax amnesty. Pada df atau derajat kebebasan (n-1) = 33,
maka t tabel adalah 1,692 dan nilai t output adalah -0,447 sehingga 1,692 > -0,447. Dengan sig.
(2 –tailed) yaitu 0,658 yang lebih besar dari 0,05. Hal ini berarti bahwa tidak terdapat
perbedaan penerimaan pajak sebelum dan sesudah penerapan program tax amnesty
(pengampunan pajak) pada KPP Pratama Denpasar. Maka H1 ditolak.

5.3 Pembahasan Hasil Penelitian


5.3.1 Perbedaan Penerimaan Pajak Sebelum Dan Sesudah Penerapan Program Tax Amnesty (
Pengampunan Pajak ) pada KPP Pratama Denpasar
Hipotesis dalam penelitian menyatakan bahwa terdapat perbedaan penerimaan pajak
sebelum dan sesudah penerapan program pengampunan pajak (tax amnesty) pada KPP Pratama
Denpasar. Hasil analisis menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan penerimaan pajak
sebelum dan sesudah penerapan program tax amnesty (pengampunan pajak), sehingga H1
ditolak. Tidak didukungnya hipotesis yang diuji disebabkan karena program pengampunan
pajak yang belum lama telah selesai diberlakukan sehingga data amatan yang tersedia terbatas,
dibutuhkan waktu yang lebih lama dan kajian yang mendalam untuk mengetahui apakah
terdapat perbedaan penerimaan pajak sebelum dan sesudah penerapan program tax amnesty
(pengampunan pajak) pada KPP Pratama Denpasar. Selain itu, faktor lain yang menyebabkan
tidak adanya perbedaan penerimaan pajak sebelum dan setelah penerapan program
pengampunan pajak (tax amnesty) adalah adanya WP yang mendeklarasikan hartanya tidak
sesuai dengan kenyataan. Wajib pajak yang mengikuti program pengampunan pajak diberikan
kesempatan untuk menentukan nilai dari asset yang dimiliki kemudian mendeklarasikan asset
tersebut. Setiap WP yang mengikuti program pengampunan pajak diberikan jaminan bahwa
setiap asset yang dideklarasikan tidak akan diperiksa kembali, sehingga hal ini menjadi celah
bagi WP untuk melakukan penghindaran pajak dengan cara mendeklarasikan assetnya dengan
nilai yang lebih rendah. Sehingga dampak yang ditimbulkan adalah program pengampunan
pajak yang seharusnya memberikan dampak terhadap penerimaan pajak jangka panjang akibat
dari pembaharuan basis data justru belum memberikan dampak yang signifikan akibat basis
data yang ada masih belum mencerminkan keadaan yang sebenarnya.
Di sisi lain, terdapat WP OP yang mendaftar untuk mendapatkan NPWP dan mengikuti
program pengampunan pajak tetapi tidak memiliki penghasilan. Terdapat sejumlah WP OP
yang mengikuti program pengampunan pajak karena merasa takut akan dikenai sanksi jika tidak
mendeklarasikan hartanya, sehingga WP OP tersebut mengikuti program pengampunan pajak
yang pada akhirnya setelah program pengampunan pajak berakhir WP OP tersebut tidak akan
dikenai pajak karena tidak memiliki pendapatan yang rutin. WP OP ini dikenal dengan istilah
WP tidur. Kemudian faktor yang juga berpengaruh terhadap penerimaan pajak adalah
penghasilan wajib pajak yang tidak menentu. Kondisi tidak menentunya penghasilan wajib
pajak dipengaruh oleh berbagai faktor salah satunya adalah kondisi ekonomi, sehingga hal ini
berpengaruh terhadap tidak menentunya pajak yang harus dibayar atas penghasilan dari wajib
pajak tersebut.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Sari (2017) yang menunjukkan bahwa
dampak program amnesti pajak terhadap penerimaan negara transisi masih belum signifikan.
Adapun di Indonesia, program amnesti pajak baru saja diberlakukan sehingga program amnesti
pajak terhadap peningkatan penerimaan Negara Indonesia belum dapat disimpulkan. Sedangkan
menurut Santoso dan Setiawan (2009), secara umum dari beberapa penelitian, hanya sedikit
negara yang berhasil dalam program tax amnesty, karena pemerintah tidak mengantisipasi
perbaikan struktural pasca amnesti yang mencakup kebijakan ekonomi, sistem perpajakan dan

30
DOI: https://doi.org/10.1234/jasm.v1i1.22 http://journals.segce.com/index.php/JSAM/article/view/22
penerapan law enforcement. Kebijakan tax amnesty yang ditawarkan berulang-ulang secara
jangka panjang dan tidak dapat menaikkan basis pajak. Hasil penelitian Adam, dkk. (2017)
yang berjudul pengaruh program pengampunan pajak terhadap efektivitas penerimaan pajak di
Indonesia yang menunjukkan bahhwa program pengampunan pajak (tax amnesty) tidak
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap efektivitas penerimaan pajak KPP di Indonesia.
berdasarkan hasil yang diperoleh dari 341 KPP yang tingkat efektivitas penerimaan pajaknya
mencapai efektif hanya diraih oleh 53 KPP (16%) sedangkan sebagian besarnya sebanyak 288
KPP hanya atau sebesar 84% belum mencapai efektif.

BAB VI. PENUTUP


6.1 Simpulan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan penerimaan pajak sebelum dan
sesudah penerapan program tax amnesty pada KPP Pratama Denpasar. Berdasarkan hasil analisis
dan uraian pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa tidak terdapat
perbedaan penerimaan pajak sebelum dan sesudah penerapan program tax amnesty
(pengampunan pajak) pada KPP Pratama Denpasar. Hal ini disebabkan karena data amatan yang
tersedia terbatas yang disebabkan karena program pengampunan pajak yang belum lama ini
telah selesai diberlakukan sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengetahui
apakah terdapat perbedaan penerimaan pajak sebelum dan sesudah penerapan program (tax
amnesty) pengampunan pajak pada KPP Pratama Denpasar.
Di sisi lain, terdapat WP yang melakukan penghindaran pajak dengan mendeklarasikan
assetnya dengan nilai yang lebih rendah yang mengakibatkan dalam jangka panjang program
pengampunan pajak belum berdampak secara signifikan terhadap penerimaan pajak akibat dari
basis data yang ada masih belum mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Selain itu, juga
terdapat WP yang mengikuti program pengampunan pajak tetapi tidak memiliki penghasilan.
Sehingga pada saat program pengampunan pajak telah selesai diberlakukan, WP tersebut tidak
akan dikenai pajak karena tidak memiliki penghasilan rutin. Di mana WP ini dikenal dengan
istilah WP tidur. Kemudian faktor yang juga berpengaruh adalah penghasilan wajib pajak yang
tidak menentu menyebabkan pajak yang harus dibayar pun juga tidak menentu.

6.2 Saran
Penelitian ini tidak terlepas dari keterbatasan. Dari berbagai keterbatasan ini diharapkan
dapat disempurnakan pada penelitian selanjutnya. Adapun keterbatasannya adalah sebagai
berikut:
1) Penelitian ini hanya menggunakan KPP Pratama Denpasar dengan periode 17 bulan. Untuk
penelitian selanjutnya diharapkan menambah periode penelitian.
2) Penelitian ini hanya pada dua lokasi yaitu KPP Pratama Denpasar Barat dan KPP Pratama
Denpasar Timur. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan menambah atau memperluas lokasi
penelitian.
3) Penelitian ini hanya menggunakan variabel penerimaan pajak sebelum diterapkannya program
pengampunan pajak dan penerimaan pajak sesudah diterapkannya program pengampunan
pajak. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan untuk menambah variabel penelitian.

31
DOI: https://doi.org/10.1234/jasm.v1i1.22 http://journals.segce.com/index.php/JSAM/article/view/22
DAFTAR PUSTAKA
1. Adam, Olivia, Hartati Tuli dan Siti Pratiwi Husain. 2017. Pengaruh Program Pengampunan
Pajak Terhadap Efektivitas Penerimaan Pajak Di Indonesia. Jurnal Ilmu Akuntansi.Vol. 10,
No. 1, pp. 61-70.
2. Akbar, D. S. F. 2016. Tax amnesty Dan Momentum Reformasi. Diunduh dari
Https://pengampunan pajak.com pada, 1.
3. Alberto, F. 2016. Pengaruh Kebijakan Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) oleh pemerintah
Terhadap Potensi Peningkatan Penerimaan Pajak Di Indonesia Tahun 2015. Jurnal Ilmiah
Universitas Bakrie, 4 (01).
4. Awaeh, Maya Angriani, Linda Lambey, dan Sherly Pinatik. 2017. Analisis Efektivitas
Penerapan Tax Amnesty (Pengampunan Pajak) Terhadap Penerimaan Pajak Pada Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Bitung. Jurnal Riset Ekonomi, Manajemen, Bisnis dan Akuntansi,
Vol. 5 No.2, pp.2268-2276.
5. Brotodiharjo, R. Santoso. 1991. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung: PT. Eresco.
6. Dewantari, Desak Putu Diah, Gede Erni Sulindawati, dan Ananta wikrama Tungga Atmadja.
2017. Implikasi dan Evaluasi Program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) Pada Tingkat
Kepatuhan Wajib Pajak Dalam Upaya Peningkatan Penerimaan Pajak Pada Wilayah Kerja
Kantorr Pelayanan Pajak Pratama Singaraja. E-journal SI AK Universitas Pendidikan
Ganesha, Vol. 7 No. 1.

7. Deviano Sany dan Siti Kurnia Rahayu. 2006. Perpajakan Konsep Teori dan Isu.
Jakarta:Kencana.
8. Fatmala, Nenin Dewi dan Lilis Ardini. 2017. Persepsi Wajib Pajak Pada Program Tax
Amnesty Untuk Meningkatkan Penerimaan Pajak. Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi, Vol.6
No.8.
9. Fikriningrum, W. K. Dan Syafruddim, M. 2012. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Memenuhi Kewajiban Membayar Pajak (Studi Kasus
Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Semarang Candisari) (Doctoral dissertation,
Fakultas Ekonomi dan Bisnis).
10. Gunawan, Andri dan I Made Sukartha. 2016. Pengaruh Persepsi Tax Amnsety, Pertumbuhan
Ekonomi Dan Transformasi Kelembagaan Direktorat Jendral Pajak. Pada Penerimaan Pajak.
E-jurnal Akuntansi Universitas Udayana, Vol. 17, No. 3, pp. 2036-2060.
11. Ghozali, Imam. 2013. Aplikasi Analisis Multivariete. Semarang : Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.
12. Hakim, Abdul. 2004. Statistik Deskriptif Untuk Ekonomi Dan Bisnis. Yogyakarta:Ekonisia.
13. Hamonangan Simanjuntak, T., & Mukhlis, I. 2012. Dimensi Ekonomi Perpajakan dalam
Pembangunan Ekonomi. Depok: Raih Asa Sukses (Penebar Swadaya Group).
14. Huda, Mk, dan Hernoko, Ay. 2017. Tax Amnesties in Indonesia and Other Countries:
Opportunities and Challenges. Ilmu Sosial Asia, 13 (7), 52.
15. Hutagaol, john. 2007. Perpajakan : Isu-Isu Kontemporer. Yogyakarta :Graha Ilmu.
16. Ishak, M., Ikhsan dan Muhammad. 2005. Akuntansi Keperilakuan. Jakarta: Salemba Empat.
17. Jamil, Nur Aisyah. 2017. Efektivitas Penerapan Tax Amnesty Di Indonesia. Journal of
multidiscplinary studies, Vol.1 No.1, pp. 52-65.
18. James, Simon dan Clinton, Alley,. 1999. Tax Compliance, Self Assessment and Tax
Administration. Journal of Finance and Management in Public Service. Vol. 2, No. 2: 27-42.
19. Johanes, Rene. 2016. Analisis Efektivitas Implementasi Pengampunan Pajak (Tax Amnesty)
Di Indonesia Tahun 2016. Universitas Bakrie, Jakarta.

32
DOI: https://doi.org/10.1234/jasm.v1i1.22 http://journals.segce.com/index.php/JSAM/article/view/22
20. Kartika, Citra Ayu, Grace B Nangoi, dan Robert Lambey. 2017. Analisis Efektivitas
Penerapan Tax Amnesty (Pengampunan Pajak) Terhadap Penerimaan Pajak Dari Wajib Pajak
Badan Usaha Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Manado. Jurnal Riset Ekonomi,
Manajemen, Bisnis dan Akuntansi, Vol. 5 No.2.
21. Mahmudi. 2005. Manajemen Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta : UPP AMP YKPN.
22. Mandala, U. K. W. Dan Diyono, J. 2015. Penerapan Kebijakan Tax Amnesty dan Sunset
Policy Dalam Rangka Meningkatkan Penerimaan Pajak 2015.
23. Nafisah, T. A. 2017. Impelemntasi Kebijakan Tax Amnesty Wajib Pajak badan Guna
menggoptimmalkan Penerimaan Pajak (Studi Kasus KP2KP Jombang) (Doctoral
Dissertation, Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum).
24. Nowak, Norma D. 2005. Tax Administration in Theory and Practice. London:
PreagerPublisher.
25. Pangkey, Milka Magrita, Julie J. Sondakh dan Victorina Z. Tirayoh. 2017. Analisis
Kepatuhan Wajb Pajak Orang Pribadi Sebelum dan Sesudah Pelaksanaan Tax Amnesty Di
KPP Pratama Manado. Jurnal Riset Akuntansi Going Concern, Vol. 12 No. 2, pp. 513-522.
26. Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2017
27. Putri, Raisa. 2017. Pemberlakuan Tax Amnesty Berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2016
Tentang Pengampunan Pajak. Lex Privatum. Vol. 5, No. 4, pp. 67-74.
28. Ragimun. 2016. Analisis implementasi pengampunan pajak (Tax Amnesty) di Indonesia.
Universitas Indonesia. Jakarta

29. Robbins, Stephen P. 2008. Perilaku Organisasi. Jakarta: Salemba Empat.


30. Santoso, Urip dan Justina M. Setiawan. 2009. Tax Amnesty Dan Pelaksanaannya Di Beberapa
Negara: Perspektif Bagi Pebisnis Indonesia. Sosiohumaniora. Vol. 11, No. 2, pp. 111-125.
31. Santoso, Wahyu. 2008. Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar
Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak (Penelitian Terhadap Wajib Pajak Badan di Indonesia.
Jurnal Keuangan Publik. Vol. 5: 85-137.
32. Sari, Sarlina. 2017. Amnesti Pajak : Sejarah dan Efektivitas Di Berbagai Negara. Journal of
Applied Business and Economic. Vol. 3, No. 3, pp. 139-147.
33. Sari, Novita dan Siti Khairani. 2017. Prospek Tax Amnesty Dalam Meningkatkan Penerimaan
Pajak Dari Sudut Pandang Konsultan Pajak. Program Studi Akuntansi STIE Multi Data,
Palembang.
34. Siregar, Lukman Hakim. 2017. Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) Sebagai Upaya
Peningkatan Pendapatan Nasional Dari Sektor Fiskal. Jurnal Manajemen Pendidikan dan
Keislaman. Vol. 6, No. 1, pp. 97-105.
35. Suandy, Erly. 2002. Perpajakan. Jakarta: Salemba Empat.
36. Sugiyono. 2018. Metode Penelitian Kombinasi. Bandung : Alfabeta.
37. Syafrida, F. N. 2015. Analisis Penerapan Tax Amnesty Di Indoensia Dalam Rangka
Meningkatkan Penerimaan Negara Pada Sektor Perpajakaan. Jurnal Ilmiah Universitas
Bakrie, 3(03).
38. Tahar, Afrizal dan Arnaim Kartika Rachman. 2014. Pengaruh Faktor Internal dan Ekternal
Terhadap Keptuhan Wajib Pajak. Jurnal Akuntansi dan Investasi. Vol 15, No. 1.
39. Undang-Undang No. 28 Tahun 2007
40. Undang-Undang No. 11 Tahun 2016
41. Waluyo. 2011. Perpajak Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
42. Wirawan, Nata. 2012. Statistika Ekonomi Dan Bisnis. Denpasar: Keraras Emas.

33
DOI: https://doi.org/10.1234/jasm.v1i1.22 http://journals.segce.com/index.php/JSAM/article/view/22
43. Wirawan, Ida Bagus Ngurah Ari Putra dan Naniek Noviari. 2017. Pengaruh Penerapan
Kebijakan Tax Amnesty dan Sannksi Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang
Pribadi. E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana, Vol. 21 No. 3, pp. 2165-2194.
44. www.bps.go.id (diakses pada tanggal: 08 April 2018).
45. www.detik.com (diakses pada tanggal: 08 April 2018).
46. www.kemenkeu.go.id (diakses pada tanggal: 08 April 2018).
47. www.okezone.com (diakses pada tanggal: 08 April 2018).
48. Yeni, R. 2013. Pengaruh Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan Terhadap Peningkatan
Penerimaan Pajak Yang Dimoderasi Oleh Pemeriksaan Pajak Pada KPP Pratama Padang.
Jurnal Akuntansi, 1 (1).
49. Yustiari, Shinta Happy. 2016. Tax Amnesty dalam Perspektif Good Governance. Jurnal
Ilmiah Administrasi Publik (JIAP), Vol. 2 No. 4, pp. 169-174.
50. Yuesti, Anik. 2017. Perpajakan. Denpasar: Abpublisher.
51. Yuesti, A. 2018. Taxpayer Compliance Analysis of Tax Amnesty Application as Effort
Improvement of Increasing On Countryincomeand Development through Tax Sector.
International Journal of Business and Management Invention (IJBMI) ISSN (Online): 2319 –
8028, ISSN (Print): 2319 – 801X www.ijbmi.org || Volume 7 Issue 5 Ver. V || May. 2018 ||
PP—29-36

34
DOI: https://doi.org/10.1234/jasm.v1i1.22 http://journals.segce.com/index.php/JSAM/article/view/22

Anda mungkin juga menyukai