Anda di halaman 1dari 24

PEMERIKSAAN PADA HEWAN EKSOTIK

Kelompok 5

M. Hasbullah Dhara1 (C031191033)

Asisten :

1
Bagian Bedah dan Radiologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi
Program Studi Kedokteran Hewan (PSKH), Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin

ABSTRAK
Praktikum dilaksanakan pada tanggal 3 November 2021 di Rumah Potong Hewan
Makassar (RPH Makassar), Antang. Dengan judul praktikum yaitu “Pemeriksaan Ternak Besar”.
Diagnostik klinik merupakan tonggak yang paling penting bagi suatu proses pembelajaran dalam
pendidikan ilmu-ilmu kedokteran klinik disiplin ilmu kedokteran hewan. Dari diagnostik klinik
dimulai langkah-langkah mengenali hewan yang sakit. Diagnostik klinik merangkum seluruh
proses pembelajaran mulai dari sinyalemen sampai dengan pengertian tentang terapi. Diagnosis
yang tepat merupakan basis suatu tindakan terapi. Dunia diagnostika kedokteran hewan terbagi
dalam dua kegiatan besar, yaitu diagnostika klinik dan diagnostika post-mortem. Diagnostika
klinik merupakan rangkaian pemeriksaan medik terhadap fisik hewan hidup untuk mendapatkan
kesimpulan berupa diagnosis sekaligus pemeriksaan dengan menggunakan alat bantu diagnostika
sebagai pelengkap untuk mendapatkan peneguhan diagnosis. Praktikum ini bertujuan untuk
mengetahui prosedur-prosedur khusus dalam pemeriksaan fisik sapi. Hal ini dilakukan dengan
menggunakan alat-alat diagnostik dalam pemeriksaan. Pemeriksaan klimis yang dilakukan
meliputi inspeksi, palasi, auskultasi, perkusi dan pengukuran suhu tubuh.
Kata kunci: Anamnesa, Pemeriksaan Fisik, Sapi, Sinyalemen, Status present, Ternak Besar
1. PENDAHULAU
Pertumbuhan adalah perubahan ukuran yang meliputi perubahan bobot hidup, bentuk,
dimensi dan komposisi tubuh termasuk perubahan komponen-komponen tubuh dan organ serta
menyatakan bahwa pertumbuhan seekor ternak, dilihat antara lain dari bertambahnya ukuran
tubuh. Pertumbuhan adalah pertambahan berat badan atau ukuran tubuh sesuai dengan umur,
sedangkan perkembangan berhubungan dengan adanya perubahan ukuran serta fungsi dari
berbagai bagian tubuh semenjak embrio sampai menjadi dewasa. Pertumbuhan biasanya dimulai
perlahan-lahan, kemudian berlangsung lebih cepat, selanjutnya berangsur-angsur menurun atau
melambat dan berhenti setelah mencapai dewasa tubuh. Bobot tubuh ternak merupakan hasil
pengukuran dari proses tumbuh ternak yang dilakukan dengan cara penimbangan. Sementara itu
besarnya bobot badan dapat diukur melalui tinggi badan, lingkar dada dan lebar dada.
Pengukuran lingkar dada dan panjang badan dapat memberikan petunjuk bobot badan seekor
ternak dengan tepat. Pertumbuhan lingkar dada mencerminkan pertumbuhan tulang rusuk dan
pertumbuhan jaringan daging yang melekat pada tulang rusuk. Kemudian pendugaan umur dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan melihat lingkar tanduk dan keadaan atau susunan
giginya. Cara pendugaan umur dengan melihat lingkar tanduk adalah dengan menghitung jumlah
lingkar tanduk ditambah dua (Ni'am et al., 2012).
Sapi adalah hewan ternak terpenting sebagai sumber daging, susu, tenaga kerja dan
kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%) kebutuhan daging di dunia, 95%
kebutuhan susu dan 85% kebutuhan kulit. Sapi berasal dari famili Bovidae. Seperti halnya bison,
banteng, kerbau (Bubalus), kerbau Afrika (Syncherus), dan anoa. Sapi perah Friesian Holland
(FH) sering dikenal dengan nama Friesian Holstein. Berasal dari Belanda dan mulai
dikembangkan sejak tahun 1625 (Prasetyo et al., 2013).
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Data Fisiologis Normal
Suhu normal sapi pada daerah tropis berada pada kisaran 38-39,2ºC (Aditia et al., 2017).
Frekuensi detak jantung normal pada sapi dewasa adalah 55-80 kali per menit. Frekuensi detak
jantung sapi bali adalah 36-60 kali per menit (Rona et al., 2016). Frekuensi respirasi normal pada
sapi dewasa adalah 15-35 kali per menit dan 20- 40 kali per menit pada pedet (Serang et al.,
2016).
2.2. Ras-ras Sapi
2.2.1. Sapi Bali

Gambar 1. Sapi bali (Aji et al., 2016)


Pada saat masih “pedet”, bulu badannya berwarna sawo matang sampai kemerahan, setelah
dewasa Sapi Bali jantan berwarna lebih gelap bila dibandingkan dengan sapi Bali betina. Warna
bulu sapi Bali jantan biasanya berubah dari merah bata menjadi coklat tua atau hitam setelah sapi
itu mencapai dewasa kelamin sejak umur 1,5 tahun dan menjadi hitam mulus pada umur 3 tahun.
Warna hitam dapat berubah menjadi coklat tua atau merah bata apabila sapi itu dikebiri, yang
disebabkan pengaruh hormon testosterone (Aji et al., 2016).
2.2.2. Sapi Brahman

Gambar 2. Sapi brahman (Aji et al., 2016)


Brahman adalah keturunan sapi Zebu atau Bos indicus. Aslinya berasal dari India
kemudian masuk ke Amerika pada tahun 1849 berkembang pesat di Amerika. Di AS, sapi
Brahman dikembangkan untuk diseleksi dan ditingkatkan mutu genetiknya. Setelah berhasil,
jenis sapi ini diekspor ke berbagai negara. Dari AS, sapi Brahman menyebar ke Australia dan
kemudian masuk ke Indonesia pada tahun 1974 (Aji et al., 2016).
2.2.3. Sapi Ongole
Gambar 3. Sapi ongole (Aji et al., 2016)
Sapi Ongole adalah sapi keturunan sapi liar Bos indicus yang berhasil dijinakan di India.
Di Indonesia, sapi ini dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu Sumba Ongole (SO) dan sapi
Peranakan Ongole (PO). Sumba Ongole adalah keturunan murni sapi Nellore dari India yang
didatangkan tahun 1914. Sapi ini dikembangkan secara murni di Pulau Sumba dan merupakan
sumber indukan sebagian besar Ongole di dalam negeri. Persilangan antara Sumba Ongole
dengan sapi setempat di jawa menghasilkan anakan yang mirip sapi Ongole sehingga sapi ini
disebut dengan sapi Peranakan Ongole (Aji et al., 2016).
2.2.4. Sapi Limosin

Gambar 4. Sapi limosin (Aji et al., 2016)


Sapi Limousin adalah bangsa Bos Taurus. Dikembangkan pertama di Perancis, merupakan
tipe sapi pedaging dengan perototan yang lebih baik dari Simmental. Warna bulu coklat tua
kecuali disekitar ambing berwarna putih serta lutut kebawah dan sekitar mata berwarna lebih
muda (Aji et al., 2016).
2.2.5. Sapi Angus

Gambar 5. Sapi angus (Aji et al., 2016)


Sapi Aberdeen angus adalah sapi yang berasal dari skotlandia dan merupakan hasil
persilangan Bos taurus. Penyebaran sapi ini telah sampai ke berbagai belahan dunia seperti
Australia, Amerika, Indonesia maupun sebagian Afrika. Sapi ini tidak begitu tahan penyakit bila
berada di daerah tropis. Pertumbuhan sapi ini cukup baik, cepat gemuk dengan pakan kualitas
bagus, dagingnya tebal. Sapi dewasa jantan beratnya bisa mencapai 1000 kg dan yang betina 800
kg (Aji et al., 2016).
2.2.6. Sapi Simental

Gambar 6. Sapi simmental (Aji et al., 2016)


Sapi Simmental adalah bangsa Bos Taurus. Sapi ini berasal dari daerah Simmedi negara
Switzerland tetapi sekarang berkembang lebih cepat di benua Eropa dan Amerika. Sapi
Simmnetal merupakan tipe sapi perah dan pedaging, warna bulu coklat kemerahan (merah bata),
di bagian muka dan lutut kebawah serta ujung ekor berwarna putih (Aji et al., 2016).
2.2.7. Sapi Jersey

Gambar 7. Sapi jersey (Aji et al., 2016)


Sapi Jersey merupakan salah satu jenis bangsa sapi yang pertama kalinya di temukan di
Pulau Jersey yang terletak di selat Channel perbatasan antara Prancis dan Inggris. Bangsa sapi
jersey ini berasal dari sebuah bangsa sapi liar Bos taurus Typicus Longifrons. Sapi ini adalah
hasil persilangan sapi liar Bos taurus Typicus Longifrons dengan sapi di paris dan Normandia
sehingga sapi jersey ini muncul (Aji et al., 2016).
2.3. Penentuan Umur
2.3.1. Berdasarkan Gigi
Menurut Suardana et al. (2013), penentuan umur berdasarkan gigi yaitu:
1 tahun: Semua gigi seri sulung sudah tergesek
a. 1,5 - 2 tahun: Gigi seri sulung dalam (I1) berganti dengan gigi seri tetap
b. 2 - 2,5 tahun: Gigi seri sulung tengah (I2) berganti dengan gigi seri tetap
c. 3 - 3,5 tahun: Gigi seri sulung tengah luar (I3) berganti dengan gigi seri tetap
d. 4 tahun Gigi: seri sulung luar (I4) berganti dengan gigi seri tetap
e. 5 tahun: Semua gigi seri tetap sudah tergesek
f. 7 – 8 tahun: Tepi dalam (bidang lidah) semua gigi seri tetap tergesek hampir dekat dengan
gusi bagian dalam
2.3.2. Berdasarkan Tanduk
Menentukan umur sapi dengan memperhatikan pembentukan cincin tanduk khusus
dilakukan untuk betina induk dan sangat dipengaruhi oleh umur pertama kali dikawinkan dan
selang kelahiran anaknya. Apabila sapi betina dikawinkan pada umur 2 tahun maka pada umur 3
tahun induknya telah beranak 1 kali dan pada tanduki akan terbentuk 1 buah cincin tanduk
demikian seterusnya (Astiti, 2018).
2.3.3. Berdasarkan Tali Pusar
Menurut Yoush (2013), metode ini hanya bisa digunakan pada pedet yang baru lahir,
dengan cara melihat kondisi tali pusarnya sebagai berikut:
a. Pada saat baru lahir, pusar masih tampak basah dan tidak berbulu
b. Umur 3 hari: tali pusar akan terasa lunak bila diraba
c. Umur 4-5 hari: tali pusar mulai mengering
d. Umur 7 hari: tali pusar akan lepas dan bulu sudah mulai tumbuh
2.4. Penentuan Bobot Badan dan Status Gizi
2.4.1. Penentuan Bobot badan

Gambar 8. Rumus schoorl dan rumus modifikasi/lambourne (Mustafid dan ‘Uyun, 2018)
Bobot sapi dapat dihitung dengan rumus schoorl dan rumus modifikasi/lambourne yang
membutuhkan variabel panjang badan dan lingkar dada untuk perhitungannya. Untuk
mendapatkan bobot badan diperlukan nilai lingkar dada dan panjang badan yang diukur secara
manual. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa untuk mendapatkan nilai lingkar
dada dan panjang badan perlu dilakukan pengukuran secara manual, serta hal tersebut tidak
mudah untuk dilakukan dikarenakan sapi yang sulit dikondisikan (Mustafid dan ‘Uyun, 2018).

Gambar 9. Mengukur panjang dada dan lebar dada (Mustafid dan ‘Uyun, 2018)
Panjang Badan (PB), titik (a) ke titik (b), adalah panjang yang dihitung dari titik bahu ke tulang
duduk (pin bone). Lingkar Dada (LD), melingkar dari titik (c) ke titik (d) dan kembali ke titik
(c), adalah panjang yang diukur melingkar pada posisi di bagian belakang kaki depan dan
belakang tonjolan pundak sapi di bagian atas (Mustafid dan ‘Uyun, 2018).
2.4.2. Status Gizi
Penilaian terhadap BCS (body condition score) sapi ditentukan berdasarkan penampilan
tubuh sapi yang dilakukan dengan pengamatan dan perabaan (palpasi) tulang belakang
(spinosus). BCS dimaksudkan untuk memberikan kriteria pada seekor ternak sapi yang dinilai
secara kualitatif. Standar penilaian ini penting terkait dengan kondisi tubuh ternak yang dapat
menjadi indikator terhadap pertumbuhan ternak dan potensi reproduksi yang dimiliki oleh seekor
ternak. Kondisi tubuh ternak di Indonesia dinilai dari skor 1-5, kondisi tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut (Putra et al., 2020).
A. BCS 1
Kondisi BCS 1 menunjukkan ternak sangat kurus (emasiasi). Keadaan tubuhyang sangat
kurus terlihat dari tonjolan tulang belakang, tulang rusuk, tulang pinggul dan tulang pangkal ekor
terlihat sangat jelas (Putra et al., 2020).
B. BCS 2
BCS 2 menunjukkan ternak kurus. Kondisi tersebut menunjukkan keadaan tubuh ternak
yang kurus, namun lebih baik dibandingkan dengan ternak pada kondisi BCS 1, tonjolan tulang
di berbagai tempat mulai tidak terlihat namun garis tulang rusuk masih terlihat jelas dan sudah
mulai terlihat ada sedikit perlemakan pada pangkal tulang ekor dimana pangkal tulang ekor
terlihat sedikit lebih bulat. Kondisi tubuh seperti ini, sapi jantan mengalami gangguan kesehatan
seperti ganguan pencernaan, cancingan dan mengalami kekurangan gizi (Putra et al., 2020).
C. BCS 3
Kondisi BCS 3 menunjukkan ternak sedang. keadaan tubuh yang sedang atau menengah
dapat dilihat dari tonjolan tulang yang sudah tidak terlihat lagi dan kerangka tubuh, pertulangan
dan perlemakan mulai terlihat seimbang namun masih terlihat jelas garis berbentuk segitiga
antara tulang hip (tulang panggul) dan rusuk bagian belakang dan tonjolan pangkal tulang ekor
sudah membentuk kurva karena adanya penimbunan perlemakan pada pangkal tulang ekor (Putra
et al., 2020).
D. BCS 4
Kondisi BCS 4 gemuk. Menunjukkan keadaan tubuh yang baik atau gemuk, kerangka
tubuh dan tonjolan tulang sudah tidak terlihat dan perlemakan sudah lebih menonjol pada semua
bagian tubuh. Garis tonjolan pangkal tulang ekor masih terlihat namun jika dilihat dari belakang.
Bagian belakang tubuh sudah mulai berbentuk persegi panjang yang menunjukkan perlemakan
pada bagian paha, pinggul dan paha bagian dalam. Pada kondisi tubuh seperti ini ternak akan
dapat meningkatkan produksi dan reproduksi serta kesehatan tidak terganggu selama musim
kekurangan pakan (Putra et al., 2020).
E. BCS 5
Kondisi BCS 5 sangat gemuk (obesitas). menunjukkan keadaan tubuh yang sangat gemuk,
kerangka tubuh dan struktur pertulangan sudah tidak terlihat dan tidak teraba. Tulang pangkal
ekor sudah tenggelam oleh perlemakan dan bentuk persegi panjang pada tubuh belakang sudah
membentuk lengkungan pada bagian kedua ujungnya. Pada kondisi tubuh seperti ini ternak akan
dapat berproduksi dan tidak terganggu oleh perubahan musim (Putra et al., 2020).
2.5. Uji-uji dalam Pemeriksaan Fisik Ruminansia
2.5.1. Uji Gumba
Uji gumba atau dikenal dengan sebutan back grip. Metode ini dilakukan dengan cara
menyiapkan ternak yang akan di ujikan. Kemudian letakkan tangan pada prosessus spinous
thoracis caudalis. Kemudian lipat dan tarik area tersebut, mengakibatkan reaksi pada punggung
yang terlihat seperti tenggelam (Braun et al., 2020).
2.5.2. Uji Tinju
Uji tinju atau dikenal juga dengan pain percussion. Metode ini dilakukan dengan
pemeriksa memukul area retikulum dengan rubber hummer atau dengan kepalan tangan untuk
perkusi. Kemudian merasakan atau mendengarkan gerak peristaltik dari retikulum (Braun et al.,
2020).
2.5.3. Uji Alu
Uji alu atau pole test dilakukan dengan sebuah tiang panjang dapat ditempatkan di bawah
sapi dan dipegang di setiap ujungnya oleh dua asisten. Dimulai dari xiphoid dan bergerak ke
caudal, tiang ditarik ke atas secara perlahan dan kemudian dibiarkan jatuh secara tiba-tiba. Area
nyeri di tekan dekat retikulum akan menunjukkan retikuloperitonitis traumatis (Braun et al.,
2020).
2.6. Pemeriksaan Klinis pada Sapi
2.6.1. Sistem Pencernaan

Pemeriksaan bagian sistem pencernaan dapat dimulai dari bibir bagian luar bersih dan
mulut agak lembab. Bibir dapat menutup dengan baik. Selaput lendir rongga mulut berwarna
merah muda (pink) merata, tidak ada pigmen, tidak ada luka. Terdapat cukup air liur membasahi
rongga mulut. Lidah berwarna merah muda merata, dimana tidak terdapat lesi, tidak ada luka dan
dapat bergerak bebas. Adanya keropeng di bagian bibir, air liur berlebih atau perubahan warna
selaput lendir (merah gelap/ungu, kekuningan atau pucat) menunjukkan hewan sakit. Lidah tidak
terjulur keluar (AIP- EID, 2015).
Pemeriksaan klinis perut dan pencernaan terkait organ-organ yang ada di dalamnya.
Tujuannya untuk melakukan pemeriksaan klinis perut dan mengidentifikasi gangguan pada
sistem pencernaan. Pemeriksaan klinis yang dapat dilakukan adalah pada daerah perut, lambung
dan usus. Pemeriksaan rumen dilakukan dengan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi, tabung
perut bisa digunakan juga. Dalam kasus kembung, sisi kiri akan menonjol, dan motilitas akan
menurun. Pemeriksaan reticulum dapat dilakukan dengan palpasi tangan. Pemeriksaan omasum
dilakukan dengan pungsi eksploratif (Duguma, 2016).
2.6.2. Sistem Pernapasan
Paru-paru terletak pada permukaan eksternal dari regio thoracic dengan membayangkan
bentuk segitiga di antara scapula, processus olicranum, dan spatium intercostale kedua dari
belakang. Dilakukan inspeksi untuk melihat pergerakan respirasi. Dilakuakn palpasi untuk
memeriksa adanya nyeri dengan memberikan tekanan. Dilakukan perkusi dengan memperhatikan
suara resonansi. Dilakukan auskultasi dengan memperhatikan bunyi bronkus (trakea dan anterior
bagian dari paru-paru) dan suara alveolar (Duguma, 2016).
Hewan sehat bernafas teratur, bergantian antara gerakan dada dan gerakan perut. Sesak
nafas, ngosngosan, nafas pendek adalah tanda hewan sakit. Beringus dan bernafas melalui
mulut/nafas terengahengah merupakan kondisi tidak normal kecuali dalam situasi stress.
Pemeriksaan Respirasi, untuk menentukan atau mengukur frekuensi respirasi dan tipe respirasi
hewan. Frekuensi respirasi diukur dengan menghitung siklus respirasi yaitu proses inspirasi dan
ekspirasi dalam satu satuan waktu, biasanya satu menit (AIP- EID, 2015).
2.6.3. Sistem Integumen
Pemeriksaan Kulit dan bulu, hewan yang sehat memiliki bulu yang bersih dan terawat,
bulunya mungkin kasar atau halus sesuai karakteristik keturunannya. Kulitnya halus, tidak
ditemukan ada lesi atau scabs/koreng. Kusam, terlihat kering, kotor dan rambut/bulu kasar
mungki merupakan tanda-tanda hewan yang kurang sehat (AIP- EID, 2015).
2.6.4. Sistem Kardiovaskuler
Denyut nadi sapi dapat diambil di arteri coccygeal (ujung kepala ekor), Pada kuda di arteri
permukaan dan pada kambing dan domba di arteri femoral. Seringkali sapi akan menunjukkan
denyut jugular (denyut di leher) yang dapat dilihat pada pengamatan secara diam-diam dari jarak
jauh. Pemeriksaan membran mukosa untuk melihat sirkulasi peripheral dapat dilakukan melalui
pemeriksaan sistem pencernaan (AIP- EID, 2015).
2.6.5. Muskuloskeletas
Hewan sehat berjalan dengan cara menempatkan kaki secara bergantian tanpa tersandung
atau terjatuh. Hewan dapat berjalan mundur dan dapat menjaga keseimbangan jika didorong dari
samping. Langkah bergantian teratur dan perubahan kecepatan dapat dikendalikan tanpa
kesulitan. Kaki dapat diangkat dengan tangan dan ditekuk pada hewan terlatih. Kepala tetap
tegak saat bergerak. Pincang, loyo, atau bahkan tak bisa berjalan menunjukkan hewan sedang
sakit atau terluka (AIP- EID, 2015).
2.6.6. Sistem Indera
A. Mata

Gambar 10. Mata sapi (Fails dan Christianne, 2018).


Bola mata bersih, bening dan cerah. Sedikit kotoran di sudut mata masih normal. Kelopak
mata bagian dalam (conjunctiva) berwarna kemerahan (pink) dan tidak ada luka. Kelainan yang
biasa dijumpai pada mata yaitu adanya kotoran berlebih yang menutupi mata, kelopak mata
bengkak, warna merah (inflamasi), kekuningan (icterus) atau pucat (tidak berwarna). Periksa
membrana mukosa konjungtiva. (video) Leleran, blepharospasm (AIP- EID, 2015).
B. Telinga
Gambar 11. Telinga sapi (Fails dan Christianne, 2018).
Telinga terdiri dari tiga daerah: bagian luar, tengah, dan telinga bagian dalam. Telinga
luar, juga disebut eksternal telinga, mengumpulkan gelombang suara dan mengarahkannya
ketelinga tengah. Telinga tengah membawa gelombang suara ini ke telinga bagian dalam, dan
telinga bagian dalam berisi reseptor untuk pendengaran dan keseimbangan (Akers dan Denbow,
2013).
C. Hidung

Gambar 12. Hidung sapi (Fails dan Christianne, 2018).


Hidung tampak luar agak lembab cenderung basah, tidak ada luka, kotoran, leleran atau
sumbatan. Cari jika ada vesikel. Pencet bagian hidung, apabila keluar cairan berarti terjadi
peradangan didalam hidung. Cairan hidung bisa berwarna bening, putih, hijau, merah, hitam atau
kuning. Cairan yang tidak jernih merupakan kondisi tidak normal (AIP- EID, 2015).
2.7. Cara Handling Ternak Besar
2.7.1. Sapi
2.7.2. Kuda

Gambar x. Handling kuda dengan Halter (Chastain, 2018).


Halter dan tali timah adalah peralatan paling dasar yang dibutuhkan untuk menangani dan
menahan kuda. Halter biasanya terbuat dari kulit, tali, nilon, atau poliester. Pawang harus
mendekati bahu kiri kuda pada sudut 45 derajat ke leher kuda dan kemudian menggosok bahu.
Tali timah kemudian dikalungkan di leher kuda tepat di dan pawang meraih di bawah lehernya
untuk menangkap kuda dengan tali pengikat di lehernya. Lingkaran harus dipindahkan ke sekitar
area leher tengah. Jika perlu, kuda diposisikan ulang di kandang. Pawang menghadap ke depan
relatif terhadap kuda, melepaskan tali utama, dan memegang gesper halter dan tali di tangan kiri.
Lengan kanan pawang mencapai leher kuda. Tali yang tidak diikat dipindahkan ke tangan kanan
pawang, yang kemudian memungkinkan dia untuk membatasi pergerakan kuda dengan
melingkarkan lengannya dan halter di sekitar lehernya. Pita hidung halter ditempatkan di atas
hidung kuda dengan gerakan menyendok. Tangan kanan membawa tali melewati leher tepat di
belakang telinga dan halter kemudian ditekuk, atau diikat (Chastain, 2018).

Gambar x. Handling kuda dengan diikat (Chastain, 2018).


Risiko bahwa seekor kuda mencoba melepaskan diri dari ikatan harus selalu diantisipasi.
Kuda hanya boleh diikat ke benda padat yang dapat menahan tarikan kuda biasa seberat 544,3 kg
dengan seluruh kekuatannya dan yang tidak berderak, berdentang, atau membuat suara lain saat
ditarik. Ini tidak termasuk gerbang, rel pagar, pintu kios, dan trailer yang tidak diikat sebagai
benda aman yang dapat diikatkan kuda. Untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi
kuda yang mungkin tertarik ke belakang saat diikat, tali harus diikat dengan kunci pengaman
agar lebih mudah membebaskan kuda dari masalah, dan pawang harus selalu memiliki pisau
yang siap untuk memotong kuda, jika diperlukan, untuk mencegah cedera. Saat kuda menarik ke
belakang, kemungkinan besar akan terluka jika diikat terlalu rendah atau dengan terlalu banyak
tali di antara kuda dan halangan. Halangan tali harus diikat pada atau tepat di atas ketinggian
kayu, sekitar satu lengan panjangnya dari halangan (Chastain, 2018).
2.7.3. Kerbau
2.7.4. Kambing
2.8. Penyakit yang Menyerang Ternak Besar
2.8.1. Sapi
A. Akabane (Arthogryposis Hydeanencephaly)

Gambar . Akabane (Kemtan, 2014).


1. Etiologi
Akabane adalah penyakit menular non-contagious yang disebabkan oleh virus dan ditandai
dengan adanya Arthrogryposis (AG) disertai atau tanpa Hydraencephaly (HE). Hewan yang peka
adalah sapi, domba dan kambing. Kejadian penyakit biasanya bersifat sporadik akan tetapi
kondisi ini dapat berubah menjadi kejadian penyakit yang bersifat epidemik (Kemtan, 2014).
2. Patogenesa
Penyakit Akabane disebabkan oleh virus yang diklasifi kasikan pada RNA virus yang
termasuk sub grup Simbu dan famili Bunyaviridac. Secara serologik ditemukan zat kebal
terhadap Akabane pada sapi-sapi di Indonesia. Penularan penyakit Akabane adalah melaui
gigitan vektor Culicoides sp. Sapi, domba dan kambing adalah spesies rentan terhadap penyakit
Akabane (Kemtan, 2014).
3. Gejala Klinis
Penyakit Akabane ditandai dengan adanya cacat tubuh pada keturunan yang dilahirkan dan
hewan yang terinfeksi. Cacat tubuh dapat berupa arthrogryposis yaitu pembengkakan persendian
yang bersifat primer pada kaki dan kondisi ini biasanya terjadi bilateral, skoliasis yaitu
pembengkokan tulang punggung, otot gerak mengalami atropi sehingga pedet yang dilahirkan
tidak dapat berdiri. Apabila yang terserang susunan saraf pusat maka akan terlihat adanya
hydroencephaly. Pada induk sapi yang sedang bunting dapat terjadi keguguran, kelahiran dini,
lahir mati atau mumifi kasi fetus. Anak sapi yang lahir dengan gejala AG atau HE dapat hidup
sampai beberapa bulan dengan gejala gangguan koordinasi (ataksia), kebutaan, disfagia atau
gangguan regurgitasi (Kemtan, 2014).
4. Predisposisi
Penyakit Akabane dicurigai di Jawa Tengah pada sapi perah impor dari Australia yang
melahirkan pedet dengan gejala AG, mumifikasi fetus, abortus dan HE yaitu pada tahun 1981.
Kerugian yang diakibatkan oleh penyakit Akabane ialah keguguran, mumifikasi fetus dan
kelahiran cacat (Kemtan, 2014).
5. Diagnosis
Sapi bunting yang diduga terinfeksi virus Akabane akan mengalami abortus atau lahir mati
dan ditemukan adanya AG atau HE yang bersifat kongenital serta terjadi secara sporadik atau
endemik. Dapat pula dilakukan Hemaglutination Inhibitation Test dan Netralization Test.
Antibodi dapat dideteksi pada fetus atau pada serum pedet sebelum diberi kolostrum. Isolasi dan
identifikasi dapat dilakukan dengan inokulasi otak fetus pada anak tikus putih atau pada biakan
jaringan yaitu BHK-21 atau HM Lu-1 sel (Kemtan, 2014).
6. Diagnosa Banding
Harus dibedakan dengan kejadiaan abortus, lahir dini atau lahir mati yang disebabkan oleh
infeksi virus IBR. Kejadian abortus dan cerebellarhypoplasia yang disebabkan oleh infeksi virus
BVD-MD (Kemtan, 2014).
7. Prognosis
Pada kasus abortus, lahir mati atau kelahiran anomali yaitu infausta. Hal ini dikarenakan
penyakit ini disebabkan oleh virus. Sistem imun yang kuatlah yang bisa mencegah penyakit ini
menimbulkan gejala klinis. Akan tetapi bila gejala klinis telah muncul maka sulit untuk
melakukan tindakan penyembuhan (Kemtan, 2014).
8. Pengobatan
Belum ada pengobatan untuk abortus, lahir mati atau kelahiran anomali. Akan tetapi
pencegahan, pengendalian dan pemberantasan dapat dilakukan. Vaksinasi perlu dipertimbangkan
bila banyak hewan yang terserang atau menimbulkan kerugian yang besar. Pengendalian vektor
penyebab penyakit yaitu dengan spraying mungkin dapat mencegah penyakit Akabane meluas.
Untuk penolakan penyakit, maka dapat dilakukan penolakan pemasukan sapi bunting dari negara
tidak bebas penyakit Akabane. Bila terpaksa harus melakukan pemasukan hewan dari negara
bebas ke negeri terserang hanya untuk hewan -hewan muda saja, karena hewan muda ini
diharapkan mendapat kekebalan melalui infeksi alam sebelum bunting (Kemtan, 2014).
B. Bovine Ephemeral Fever (BEF)

Gambar . Bovine Ephemeral Fever (BEF) (Kemtan, 2014).


1. Etiologi
Bovine Ephemeral Fever (BEF) adalah suatu penyakit viral pada sapi yang ditularkan oleh
serangga (arthropod borne viral disease). Penyakit ini bersifat benign non-contagius, yang
ditandai dengan demam mendadak dan kaku pada persendian. Penyakit dapat sembuh kembali
beberapa hari kemudian (Kemtan, 2014).
2. Patogenesa
Penyebab BEF merupakan virus Double Stranded Ribonucleic Acid (ds-RNA), memiliki
amplop, berbentuk peluru dengan ukuran 80 x 120 x 140 nm yang mempunyai tonjolan pada
amplopnya. Virus BEF diklasifikasikan sebagai Rhabdovirus dari famili Rhabdoviridae, dan
masih satu kelompok dengan virus rabies dan vesicular stomatitis. Penyakit BEF bersifat
sporadik. Masa inkubasi penyakit berkisar antara 2-10 hari dan kebanyakan penderita
menunjukkan gejala dalam waktu 2- 4 hari. Angka morbiditas biasanya tinggi, tetapi angka
mortalitas rendah (2-5%) (Kemtan, 2014).
3. Predisposisi
Virus BEF hanya menginfeksi sapi, tetapi pernah dilaporkan pada kerbau. Sapi muda dan
sapi dewasa dapat terserang penyakit ini. Sapi yang sembuh dari penyakit BEF dapat kebal
selama 2 tahun. Pada musim penghujan banyak ditemukan kasus BEF. Penyebaran secara
epizootik dipengaruhi oleh vektor dan angin. Angin yang bersifat lembab dan basah dapat
memindahkan serangga sejauh 100 km atau lebih (Kemtan, 2014).
4. Gejala Klinis
Gejala klinis bervariasi dan bahkan tidak semua sapi atau kerbau yang terinfeksi
menunjukkan tanda klinis. Gejala awal yang muncul adalah demam tinggi secara mendadak
(40,5 –41°C), nafsu makan hilang, peningkatan pernapasan dan kesulitan bernapas (dyspneu),
diikuti dengan keluarnya leleran hidung dan mata (lakrimasi) yang bersifat serous. Jalan kaku
dan pincang karena rasa sakit, kemudian dapat terjadi kelumpuhan dan kesakitan pada kaki, otot
gemetar serta lemah. Kekakuan mulai dari satu kaki ke kaki yang lain, sehingga hewan tidak
dapat berdiri selama 3 hari atau lebih. Leher dan punggung mengalami pembengkakan. Produksi
susu menurun dengan tajam. Kadang-kadang pada tahap akhir kebuntingan diikuti adanya
keguguran. Gambaran darah dalam fase demam menunjukkan adanya kenaikan jumlah neutrofil
dan penurunan limfosit. Biasanya dijumpai lekositosis pada awal penyakit, kemudian diikuti
dengan lekopenia (Kemtan, 2014).
5. Diagnosa
Diagnosa penyakit dapat didasarkan atas gejala klinis, isolasi dan identifi kasi virus. Secara
serologi antibodi dapat dideteksi dengan CFT (complemnt fi xation test), serum neutralization
test (SNT), Agar Gel Precipitation Test (AGPT) dan enzyme linked immunosorbent assay
(ELISA) yang diambil pada saat kondisi akut dan konvalesen. Secara molekuler virus BEF dapat
didiagnosa dengan Polymerase Chain Reaction (PCR), dot blot hybridization dan sequencing
(Kemtan, 2014).
6. Diagnosa Banding
Seringkali BEF dikelirukan dengan infeksi Septicaemia Epizootica (SE), Surra, Infectious
Bovine Rhinotracjheitis (IBR), virus Parainfluenza-3, virus respiratory syncytial dan bovine
adenovirus (Kemtan, 2014).
7. Prognosis
Prognosis dari penyakit ini adalah fausta. Walaupun disebabkan oleh virus akan tetapi
virus penyebab penyakit ini bukanlah salah satu dari jenis virus yang ganas. Dengan sistem imun
yang baik dapat membentuk kekebalan terhadap virus ini. Penyakit dapat sembuh kembali
beberapa hari kemudian (Kemtan, 2014).
8. Pengobatan
Sampai saat ini tidak ada pengobatan yang efektif untuk penyakit BEF. Pemberian
antibiotik berspektrum luas dianjurkan untuk mencegah infeksi sekunder dan multi vitamin untuk
mengatasi adanya stress (Kemtan, 2014).
2.8.2. Kuda
A. Selakarang
Gambar.. penyakit selakarang (Ahmad dan Anis, 2012)
Penyakit mikotik ini disebabkan oleh cendawan dimorfik Histoplasma farciminosum, atau
dengan beberapa nama lain yaitu Cryptococcus farciminosum, Equine Blastomycosis, Equine
Histoplasmosis.
1. Etiologi
Cendawan Histoplasma farciminosum penyebab penyakit ini adalah jenis dimorfik.
Dinamakan dimorfik karena cendawan tersebut dapat berbentuk khamir (spora) pada temperatur
370C dan miselium pada temperatur 25 – 30 0C. Selain itu morfologi mirip dengan Histoplasma
capsulatum. Cendawan tersebut berbentuk khamir mulai dalam wujud ovoid sampai globos
dengan diameter berukuran 2 – 5 µm, dapat ditemukan pada ekstra-seluler dan intra-seluler di
dalam sel-sel makrofag dan sel raksasa. Dalam bentuk miselia tumbuh dengan lambat berbentuk
arial. Koloni berwarna abu-abu dan permukaannya seperti kulit. Pada media Sabouroud
Dekstrosa Agar (SDA) menghasilkan hifa yang pendek-pendek dan tidak teratur bentuknya. Hifa
ini mengelilingi badan cendawan yang kemudian akhirnya membentuk oval sehingga dinamakan
Rudimentary aleuriospora. Pada media agar darah, pertumbuhannya di medium berwarna abu-
abu, tebal dan datar dengan koloni agak rapat mempunyai segmen tipis dengan pertumbuhan
khlamidospora di ujung (Ahmad dan Anis, 2012).
2. Patogenesa
Inkubasi mulai beberapa minggu hingga 6 bulan. Infeksi oleh Histoplasma farciminosum
dapat berkembang ketika mikrokonidia atau fase miselia (25 – 30C) terhirup masuk ke paru-
paru dan ketika cendawan ini masuk ke dalam tubuh yang bersuhu 37C menjadi bentuk khamir
yang patogenik. Khamir difagositosit oleh makrofag-makrofag namun khamir tersebut berubah
menjadi parasitik dan menggunakan makrofag sebagai tempat memperbanyak diri. Hasil
proliferasi di dalam bronkhopneumonia itu termasuk pada lobulus-lobulus paru-paru sekunder
yang tertular. Jalur lain masuknya H. farciminosum juga lewat perlukaan atau kulit yang terbuka
karena luka lecet atau gesekan, kemudian masuk ke peredaran darah. Bila tubuh lemah maka
akan terjadi infeksi yang menyebabkan terjadinya penyakit. Invasi mulai dari kulit, organisme
menyebar melalui pembuluh limfe menuju daerah limfonodul, atau masuk menembus organ
dalam, lesi bernanah dan bisul ada di dalam kulit di sepanjang pembuluh limfe. Lesi mukosal
terjadi pada mukosa nasal dan mukosa okuler. Paru-paru juga terkena dan menimbulkan gejala
pneumonia. Respon patogenik ditandai dengan peradangan granulomatus yang didominasi oleh
sel makrofag, limfosit, sel plasma dan sel-sel raksasa. Migrasi oleh limfosit regional dan akibat
dari dominasi hematogenous memperbanyak parasit yang telah difagositosis makrofag melalui
sistem Reticulo Endothelial System (RES) khususnya limpa. Di dalam kasus imuno kompeten
inang spesifik, sel T imunitas berkembang dalam 1 – 4 minggu dan terjadi pengendalian infeksi,
bersamaan dengan kejadian ini gejala klinis spontan meningkat, involusi dan kapsulisasi serta
kejadian kalsifikasi menjadi residu dari infeksi yang khas membentuk granuloma (Ahmad dan
Anis, 2012).
3. Gejala Klinis
Kuda yang terserang akan ditandai dengan ulserasi pada kulit yang bersifat undulatif.
Kerusakan jaringan ini terjadi setelah beberapa minggu hingga 3 bulan masa infeksi. Bisul-bisul
ditemukan pada bagian kaki, dada, leher, bibir, skrotum, mata dan kaki yang selanjutnya
ditemukan penebalan saluran limfe bagian superfisial, pembesaran nodus limfangitis regional,
pembentukan abses bercampur darah dan berakhir dengan terbentuknya ulser pada kulit yang
lebih kecil- kecil yang lama kelamaan ulser akan menyatu sehingga kulit menebal membentuk
jaringan ikat. Menurut tempat serangannya dapat digolongkan kutan dan nasal serta okuler
(Ahmad dan Anis, 2012).
4. Predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya selakarang adalah adanya luka. Luka tersebut yang
memungkinkan berkembangnya penyakit tersebut. Kuda berumur di bawah 6 tahun lebih rentan
terhadap penyakit ini (Pudjiatmoko, 2014).
5. Diagnosa
Selain gejala klinis yang nampak pada hewan dapat dilakukan pemeriksaan langsung pada
agen penyebab penyakit melalui preparat ulas yang diwarnai dengan pewarnaan Gram atau
lactophenol cotton blue. Pemeriksaan biakan yang diinokulasikan pada agar medium juga dapat
dilakukan, namun memerlukan waktu yang cukup lama. Melalui uji serologis dapat menghemat
waktu diagnosis, misalnya passive haemagglutination test, Fluorescent Antibody Test (Ahmad
dan Anis, 2012).
6. Diagnosa Banding
Gejala klinis yang membentuk ulser mirip dengan penyakit maleus namun pada Selakarang
ini ulser manjadi satu sedangkan ulser maleus berdiri sendiri- sendiri. Pada sporotrichosis
produksi nanah sedikit dan infeksi bukan pada saluran limfe. Lymphangitis ulseratif yang akut
disebabkan oleh Corynebacterium pseudotuberculosis. Agen diagnosis dapat dibedakan dengan
mudah melalui uji serologis (FAT dan Haemagglutinasi) dan pembiakan kultur (Ahmad dan
Anis, 2012).
7. Pengobatan
Pengobatan ada berbagai macam, mulai dengan melakukan operasi dengan pembedahan
pada nodulus, bisul, ulser, lalu diobati dengan KI, atau HgI juga dengan suntikan HgCl2, sampai
dengan penggunaan Amphotericin B, Clotrimazole, Nystatin yang juga efektif di dalam kasus
Selakarang ini. Kemudian menambahkan pengobatan dengan Sodium Iodida (NaI), Ended
(Phytolocia dodecanta) dan PenStrep (8 mg Procaine penicillin dan 10 mg Dihydrostreptomycin
sulfat). Pemberian antibiotika untuk mengobati infeksi sekunder dari bakteri. Namun demikian
hendaknya dipikirkan bahwa pengobatan pada ternak tidak begitu ekonomis kecuali hewan
kesayangan. Operasi dan pengobatan harus dilakukan dengan seksama dan menyeluruh agar
kuda tidak kambuh lagi. Vaksinasi dengan bibit kuman yang telah dimatikan atau dilemahkan
dapat dilakukan pada daerah endemis. Diharapkan kuda yang sembuh dari gejala klinis akan
kebal terhadap serangan infeksi ulang penyakit. Namun sementara ini vaksinnya belum tersedia
(Ahmad dan Anis, 2012).
B. Contagious Equine Metristis

Gambar.. Contagious Equine Metritis (Pudjiatmoko, 2014).


1. Etiologi
Penyebab Contagious equine metritis (CEM) pada mulanya disebut Contagious equine
metritis organism (CEMO), kemudian Haemophilus equigenitalis dan terakhir Taylorela
equigonitalis. Pertumbuhan Thylorella equigenitalis membutuhkan waktu minimal 48 jam bisa
0
sampai 13 hari tetapi biasanya tidak lebih 6 hari pada temperatur 37 C di media darah yang
dipanasi dan diinkubasi dalam kondisi mengandung CO2 5-10%. Koloni sangat kecil, diameter
2-3 mm, berwarna abu-abu kekuningan, halus dan tepi rata. Tumbuh baik pada media peptone
chocolate agar, Gram negatif, kecil, bentuk batang pendek, kadang pleomorfik, bipoler, acid
fast, non motil, katalase, fosfat dan oksidase positif. Tidak bereaksi atau negatif terhadap
berbagai standar pengujian bakteriologi (Pudjiatmoko, 2014).
2. Gejala Klinis
Gejala klinis CEM mulai muncul 1-6 hari pasca infeksi atau sampai 80 hari. Setelah
tertular pada kuda betina akan mengeluarkan cairan mukopurulenta tanpa bau dari saluran
genital. Pada kasus berat, cairannya akan banyak sekali, bila kasusnya ringan cairan putih
keabuan hanya sedikit terkumpul di dasar vagina pada mukosa vagina. Biasanya sekresi akan
hilang setelah 3-4 minggu, dan kuda dapat kembali estrus dalam beberapa hari setelah infeksi.
Penyakit dapat mengakibatkan infertilitas dan aborsi dini. Gejala yang nyata akibat CEM tidak
terlihat pada kuda jantan (Pudjiatmoko, 2014).
3. Predisposisi
Kuda merupakan hospes alami, hanya untuk equigenitalis thoroughbred tampaknya sangat
rentan. Adanya imunitas yang lemah dan kurangnya kebersihan lingkungan dapat memudahkan
terjadinya penyakit CEM. Perlakuan yang tidak higienis selama pembersihan dan pemeriksaan
alat kelamin kuda dapat menyebabkan terjadinya penularan, sehingga pemeriksaan alat kelamin
harus dilakukan se-aseptis mungkin. Infeksi ditandai adanya endometiris, servisitis dan vaginitis.
Sering keluar cairan mukopurulenta 2-10 hari setelah perkawinan dan mungkin terlihat keluar
dari vulva, membasahi bagian belakang tubuh hewan dan mengotori ekor. Kuda yang menderita
parah akan mengakibatkan metritis kronis dan menyebabkan terjadinya infertilitas (Pudjiatmoko,
2014).
4. Diagnosa
Bila terlihat gejala klinis setelah musim kawin, dapat ditandai dengan adanya estrus kembali dan
adanya sekresi pada saluran genital. Antibodi tidak spesifik terhadap gejala klinis penyakit ini,
tidak ada pada serum induk atau pejantan yang karier, sehingga pengujian serologis tidak praktis.
Tidak ada uji serologis yang cocok untuk kontrol dan mendeteksi penyakit ini. Bermacam-
macam uji serotipe telah dikembangkan mulai dari slide agglutination sampai dengan direct dan
indirect immunofluorescense. Masing -masing metoda mempunyai keuntungan dan kerugian,
kelemahan uji aglutinasi kadang terjadi autoglutinasi bila dibiakkan dalam udara yang
mengandung CO2, sebaliknya bila dalam wadah berlilin (candle jar) dapat mengurangi
autoglutinasi. Dianjurkan menggunakan immunofluorescense. untuk aktifasi autoglutinasi, tetapi
uji ini dapat bereaksi silang dengan organisme lain seperti Pasteurella haemolytica, sehingga
perlu diulangi dengan menggunakan antisentrum yang telah diserap (Pudjiatmoko, 2014).
5. Diagnosa Banding
Ada dua infeksi alat kelamin yang paling umum pada kuda betina yang dapat mengacaukan
diagnosa yaitu yang disebabkan oleh Klebsiella penumoniae dan Pseudomonas aeroginosa.
Selain itu juga dilaporkan akibat bakteri lain seperti Streptococcus zooepidemicus,
Streptococcosis dan Microccosis. Diagnosa harus dikonfirmasikan dengan isolasi penyebabnya
berupa organisme Gram negatif dengan bentuk batang pendek (Pudjiatmoko, 2014).
6. Pengobatan
Penggunaan larutan chlorhexidine gluconate tidak lebih 0,25% untuk irigasi uterus.
Penggunaan larutan chlorhexidine gluiconate 2% tiga kali sehari terhadap penis kuda arab tidak
menyebabkan iritasi. Penggunaan gentamicin sulfat lebih baik dari pada ampicilin atau
kombinasi sodium benzyl penicillin dan polymixin B sulphate (Pudjiatmoko, 2014).
2.8.3. Kerbau
A. Surra
Gambar. Penyakit surra (Tedjo, 2021)
1. Etiologi
Surra adalah penyakit hewan menular yang disebabkan oleh parasit protozoa
Trypanosoma evansi, yang dapat bersifat akut atau kronis dan tersebar luas di daerah tropik dan
subtropik, kecuali Australia. Di Indonesia, penyakit Surra (Trypanosomiasis) merupakan salah
satu di antara penyakit hewan menular penting yang menyerang ruminansia besar dan kuda.
2. Patogenesa
Studi patogenesis T. evansi pada sapi dan kerbau dilaporkannya bahwa, hewan yang
diinfeksi dengan menyuntikkan T. evansi (dosis 107 Trypanosome) secara intra venus,
menunjukkan tidak adanya gejala klinis akut (Surra akut). Beberapa lama kemudian, barulah
hewan memperlihatkan gejala klinis (Surra kronis) dan gejala pada anak lebih nyata di
banding hewan dewasa (Tarmudji, 2013).
3. Predisposisi
Predisposisi dari penyakit surra adalah topografi daerah dan manajemen ternak.
Pemeliharaan ternak secara tradisional dengan menggembalakan ternak secara bersama-sama di
areal padang penggembalaan dimana batas lahan pertanian tidak jelas, lading terbuka yang
hanya dibatasi semak belukar, sengai dan hutam tempat sapi mencari rumput dan air minum.
Penyakit ini ditularkan secara mekanik oleh lalat penghisap darah dari genus Tabanus dan
Stomoxys . Lalat memindahkan T. evansi pada saat menghisap makanan/darah pada tubuh
hewan, karena terganggu lalat tersebut kemudian pindah ke hewan lain dengan cepat untuk
melanjutkan kegiatan makannya. Parasit darah ini dapat hidup dalam mulut lalat selama 30
menit sampai enam jam (Tarmudji, 2013).
4. Gejala Klinis
Kerbau yang terinfeksi oleh T. evansi, tidak memperlihatkan gejala klinis yang nyata.
Pada infeksi kronis, hewan terlihat kurus, lesu, anemia dan ada oedema pada bagian dada
sampai bawah perut, suhu rektal tinggi (lebih dari 40C). Gejala kronis yang sering ditemui
pada kerbau impor maupun lokal yang terserang secara alami oleh T. evansi adalah: demam
intermiten, anemia, anoreksia, depresi dan gejala syaraf. Kelainan pascamati tidak spesifik,
sedang gambaran histopatologik berupa peradangan jantung, nekrosis limpa dan hati serta
peradangan paru-paru (Tarmudji, 2013).
5. Diagnosa
Wabah Surra dapat terjadi ketika T. evansi dibawa oleh hewan “karier” yang memasuki
daerah baru. Atau terjadi pada hewan yang berasal dari daerah bebas Surra yang dipindahkan
ke daerah endemik. Kerbau yang mengalami infeksi kronis dapat merupakan sumber infeksi
untuk ternak lain yang peka. Diagnosa dari surra berdasarkan gejala klinis yag muncul
dilakukan dengan uji parasit, uji serologis dan uji molekuler untuk diagnosis konfirmatif. Uji
parasite dilakukan dengan tes hematologi, MHCT, dan MIT. Uji serologi dilakukan dengan
metode CATT dan ELISA. Sedangkan uji molekulaer dilakukan dengan PCR (Tarmudji, 2013).
6. Diagnosa banding
Surra pada sapi dan kerbau dapat dikelirukan dengan beberapa penyakit lain. Contohnya
seperti babesiosis, anaplasmosis, theileriosis, pendarahan sepsis, anthraks, penyakit kronis dan
malnutrisi. Kemungkinan kesembuhan dilihat dari sejauh mana infeksi penyakit tersebut
(Tarmudji, 2013).
7. Prognosis
Penyakit ini bersifat akut pada kuda dan berakibat fatal, apabila tidak segera diobati, seang
pada kerbau bersifat kronis dan kurang patogen sehingga dapat dikategorikan infausta . Namun
demikian, Surra pada kerbau yang biasanya bersifat kronis-subklinis ini, adakalanya bersifat
akut (Tarmudji, 2013).
8. Pengobatan
Pengendalian penyakit pada kerbau, secara umum tidak berbeda dengan cara-cara
pengendalian penyakit pada hewan lainnya. Sistem kewaspadaan dini (Early Warning System)
sangatlah penting untuk mengantisipasi kejadian wabah penyakit. Sistem ini meliputi:
pemantauan (monitoring), pengamatan (surveillance) dan penyidikan (investigasi) . Obat T.
evansi yang terdapat di Indonesia adalah suramin (naganol) dan Isometamidium chloride
(trypamidium). Suramin diberikan pada hewan sakit dengan dosis 10 mg/kg dalam larutan 10%
secara intra vena dan dosis untuk untuk pencegahan adalah 3 mg/kg Terhadap hewan impor
yang peka terhadap parasit ini, harus diobati pada saat mereka baru datang di daerah endemik
Surra, untuk mengurangi keganasan penyakit sewaktu mereka memperoleh infeksi awal.
Suramin merupakan obat yang paling efektif untuk pengendalian Surra, namun saat ini obat
tersebut sulit diperoleh. Untuk mengatasi masalah obat ini, harus dicarikan obat alternatif yang
murah, efektif dan mudah aplikasinya serta mudah didapatkan di pasaran (Tarmudji, 2013).
B. Fasciolis

Gambar. Telur cacing fasciola (Yohanes et al., 2019)


1. Etiologi
Fasciolosis atau Distomatosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh F. hepatica
atau F. gigantica. Penyakit ini menyerang ternak ruminansia dan dapat menimbulkan problema
yang serius. Selain menimbulkan kerugian ekonomi, akibat penurunan bobot badan,
pertumbuhan hewan terhambat dan sebagian atau seluruh organ hati rusak dan harus diafkir.
Untuk seluruh Indonesia, kerugian akibat penyakit ini, setiap tahunnya sebanyak kira-kira 57,5
juta kilo berat badan hilang dan yang terbesar pada hewan-hewan muda (Tarmudji, 2013).
2. Patogenesa
Kasus fasciolosis dapat menyebabkan kematian. Pada awal dimulai infeksinya ternak akan
terlihat baik-baik saja namun jika sudah menginfeksi dalam jumlah yang banyak maka akan besar
danpaknya. Beberapa eko kerbau yang mati ditemukan adannya siput lymnaea sp yang di duga
sebagai vector (Tarmudji, 2013).
3. Predisposisi
Sejumlah spesimen organ tubuh ternak ruminansia dari beberapa daerah di Indonesia,
berdasarkan aspek patologik sebagian besar didiagnosa Distomatosis. Kelainan hati yang
menonjol berupa sirosis, hiperplasia dinding pembuluh empedu dan ditemukannya larva cacing,
degenerasi dan nekrosa selsel hati disertai infiltrasi sel-sel makrofage dan limfosit (Tarmudji,
2013).
4. Gejala klinis
Penyakit ini mempunyai dua bentuk klinis. Pertama, fasciolosis akut, yaitu suatu bentuk
invasi traumatik pada parenkim hati oleh cacing hati yang belum dewasa. Trauma dan reaksi
inflamasi yang berat akan menimbulkan rasa sakit di daerah perut dan sering diikuti kematian
ternak dalam beberapa hari. Kedua, Fasciolosis kronis: adalah keadaan yang secara klasik
banyak ditemukan adanya parasit cacing dewasa yang menyebabkan kalsifikasi dan fibrosis
serta pembesaran saluran empedu (Tarmudji, 2013).
5. Diagnosa
Diagnosa penyakit ini dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah dan pemeriksaan feses.
Pemeriksaan darah seperti RBT, HCT, PDW. Sedangkan uji feses dapat dengan menggunakan uji
natif (Tarmudji, 2013).
6. Diagnosa banding
Penyakit ini disebabkan oleh cacing fasciola sp. Diagnosa bandingnya dapat dilihat dengan
melihat gejala yang dialami oleh ternak. Biasanya, penyakit yang mirip adalah penyakit yang
disebabkan oleh jenis cacing (Tarmudji, 2013).
7. Prognosis
Karena penyakit ini dapat menyebabkan kematian maka dapat dikatakan infausta. Tetapi
jika ditangani dengan cepat maka kemungkinan dubius. Hal ini juga dikondisikan dari kondisi
ternak (Tarmudji, 2013).
8. Pengobatan
Strategi pengendalian fasciolosis (F. gigantica) dapat dilakukan secara terpadu dengan
melakukan beberapa kegiatan, yaitu: kesatu, pengobatan hewan yang terinfeksi dengan flukisida
(Triclabendazole); kedua, penggunaan kotoran kerbau/sapi sebagai pupuk kandang tidak dalam
keadaan segar, melainkan sudah menjadi kompos; ketiga, penggunaan jerami yang bebas
metacercaria sebagai pakan ternak; dan keempat, pengendalian secara biologis dan manajemen
kandang. Pengobatan dengan triclabendazole (TCBZ) dapat diberikan satu bulan setelah
selesainya panen terakhir di suatu daerah pada musim kering. TCBZ merupakan obat cacing
pada sapi dan kerbau. Obat ini mampu membunuh cacing F.gigantica pada sapi, baik yang muda
maupun dewasa, sedang pada kerbau hanya mampu membunuh cacing dewasanya saja. Tanggap
kebal pada sapi terjadi lebih cepat dibandingkan kerbau, namun penurunan antibodi terendah
adalah sama yaitu, sekitar 7 minggu pascapengobatan (Tarmudji, 2013).
2.8.4. Kambing
A. Orf

Gambar . Orf pada kambing (Hajkazemi et al., 2016).


Orf virus (ORFV) adalah anggota dari genus parapoxvirus, dalam subfamili
chordopoxvirine dari keluarga poxvir-idea. Virus ecthyma menular (Orf), akut, melemahkan,dan
penyakit kulit penting secara ekonomi pada kambing dan beberapa hewan peliharaan lainnya dan
kadang-kadang hewan liar lainnya yang memiliki distribusi di seluruh dunia. Hewan yang
terinfeksi orf virus biasanya mengembangkan luka kudis (lesi) di sekitar bibir, moncong dan di
mulut mereka. Penyakit ini mempengaruhi kulit hewan yang terinfeksi seperti kambing dan
sangat penting secara zoonosis. Virus masuk terutama ke daerah atau wilayah baru dengan
masuknya hewan yang terinfeksi. Dengan semua tindakan ini, virus dapat bertahan selama
berbulan-bulan dalam daerah yang terkontaminasi. Untuk mencegah penyakit dari penyebaran,
pengenaan karantina di peternakan dan tempat yang terinfeksi diperlukan. Orf adalah penyakit
zoonosis di alam, jadi kasus ini harus ditangani dengan hati-hati dan masyarakat harus
diinformasikan tentang keterkomunikasian dari penyakit itu kepada manusia (Hajkazemi et al.,
2016).
B. Enteritis Akibat Nematodiasis dan Koksidiosis
Gambar . Kambing yang lemas akibat infeksi enteritis (Fangidae et al., 2019).
Nematodiasis dan koksidiosis merupakan penyakit pada kambing yang dapat menimbulkan
kerugian ekonomi yang besar bagi peternak. Seekor kambing Peranakan Ettawa (PE) betina
berumur 1 tahun dan berat badan 35 kg, dianamnesis mengalami diare, lemas dan nafsu makan
menurun. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan rambut yang kasar, konjungtiva dan gingiva
hiperemis, limfaglandula mandibularis dexter bengkak, pada hidung terdapat leleran
mukopurulen, peristaltik usus meningkat dan konsistensi feses yang lembek. Hasil pemeriksaan
sampel feses ditemukan adanya ookista Eimeria spp., larva nematoda jenis strongyle dan telur
cacing strongyle. Berdasarkan anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan fisik dan laboratorium maka
kambing didiagnosis mengalami enteritis akibat nematodiasis dan koksidiosis dengan prognosis
fausta. Pengobatan yang diberikan adalah Albendazole 8,5 mg/kg BB (PO), Oxytetracycline 17
mg/kg BB (IM), Diphenhydramine HCL 1 mg/kg BB (IM) dan injeksi multivitamin 3 mL (IM)
(Fangidae et al., 2019).
3. MATERI DAN METODE
3.1 Materi
Praktikum pemeriksaan hewan lab dilaksanakan secara offline di Rumah Potong Hewan
Makassar (RPH), Antang. Dalam praktikum asisten menjelaskan dan mendemonstrasikan secara
langsung mengenai cara pemeriksaan pada hewan ternak besar khususnya pada sapi yang
terdapat di RPH Antang.
3.2 Metode
Adapun metode yang digunakan dalam memeriksa probandus adalah metode pemeriksaan
secara inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perkusi serta uji khusus pada ternak seperti uji alu, uji
gumba, dan uji tinju.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Adapun metode yang digunakan dalam memeriksa probandus adalah metode pemeriksaan
secara inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perkusi serta uji khusus pada ternak seperti uji alu, uji
gumba, dan uji tinju.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Pemeriksaan Klinis pada Sapi
A. Sinyalemen
Sinyalemen atau identitas diri atau ciri-ciri dari seekor hewan merupakan ciri pembeda
yang membedakannya dari hewan lain sebangsa dan sewarna meski ada kemiripan satu sama
lain. Data sinyalemen penting diketahui untuk rekam medik dari pasien jika sewaktu-waktu
pasien dibawa ke luar kota dan diperiksa di rumah sakit lain. Data sinyalemen hewan pada saat
praktikum antara lain:
a. Nama, sebagai penanda penting untuk diketahui, untuk lebih memudahkan dalam proses
recording data dari hewan.
b. Jenis hewan / spesies, jenis hewan penting untuk diketahui, berkaitan dengan predisposisi
karena banyak penyakit yang khusus hanya menyerang sapi misalnya antraks. Pada praktikum
kali ini jenis hewan yang dilakukan pemeriksaan yaitu sapi.
c. Jenis Kelamin, jenis kelamin juga penting untuk diketahui untuk kepentingan penanganan.
d. Warna rambut, warna rambut bisa merujuk kepada suatu penyakit, misalnya hiperpigmentasi.
e. Umur, kepentingan memperkirakan umur untuk kepentingan penanganan serta penentuan
dosis obat serta banyaknya penyakit yang disebabkan oleh umur.
f. Berat badan, berat badan penting untuk dikatuhi untuk menentukan body condition score.
Hewan yang mengalami obesitas ataupun kekurangan gizi pada umumnya lebih mudah
terserang penyakit.
g. Tanda khusus, digunakan untuk memberikan penanda bagi hewan. Hal ini penting diketahui
untuk dapat membedakan hewan satu dengan hewan yang lainnya yang memiliki spesies yang
sama.
B. Anamnesis
Anamnesis atau taking history adalah melihat kembali sejarah pemeriksaan medis apa saja
yang sudah pernah dilakukan pasien, mengapa pasien dibawa ke klinik, dan lain-lain. Data
anamnesis yang diperoleh antara lain:
a. Pasien dikandangkan atau tidak, memberikan informasi bahwa hewan tersebut tidak
berkeliaran sehinggs faktor terjangkitnya penyakit dari luar atau dari kelompok hewan
yang lain lebih kecil dibanding apabila hewan tersebut tidak dikandangkan.
b. Body Condition Score (BCS) baik, memberikan informasi bahwa hewan tersebut makan
dengan baik sehingga faktor terjangkitnya penyakit yang berhubungan dengan sistem
pencernaan (lambung) lebih kecil.
4.2.2 Status Present
A. Keadaan Umum
Keadaan umum ini meliputi:
a. Perawatan yang diberikan pemilik kepada pasien dengan indikator baik, kurang baik dan tidak
baik. Pada praktikum yang dilaksanakan di RPH Antang kondisi pasien kurang baik karena
kurang terawat. Dilihat dari badannnya yang kurus, bulunya yang rontok dan kotor.
b. Habitus atau tingkah laku hewan penting untuk diketahui untuk melihat kondisi normal
ataupun abnormal dari hewan. Pada praktikum, sapi bali yang diamati tidak tenang dan
banyak bergerak. Hal ini mengindikasikan sapi tersebut sedang berada dalam keadaan was-
was akibat adanya orang baru disekitarnya yang bisa jadi menjadi ancaman untuk dia. Hal
tersebut merupakan hal yang normal terjadi pada sapi bali.
c. Gizi yang diberikan kepada pasien. Pada praktikum, gizi sapi balu yang diperiksa kurang baik,
ini dilihat dari kondisi tubuh hewan yang cukup kurus. Ini didasarkan pada penilaian kondisi
ragawi pada sapi yaitu BCS skala 1-5 (Body Condition score) bernilai 2 dimana sapi bali yang
diamati legok laparnya terlihat dengan jelas.
d. Sikap berdirinya. Pada sapi yang diamati sikap berdirinya adalah tegak, berarti tidak ada
masalah pada tulang dan otot (alat gerak). Hasil ini berdasarkan hasil inspeksi dari praktikan
bahwa tidak ada kelainan pada saat hewan berdiri dan hewan tidak bungkuk.
e. Suhu tubuh. Suhu tubuh sapi yang normal adalah 38°C - 39°C.
f. Frekuensi nadi pasien. Frekuensi nadi normal sapi dewasa adalah 60-80 x/menit.
g. Frekuensi napas. Frekuensi napas normal pada sapi dewasa normalnya adalah 15-30 x / menit.
Kondisi pernapasan hewan termasuk respirasi yang dipercepat kemungkinan ketidak
normalan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya sapi tersebut stress/shock
karena lingkungan yang baru, adanya penyakit saluran pernapasan, atau bisa disebabkan
karena human eror saat perhitungan frekuensi napas.
h. Denyut jantung. Frekuensi denyut jantung normal sapi adalah 60-70 kali / menit.
B. Adaptasi Lingkungan
Adaptasi lingkungan dapat dinilai dari apakah hewan tersebut adaptif atau tidak adaktif.
Pada praktikum, sapi bali yang diperiksa menunjukkan tanda-tanda gelisah, was-was dan cemas.
Ini menunjukkan bahwa sapi tersebut tidak adaptif terhadap kedatangan orang baru disekitarnya.
C. Kepala dan Leher
1. Inspeksi
Saat dilakukan pengamataan pada bagian kepala dan leher, yang pertama diamati adalah
ekspresi kepala (memperlihatkan bagaimana ekspresi pasien). Ekspresi kepala sapi bali saat saat
dilakukan inspeksi adalah abnormal dimana sapi menampakkan ekspresi yang cemas dan was-
was. Normalnya ekspresi sapi bali adalah tidak tenang dan banyak gerak. Kemudian dicek
pertulangan kepala yang dilihat adalah apakah pertulangan kepalanya kompakatau tidak dan
berdasarkan hasil pengamatan pertulangannya padat (kompak) yang berarti normal. Lalu inspeksi
yang dilakukan pada posisi tegak telinga untuk melihat apakah salah satu telinganya menunduk
atau tidak dan hasilnya normal (kedua telinga dalam posisi yang sama-sama tegap). Posisi
telingan masing-masing hewan berbeda tergantung spesiesnya. Sapi yang dipraktikumkan
termasuk jenis hewan bertelinga tegak. Pada posisi kepala yang diperhatikan adalah apakah
posisi kepala pasien apakah simetris atau asimetris. Pengamatan dilakukan dari depan, belakang,
dan samping. Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan posisi kepala sapi simetris yang
berarti normal dilakukan dari depan.
2. Palpasi
Palpasi dilakukan untuk memeriksa bagian tubuh dari sapi yang sakit atau tidak. Reaksi
saat palpasi menjadi indikator penilaian. Saat praktikum dilakukan palpasi pada bagian fossa
paralumbar dan extremitas caudalis sapi dan didapatkan respon kesakitan dari sapi. Ini
menandakan didalam tubuh sapi berada dalam keadaan abnormal. Selain itu pemeriksaan palpasi
dapat dilakukan untuk melakukan pengecekan apakah pasien mengalami dehidrasi atau tidak.
Caranya dengan menarik tugor kulit. Normalnya pada keadaan tidak dehidrasi yaitu turgor kulit
akan kembali ke posisi semula pada waktu 2-3 detik.
3. Mata dan Orbita Kiri serta Kanan
Pemeriksaan menggunakan sumber cahaya berupa penlight yaitu untuk mengevaluasi
tingkat kepekaan mata pasien terhadap cahaya, jika hewan tersebut tidak mampu atau bagian
mata takut terhadap cahaya berarti ada indikasi bahwa hewan tersebut photophobiadimana suatu
keadaan ketika pengaruh cahaya kepada mata menyebabkan kesakitan atau kepedihan mata.
Hasil pemeriksaan pada mata diamati dengan melihat bagian palpebrae (kelopak mata). Adapun
palpebrae yang abnormal yaitu ektropion (pelipatan palpebrae ke arah keluar) dan entropion
(pelipatan palpebare kedalam).
Cilia (bulu mata), adapun abnormalitas pada pada cilia yaitu, tumbuhnya cilia ke bagian
dalam disebut trichiasis dan tumbuhnya cilia pada bagian konjungtiva disebut distikiasis.
Conjungtiva (bagian dalam kelopak mata), abnormalitas pada congjungtiva yaitu berwarna pucat
hal ini menandakan bahwa pasien dalam keadaan dehidrasi atau dapat diindikasikan anemia atau
kekurangan darah. Karena warna normal conjungtiva yaitu berwarna merah rose. Pada daerah ini
juga bisa mengevaluasi terjadinya cianosis dimana conjungtiva berwarna biru akibat tingginya
kadar CO2 dalam darah dan juga bisa mengevaluasi adanya icterus dimana wama conjungtiva
berwarna kuning.
Membrane nictitans normal yaitu terbuka sempurna (tidak terlihat), menandakan dalam
keadaan normal. Pemeriksaan pada bagian ini untuk mengevaluasi tingkat dehidrasi pasien. Pada
abnormalnya, membrane nictitans akan tertutup diakibatkan kadar air pada bagian tersebut
kurang. Serta terlihatnya m embrane nictitans bisa menjadi indikasi adanya cacingan.
4. Bola Mata Kiri dan Kanan
Bagian yang diperhatikan untuk bagian mata ini baik itu mata kiri maupun mata kanan
antara lain sclera, cornea, iris, limbus, pupil, reflex pupil dan vasa injection. Sclera normal yaitu
jernih, dan dak adanya kekeruhan dan tidak adanya vasa injection, jika ada vasa injection berarti
dicurigai terdapat iritasi pada bagian tersebut. Cornea normal yailu bening, pada bagian ini yang
dievaluasi ya kekeruhan, benda asing, dan ulserasi. Iris merupakan salah satu komponen yang
memberikan warna pada mata. Warna iris tergantung pada spesies hewannya. Limbus normal
yaitu batas jelas, limbus merupakan batas antara kornea dengan sclera. Pupil dan reflex pupil.
Dalam pemeriksaan bagian ini yaitu kemampuan pupil untuk refleks mengecil (miosis) dan
refleks membesar (midrasis). Ketika refleks pupil lambat berarti hewan atau pasien tersebut
dehidrasi (memiliki indikasi yang sama dengan membrane nictitans). Vasa injection normal,
vasa injection ditandai dengan sclera berwarna kemerahan, adanya warna kemerahan disebabkan
vaskularisasi yang meningkat ke bagian mata diakibatkan adanya iritasi atau benda asing pada
mata. Jadi, adanya vasa injection pada mata itu menunjukkan keadaan tidak normal.
5. Hidung dan Sinus-sinus
Ketika di perkusi terdengar pekak yang menunjukkan bahwa adanya cairan dalam hidung
pasien. Cairan dalam hidung dapat berupa eksudat atau transudat. Sedangkan cairan yang
bercampur nanah disebut mucofluorens. Pada bagian ini dilakukan perkusi dibagian sinus
frontalis dan menghasilkan suara nyaring. Berarti bagian sinusnya normal. Karena jika berisikan
air maka hasil perkusi menghasilkan redup. Maka dari itu dilakukan perkusi sinus pada kedua
sisi.
6. Mulut dan Rongga Mulut
Pada bagian bibir diperhatikan adanya luka atau kerusakan pada bibir hewan. Hal ini
ditandai dengan ada atau tidak adanyaluka sobekan atau kesakitan pada saat dibuka rongga
mulutnya. Kemudian mukosa mulut normal yaitu berwarna pink, pada bagian ini yang ingin
dievaluasi warnanya yang dapat mengindikasikan beberapa penyakit contohnya jika berwarna
pucat berarti anemia, jika berwarna kuning berati ikterus. Selain warnanya, perhatikan pula
apakah tidak terjadi ulserasi pada bagian mukosa yang disebut stomatitis. Gigi geligi normal
yaitu bersih, berarti tidak ada karang gigi (calculus) pada gigi pasien, selain untuk mengevaluasi
kebersihan gigi juga memperhatikan adanya luka pada gusi atau gingivitis. Lidah normal yaitu
tidak ada luka dan berwarnah merah muda.
7. Telinga
Pada pemeriksaan telinga diperhatikan kondisi telinga, normalnya pada sapi bali posisi
telinga dalam posisi tegak, bau normalnya yairu bau serumen, kebersihan permukaan telinga
bagian dalam dan luar, adanya krepitasi atau tidak (krepitasi yaitu terjadi bunyi kresek-kresek
saat dilakukan pemeriksaan) normalnya tidak ada krepitasi. Jika ada bunyi kresek-kresek maka
akan diindikasi terdapat investasi parasit dan terjadi keretakan kartilago pada teliga. Refleks
panggilan juga periksa.
8. Leher
Ada tiga bagian yang diperiksa nada daerah leher diantaranya perototan, trachea, dan
oesophagus. Perototan pada leher normalnya yaitu padat dan tidak kaku. Trachea normal saat
dilakukan palpasi dengan tekanan tidak terjadi refleks batuk, jika ada refleks batuk berarti
abnormal dan dicurigai mengarah ke faringitis dan tracheitis. Oesophagus normal memiliki
refleks menelan makanan. Pada oesofagus terdapat gerakan yang mendorong bolusdari mulut
menuju ke lambung yang disebut gerak peristaltik. Keadaan normal lainnya yang biasa terjadi
pada ruminansia yaitu esophagus seperti memuntahkan makanannya kembali (reguirgitas)
karena sapi merupakan hewan ruminansia/pemamah biak.
D. Thorax
1. Sistem Pernapasan
a) Inspeksi
Pada pemeriksaan thorax , yang pertama kali dilihat adalah bentuknya, pada pemeriksaan
normal hasilnya adalah seimbang dan tidak terjadi pembesaran. Tipe pernapasannya normal pada
sapi adalah tipe pernapasan abdominal. Ritmenya pernapasan normal adalah regular atau teratur.
Penilaian intensitas pernapasan yaitu, intensitasnya dangkal merupakan semakin cepat hewan
tersebut melakukan ekspirasi maka intensitas pernapasannya tergolong dangkal sedangkan yang
lambat disebut intensitasya dalam. Intensitas pernapasan normal pada dewasa adalah 15-30 kali/
menit.
b) Palpasi
Ada dua hal yang dilakukan pada saat palpasi thorax yaitu menekan rongga thorax dan
palpasi intercostal. Kondisi normal ditandai dengan kondisi pada saat penekanan tidak ada reaksi
yang ditimbulkan berupa sakit atau mengeram atau perlawanan. Hal ini juga sama untuk palpasi
rongga thorax.
c) Perkusi
Pemeriksaan dengan metode perkusi dilakukan untuk melihat lapangan paru-paru.
Normalnya yaitu adalah tidak ada perubahan dan gema perkusinya berbunyi resonan karena
berisi udara didalam ruangannya. Ini menandakan tidak ada perluasan pada lapangan paru-
parunya.
d) Auskultasi
Ada 3 bagian yang didengarkan untuk auskultasi bagian thorax yaitu pernapasan dan suara
ikutan antara inspirasi dan ekspirasi. Suara pernapasan yang normal pada sapi saat auskultasi
yaitu teratur. Apabila suara pernapasan terdengar lebih cepat dan teratur kemungkinan
disebabkan adanya faktor stress dari sapi. Untuk suara ikutan dan antara inspirasi dan ekspirasi
kondisi normalnya yaitu tidak adanya suara lain yang di dengarkan pada melakukan auskultasi
pada pasien.
2. Sistem Peredaran Darah
a) Inspeksi
Pada saat inspeksi yang diperhatikan saat inspeksi untuk sistem peredaran darah adalah
ictus cordis, ictus cordis adalah kondisi dimana apex cordis menyentuh bagian costae dan ketika
di inspeksi seolah terlihat costaenya bergerak. Kondisi normalnya adalah tidak terlihatnya ictus
cordis.
b) Auskultasi
Frekuensi denyut juntung normal adalah 60-70 kali/menit. Cepatnya frekuensi denyut
jantung dapat disebabkan oleh tersebuttress/shock. Intensitas normal ditandai dengan ritme
regular, suara sistole dan distole normal, tidak terdapat suara ckstrasitolik dan tidak adanya
perluasan pada lapangan jantung. Denyut jantung dan pulsus harus sinkron. Jika tidak terjadi
sinkronisasi antara denyut jantung dengan pulsus maka dicurigai terjadinya emboli atau kelainan
pada saat jantung memompa darah.
c) Perkusi
Perkusi lapangan jantung yang berada di 1/3 bawah lapangan paru - paru. Suara normal
yang dihasilkan yaitu pekak. Normalnya tidak adanya perluasan karena pada saat diperkusi
daerah lapangan jantung terdengar pekak. Tidak ada perluasan disebabkan suara absolut jantung
tetap terdengar di lapangan jantung yang telah ditentukan jadi lapangan jantung.
E. Uji-uji Lain
1. Uji Gumba
Uji gumba dilakukan dengan menarik kulit di bagian median tubuh di dorsal lumbar
cranial. Normalnya tidak ada atau hanya ada sedikit rasa sakit yang dirasakan oleh sapi. Hal ini
ditunjukkan dari respon gerak refleks menghingar.
2. Uji Alu
Uji alu adalah uji yang dilakukan dengan untuk memeriksa rasa sakit regio xipisternal.
Menggunakan tongkat kayu dengan lujuan ingin melakukan deep palpation, bila hewan tidak
bereaksi dengan teknik wither pinch test atau tekanan pada xiphoidea namun kita ingin
melakukan Permeriksaan lebih mendalam (karena pada beberapa kasus diperlukan deep
palpation) karena rasa sakit tidak begitu nyata. Hasilnya bila ada rasa sakit pada daerah cranial
abdomen maka sapi akan bereaksi (melenguh, berontak). Namun uji ini pada saat praktikum
tidak dilakukan karena terbatasnya alat yang digunakan.
3. Uji Tinju
Uji tinju dilakukan dengan menermpelkan kepalan tangan dengan agak kuat dan dalam
sampai menekan daerah fossa paralubar. Uji tinju dilakukan untuk mengetahui tegangan isi
perut. Hasil permeriksaan dengan frekuensi normal pada uji tinju adalah 5- 10 kali/5 menit.
F. Abdome dan Organ Pencernaan yang Berkaitan
1. Inspeksi
Inspeksi abdomen dilakukan untuk melihat ukuran, bentuk, legok lapar, dan suara
peristaltik. Pada kondisi normal ukuran abdomen tidak terjadi pembesaran. Bentuk abdomen
normal tidak terjadi pembengkakan. Pada legok lapar normalnya tidak terlihat dan suara
peristaltik dengar secara samar.
2. Palpasi
Palpasi yang dilakukan pada hewan besar adalah dengan memeriksa tegangan isi perut.
Selanjutnya yang diperiksa adalah gerakan rumen, yaitu dengan menggunakan uji tinju. Tangan
dikepalkan dan ditekan pada fossa paralumbal dan dihitung selama 5 menit.
3. Anus
Normalnya pada daerah sekitar anus bersih. Terdapat reflex sphincter ani yaitu langsung
menutup pada saat pemasangan termometer. Kondisi normal juga menunjukkan tidak
terdapatnya pembesaran kolon.
G. Alat Perkemihan dan Kelamin (Urogenitalia)
Normalnya mukosa vagina terlihat berwarma merah rose. Kemudian tidak terdapat
pembesaran. Kemudian letaknya pun sesuai dengan struktur anatomis sapi pada umumnya. Pada
kondisi normal tidak terjadi pembesaran ataupun pembengkakan pada organ urogenitalis.
H. Alat Gerak
1. Inspeksi
Inspeksi pada pemeriksaan alat gerak, yaitu dilakukan pemeriksaan pada perototan kaki
depan dan kaki belakang. Normalnya kondisinya normalnya pertulangan kompak, tidak ada
spasmus otot, tidak ada tremor dan tidak ada dislokasi. Selain itu cara berjalan dan berlari juga
tidak terdapat kelainan.
2. Palpasi
Pemeriksaan dengan metode palpasi ditujukan untuk mengecek struktur pertulangan pada
alat gerak. Kondisi normal yaitu seluruh pertulangan pada bagian extremitas baik extremitas
cranialis maupun extremitas caudalis kompak. Tidak ada rasa sakit ketika di palpasi dan panjang
kaki sama menunjukkan kondisi normal.
3. Palplasi Lymphodus Popliteus
Pada melakukan pemeriksaan pada limfonodus popliteus ukurannya normalnya yaitu tidak
terjadi pembesaran atau pembengkakan. Konsistensi dari limfonodus popliteus yaitu lunak dan
tidak menunjukkan ada perubahan. Normalnya juga tidak terdapat lobulasi dan juga tidak ada
perlekatan/pertautan, tidak panas yaitu pada suhu normal, saat dipalpası terasa normal yaitu
simetris antara lymphonodus kiri dan kanan.
5. KESIMPULAN
Berdasarkan dari pelaksanaan praktikum ini dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan pada
ternak besar hampir sama dengan pemeriksaan hewan lainnya. Akan tetapi ada beberapa uji yang
berbeda daat melakukan pemeriksaan pada ternak besar seperti uji gumba, uji alu dan uji tinju.
Selain itu karena ukuran dari ternak yang besar mengakibatkan beberapa metode penentuan umur
dan penentuan bobot badan yang juga berbeda. Kondisi sapi bali pada saat praktikum di Rumah
Potong Hewan (RPH) Antang terdapat abnormalitas. Hal ini dapat dilihat dari beberapa tes dan
juga tanda klinis yang terdapat pada sapi tersebut. Terdapat kerak dan juga darah dan nanah pada
kulit sapi. Hal ini juga mempengaruhi bobot tubuh sapi, tingkah laku sapi dan kondisi fisiologis
lainnya pada sapi. Diduga sapi terkena virus akan tetapi perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
agar dapat mengetahui penyakit persis dari sapi bali yang ada di RPH Antang tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Aditia, E.L., A. Yani dan A. F. Fatonah. 2017. Respons Fisiologis Sapi Bali pada Sistem
Integrasi Kelapa Sawit Berdasarkan Kondisi Lingkungan Mikroklimat. Jurnal Ilmu
Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan. 5(1): 23-28
Ahmad, Riza Zainuddin dan Anis S. 2012. Kejadian Penyakit Selakarang Pada Kuda dan Cara
Pengendaliannya. Wartazoa. 22(2): 65-71.
Aji, R.M., Aditya R.N, Nur F dan Nurvita T.P. 2016. Buku Saku Pertanian dan Peternakan.
Ngawi: KKN-PPM UGM JTM-15.
Akers, R.M dan Michael D. 2013. Anatomy and Physiologi of Domestic Animals. USA: Wiley
Blackwell.
Astiti, Ni Made Ayu Gemuh Rasa. 2018. Sapi Bali dan Pemesarannya. Warmadewa University
Press: Bali.
Australia Indonesia Partnership for Emerging Infectious Diseases (AIP-EID). 2015. Investigasi
Penyakit Hewan. Diakses tanggal 11 November 2021.
http://wiki.isikhnas.com/images/9/99/ModBimtekDITech_V4.1_BHS_150 325_GC.docx
Braun U, Gerspach C, Ohlerth S, Warislohner S dan Nuss K. 2020. Aetiology, Diagnosis,
Treatment and Outcome of Traumatic Reticuloperitonitis in Cattle. The Veterinary Journal.
255(1). 1-11.
Chaistain C.B. 2018. Animal Handling dan Physical Restraint. USA. CBS Press.
Duguma, A. 2016. Practical Manual on Veterinary Clinical Diagnostic Approach. Journal of V
Journal of Veterinary Science & eterinary Science & Technology. 7(4): 1-10.
Fails, A.R dan M. Christianne. 2018. Anatomy and Physiology of farm animals. USA: Willey
Blackwell.
Fangidae, P.Y, Nururrozi, A, Yanuartono dan Indarjulianto, S. 2019. Laporan Kasus Penanganan
Enteritis pada Kambing Peranakan Ettawa Akibat Nematodiasis dan Koksidiosis.
Indonesia Medicus Veterinus. 8(2) : 225-237.
Hajkazemi, M B, Bokaie, S dan Mirzaie K. 2016. A Review of Contagious Ectyhma (Orf) in
Sheep and Goats and The Status of Disease in Iran. IJBPAS. 5(9) : 2169-2195.
Mustafid A dan ‘Uyun S. 2018. Sistem Pengolahan Citra Digital untuk Menentukan Bobot Sapi
Menggunakan Metode Titik Berat. JTIIK. 5(6). 677-686.
Ni’am H. U. M., A. Purnomoadi dan S. Dartosukarno. 2012. Analisis Swot Usaha Penggemukan
Sapi Potong Di Kabupaten Wonogiri. Animal Agriculture Journal. 1(2): 302-310.
Prasetyo B.W, Sarwiyono, dan P. Surjowardojo. 2013. Hubungan Antara Diameter Lubang
Puting Terhadap Tingkat Kejadian Mastitis. Jurnal Ternak Tropika. 14(1): 15-20.
Pudjiatmoko. 2014. Manual Penyakit Mamalia, cetakan ke 2. Subdit Pengamatan Penyakit
Hewan Direktorat Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian: Jakarta.
Putra A, Rusdhi A dan Gunawan F. 2020. Penentuan Bobot Badan Sapi Peranakan Ongole (PO)
Jantan Berdasarkan Profil Body Condition Score (BCS) di Kecamatan Hamparan Perak
Kabupaten Deli Serdang. SCENARIO. 1(1). 80-91.
Rona, T.L., I. N. Suartha dan Made K. B. 2016. Frekuensi Detak Jantung Sapi Bali Betina pada
Kebuntingan Trimester Ke II. Buletin Veteriner Udayana. 8(2): 106-111.
Serang, P.M., I. N. Suartha dan I. P. G. Y. Arjentinia. 2016. Frekuensi Respirasi Sapi Bali Betina
Dewasa di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten
Badung. Buletin Veteriner Udayana. 8(1): 25-29.
Suardana IW, Sukada IM, Suada IK, dan Widiasih DA. 2013. Analisis Jumlah Umur Sapi Bali
Betina Produktif yang Dipotong di Rumah Pemotongan Hewan Pasanggaran dan Mambal
Provinsi Bali. Jurnal Sain Veteriner.31(1): 43-48.
Tarmudji. 2013. Beberapa Penyakit Penting Pada Kerbau Di Indonesia. WARTAZOA. 13(4): 160-
171.
Tedjo, Yuliani. 2021. Penyakit Surra (Trypanosomiasis) dan Pengendaliannya. Diakses tanggal
11 November 2021.
https://adoc.pub/penyakit-surra-trypanosomiasis-dan-pengendaliannya.html
Yohanes T.R.M.R.S., Lidya A.T dan Yovita F.B.S. 2019. Laporan Kasus Faschiolosis Pada Sapi
Bali Di Desa Noelbaki, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang. Jurnal Undana.
1(1): 132-140.
Yoush. 2013. Tips/Cara Mengetahui Umur Bibit Ternak Sapi. Diorama Penyuluhan dan
Kedaulatan Pangan. Tersedia pada http://www.suluhtani.com/2013/11/tipscara-
mengetahui-umur-bibit-ternak.html [Diakses 11 Agustus 2021].

Anda mungkin juga menyukai