Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

MEDULLABLASTOMA

Di Susun Oleh:

Nama : Nadia Syafa Farihah

NIM : 071202076

PROGRAM STUDI PROFESI NERS 32

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS NGUDI WALUYO


A. Konsep Penyakit
1. Pengertian
Medulloblastoma adalah suatu tumor yang ditemukan di daerah
serebellum (fossa posterior), termasuk salah satu dari PNET (primitive
neuroectodermal tumour). Merupakan 7-8% tumor intracranial dari
keseluruhan 30% tumor otak pada anak.
Tumor otak adalah neoplasma pada bagian intracranial SSP. Tumor otak
primer berasal dari otak, sedangkan tumor otak sekunder merupakan pindahan
dari tempat asal lain.( Tucker, susan martin, dkk.2007 )
Tumor otak merupakan salah satu tumor susunan saraf pusat, baik ganas
maupun tidak. Tumor ganas disusunan saraf pusat adalah semua proses
neoplastik yang terdapat dalam ruang intracranial atau dalam kanalis spinalis,
yang mempunyai sebagian atau seluruh sifat-sifat proses ganas spesifik seperti
yang berasal dari sel-sel saraf di meningen otak, termasuk juga tumor yang
berasal dari sel penunjang (neuroglia), sel epitel pembuluh darah, dan selaput
otak.(Batticaca, Fransisca.B. 2008)
Berkembang dari sel neuroepitel yang berasal dari atap ventrikel IV. Sel
ini kemudian bermigrasi ke lapisan granular serebellum. Tumor kemudian
sering ditemukan di daerah vermis serebelli dan atap ventrikel IV untuk anak-
anak berusia lebih muda. Sedangkan anak yang lebih tua sering terdapat di
hemisfer serebelli.

2. Etiologi
Penyebab tumor otak belum diketahui. Namun ada bukti kuat yang
menunjukan bahwa beberapa agent bertanggung jawab untuk beberapa tipe
tumor-tumor tertentu. Agent tersebut meliputi faktor herediter, kongenital,
virus, toksin, dan defisiensi immunologi. Ada juga yang mengatakan bahwa
tumor otak dapat terjadi akibat sekunder dari trauma cerebral dan penyakit
peradangan. Metastase ke otak dari tumor bagian tubuh lain juga dapat terjadi.
Karsinoma metastase lebih sering menuju ke otak daripada sarcoma. Lokasi
utama dari tumor otak metastase berasal dari paru-paru dan payudara.
(Muhamad Judha dan Nazwar Hamdani Rahil : 2011 halm 97).

3. Patofisiologi
Tumor otak menyebabkan gangguan neurologis progresif yang disebabkan
oleh dua faktor yaitu gangguan fokal oleh tumor dan kenaikan tekanan
intrakranial (TIK). Gangguan fokal terjadi apabila terdapat penekanan pada
jaringan otak dan infiltrasi atau infasi langsung pada parenkim otak dengan
kerusakan jaringan neuron.
Perubahan suplai darah akibat tekanan yang ditimbulkan tumor yang
tumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak. Akibatnya terjadi kehilangan
fungsi secara akut dan dapat dikacaukan dengan gangguan serebrovaskuler
primer.
Serangan kejang sebagai manifestasi perubahan kepekaan neuron akibat
kompresi, invasi, dan perubahan suplai darah ke dalam jaringan otak.
Peningkatan TIK dapat diakibatkan oleh beberapa faktor seperti
bertambahnya massa dalam tengkorak, edema sekitar tumor, dan perubahan
sirkulasi CSS. Tumor ganas menyebabkan edema dalam jaringan otak yang
diduga disebabkan oleh perbedaan tekanan osmosis yang menyebabkan
penyerapan cairan tumor. Obstruksi vena dan edema yang disebabkan oleh
kerusakan sawar di otak, menimbulkan peningkatan volume intracranial dan
meningkatkan TIK.
Peningkatan TIK membahayakan jiwa jika terjadi dengan cepat.
Mekanisme kompensasi memerlukan waktu berhari-hari ataupunn berbulan-
bulan untuk menjadi efektif dan oleh karena itu tidak berguna apabila tekanan
intracranial timbul cepat. Mekanisme kompensasi ini meliputi menurunkan
volume darah intrakranial, menurunkan volume CSS, menurunkan kandungan
cairan intrasel, dan mengurangi sel-sel parenkim otak. Kenaikan tekanan yang
tidak diatasi akan mengakibatkan herniasi unkus serebellum.
Herniasi unkus timbul jika girus medialis lobus temporalis bergeser ke
inferior melalui insisura tentorial karena adanya massa dalam hemisfer otak.
Herniasi menekan mesensefalon, menyebabkan hilangnya kesadaran dan
menekan saraf ke-3. Pada herniasi serebellum, tonsil serebellum tergeser ke
bawah melalui foramen magnum oleh suatu massa posterior.
Kompresi medulla oblongata dan terhentinya pernapasan terjadi dengan
cepat. Perubahan fisiologis lain yang terjadi akibat peningkatan intrakranial
yang cepat adalah bradikardia progresif, hipertensi sistemik, dan gangguan
pernapasan (Batticaca, Fransisca.B. 2008).

4. Manifestasi Klinis
- 70-90% mengalami keluhan sakit kepala, emesis, letargi dalam 3 bulan
sebelum diagnosis berhasil ditegakkan.
- Peningkatan tekanan intracranial dengan gejala = morning headaches,
vomit, letargi. Sakit kepala biasanya hilang bila pasien muntah. Anak
sering menjadi irritable, anorexia, pertumbuhannya terlambat, lingkar
kepala yang bertambah dan dengan sutura kranial yang terbuka.
- Disfungsi Serebellar = Ataxia ekstremitas bawah dan atas, yang
bertambah berat bila tumor makin bertambah besar dan menginvasi
jaringan sekitar
- Ganguan batang otak dan infiltrasi tumor ke batang otak ataupun oleh
peningkatan tekanan intra cranial menyebabkan diplopia, facial
weakness, tinnitus, pendengaran hilang, tilt head dan kaku kuduk.
- Pada metastases akan menyebabkan gejala lokal. Seperti metatase ke
tulang akan menyebabkan nyeri pinggang; metastase ke Korda Spinalis
menyebabkan kelemahan otot tungkai, dll.

5. Klasifikasi
Penderajatan kelompok resiko tumor ini ditentukan oleh 3 faktor yakni
umur, metastase dan perluasan penyakit pasca operasi. Untuk
metastasenya sendiri dibagi lagi dalam beberapa klasifikasi menurut
Chang:
M0 : tidak ada metastase
M1 : tumor mikroskopik ditemukan di cairan serebrospinal
M2 : sel tumor nodular di serebellum, subarachnoid serebral, ventrikel III
dan IV
M3 : sel tumor nodular di subarachnoid medulla spinalis
M4 : metastase ekstraneural.

6. Pemeriksaan Penunjang
a) Biokimiawi
Tidak spesifik. Tapi beberapa studi molekuler dapat menentukan
prognosis Medulloblastoma. Adanya ekspresi protein ErbB2 memiliki
prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan bila ada ekspresi protein
TrkC (suatu reseptor neutropin-3) yang memiliki prognosis lebih jelek.
b) Radiologi
CT Scan
- Pada CT Scan non kontras, tumor nampak di garis tengah (midline)
dari serebelli dan meluas mengisi ventrikel IV.
- Dengan kontras, tumor nampak hiperdens dibandingkan jaringan otak
normal oleh karena padat akan sel. Tampakan hiperdens ini amat
membantu dalam membedakannya dengan Astrocytoma Serebellar
yang lebih hipodense. Bila area Hiperdense ini tampak dikelilingi oleh
area yang hipodense, berarti telah ada vasogenic oedem.
Akibat adanya kompresi pada ventrikel IV dan saluran dari CSS
(cairan serebrospinal), akan tampak tanda-tanda hydrocephalus.
- Medulloblastoma juga dapat dibedakan dari Ependymoma yang juga
hiperdens, berdasarkan foto CT. Di mana pada ependymoma akan
tampak adanya kalsifikasi. Demikian juga dengan Plexus Coroideus
Papilloma yang juga hiperdens, akan terlihat adanya kalsifikasi pada
pencitraan dengan CT. Tumor jenis ini terdapat di ventrikel lateral.
MRI
- MRI dengan Gadolinium DTPA adalah pilihan utama untuk diagnostik
MB.
- Harus berhati-hati dilakukan pada anak-anak yang mendapatkan
sedative. Sebab, dengan peninggian tekanan intracranial dan tnpa
monitoring yang baik, sering kali level CO2 akan sangat meningkat
dan makin memperburuk hipertensi.
- Pada T1 weight sebelum pemberian Gadolonium, tumor akan tampak
hipo intensity. Bentuk berbatas mulai dari ventrikel IV hingga
primernya di vermis serebelli. Batang otak tertekan dan terdorong ke
depan.
- Dengan Gadolinium, akan tampak penguatan bayangan yang lebih
homogen bila pada anak-anak. Sedangkan pada pasien dewasa,
penguatan bayangannya tampak lebih heterogen.
- Pada T2 weight dan densitas proton, gambar tampak hiperintensity dan
dikelilingi oleh area oedem yang lebih hipointernsity.
- Bila tumor meluas ke rostral, akan terjadi hidrosefali pada ventrikel.
- MRI juga dapat memebedakan MB dengan ependimoma. Pada Glioma
batang otak exophytic, akan tampak memiliki area perlekatan yang
lebih luas pada lantaiu ventrikel IV dibandingkan MB.
c) Mielography
Dahulu pemeriksaan ini adalah tes diagnostik standar untuk MB.
Sekarang, pada pasien dengan kontraindikasi MRI, mielographi bersama
CT scan adalah pilihan utama.
d) Bone Scan
Karena MB dapat bermetastase di luar CSS di mana sebagian besar ke
tulang, maka bone scan penting untuk mendeteksinya.
e) Scientigraphy (Nuclear Medicine)
Tidak spesifik. SPECT (single proton emission CT) dan PET (proton
emission tomography) dapat melengkapi MRI dan CT. 80 % tumor MB
pada anak akan meng-up take thalium-201 chloride (201TI) di mana sifat
ini sangat berguna dalam membedakan tumor yang high grade dengan low
grade dan untuk mendeteksi tumor residual pasca operasi. Mekanisme
uptake belum jelas.
f) Lainnya
Sebelum melakukan pemeriksaan sitologik sumsum tulang untuk
mendeteksi penyebaran tumor leptomeningeal, perlu dilakukan funduskopi
( selain CT atau MRI ) untuk menyingkirkan hidrosefalus.

7. Prognosis
- Average Risk : Berusia lebih dari 3 tahun, M0, tumor residu pasca
operasi < 1,5 cm2. Survival rate untuk 5 tahun = 78%.
- Poor Risk : Berusia lebih dari 3 tahun, M1–M4, tumor residu pasca
operasi > 1,5 cm2. Survival rate untuk 5 tahun = 30-55 %
- Infants : Berusia kurang dari 3 tahun, M1-M4, tumor tetap berkestensi
pasca operasi. Survival rate untuk 5 tahun = 30 % (prognosisnya
terburuk).

8. Penatalaksanaan
Terapi standar meliputi pembdehan yang agresif diikuti oleh radiasi ke
seluruh sumbu kraniospinal dengan penguatan radiasi pada tempat tumor
primer maupun focal metastasenya. Pemberian kemoterapi juga sangat
bermanfaat.
- Radioterapi
 Average risk group :
Berdasar pada CCG, dosis radio terapi sebesar 23,4 Gy pada sumbu
kranio spinal dengan boost pada tumor primer sebesar 32,4 Gy,hingga
total radiasi maksimum adalah 55,8 Gy. Hal ini juga berlaku untuk Poor
risk group.
 Poor Risk Group
Direkomendasikan 36 Gy pada sumbu kranio spinal dengan boost
sebesar 19,8 Gy pada tumor primer dan fokal metastasenya. Metastase
spinal yang berada di rostral corda spinalis terminal, di boost hingga
total 45 Gy. Sedangkan bila berda di kaudal dari corda spinalis
terminal, boleh di boost hingga 50,4 Gy.
 Infants
Pada kelompok ini, radioterapi masih controversial sebab efek samping
radioterapi terhadap perkembangan intelektual, lebih berat pada
kelompok ini. Strategi yang dilakukan adalah menunda pemberian
(dengan sementara memberi kemoterapi saja) atau sama
menghilangkannya.
Survival rate untuk 3 tahun dengan hanya kemoterapi saja adalah 29 %
(tanpa metastase) dan 11 % (dengan metastase). Sementara, bila dengan
kemoterapi + radioterapi yang ditunda, survival rate untuk 2 tahunnya
meningkat hingga 34 %.
- Kemoterapi
 Average risk group
Diberikan Vincristine + Lomustin + Cisplastin. 1 tahun setelah
radioterapi Kombinasi radioterapid an kemoterapi meningkatkan SR
hingga 80% untuk kelompok resiko ini.
 Poor risk group
Setalah terapi induksi seperti pada Average risk group, diikuti
pemberian kemoterapi dosis tinggi (biasanya menggunakan
Carboplastin dan Thiolepa) ditambah cangkok sumsum tulang secara
autologue
 Infants
Setelah induksi seperti pada Average risk group, diikuti kemoterapi
dosis tinggi seperti pada Poor risk group.
- Pembedahan
Meliputi Craniotomi suboccipital dan dilakukan
ventrikuloperitoneal shunt untuk mengatasi hydrocephalus. 40 % pasien
pasca operasi mengalami disfungsi neurologik seperti disfungsi serebellar,
mutism, hemiparese dalam 12-48 jam pasca operasi, dll.
Pemasangan shunt dilakukan pada sebagian besar pasien. Hanya 25
persen pasien hidrosefalus yang berhasil diterapi tanpa pemasangan shunt.
Prinsip dari pemasangan shunt adalah mempertahankan hubungan antara
CSS dan rongga drainase (peritoneum, atrium kanan, pleura). Beberapa
alternatif pemasangan shunt antara lain :
 Ventriculoperitoneal (VP) shunt yang paling banyak digunakan.
Lokasi proksimal biasanya terletak di ventrikel lateral. Kelebihan
shunt ini yaitu tidak diperlukannya pemanjangan selang shunt yang
disesuaikan dengan pertumbuhan anak karena kita dapat meletakkan
cateter yang panjang di dalam rongga peritoneum.
 Ventriculoatrial (VA) shunt, juga disebut vascular shunt, dipasangang
melalui vena jugularis dan vena cava superior masuk ke dalam atrium
kanan jantung. Shunt jenis ini dipilih jika didapatkan kelainan pada
rongga abdomen, seperti peritonitis, obesitas morbid, atau pasien baru
melakukan pembedahan pada abdomen. Shunt ini membutuhkan
pemanjangan ulang seiring dengan pertumbuhan anak.
 Lumboperitoneal shunt dipakai hanya pada hidrosefalus komunikan,
fistula CSS, atau pseudotumor serebri.
 Ventriculopleural shunt merupakan lini kedua bila pilihan lain
merupakan kontraindikasi.
Ventriculoperitoneal Shunt adalah prosedur pembedahan yang dilakukan
untuk membebaskan tekanan intrakranial yang diakibatkan oleh terlalu banyaknya
cairan serbrospinal (hidrosefalus). Cairan dialirkan dari ventrikel di otak menuju
rongga peritoneum
 Prosedur pembedahan ini dilakukan di dalam kamar operasi dengan
anastesi umum selama sekitar 90 menit.
 Rambut dibelakang telinga anak dicukur, lalu dibuat insisi tapal kuda di
belakan telinga dan insisi kecil lainnya di dinding abdomen.
 Lubang kecil dibuat pada tulang kepala, lalu selang kateter dimasukkan ke
dalam ventrikel otak.
 Kateter lain dimasukkan ke bawah kulit melalui insisi di belakang telinga,
menuju ke rongga peritoneum.
 Sebuah katup diletakkan dibawah kulit di belakang telinga yang menempel
pada kedua kateter. Bila terdapat tekanan intrakranial meningkat, maka
CSS akan mengalir melalui katup menuju rongga peritoneum.

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian Keperawatan
a) Data klien : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, golongan darah, penghasilan,
alamat, penanggung jawab, dll
b) Riwayat kesehatan :
a. keluhan utama
b. Riwayat kesehatan sekarang
c. Riwayat Kesehatan lalu
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
c) Pemeriksaan fisik :
1) Saraf : kejang, tingkah laku aneh, disorientasi, afasia,
penurunan/kehilangan memori, afek tidak sesuai, berdesis
2) Penglihatan : penurunan lapang pandang, penglihatan kabur
3) Pendengaran : tinitus, penurunan pendengaran, halusinasi
4) Jantung : bradikardi, hipertensi
5) Sistem pernafasan : irama nafas meningkat, dispnea, potensial
obstruksi jalan nafas, disfungsi neuromuskuler
6) Sistem hormonal : amenorea, rambut rontok, diabetes melitus
7) Motorik : hiperekstensi, kelemahan sendi

2. Diagnosa keperawatan
1) Penurunan kapasitas adaptif intrakranial
2) Nyeri akut
3) Resiko cidera
4) Intoleransi Aktivitas
5) Deficit nutrisi
6) Pola nafas tidak efektif
3. Intervensi
SDKI SLKI SIKI
Penurunan kapasitas adaptif Kapasitas adaptif intrakranial (L06049) Manjemen peningkatan tekanan
intrakranial (D. 0066) Setelah dilakukan tindakan keperawatan intracranial (I. 06194)
selama 3x24 jam diharapkan klien dapat Observasi
menunjukkan perubahan dengan kriteria - Identivikasi penyebab peningkatan TIK
hasil : - Monitor tanda dan gejala peningkatan
TIK
- Tingkat kesadaran skala 1
- Monitor MAP
(menurun) yang akan ditingkatkan
- Monitor status CUP
ke skala 4 (cukup meningkat)
- Monitor status pernafasan
- Fungsi kognitif skala 1 (menurun) - Monitor intake dan output cairan
yang akan ditingkatkan ke skala 4 Terapeutik
(cukup meningkat) - Minimalkan stimulus dengan

- Sakit kepala skala 2 (cukup menyediakan lingkungan yang tenang

meningkat) yang akan ditingkatkan - Berikan posisi semi fowler

ke skala 4 (cukup menurun) - Pertahankan suhu tubuh normal


Kolaborasi
- Muntah skala 1 (menurun) yang
- Kolaborasi pemberian sedasi dan anti
akan ditingkatkan ke skala 4 (cukup
menurun) kovulsan
- Kolaborasi pemberian diuretic osmosis
- Tekanan darah skala 2 (cukup
- Kolaborasi pemberian pelunak tinja
memburuk) ditingkatkan ke skala 4
(cukup membaik)

- Tekanan nadi (cukup memburuk)


ditingkatkan ke skala 4 (cukup
membaik)

- Respon pupil (cukup memburuk)


ditingkatkan ke skala 4 (cukup
membaik)

Nyeri akut (D.0077) Nyeri akut (D.0077) Manajemen nyeri (I.08238)


Definisi: mengidentifikasi dan mengelola
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
pengalaman sensorik atau emosional yang
selama 3x24 jam diharapkan klien dapat
berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual dan
menunjukkan perubahan dengan kriteria
fungsional dengan onset mendadak atau lambat
hasil :
Ekspektasi : Menurun dan berinsensitas ringan hingga berat dan
konstan.
- Keluhan Nyeri dari skala 1 (meningkat)
menjadi skala 4(cukup menurun) Tindakan :
- Kesulitan tidur dari skala 1 (meningkat)
Observasi:
yang akan ditingkatkan ke skala
- Identifikasi
4(cukup menurun)
lokasi,karakteristik,durasi,frekuensi,kualita
- Perasaan takut mengalami cedera
slitas, intensitas nyeri
berulang dari skala 1 (meningkat) yang
- Identifikasi skala nyeri
akan ditingkatkan ke skala 4(cukup
- Identifikasi factor yang memperberat dan
menurun)
meringankan nyeri
- Pola nafas dari skala 1 (menurun) yang
- Monitor keberhasilan terapi komplementer
akan ditingkatkan ke skala 4(cukup
yang sudah diberikan
membaik)
- Monitor efek samping penggunaan
- Nafsu makan dari skala 1 (menurun)
analgetik
yang akan ditingkatkan ke skala
Terapeutik:
4(cukup membaik)
- Berikan teknik nonfarmakologis untuk
- Pola tidur dari skala 1 (menurun) yang
mengurangi rasa nyeri
akan ditingkatkan ke skala 4(cukup
- Fasilitasi istirahat dan tidur
membaik) - Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi:
- Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan analgetik secara
tepat
- Ajarkan teknik nonfarmakologi untuk
mengurangi rsa nyeri
Kolaborasi:
Kolaborasi pemberian analgetik
Risiko Cedera (D. 0136) Tingkat Cedera (L. 09094) Pencegahan Cedera (I. 14537)
setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi
selama 3x24 jam diharapkan klien dapat - Identifikasi area lingkungan yang
menunjukkan perubahan dengan kriteria berpotensi cedera
hasil : - Identifikasi obat yang berpotensi cedera
- Identifikasi kesesuaian alas kaki atau
- Toleransi aktivitas skala 1
(menurun) yang akan ditingkatkan stoking elastis pada ekstremitas bawah
ke skala 4 (cukup meningkat) Terapeutik
- Sediakan pencahayaan yang memadai
- Nafsu makan skala 1 (menurun)
- Sosialisasikan pasien dan keluarga
yang akan ditingkatkan ke skala 4
dengan lingkungan ruang rawat
(cukup meningkat)
- Sediakan pispot atau urinal untuk
- Toleransi makan skala 1 (menurun) eliminasi di tempat tidur
yang akan ditingkatkan ke skala 4 - Pertahankan posisi tempat tidur di
(cukup meningkat) posisi rendah saat digunakan

- Kejadian cedera skala 2 cukup - Gunakan pengaman tempat tidur

meningkat menjadi 4 cukup - Diskusikan mengenai terapi fisik yang

menurun diberikan
- Diskusikan alat bantu mobilitas yang
- Luka/lecet skala 2 cukup meningkat
sesuai
menjadi 4 cukup menurun
Edukasi
- Fraktur skala 2 cukup meningkat - Jelaskan alasan intervensi pencegahan
menjadi 4 cukup menurun jatuh kepasien dan keluarga
- Anjurkan berganti posisi secara
- Perdarahan skala 2 cukup meningkat
perlahan dan duduk selama beberapa
menjadi 4 cukup menurun
- Ekspresi wajah kesakitan skala 2 menit sebelum berdiri
cukup meningkat menjadi 4 cukup
menurun

- Gangguan mobilitas skala 2 cukup


meningkat menjadi 4 cukup
menurun

- Gangguan kognitif skala 2 cukup


meningkat menjadi 4 cukup
menurun

- Tekanan darah skala 1 memburuk


menjadi 4 cukup membaik

- Frekuensi nadi skala 1 memburuk


menjadi 4 cukup membaik

- Frekuensi napas skala 1 memburuk


menjadi 4 cukup membaik

- Pola istirahat dan tidur skala 1


memburuk menjadi 4 cukup
membaik
Intoleransi aktivitas (D.0056) Toleransi aktivitas (L. 05047) Manajemen energy (I. 05178)

setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi


selama 3x24 jam diharapkan klien dapat
- Identifikasi gangguan fungsi tubuh
menunjukkan perubahan dengan kriteria
yang mengakibatkan kelelahan
hasil :
- Monitor kelelahan fisik
- Tingkat kesadaran skala 1
(menurun) yang akan ditingkatkan - Monitor pola dan jam tidur
ke skala 4 (cukup meningkat)
- Monitor lokasi dan ketidaknyamanan
- Frekuensi nadi dari 1 menurun selama melakukan aktivitas
ditingkatkan ke 4 cukup meningkat
Terapeutik
- Saturasi oksigen dari 1 menurun
- Sediakan lingkungan yang nyaman dan
ditingkatkan ke 4 cukup meningkat
rendah stimulus
- Memudahan dalam melakukan
- Lakukan latihan rentang gerak pasif
aktivitas dari 1 menurun
atau aktif
ditingkatkan ke 4 cukup meningkat
- Berikan aktivitas distraksi yang
- Kecepatan berjalan dari 1 menurun menenangkan
ditingkatkan ke 4 cukup meningkat
- Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur
- Jarak jalan dari 1 menurun
Edukasi
ditingkatkan ke 4 cukup meningkat
- Anjurkan tirah baring
- Kekuatan tubuh atas dari 1 menurun
ditingkatkan ke 4 cukup meningkat - Anjurkan melakukan aktivitas secara
bertahap
- Kekuatan tubuh bawah dari 1
menurun ditingkatkan ke 4 cukup - Anjurkan menghubungi perawat jika
meningkat tanda dan gejala kelelahan tidak
berkurang
- Keluhan lelah dari 4 cukup menurun
ditingkat kan ke 1 cukup meningkat - Ajarkan strategi kopung untuk

- Dyspnea saat aktivitas dari 4 cukup mengurangi kelelahan

menurun ditingkat kan ke 1 cukup Kolaborasi


meningkat
Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara
- Dyspnea setelah aktivitas dari 4 meningkatkan asupan mkanan.
cukup menurun ditingkat kan ke 1
cukup meningkat

- Perasaan lemah dari 4 cukup


menurun ditingkat kan ke 1 cukup
meningkat

- Tekanan darah dari 1 memburuk


ditingkatkan ke 4 cukup membaik

- Frekuensi napas dari 1 memburuk


ditingkatkan ke 4 cukup membaik
Defisit nutrisi ( D.0019 ) Status nutrisi (L.03030) Manajaman Nutrisi (I.03119)

Setelah dilakukan asuhan keperawatan observasi


sealama 3 x 24 jam diharapkan defisit
- Identifikasi status nutrisi
nutrrisi teratasi :
- Identifikasi makanan yang disukai
- Porsi makananan dari skala 1 (menurun) - Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis
yang akan ditingkatkan ke skala nutrient
4(cukup membaik) - Monitor asupan makanan
- Kekuatan otot mengunyah dari skala 1 - Monitor berat badan
(menurun) yang akan ditingkatkan ke
skala 4(cukup membaik) - Monitor hasil pemerisaan laboratorium
- Kekuatan otot menelan dari skala 1
Terapeutik
(menurun) yang akan ditingkatkan ke
skala 4(cukup membaik) - Lakukan oral hygiene sebelum makan
- Verbalisasi keinginan untuk meningkat - Fasilitasi menentukan pedoman diet
nutrisi dari skala 1 (menurun) yang akan - Berikan makanan tinggi serat untuk
ditingkatkan ke skala 4(cukup membaik) mencegah konstipasi
- Sariawan dari skala 1 (menurun) yang - Berikan makanan tinggi kalori dan
akan ditingkatkan ke skala 4 (cukup tinggi protein
membaik) - Berikan suplemen makanan
- Nafsu makan dari skala 1 (menurun)
Edukasi
yang akan ditingkatkan ke skala
4(cukup membaik) - Anjurkan posisi duduk
- Ajarkan diet yang diprogramkan

Kolaborasi

Kolaborasi pemberian medikasi sebelum


makan ( misal pereda nyeri, antlemetik), jika
perlu.
Pola napas tidak efektif (D. 0005) Pola napas (L.01004) Manajemen jalan napas (I.01001)

Setelah dilakukan tindakan keperawatan Tindakan


selama 3x24 jam diharapkan klien dapat
Observasi
menunjukkan perubahan dengan kriteria
hasil : - Monitor pola napas
- Ventilasi semenit dari 4 cukup - Monitor bunyi napas tambahan
meningkat diturunkan ke 2 cukup - Monitor sputum
menurun
Terapeutik
- Kapasitas vital dari 4 cukup
meningkat diturunkan ke 2 cukup - Pertahankan kepatenan jalan napas

menurun dengan headlit dan chinlift

- Tekanan ekspirasi dari 4 cukup - Posisikan semi fowler atau fowler

meningkat diturunkan ke 2 cukup - Berikan minuman hangat

menurun - Lakukan fisioterapi dada

- Tekanan inspirasi dari 4 cukup - Berikan oksigen

meningkat diturunkan ke 2 cukup Edukasi


menurun
- Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari
- Dispnea dari 4 cukup menurun
ditingkatkan ke 2 cukup meningkat - Ajarkan teknik batuk efektif
- Penggunaan otot bantu pernapasan
Kolaborasi
dari 4 cukup menurun ditingkatkan
ke 2 cukup meningkat Kolaborasi pemberian bronkodilator,
- Pemanjangan fase ekspirasi dari 4 ekspektoran, mukolitik
cukup menurun ditingkatkan ke 2
cukup meningkat
- Frekuensi napas dari 2 cukup
memburuk ditimgkatkan ke 4 cukup
membaik
- Kedalaman napas dari 2 cukup
memburuk ditimgkatkan ke 4 cukup
membaik
DAFTAR PUSTAKA

Harsono. (2011). Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press; .p.135.
Judha, Mohamad. (2011). Sistem Persyarafan dalam Asuhan Keperawatan.
Yogyakarta : Gosyen Publising.
Pearce, Evelyn C. (2019). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama.
Sylvia A. Price. (2017). Patofisiologi, konsep klinik proses- proses penyakit
ed. 4. Jakarta : EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia (SDKI), Edisi 1, Jakarta, PersatuanPerawat Indonesia

Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan


Indonesia (SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Anda mungkin juga menyukai