Anda di halaman 1dari 8

Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Kejahatan

Seksual dalam Kasus Pelecehan terhadap Anak di Aceh

Sifa Fauziah., Gallerykhi Art M., Lintang Herninda W., Hanyf Ruqo Y.
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Singaperbangsa Karawang
Email: sifauziah2001@gmail.com, lherninda@gmail.com, 3xxx@xxxx.xxx

Abstrak
Kata kunci:

Abstract
Keywords:

PENDAHULUAN

Kekerasan/pelecehan seksual terhadap anak (Child Sexual Abuse) melibatkan


membujuk atau memaksa seorang anak untuk ambil bagian dalam kegiatan seksual, atau
mendorong seorang anak untuk berperilaku dalam seksual yang tidak pantas termasuk
selesai atau berusaha tindakan seksual atau hubungi atau interaksi seksual non-kontak
dengan seorang anak oleh orang dewasa. Ini mungkin mengambil beberapa bentuk:
penetrasi antara mulut, penis, vulva anus dari anak dan individu lain: kontak-disengaja
menyentuh alat kelamin, pantat, atau payudara dengan atau tanpa pakaian (tidak termasuk
perawatan normal): non-kontak- terhadap paparan pada aktivitas seksual, pembuatan film,
prostitusi.1
Perkembangan jaman telah mempengaruhi kesadaran hukum dan penilaian
terhadap suatu tingkah laku. Apakah perbuatan tersebut dianggap lazim atau bahkan
sebaliknya merupakan suatu ancaman bagi ketertiban sosial. Masalah kekerasan pada
anak baik fisik maupun psikis yang terjadi, memang sangat memprihatinkan. Upaya
perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam
kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun.Bertitik tolak dari konsepsi
perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komperhensif. Berbicara mengenai

1
Elizabeth M. Molyneux, Neil Kennedy, Asefa Dano, Yabwile Mulambia. Sexual abuse of
children in low-income settings: time for action. 2013. Paediatrics and International Child Helath. 33,
hlm. 239-246. 2
kekerasan terhadap anak, maka dibutuhkan perlindungan yang harus diberikan oleh
lembaga berwenang terhadap anak yang posisinya sebagai korban kejahatan.
Saat ini Kekerasan seksual terhadap anak merupakan kejahatan yang cukup
mendapat perhatian di kalangan masyarakat. Sering diberitakan di koran atau majalah
mengenai tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur. Dan dalam
penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak paling banyak menimbulkan
kesulitan dalam penyelesaiannya baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun pada
tahap penjatuhan putusan. Selain kesulitan dalam batasan di atas, juga kesulitan
pembuktian misalnya perkosaan atau perbuatan cabul yang umumnya dilakukan tanpa
kehadiran orang lain.2
Kekerasan seksual yang dilakukan terhadap anak di bawah umur tentunya akan
berdampak pada psikologis maupun perkembangan lainnya terhadap anak tersebut.
Dampak psikologis pada anak-anak akan melahirkan trauma berkepanjangan yang
kemudian dapat melahirkan sikap tidak sehat, seperti minder, takut yang berlebihan,
perkembangan jiwa terganggu, dan akhirnya berakibat pada keterbelakangan mental.
Keadaan tersebut kemungkinan dapat menjadi suatu kenangan buruk bagi anak korban
pencabulan tersebut. Peran aktif dari para aparat penegak hukum dalam menanggulangi
kejahatan kesusilaan sangat diperlukan.
Ada beberapa alasan mengapa anak sering kali menjadi target kekerasan seksual
yaitu: anak selalu berada pada posisi yang lebih lemah dan tidak berdaya, moralitas
masyarakat khususnya pelaku kekerasan seksual yang rendah, kontrol dan kesadaran
orang tua dalam mengantisipasi tindak kejahatan pada anak yang rendah. 3 Dari beberapa
penelitian yang telah ada sebelumnya dapat dilihat bahwa jarang kekerasan seksual
terhadap anak dilakukan oleh orang asing (tidak dikenal oleh korban). Akan tetapi,
kekerasan seksual terhadap anka dilakukan oleh orang terdekat korban. Hubunngan dekat
antara korban dan pelaku inilah yang sering menambah kompleksitas dari penanganan
kasus kejahatan seksual pada anak. Sebagai contoh terhadap tindak pidana Pelecehan
seksual yang baru-baru ini terjadi, yaitu Pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur
oleh pamannya di Aceh.
Tindak kekerasan terhadap anak merupakan permasalahan yang cukup kompleks,
karena mempunyai dampak negatif yang serius, baik bagi korban maupun lingkungan
sosialnya. Dalam pasal 4 Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan
Anak yang berbunyi: “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.4

2
Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya, Jakarta, Sinar Grafika, 1996,
hal. 81.
3
Hertinjung, W.S., Efek Pelatihan Relaksasi terhadap Gejala PTSD pada Anak Korban Kekerasan
Seksua,. Tesis, 2009, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
4
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak.
Secara umum peraturan perundang-undangan 8 telah mengatur mengenai
perlindungan anak, seperti dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 5, khususnya Pasal
1 Butir (2) yang berbunyi:
“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.”

Tindak pidana pemerkosaan merupakan suatu kejahatan yang sangat keji, yang harus
mendapatkan sanksi hukuman yang setimpal. Penerapan sanksi hukuman harus mampu
memberikan efek jera bagi pelakunya. Aturan sanksi hukuman yang berat dalam undang-
undang serta ketegasan aparat penegak hukum dalam menerapkan hukuman menjadi
salah satu faktor yang krusial dalam menegakan nilai keadilan dalam tindak pidana
pemerkosaan. Ketegasan dalam penerapan hukumnya akan menjadi cermin pembelajaran
dalam kehidupan masyarakat secara umum. Selain ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor
23 Tahun 2002, mengenai sanksi hukuman terhadap kejahatan pemerkosaan di bawah
umur, telah diatur terlebih dahulu di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada
Pasal 287 Butir (1) dan (2) yang berbunyi:

1) Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan isterinya, sedang


diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa umur perempuan itu
belum cukup 15 tahun kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa
perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-
lamanya sembilan tahun.
2) Penuntutan hanya dilakukan kalau ada pengaduan, kecuali kalau umurnya
perempuan itu belum sampai 12 tahun atau jika ada salah satu hal yang
tersebut pada pasal 291 dan 294. Ketentuan yang masih sama tentang
tindak pidana pemerkosaan juga telah diatur dalam Kitab.
Undang-undang Hukum Pidana Pasal 294 Butir (1) dan (2) yang berbunyi:
1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya yang belum
dewasa, anak tiri atau dipungutnya, anak peliharaannya, atau dengan
seseorang yang belum dewasa yang dipercayakan padanya untuk
ditanggung, dididik atau dijaga, atau dengn bujang atau orang sebawahnya
yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
2) Diancam dengan pidana yang sama :

5
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor
23 Tahun 2002.
a. Pegawai negeri yang melakukan perbuatan cabul dengan orang
yang dibawah perintahnya atau dengan orang yang dipercayakan
atau diserahkan padanya untuk dijaga.
b. Pengurus, tabib, guru, pegawai, mandor atau bujang dalam penjara,
rumah tempat melakukan pekerjaan untuk negeri, rumah
pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit ingatan atau
balai derma, yang melakukan pencabulan dengan orang yang
ditempatkan di situ.
Hukuman tambahan terhadap tindak pidana pemerkosaan diberikan sebagai upaya
untuk memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan pemerkosaan terhadap anak di
bawah umur, dengan harapan kasus tindak pidana pemerkosaan tersebut tidak terulang
kembali. Penerapan sanksi hukuman pidana salah satunya diberikan melalui Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 tahun 2016 tentang
Perubahan ke-2 atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak6. Perppu tersebut salah satunya mengatur mengenai hukuman kebiri kimia bagi
kejahatan seksual.
Serta mengacu dalam putusan Mahkamah Syar iyah ‟Jantho Nomor
22/JN/2020/MS.Jth tanggal 30 Maret 2021 pada tingkat pertama dan ketetapan Ketua
Mahkamah Syar iyah‟ Aceh Nomor 7/JN/2021/MS.Aceh tanggal 28 April 2021 tentang
Penunjukan Majelis Hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara ini pada tingkat
banding.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang
meletakkan hukum sebagai sebuah kerangka sistem norma yang didalamnya memuat
mengenai asas-asas, norma dalam masyarakat, kaidah dari peraturan perundangan,
putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran) yang ada.7 yang kemudian akan
disebut bahanbahan hukum. Bahan hukum inilah yang kemudian akan disusun secara
sistematis, dikaji dan ditarik kesimpulan atas permasalahan yang diteliti.
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan sumber data sekunder yaitu
dengan melakukan penelitian studi pustaka kemudian mengkaji bahan-bahan hukum yang
telah diperoleh. Bahan hukum tersebut meliputi bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, bahan hukum tersier ataupun bahan non hukum, yakni sebagai berikut :
a. Bahan Hukum Primer berupa peraturan perundangan sebagai berikut:
1) Undang-Undang Dasar 1945
2) KUHP dan Qonun Jinayat

6
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan ke-
2 atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
7
Mukti fajar, Yulianto Ahmad, 2015, Dualisme Penelitian Hukum, Normatif & Empiris, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, hlm.34.
3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
UndangUndang No 13 Tahun 2006 Mengenai Perlindungan Saksi dan
Korban.
5) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1
Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentangPerlindungan Anak.
b. Bahan Hukum Sekunder, Data yang dipergunakan berupa beberapa pendapat
hukum yang diperoleh melalui buku-buku, website, makalah, artikel, pendapat
para sarjana hukum, surat kabar dan bahan-bahan lainnya.
c. Bahan Hukum Tersier, Adalah Kamus hukum dan ensiklopedia.

Analisis Data secara keseluruhan bahan hukum yang telah diperoleh sepanjang
penelitian kemudian akan dianalisis menggunakan metode deduktif, yakni data-data
umum baik berupa asas, doktrin, maupun pendapat ahli, disusun secara sistematis guna
mengkaji kebenaran hukum tentang Perlindungan Hukum terhadap Anak Sebagai Korban
Pelecehan Seksual.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Upaya Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual di


Indonesia

Ricard J. Gelles mengatakan bahwa kekerasan terhadap anak adalah perbuatan


disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya secara fisik maupun emosional
kepada anak-anak dalam bentuk kekerasan fisik, kekerasan secara psikologi, kekerasan
secara seksual, dan kekerasan secara sosial. 8 Menurut Arif Gosita perlindungan anak
adalah suatu hasil interaksi karena adanya hubungan antara fenomena yang ada dan
saling mempengaruhi.9 Sedangkan menurut Shanty Dellyana, bahwa perlindungan anak
adalah suatu usaha menjadikan diri yang melindungi anak dapat melaksanakan hak anak
dan kewajiabannya.
Perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban kekerasan seksual anak
tersebut memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan khusus berupa berbagai upaya
penanggulangan seperti sosialisasi ketentuan uu uu 23/2002 dan berbagai peraturan

8
Ricard J. Gelles, Applying Research On Family Violence to Clinical practice, Journal of Marriage and the
Family: 44, 1982, hlm 8.
9
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Presindo, Jakarta, 1989, hlm. 12.
perundang-undangan yang berkaitan dengan Perlindungan Anak, mendapat pantauan,
pelaporan dan pemberian sanksi terhadap pelaku.10
Dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang
No. 23 Tahu 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 69 A menyebutkan tentang
perlindungan khusus bagi anak korban kejahatan seksual sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 ayat (2) huruf j dilakukan melalui upaya:
1. Edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaan;
2. Rehabilitasi sosial;
3. Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan;
4. Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat pemeriksaan
mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di sidang
pengadilan.

Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam
melaksanakan perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan seksual berdasar atas
peraturan yang mengaturnya. Pasal 19 menengaskan bahwa:
1. Identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi wajib dirahasiakan dalam
pemberitaan di media cetak ataupun elektronik;
2. Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi nama Anak, nama Anak
Korban, nama Anak Saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat
mengungkapkan jati diri Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi. Dalam Pasal
23 setiap anak yang menjadi korban kejahatan seksual wajib di lindungi:
a) setiap tingkat pemeriksaan, Anak wajib diberikan bantuan hukum dan
didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
b) Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak Korban atau Anak Saksi wajib
didampingi oleh orang tua dan/atau orang yang dipercaya oleh Anak
Korban dan/atau Anak Saksi, atau Pekerja Sosial;
c) Dalam hal orang tua sebagai tersangka atau terdakwa perkara yang sedang
diperiksa, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku
bagi orang tua.

Upaya perlindungan terhadap korban tindak pidana kekerasan seksual tidak semata-
mata merupakan tugas dari aparat penegak hukum, tetapi juga merupakan kewajiban
masyarakat untuk membantu memulihkan kondisi korban dalam kehidupan
bermasyarakat. Upaya perlindungan kepada korban perkosaan dapat dibagi menjadi 2
(dua), yaitu:
1. Perlindungan Oleh Hukum

10
Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum dalam Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak,
Yogyakarta: Medpress Digital, 2015, hlm 58.
Secara umum, adanya hukum positif di Indonesia merupakan suatu aturan yang
salah satu tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kejahatan. Hal ini berarti,
hukum juga bertujuan untuk melindungi masyarakat agar tidak menjadi korban
kejahatan sebelum kejahatan itu terjadi. Berdasarkan ilmu hukum, maka pihak korban
dapat menuntut kerugian atau ganti rugi terhadap pihak terpidana. Pengaturan
perlindungan korban dalam Hukum pidana Positif Indonesia diatur dalam11:
a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Menurut ketentuan Pasal 14c ayat (1), begitu pula Pasal 14a dan b KUHP,
hakim dapat menjatuhkan pidana dengan menetapkan syarat khusus
kepada terpidana dengan maksud guna mengganti kerugian yang
ditimbulkan kepada korban.
b) Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Bab III Tentang Penggabungan Perkara Ganti Kerugian, Pasal 98 s/d 101
yang mengatur tentang ganti rugi yang diberikan oleh korban dengan
menggabungkan perkara pidana dan perdata. Hal ini juga merupakan
merupakan perwujudan dari perlindungan hukum terhadap korban. Jadi
selain pelaku telah mendapatkan hukuman yang setimpal dengan
perbuatannya, korban juga mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang
dideritanya.
c) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan
Korban Pada tanggal 11 Agustus 2006, Undang-Undang Perlindungan
Saksi Dan Korban disahkan sebagai Undang- Undang Nomor 13 Tahun
2006. Undang-Undang ini merupakan sebuah terobosan hukum karena
memberikan jaminan hokum dan mengakui tanggung jawab negara untuk
menyediakan layanan perlindungan bagi korban, saksi dan pelapor. Bagi
korban, Undang-Undang ini juga merupakan alat baru untuk mengakses
keadilan bagi korban dan saksi.
d) Adanya perhatian pada bantuan medis, rehabilitasi psikososial,
kompensasi dan restitusi lainnya pada pelanggaran HAM berat. Bantuan
ini sangat penting bagi perempuan korban kekerasan, khususnya kekerasan
seksual, dalam situasi konflik dan berbagai situasi yang timbul sebagai
akibat kejahatan terhadap kemanusiaan.
e) Diperkenankannya pemberian kesaksian oleh saksi dan korban tanpa
kehadiran langsung di persidangan, baik melalui tulisan maupun rekaman
suara. Terobosan ini sangat penting bagi korban kekerasan seksual yang
seringkali masih trauma, merasa takut mengalami viktimisasi dan juga
malu yang tak pada saat memberikan kesaksian.

2. Perlindungan Oleh Masyarakat


11
Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi Dan Viktimologi, Jakarta, Djambatan, 2004,
hal 91.
a) Keluarga
Keluarga merupakan orang-orang terdekat korban yang
mempunyai andil besar dalam membantu memberikan perlindungan
kepada korban. Hal ini dengan dapat ditunjukkan dengan selalu menghibur
korban, tidak mengungkit-ungkit dengan menanyakan peristiwa yang telah
dialaminya, memberi dorongan dan motivasi bahwa korban tidak boleh
terlalu larut dengan masalah yang dihadapinya, memberi keyakinan bahwa
kejadian yang dialaminya tidak boleh merusak masa depannya,
melindungi dia dari cibiran masyarakat yang menilai buruk dirinya, dan
lain-lain. Hal-hal semacam ini sangat penting dan sangat dibutuhkan oleh
korban, karena pada dasarnya korban merupakan korban ganda yang
selain mengalami kekerasan fisik secara seksual, ia juga mengalami
kekerasan psikis yang tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lama
untuk memulihkannya. Jadi keluarga sangat berperan penting dalam
rangka membantu memulihkan kondisi kejiwaan korban sehingga korban
juga merasa dilindungi oleh orang-orang terdekat dalam kkehidupannya.
b) Masyarakat
Masyarakat juga mempunyai peran penting untuk membantu
memulihkan kondisi kejiwaan korban. Masyarakat diharapkan ikut
mengayomi dan melindungi korban dengan tidak mengucilkan korban,
tidak memberi penilaian buruk kepada korban, dan lain-lain. Perlakuan
semacam ini juga dirasa sebagai salah satu perwujudan perlindungan
kepada korban, karena dengan sikap masyarakat yang baik, korban tidak
merasa minder dan takut dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.

Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual dalam Kasus


Kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di Aceh

KESIMPULAN
Kesimpulan mengindikasikan secara jelas hasil-hasil yang diperoleh dan
kemungkinan pengembangan penelitian atau pengabdian selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Daftar pustaka dibuat menurut standar APA (American Psychological Association).

Anda mungkin juga menyukai