Anda di halaman 1dari 2

Pengertian Penikahan atau perkawinan

Pernikahan adalah sebuah proses, bahkan proses yang sangat panjang, dengan segala jatuh bangunnya,
karena masing-masing pribadi mempunyai keunikan. Dalam banyak pernikahan, keunikan-keunikan itu
tidak bisa sepenuhnya bisa dipadukan atau dikompromikan. Supaya bisa menolong pasangan untuk bisa
mengelola perbedaan itu pulalah Gereja Katolik merumuskan hukumnya tentang perkawinan (sebagai
salah satu bagian kecil dari Kitab Hukum Kanonik 1983), yang secara tidak langsung didasarkan pada
Alkitab yang sudah ’ditafsirkan’ secara lebih modern dalam Konsili Vatikan II pada tahun 1962-
1965. Karena itu, dalam tulisan singkat ini acuan alkitabiah-nya sudah diandaikan. Dan Perkawinan
campur ada dua jenis: perkawinan beda agama (disparitas cultus) dan perkawinan beda gereja (mixta
religio). 

Perbedaan Iman dan Ajaran

Dalam pandangan Gereja, perkawinan campur bukan perkawinan antara mereka yang berbeda suku,
negara dan warna kulit melainkan antara dua orang yang berbeda iman, agama, gereja dan ajaran
(termasuk Kitab Suci dan moralitas atau etika serta ajaran sosial). Dalam bagian awal Motu
Proprio Matrimonia Mixta  (MM) pada 31 Maret 1970, Paus Paulus VI memberi arti perkawinan campur:
“perkawinan antara seorang dibaptis Katolik dengan pasangan non-Katolik, baik yang dibaptis dalam
gereja lain maupun orang yang tidak dibaptis”. Secara khusus, arti perkawinan beda agama adalah
perkawinan antara seorang dibaptis Katolik dengan seorang tidak dibaptis. Sedangkan perkawinan beda
gereja berarti perkawinan antara seorang dibaptis Katolik dengan seorang yang dibaptis dalam Gereja
yang tidak memiliki kesatuan penuh dengan Katolik.

Sebenarnya, bobot ’larangan’ antara pernikahan campur beda gereja dan campur beda agama berbeda.
Hal itu tampak dari perbedaan istilah yang dipakai. Untuk pernikahan campur beda gereja ’hanya’
dibutuhkan ijin dari otoritas gerejawi, sedang untuk pernikahan beda agama dibutuhkan dispensasi.
Dalam pengertian yuridis, dispensasi berarti pembebasan dari hukum, dan secara implisit mengandaikan
bahwa larangannya lebih berat. Meski begitu, seperti disebut dalam kanon 1086 § 2 tadi, secara umum
persyaratannya tidak jauh berbeda. Dua kanon secara eksplisit menyebutkan syarat-syarat
didapatkannya baik ijin maupun dispensasi itu.

Kanon 1125 - Izin semacam itu dapat diberikan oleh Ordinaris wilayah, jika terdapat alasan yang wajar
dan masuk akal; izin itu jangan diberikan jika belum terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. pihak katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan
janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua
anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja katolik;

2. mengenai janji-janji yang harus dibuat oleh pihak katolik itu pihak yang lain hendaknya
diberitahu pada waktunya, sedemikian sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dan
kewajiban pihak katolik; 

3. kedua pihak hendaknya diajar mengenai tujuan-tujuan dan ciri-ciri hakiki perkawinan, yang tidak
boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya
Kanon 1126 - Adalah tugas Konferensi para Uskup untuk menentukan baik cara pernyataan dan janji
yang selalu dituntut itu harus dibuat, maupun menetapkan cara hal-hal itu menjadi jelas, juga dalam
tata-lahir, dan cara pihak tidak katolik diberitahu.

Kanon ini memberi kemungkinan untuk meminta ijin diberkatinya suatu pernikahan di tempat lain yang
bukan Gereja Katolik, misalnya di suatu gereja Kristen lain, dengan diberkati bersama pendeta dan
kesepakatan nikah ditanyakan oleh seorang pastor Katolik. Tentang kemungkinan ini, ijin bisa
dimintakan pada pastor paroki saja.

Dalam situasi yang lebih berat, otoritas gerejawi (ordinaris wilayah) bisa juga memberikan dispensasi
dari tata peneguhan Kanonik, asal prosedur dan pencatatannya tetap dilakukan juga di Gereja Katolik.
Hal ini dikatakan dalam kanon 1121 § 3

Anda mungkin juga menyukai