Anda di halaman 1dari 5

Nama : Mayka ayuning putri

Kelas : XI IPS 5

Laporan Study tour Mata Pelajaran Sejarah

 Museum sangiran

Situs Sangiran adalah sebuah situs arkeologi di Jawa, Indonesia. Area ini memiliki luas 48
km² dan terletak di Jawa Tengah, 15 kilometer sebelah utara Surakarta di lembah Sungai
Bengawan Solo dan terletak di kaki gunung Lawu. Secara administratif Sangiran terletak di
kabupaten Sragen dan kabupaten Karanganyar di Jawa Tengah. Pada tahun 1977 Sangiran
ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia sebagai cagar budaya.
Pada tahun 1996 situs ini terdaftar dalam Situs Warisan Dunia UNESCO.

Tahun 1934 antropolog Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald memulai penelitian di
area tersebut. Pada tahun-tahun berikutnya, hasil penggalian menemukan fosil dari nenek
moyang manusia pertama, Pithecanthropus erectus (“Manusia Jawa”). Ada sekitar 60
lebih fosil lainnya di antaranya fosil Meganthropus palaeojavanicus telah ditemukan di
situs tersebut.

Di Museum Sangiran, yang terletak di wilayah ini juga, dipaparkan sejarah manusia purba
sejak sekitar 2 juta tahun yang lalu hingga 200.000 tahun yang lalu, yaitu dari kala Pliosen
akhir hingga akhir Pleistosen tengah. Di museum ini terdapat 13.086 koleksi fosil manusia
purba dan merupakan situs manusia purba berdiri tegak yang terlengkap di Asia. Selain itu
juga dapat ditemukan fosil hewan bertulang belakang, fosil binatang air, batuan, fosil
tumbuhan laut serta alat-alat batu.
Pada awalnya penelitian Sangiran adalah sebuah kubah yang dinamakan Kubah Sangiran.
Puncak kubah ini kemudian terbuka melalui proses erosi sehingga membentuk depresi.
Pada depresi itulah dapat ditemukan lapisan tanah yang mengandung informasi tentang
kehidupan di masa lampau.

Manusia Jawa (Homo erectus paleojavanicus) adalah anakjenis Homo erectus yang
pertama kali ditemukan. Pada awal penemuan, makhluk mirip manusia ini diberi nama
ilmiah Pithecanthropus erectus oleh Eugène Dubois, pemimpin tim yang berhasil
menemukan fosil tengkoraknya di Trinil pada tahun 1891. Nama Pithecanthropus erectus
sendiri berasal dari akar bahasa Yunani dan latin dan memiliki arti manusia-kera yang
dapat berdiri.

Sejarah

Ketika itu, Eugène Dubois tidak berhasil mengumpulkan fosil Pithecanthropus secara utuh
melainkan hanya tempurung tengkorak, tulang paha atas dan tiga giginya saja. Dan
sampai saat ini, belum ditemukan bukti yang jelas bahwa ketiga tulang tersebut berasal
dari spesies yang sama.[1] Sebuah laporan berisi 342 halaman ditulis pada waktu itu
tentang keraguan validitas penemuan tersebut. Meskipun demikian manusia Jawa masih
dapat ditemukan di buku-buku pelajaran saat ini. Fosil yang lebih lengkap kemudian
ditemukan di desa Sangiran, Jawa Tengah, sekitar 18km ke Utara dari kota Solo. Fosil
berupa tempurung tengkorak manusia ini ditemukan oleh Gustav Heinrich Ralph von
Koenigswald, seorang ahli paleontologi dari Berlin, pada tahun 1936. Selain fosil, banyak
pula penemuan-penemuan lain di situs Sangiran ini.[2].

Sampai temuan manusia yang lebih tua lainnya ditemukan di Great Rift Valley, Kenya,
temuan Dubois dan von Koenigswald merupakan manusia tertua yang diketahui. Temuan
ini juga dijadikan rujukan untuk mendukung teori evolusi Charles Darwin dan Alfred
Russel Wallace. Banyak ilmuwan pada saat itu yang juga mengajukan teori bahwa
Manusia Jawa mungkin merupakan mata rantai yang hilang antara manusia kera dengan
manusia modern saat ini. Saat ini, antropolog bersepakat bahwa leluhur manusia saat ini
adalah Homo erectus yang hidup di Afrika.
 Candi borobudur

Borobudur adalah sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa
Tengah, Indonesia. Candi ini berlokasi di kurang lebih 100 km di sebelah barat daya
Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta.
Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar
abad ke-8 masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Borobudur adalah candi
atau kuil Buddha terbesar di dunia,H[1][2] sekaligus salah satu monumen Buddha terbesar
di dunia.[3]

Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga
pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat
504 arca Buddha.[4] Borobudur memiliki koleksi relief Buddha terlengkap dan terbanyak di
dunia.[3] Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini,
dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang di dalamnya terdapat arca
buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan)
Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).

Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk
memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk menuntun umat
manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai
ajaran Buddha.[5] Para peziarah masuk melalui sisi timur memulai ritual di dasar candi
dengan berjalan melingkari bangunan suci ini searah jarum jam, sambil terus naik ke
undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan
itu adalah Kāmadhātu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu
(ranah tak berwujud). Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan melalui serangkaian lorong
dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada
dinding dan pagar langkan.
Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya
pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam.[6]
Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas
Stamford Raffles, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak
saat itu Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran.
Proyek pemugaran terbesar digelar pada kurun 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah
Republik Indonesia dan UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs
Warisan Dunia.[3]

Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun umat
Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur
untuk memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah objek wisata
tunggal di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan.[7][8][9]

 Candi prambanan

Candi Prambanan atau Candi Roro Jonggrang adalah kompleks candi Hindu terbesar di
Indonesia yang dibangun pada abad ke-9 masehi. Candi ini dipersembahkan untuk Trimurti,
tiga dewa utama Hindu yaitu Brahma sebagai dewa pencipta, Wishnu sebagai dewa
pemelihara, dan Siwa sebagai dewa pemusnah. Berdasarkan prasasti Siwagrha nama asli
kompleks candi ini adalah Siwagrha (bahasa Sanskerta yang bermakna 'Rumah Siwa'), dan
memang di garbagriha (ruang utama) candi ini bersemayam arca Siwa Mahadewa setinggi
tiga meter yang menujukkan bahwa di candi ini dewa Siwa lebih diutamakan.

Kompleks candi ini terletak di kecamatan Prambanan, Sleman dan kecamatan Prambanan,
Klaten,[1] kurang lebih 17 kilometer timur laut Yogyakarta, 50 kilometer barat daya
Surakarta dan 120 kilometer selatan Semarang, persis di perbatasan antara provinsi Jawa
Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.[2] Letaknya sangat unik, Candi Prambanan
terletak di wilayah administrasi desa Bokoharjo, Prambanan, Sleman, sedangkan pintu
masuk kompleks Candi Prambanan terletak di wilayah adminstrasi desa Tlogo, Prambanan,
Klaten.
Candi ini adalah termasuk Situs Warisan Dunia UNESCO, candi Hindu terbesar di Indonesia,
sekaligus salah satu candi terindah di Asia Tenggara. Arsitektur bangunan ini berbentuk
tinggi dan ramping sesuai dengan arsitektur Hindu pada umumnya dengan candi Siwa
sebagai candi utama memiliki ketinggian mencapai 47 meter menjulang di tengah kompleks
gugusan candi-candi yang lebih kecil.[3] Sebagai salah satu candi termegah di Asia Tenggara,
candi Prambanan menjadi daya tarik kunjungan wisatawan dari seluruh dunia.[4]

Menurut prasasti Siwagrha, candi ini mulai dibangun pada sekitar tahun 850 masehi oleh
Rakai Pikatan, dan terus dikembangkan dan diperluas oleh Balitung Maha Sambu, pada
masa kerajaan Medang Mataram.

Anda mungkin juga menyukai