Anda di halaman 1dari 31

BAB V

HARGA JUAL BAKSO: BUKAN REFLEKSI HARGA PRODUKSI

Pendahuluan

Akuntansi telah diakui sebagai sebuah fenomena yang bentuk, fungsi dan

konsekuensinya memiliki saling ketergantungan dengan konteks di mana ia

berada (Hopwood, 1989: 1). Dengan demikian, memadukan ekspresi peneliti

sedemikian rupa dalam praktek penelitian kualitatif, telah mendapat perhatian

yang serius dari banyak peneliti (sebagai contoh, Ahrens dan Dent, 1998; Baxter

dan Chua, 1998; Covaleski dan Dirsmith, 1990; Marginson, 2004; Syarifuddin,

2010).

Pemaduan ekspresi ini dilakukan karena peneliti kualitatif berpendapat bahwa

“social reality is emergent, subjectively created, and objectified through human

interaction” (Chua, 1986: 615). Bagi Chua (1986), mengekspresikan pandangan

peneliti dalam bidang sosial tidak hanya bertujuan untuk sekedar menjelaskan

atau mengklarifikasikan kepada pembaca mengenai sesuatu hal yang empiris

tentang keadaan tertentu, akan tetapi lebih dari itu, penelitian kualitatif juga ingin

menjelaskan bagaimana sebuah teori baru dibangun.

Sementara itu, terdapat perkembangan besar dalam penelitian yang

menyelidiki perhitungan praktek biaya produk pada dekade terakhir. Sebelum

tahun 1990-an terdapat sedikit informasi yang tersedia berkenaan dengan praktek

biaya produk. Setelah dekade 1990-an, bermunculan keinginan dari para pakar

untuk meneliti mengenai bagaimana praktek biaya produk berubah seiring dengan

67
68

perubahan dalam lingkungan bisnis. Karenanya, terdapat berbagai kritikan

terhadap praktek perhitungan biaya produk (misalnya Kaplan, 1984; 1985; 1988;

1990; Cooper dan Kaplan, 1987; 1991; Johnson dan Kaplan, 1987; Kaplan dan

Cooper, 1998). Salah satu kritik diutarakan oleh Friedman dan Lyne (1995),

mereka mengatakan bahwa banyak perusahaan memilih untuk tidak menggunakan

sistem activity-based costing (ABC) karena kesulitan dalam mengaplikasikan

sistem ABC ke dalam sistem perusahaan mereka.

Kritik-kritik ini kebanyakan berasal dari argumen-argumen informal antara

akademisi dan praktisi atau berdasarkan pengamatan dari sejumlah kecil

perusahaan. Kurangnya data empiris baik untuk mendukung atau menyanggah

kritik menekankan perlunya penelitian dalam praktek perhitungan biaya produk

dengan pendekatan kualitatif.

Kelemahan metodologi kuantitatif adalah pemisahan subjek dan objek beserta

konsep realitas yang terjadi. Pada metodologi kuantitatif, penelitian menekankan

pada hubungan antar perubah (variabel), dan selalu mengajukan hipotesis

penelitian (Salim, 2001: 1-13).

Berangkat dari “kelemahan” metodologi kuantitatif ini, lahir teori ilmu sosial

kritis yang melawan segala postulat keniscayaan sosial. Hal ini didasarkan pada

pemikiran bahwa konsepsi "keniscayaan" mengabaikan kebebasan manusia. Ada

upaya eksistensialis yang cukup kuat dalam teori sosial kritis (Agger, 2003: 14).

Bab ini akan melakukan analisis dan pembahasan atas data yang diperoleh

selama melakukan penelitian lapangan, dengan menggunakan metode

fenomenologi. Dalam pandangan Natanton (Mulyana, 2002: 59) fenomenologi


69

merupakan istilah generik yang merujuk kepada semua pandangan ilmu sosial

yang menganggap bahwa kesadaran manusia dan makna subjektif sebagai fokus

untuk memahami tindakan sosial. Tentu saja, dalam kaitannya dengan penelitian

budaya, pandangan subjektif informan sangat diperlukan. Subjektif akan menjadi

sahih apabila ada proses intersubjektif antara peneliti budaya dengan informan.

Pada bab ini akan dijabarkan intentional analysis dari hubungan antara

noema dan noesis yang digambarkan sebagai persepsi pedagang bakso atas harga

pokok produksi bakso. Bab ini akan berusaha menginterpretasikan setiap pendapat

subjektif dari pedagang bakso berdasarkan consciousness saya sebagai penulis.

Pada akhir bab, saya kemudian melakukan refleksi (eidetic reduction) atas

fenomena dan budaya yang ditemukan pada penelitian lapangan.

Kota Malang, Mahasiswa dan Bakso: Gambaran Situs Penelitian

Kota Malang, adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kota ini

terletak 90 km sebelah selatan Kota Surabaya, dan wilayahnya dikelilingi oleh

Kabupaten Malang. Malang adalah kota terbesar nomor dua di Jawa Timur setelah

Surabaya. Kota Malang dikelilingi oleh banyak pegunungan antara lain Semeru,

Arjuno-Welirang, dan Kawi-Botak.

Selain sebagai kota kedua terbesar di Jawa Timur, Kota Malang juga terkenal

sebagai kota pelajar karena banyaknya pendatang yang menimba ilmu di kota ini.

Malang kondusif sebagai kota pelajar, karena kotanya yang tidak terlalu ramai dan

memiliki cuaca yang sejuk. Di samping itu, kota ini juga menyediakan jajanan
70

kuliner yang sesuai dengan kebutuhan pelajar, mulai dari yang murah sampai

mahal, cepat saji sampai yang perlu pengolahan terlebih dahulu.

Saya sebagai pelajar yang sedang menimba ilmu di Kota Malang sering

mengalami dilema saat tiba waktu mengganjal perut (makan). Terlebih lagi jika

jadwal kuliah sedang padat-padatnya di mana waktu istirahat menjadi terasa

singkat, sehingga makan merupakan sesuatu yang menganggu karena mengambil

jatah waktu istirahat. Oleh karena itu, solusi terbaik adalah segera mencari

makanan yang instan, murah, mengenyangkan dan tidak menyita jadwal istirahat

dan pilihan jatuh pada menu bakso. Sebagaimana saran kawan saya, “Bel, ayo ke

kantin ada bakso Pakde, murah, enak dan tidak mengantri kalau mau beli”.

“Bakso Pakde?” tanyaku. Rupanya Pakde itu panggilan untuk tukang bakso yang

diberikan anak-anak kampus kepada pedagang bakso yang selalu memanggul

baksonya setiap sore di basement kampus, yang pada akhirnya membuka warung

bakso di kantin kampus. Ternyata hanya dengan modal Rp 5.000 sesuai kantong

mahasiswa, saya sudah dapat semangkok bakso. Harga tersebut ternyata tidak

mengalami perubahan sejak masih memanggul baksonya di basement kampus dan

setelah pindah ke kantin kampus.

Bakso atau baso adalah jenis bola daging yang paling lazim dalam masakan

Indonesia. Bakso umumnya dibuat dari campuran daging sapi giling dan tepung

tapioka, tetapi ada juga bakso yang terbuat dari daging ayam, ikan, atau udang.

Dalam penyajiannya, bakso umumnya disajikan panas-panas dengan kuah kaldu

sapi bening, dicampur mi, bihun, taoge, tahu, terkadang ditambahkan telur,

kemudian ditaburi bawang goreng dan seledri. Bakso sangat populer dan dapat
71

ditemukan di seluruh Indonesia; mulai dari gerobak pedagang kaki lima, atau

yang di panggul seperti bakso Pakde, sampai ke restoran besar. Karena

kepopulerannya, bakso seringkali dijadikan pelengkap jenis makanan lain, seperti

mi goreng, nasi goreng, atau cap cai. Oleh karena itu, berbagai jenis bakso banyak

di tawarkan dalam bentuk makanan beku yang dijual di pasar swalayan dan mall-

mall di mana masyarakat semakin mudah mendapatkan panganan jenis tersebut. 

Bakso memiliki akar seni kuliner Tionghoa Indonesia, hal ini ditunjukkan

dari istilah Bakso berasal dari kata Bak-So, dalam Bahasa Hokkien yang secara

harfiah berarti ‘daging babi giling’. Karena kebanyakan penduduk Indonesia

adalah muslim, maka bakso lebih umum terbuat dari daging halal seperti daging

sapi, ikan, atau ayam. Seiring berkembangnya waktu, istilah bakso menjadi lebih

dikenal sebagai ‘daging giling’ saja. Umumnya, pedagang bakso adalah orang

Jawa dari Wonogiri dan Malang. Tempat yang terkenal sebagai pusat Bakso

adalah Kota Solo dan Malang, khusus untuk Kota Malang, panganan bakso yang

terkenal adalah Bakso Malang.

Rasanya hampir semua orang pasti mengenal jajanan khas Indonesia yang

satu ini. Akrab dengan kehidupan orang Indonesia, familiar terdengar di telinga,

mudah ditemui dimana-mana, disukai mulai dari anak SD sampai Pejabat. Hampir

di seluruh Indonesia, dari sabang sampai Merauke, boleh dibilang tidak ada yang

tidak mengenal bakso. Warung bakso dapat dijumpai dimana saja, di depan

sekolah, di depan kampus dan perkantoran, di depan pasar dan pertokoan. Bahkan

pemandangan pedagang bakso dengan gerobak kelilingnya adalah sesuatu hal


72

yang lumrah. Selain itu, untuk menikmati semangkok bakso bukanlah suatu hal

yang membebani, karena harganya sesuai dengan ukuran kantong anak sekolahan.

Bagi banyak orang, bakso boleh jadi hanya dianggap sebagai sebuah jajanan

biasa. Namun bagi saya, bakso adalah penemuan kuliner paling spektakuler yang

pernah ada di Indonesia dan sampai saat ini belum ada satu jenis makanan pun

yang dapat menandingi kehadirannya. Bakso merupakan ciri makanan Indonesia.

Sampai saat ini belum ada orang yang berani mengaku sebagai penemu

bakso, bahkan saya juga belum pernah mendengar atau membaca literatur ada

etnis tertentu yang mengklaim jajanan bakso ini, misalnya bakso Jawa, bakso

Makassar, bakso Sunda, bakso Aceh, bakso Dayak, bakso Papua, bakso Bali, dan

lain sebagainya. Kalaupun ada pembedaan, maka itu hanya pada bahan dasar

pembuatan yang berbeda, seperti bakso sapi, bakso ayam, bakso ikan atau apapun

itu, tapi intinya tetap namanya bakso. Masyarakat Sunda menyebutnya baso, tapi

yang dimaksudkan itu bukan jenis baru dari bakso. Yang dimaksud baso ya bakso

itu juga. Belum pernah saya dengar ada yang menyebutnya, “baso Jabar” atau

“Baso Sunda”. Demikian pula, masyarakat Makassar menyebutnya “nyuk-nyang”,

tetapi yang dimaksud itu adalah bakso.

Bandingkan dengan coto atau soto, tentu kita pernah mendengar Soto Banjar,

Soto Madura, Soto Lamongan, Coto Makassar, dan lain sebagainya. Penamaan

demikian, karena Soto atau Coto tersebut khas daerah atau etnis tertentu.

Pembuatnya pun biasanya orang dari daerah atau etnis tersebut. Cara membuat,

bumbu dan rasanya dari tiap-tiap soto atau coto itu berbeda-beda, kebanyakan

disesuaikan dengan lidah atau citarasa orang dari daerah atau etnis tersebut. Dari
73

sini dapat dilihat bahwa coto atau soto sangat bersifat kedaerahan. Pedagang

makanan coto atau soto menganut paham ‘etnisentrisme’, oleh karena itu akan

sulit menyatukan mereka dalam bingkai keindonesiaan. Yang lebih

memungkinkan adalah menyatukan para pedagang bakso se–Indonesia dalam

suatu organisasi, taruhlah misalnya ‘Himpunan Pedagang Bakso Indonesia’

(HIPBI). Ah, kalau ada orang mampu menghimpun mereka dalam satu organisasi,

kalau dia politisi, tentu dia tak akan kekurangan suara pada pemilu legislatif

mendatang.

Bakso saat ini tidak lagi menjadi konsumsi anak sekolahan, karena dalam

banyak perjamuan penting, misalnya dalam arisan, sunatan, reunian, perjamuan

perkawinan, bahkan dalam kegiatan pemerintahan sering pula dihadirkan bakso

sebagai salah satu menu penting jamuan. Tentu bukan tanpa alasan bakso

dihadirkan dalam menu acara penting itu, tapi karena bakso memang banyak

penggemarnya, nikmat rasanya, bisa goyang lidah, praktis disantap, dan kalau

anda sampai menghabiskan 5 – 10 biji tentu cukup mengeyangkan. Tak banyak

yang menyadari betapa fenomenal sebenarnya bakso ini. Jauh sebelum munculnya

lagu dangdut Shabu-Shabu yang diartikan sebagai ‘sarapan bubur’, Joshua dan

Tukul telah mempopulerkan bakso ini lewat lagu anak-anak, bahkan bakso

muncul pula dalam film. Tahun lalu muncul film komedi, “Lihat Boleh Pegang

Jangan” (LBPJ) yang dibintangi Dewi Persik yang berperan sebagai anak juragan

bakso. Film LBPJ menceritakan tentang konflik dan persaingan yang terjadi

antara warung bakso ‘Goyang Lidah’ milik bang Kimbul dengan warung bakso
74

‘Joget Lidah’, punya ibu Umi. Pokoknya, bakso benar-benar telah meng-

Indonesia di setiap sudut dan ruang.

Selain sate, bakso juga pernah menjadi perbincangan warga dunia. Hal ini

bermula ketika Putra Nababan (pembawa acara salah satu televisi swasta di

Indonesia) melakukan wawancara eksklusif dengan Presiden Amerika Serikat,

Barack Obama yang pernah menghabiskan masa kecilnya di Indonesia dan

bersekolah di Menteng, Jakarta. Dalam wawancara itu, Obama mengungkapkan

bahwa masih teringat jelas dibenaknya teriakan pedagang bakso dan sate semasa

dia tinggal di Jakarta, “Bakso ….. Sate ….. ”, dan jika sempat ke Jakarta tentu dia

akan senang sekali jika dapat menikmatinya kembali. Alhasil, ketika Presiden

negara superpower tersebut bertandang ke Jakarta, hasratnya pun terpenuhi karena

dalam jamuan kenegaraan di Istana Negara, bakso dan sate dihadirkan

dihadapannya. Bakso pun mendunia karena dikenal oleh orang nomor satu di

negeri Paman Sam tersebut.

Di Malang, bakso menjadi makanan khas yang berevolusi, varian dan tehnik

pengolahannya berkembang dari waktu ke waktu. Ketika (SMP hingga kuliah saat

ini) saya di Malang, ada namanya bakso-rujak, mix bakso campur rujak cingur,

nah lho?... gimana tuh rasanya?... lalu ada bakso bakar, bakso goreng, bakso

ceker, dan lain-lain. Saat ini sudah tak terhitung lagi varian dan nama yang

diberikan untuk bakso, ada bakso krikil, bakso tenis, bakso rambutan, bakso keju,

coklat, udang, bakso Bledek hingga klimaksnya saya menjumpai ada warung

bakso "tanpa nama".


75

Maka tak heran kenapa Bakso Malang semakin meluas ke kota-kota di tanah

air. Rasa khas dan bumbu yang bisa dibilang pencapaian rasa mutahir turun-

temurun dari waktu ke waktu merupakan sentuhan kreatifitas orang Malang, yang

bertipikal suka eksplorasi dan berinovasi meramu makanan.

Memasuki Ajang Penelitian

Secara pribadi, pengalaman saya dalam melakukan penelitian merupakan

suatu pengalaman yang baru. Selama masa penelitian saya menemukan beberapa

kendala yang sempat menghambat jalannya penelitian, atau menunda penelitian

itu sendiri. Salah satunya adalah keterbatasan saya dalam mengkonsumsi bakso

dalam sehari. Saya memiliki alergi yang membatasi saya dalam mengkonsumsi

bakso, yang memiliki kandungan MSG (monosodium glutamat). Pada awal-awal

penelitian, alergi saya sering kambuh karena saya kurang memperhatikan sudah

berapa banyak bakso yang saya konsumsi dalam sehari. Hal ini saya lakukan

berkaitan dengan penelitian dan mengakrabkan diri dengan pedagang bakso

keliling.

Hambatan lain yang sering saya temui adalah seringnya hujan di kota

Malang. Malang termasuk kota dengan curah hujan yang tinggi, terlebih lagi,

masa penelitian saya, yaitu awal bulan Maret, adalah musim penghujan. Ini

menyebabkan saya sering kali kehujanan hanya untuk menemui informan saya.

Selain itu, informan saya yang berjualan dengan gerobak dorong atau gerobak

motor bersifat mobile (senantiasa bergerak). Hal ini membuat saya mengalami

kesulitan untuk janji temu dan menggali lebih dalam noesis pedagang bakso.
76

Solusi atas hambatan ini, saya memutuskan untuk menggunakan beberapa

informan guna mendapatkan pemahaman yang lebih pada isu yang ingin saya

teliti, tanpa bermaksud untuk menjeneralisasi hasil temuan studi.

Namun seperti yang saya katakan, penelitian ini merupakan suatu

pengalaman baru bagi saya, selain hambatan-hambatan yang saya temui, saya juga

menemukan beberapa hal baru, seperti bentuk interaksi dengan pedagang bakso

yang lebih dari sekedar penjual dan pembeli. Interaksi inilah yang kemudian

mengarah pada munculnya keterbukaan penjual mengenai harga pokok produksi

yang dibutuhkan dalam penjualan baksonya. Selain itu, saya juga menemukan

kentalnya pengaruh budaya jawa yang mengutamakan kekeluargaan di antara

sesama penjualan bakso.

Bakso dan Harga Pokok Produksi

Bagian ini akan membahas berbagai pendekatan untuk menghitung harga

pokok produksi. Di sini juga akan mencoba melihat pendekatan penentuan harga

pokok produksi yang paling sesuai dengan produksi bakso. Saya ingin memulai

pembahasan dari uraian Johnson dan Kaplan (1987) yang berpendapat bahwa

informasi akuntansi manajemen tidak lebih penting dibandingkan dengan

informasi akuntansi keuangan. Hal ini disebabkan karena dunia nyata akuntansi

mensyaratkan pentingnya membuat akun-akun keuangan untuk memenuhi

perundang-undangan dan standar akuntansi yang ada. Namun belakangan

beberapa peneliti memandang pentingnya informasi yang dihasilkan oleh

akuntansi manajemen dalam pengambilan keputusan, di mana di dalamnya


77

terdapat informasi mengenai harga pokok produksi. Bailey (1991), Drury dkk.

(1993) dan Drury dan Tayles (2000) menemukan informasi biaya produksi sama

pentingnya dengan informasi akuntansi keuangan. Oleh karenanya, Hopper dkk.

(1992) dan Scapens dkk. (1996) menyarankan bahwa, meski akuntansi keuangan

dan sistem manajemen akuntansi sama pentingnya, akan tetapi keberadaan

database harus menciptakan beberapa fleksibilitas dalam desain informasi yang

memungkinkan sistem dapat diekstraksi untuk tujuan akuntansi manajemen,

khususnya informasi mengenai biaya produksi.

Oleh karena itu, berbeda dengan penelitian sebelumnya, dalam studi ini, saya

sependapat dengan Gietzmann (1991), Kellett dan Sweeting (1991). Saya

berpandangan bahwa hampir semua pedagang bakso tidak menggunakan

informasi biaya produk dalam pengambilan keputusan. Hal ini didukung oleh

banyaknya pandangan informan yang mengabaikan perhitungan aspek biaya

produksi secara ekstensif dalam proses pengambilan keputusan harga jual. Salah

satunya adalah Bu Ami, Ia mengatakan:

“Saya tidak memasukkan harga bensin ketika berbelanja bahan


pembuatan bakso ke pasar, soalnya kan saya memang sehari-harinya
ke pasar untuk belanja kebutuhan rumah. Kalau gas, saya bayar nanti
saja mbak.”

Sementara itu, Pak Nasruddin juga memberikan pendapat yang serupa, dia

mengatakan:

“Saya tidak memasukkan minyak goreng dan gas, jadi nanti kalau
habis baru saya beli .... Kalau biaya bensin ke pasar tidak saya
masukkan juga, soalnya sekalian ke pasar untuk belanja mbak.”

Penjelasan informan di atas menunjukkan bahwa informasi biaya produk tidak

memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan. Hasil wawancara ini dan
78

beberapa penelitan yang disebutkan sebelumnya telah memberikan dorongan bagi

peneliti melanjutkan penelitian dalam bentuk studi kualitatif mengenai bagaimana

biaya produk dihitung dan bagaimana mereka digunakan dalam pengambilan

keputusan pada pedagang bakso di Kota Malang.

Sebagaimana diketahui, harga pokok produksi adalah seluruh biaya baik

secara langsung maupun tidak langsung yang dikeluarkan untuk memproduksi

barang atau jasa, yang merupakan operasi utama perusahaan dalam suatu periode

tertentu (Horngren dan Foster, 1987). Harga pokok produksi meliputi biaya

pemakaian bahan baku (raw material), biaya tenaga kerja langsung (direct labor),

dan biaya overhead pabrik (factory overhead). Harga pokok produksi melekat

pada barang yang kemudian menjadi persediaan yang siap dijual. Kebijakan

penetapan harga suatu produk oleh manajemen, idealnya memastikan pemulihan

(recovery) atas semua biaya, dan mencapai labayang diinginkan. Saat barang

terjual, harga pokok produksi tersebut ditandingkan dengan pendapatan penjualan,

yang kemudian pada akhir periode disajikan dalam laporan laba rugi untuk

memperoleh laba kotor. Unsur-unsur harga pokok produksi, diantaranya adalah:

a. Biaya bahan langsung (direct material expenditure)

Menurut Horngren dan Foster (1987: 29) biaya bahan baku langsung

didefinisikan sebagai berikut:

The acquisition costs of all materials that are identified as a part of


the finished good and may be traced to the finished goods in a
economically feasible manner.

Sementara, menurut Rayburn (1987: 32) bahan baku langsung (direct material)

didefinisikan sebagai setiap bahan baku yang menjadi bagian tak terpisahkan dari
79

produk jadi. Jadi, bahan baku langsung membentuk bagian integral dari produk

jadi.

Kemudahan penelusuran bahan baku ke produk jadi merupakan pertimbangan

utama dalam pengklasifikasian biaya sebagai bahan baku langsung. Ketika suatu

biaya bahan baku merupakan jumlah yang tidak signifikan atau penelusurannya

sangat rumit, maka pengklasifikasian biaya tersebut ke dalam biaya bahan baku

langsung menjadi tidak ekonomis dan lebih tepat diklasifikasikan ke dalam biaya

overhead.

Setelah saya melakukan wawancara dengan beberapa tukang bakso, saya

menemukan bahwa mereka memasukkan bahan-bahan berikut sebagai biaya

bahan baku langsungnya yaitu: (1) daging sapi; (2) tepung tapioka; (3) phosmix

MP (pengenyal bakso); (4) lada halus; (5) MSG (monosodium glutamat); (6)

bawang; (7) garam. Pak Toha, salah satu responden yang saya temui, ketika saya

menanyakan mengenai bahan baku yang mempengaruhi nilai harga pokok, dia

mengatakan, “yah, yang penting itu dagingnya, mbak. Saya biasanya beli daging

sampai 10 kiloan untuk jualan”. Saya menemui jawaban yang serupa dari Pak

Sahid:

Yang penting itu ya dagingnya, sama bawang-bawangnya, soalnya


kalau yang lain itu gampang tawarnya mbak, yang daging itu susah.

Kemudian, informan Pak Rahmat menjelaskan:

Yang paling penting itu dagingnya mbak, kalau yang lain bisa
ditawar, terus harganya jarang berubah-ubah. Kalau daging itu yang
sering naik-turun harganya.
80

Pernyataan dari Pak Toha, Pak Sahid, dan Pak Rahmat menunjukkan bahwa

bahan utama yang paling mempengaruhi nilai biaya bahan bahan baku langsung

dari pedagang bakso adalah harga dagingnya.

Salah satu faktor yang menyebabkan daging sebagai sorotan utama dalam

biaya bahan baku, selain karena daging sapi merupakan bahan utama dalam

pembuatan bakso, juga karena harga daging sapi yang tidak stabil. Ini membuat

pedagang bakso harus dapat menyesuaikan belanjanya dengan harga daging saat

itu.

b. Biaya tenaga kerja langsung (direct labor expenditure).

Menurut Horngren dan Foster (1987: 29) biaya tenaga kerja langsung (direct

labor expenditure) didefinisikan sebagai berikut: “the wages of all labor that can

be identified in an economically feasible manner with the production of finished

goods”. Jadi, yang dimaksud dengan biaya tenaga kerja langsung adalah biaya

dari tenaga kerja yang melakukan konversi dari bahan baku langsung menjadi

produk jadi dan dapat dibebankan secara layak ke suatu produk tertentu.

Sedangkan, biaya tenaga kerja yang secara tidak nyata mengerjakan suatu produk

atau hasil usaha tenaga kerja tersebut tidak mudah ditelusuri ke produk jadi,

merupakan bagian dari biaya tenaga kerja tidak langsung dan dibebankan ke

overhead pabrik.

Bentuk dari biaya tenaga kerja langsung adalah gaji. Beberapa pengertian

tentang gaji sebagaimana yang dinyatakan Dessler (1998: 85) dalam bukunya

yang berjudul “Sumber Daya Manusia” adalah uang atau sesuatu yang berkaitan

dengan uang yang diberikan kepada pegawai. Selain itu, ia berpendapat pula
81

bahwa pada kenyataannya sistem pembayaran karyawan dapat dibagi menurut

pembayaran berdasarkan waktu kerja, yaitu pembayaran yang dilakukan atas

dasar lamanya bekerja misalnya jam, hari, minggu, bulan atau yang lainnya, serta

pembayaran berdasarkan hasil kinerja, yaitu pembayaran upah/gaji yang

didasarkan pada hasil akhir dari proses kinerja, misalnya jumlah produksi.

Sedangkan, Amstrong dan Murlis (1994:7) dalam buku “Pedoman Praktis Sistem

Penggajian” berpendapat bahwa gaji diartikan sebagai bayaran pokok yang

diterima oleh seseorang, tidak termasuk unsur-unsur variabel dan tunjangan

lainnya.

Dewan Penelitian Pengupahan Nasional (dalam Husnan 1990: 138)

mendefinisikan bahwa upah adalah suatu penerimaan sebagai suatu imbalan dari

pemberi kerja kepada penerima kerja untuk suatu pekerjaan/jasa yang telah dan

akan dilakukan, berfungsi sebagai jaminan kelangsungan kehidupan yang layak

bagi kemanusiaan dan produksi. Upah dinyatakan/dinilai dalam bentuk uang yang

ditetapkan menurut suatu persetujuan, undang-undang dan peraturan serta

dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pemberi kerja dan penerima

kerja.

Menurut Flippo (1987:75-76) dalam bukunya “Prinsiple of Personal

Management” menulis bahwa kompensasi adalah harga untuk jasa yang diterima

atau diberikan oleh orang lain, bagi kepentingan seseorang atau badan hukum.

Sedangkan, menurut Dessler dalam bukunya “Manajemen Sumber Daya Manusia

jilid II” (1998: 85) menyatakan kompensasi karyawan adalah setiap bentuk

pembayaran atau imbalan yang diberikan kepada karyawan dan timbul dari
82

dipekerjakannya karyawan itu. Kompensasi karyawan menurutnya mempunyai

dua komponen yaitu pertama pembayaran keuangan langsung dalam bentuk upah,

gaji, insentif, komisi, dan bonus, dan kedua, pembayaran tidak langsung dalam

bentuk tunjangan keuangan seperti asuransi dan uang liburan yang dibayarkan

perusahaan.

Gaji adalah salah satu hal yang penting bagi setiap karyawan yang bekerja

dalam suatu perusahaan, karena dengan gaji yang diperoleh seseorang dapat

memenuhi kebutuhan hidupnya. Hasibuan (2002:118) menyatakan bahwa “gaji

adalah balas jasa yang dibayar secara periodik kepada karyawan tetap, serta

mempunyai jaminan yang pasti”. Pendapat lain dikemukakan oleh Handoko

(1993:218), “gaji adalah pemberian pembayaran finansial kepada karyawan

sebagai balas jasa untuk pekerjaan yang dilaksanakan dan sebagai motivasi

pelaksanaan kegiatan di waktu yang akan datang”.

Selain pernyataan di atas, ada pernyataan lainnya mengenai gaji dari

Hariandja (2002), yaitu gaji merupakan salah satu unsur penting yang dapat

mempengaruhi kinerja karyawan, sebab gaji adalah alat untuk memenuhi berbagai

kebutuhan pegawai, sehingga dengan adanya gaji, pegawai akan termotivasi untuk

bekerja lebih giat.

Teori yang lain dikemukakan oleh Hadiwiryo (1998) yaitu gaji dapat

berperan dalam meningkatkan motivasi karyawan untuk bekerja lebih efektif,

meningkatkan kinerja, meningkatkan produktivitas dalam perusahaan, serta

mengimbangi kekurangan dan keterlibatan komitmen yang menjadi ciri angkatan

kerja masa kini. Perusahaan yang tergolong modern, saat ini banyak mengaitkan
83

gaji dengan kinerja. Pernyataan di atas juga didukung oleh pendapat Mathis dan

Lackson (2002:165), “gaji adalah suatu bentuk kompensasi yang dikaitkan dengan

kinerja individu, kelompok ataupun kinerja organisasi”.

Pada salah satu wawancara yang saya lakukan dengan Pak Man, yang

berjualan di warung, dia mengatakan:

“Gajinya itu beda-beda, nduk. Kalau yang kerja itu saya kasih 50 per
hari, terus ada yang saudara saya, itu dapat 100 per hari, terus Pak
Agus, itu dapat 150, dia sudah lama sama saya soalnya”.

Dari pernyataan di atas, ditemukan bahwa Pak Man memberikan gaji harian

pada karyawan-karyawan dengan besar yang berbeda. Jika dikaitkan antara teori-

teori diatas, ditemukan bahwa pedagang bakso menggunakan sistem pembayaran

upah. Karena gaji cenderung lebih stabil, adanya kesetaraan antara sesama

karyawan dengan jabatan yang serupa. Berdasarkan asumsi ini, saya mencoba

mencari tahu mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi besar upah secara teori.

Menurut Nakamura dkk. (1979), ada dua kelompok faktor yang mempengaruhi

upah yang diterima pekerja, yaitu: 1) karakteristik individu. 2) karakteristik dari

pasar tenaga kerja. Penelitian pada tingkat mikro, umumnya berfokus pada faktor

karakteristik individu, sedangkan pada tingkat makro lebih memperhatikan

hubungan karakteristik pasar kerja terhadap tingkat upah.

Penelitian yang dilakukan oleh Ehreinberg dan Smith (1988)  dengan

bersumber pada data Biro Sensus Amerika tahun 1984 menemukan 2 hal, yaitu: 1)

semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi tingkat upah; 2) perbedaan

dalam tingkat upah ini semakin besar pada pekerja-pekerja yang lebih tua. Hal ini

disebabkan oleh kemampuan belajar pekerja yang berpendidikan lebih tinggi


84

relatif lebih baik, sehingga pada masa kerja yang sama pengalaman bekerja yang

lebih tinggi juga akan lebih baik.  Dengan demikian, secara nyata pengalaman

kerja juga berpengaruh positif terhadap tingkat upah.

Hotchkiss (1992) melakukan penelitian di Amerika Serikat pada tahun 1980,

mengenai interaksi antara latihan kejuruan lanjutan dan pelatihan yang

berhubungan dengan pekerjaan terhadap upah pekerjaan yang pertama kali

diperoleh dalam dua tahun setelah selesai sekolah. Temuan penelitiannya

menunjukkan terdapat pengaruh yang kuat antara pelatihan yang berhubungan

dengan pekerjaan terhadap tingkat upah, baik laki-laki maupun perempuan.

Penelitian faktor yang mempengaruhi upah juga telah dilakukan di beberapa

daerah di Indonesia. Tarmizi (1991), dalam penelitiannya menemukan bahwa

tingkat pendidikan formal dan masa kerja berpengaruh terhadap tingkat upah yang

diterima. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan semakin lama masa kerja, maka

semakin tinggi rata-rata upah yang diterima. Setyawan dan Mujiyati (2006) di lain

pihak, memiliki pendapat yang berbeda dengan yang diutarakan oleh Ehreinberg

dan Smith (1988), Hotchkiss (1992), dan Tarmizi (1991). Setyawan dan Mujiyati

(2006) menyatakan bahwa upah yang diterima tidak didasarkan pada tingkat

pendidikan atau pun jenis kelamin. Pernyataan Seryawan inilah yang justru

mencerminkan perilaku Pak Man dalam menentukan besar gajinya. Pak Man sama

sekali tidak menentukan gaji berdasarkan tingkat pendidikan, melainkan

berdasarkan loyalitas dan hubungan kekeluargaan karyawan dengan dirinya.

Dalam studi ini, saya juga menemukan metode pengakuan upah yang berbeda

dengan Pak Man. Mbah Soekarni, yang membuka usaha penjualan baksonya di
85

depan rumah, mengatakan, “yang kerja ini semuanya keluarga, jadi nanti

untungnya dibagi-bagi untuk keperluan sehari-hari”. Pernyataan ini berbeda

dengan Mas Aji yang sehari-hari berjualan dengan gerobaknya. Ketika ditanya

mengenai biaya tenaga kerjanya, beliau menjawab, “tidak, tidak ada biaya tenaga

kerja, mbak, soalnya saya sendiri yang berjualan”. Kemudian Mas Aji

melanjutkan komentarnya, “yah, namanya juga kerja mbak, ya keliling-keliling itu

ya termasuk kerja dan usaha saya buat menghidupi keluarga”. Saya juga

mendapatkan pernyataan serupa dari Pak Nasruddin, dia mengatakan, “saya tidak

pakai biaya tenaga kerja.Soalnya semuanya kan usaha saya sendiri, mbak.”

Pernyataan yang diberikan oleh Mbah Soekarni, Mas Aji, dan Pak Nasruddin

menunjukkan bahwa mereka malah sama sekali tidak memasukkan upah (biaya

tenaga kerja) dalam perhitungan harga pokok. Lantas bagaimana pedagang bakso

memperlakukan biaya tenaga kerja? Menurut Thaib (2002) budaya pedagang kaki

lima adalah mereka memperhitungkan upah tenaga kerja setelah penjualan

berakhir dalam satu periode. Argumen Thaib ini didukung oleh Mbah Soekarni

(informan studi ini). Ia mengatakan bahwa dirinya baru akan membagikan upah

(keuntungan dari penjualan) pada akhir hari.

Perilaku Mbah Soekarni menggambarkan salah satu bentuk

pengejawantahan budaya Jawa, yaitu mangan ora mangan sing penting ngumpul

(makan tidak makan yang penting kumpul). Istilah ini menunjukkan pengutamaan

terhadap kebersamaan dalam kekeluargaan, bentuk budaya manifestasi ini

dikemukakan oleh informan Pak Man, ketika saya menanyakan berapa yang

diambil dari keuntungan:


86

Tidak, Nduk. itu masih dipake buat sewa, terus gaji, terus saya itu
punya anak sama cucu yang saya tanggung juga, habis itu istri saya,
terus ada mertua saya yang tinggal sama saya, juga saya biayai….

Ceritera di atas juga dapat ditilik dari sudut falsafah lain yakni Sepi ing pamrih

rame ing gawe (Mulder, 2001). Sepi ing pamrih rame ing gawe merupakan

falsafah dan prinsip hidup yang tidak mementingkan diri sendiri, sesuai dengan

arti dari perkataan itu. Lebih jauh, Mulder (2001) mengungkapkan bahwa sepi ing

pamrih (tidak mementingkan diri sendiri) tidak dikendalikan oleh hasrat demi

keuntungan pribadi, yang mengandung sebuah kunci untuk memasuki

kebijaksanaan kejawen. Hal ini dicontohkan oleh pak Soleh, salah seorang tukang

bakso informan saya:

Saya prinsipnya itu sederhana saja, yang penting usaha saya itu
halal mbak, tidak pake yang aneh-aneh itu, terus yang penting
bisa buat mencukupi keluarga, terus buat sekolah anak-anak
mbak.

Prinsip inilah yang dipegang oleh Mas Aji dan Pak Nasruddin (informan dalam

studi ini). Mereka tidak membebankan biaya tenaga kerja berdasarkan berapa

usaha yang mereka keluarkan, karena keyakinan informan bahwa usaha mereka

adalah bentuk sepi ing pamrih mereka terhadap keluarga mereka.

c. Biaya overhead pabrik (factory overhead)

Menurut Horngren dan Foster (1987: 29) biaya overhead pabrik didefinisikan

sebagai berikut: “all costs other than direct materials and direct labor that are

associated with the manufacturing process”. Biaya overhead pabrik mencakup

semua biaya produksi selain biaya bahan baku langsung dan tenaga kerja

langsung. Overhead pabrik mencakup bahan tak langsung (indirect materials),


87

tenaga kerja tak langsung (indirectlabor), dan biaya-biaya lain di luar beban

pemasaran dan administrasi.

Berkaitan dengan biaya produksi, literatur akuntansi manajemen menawarkan

empat metode yang memungkinkan untuk menentukan denominator dari tingkat

kegiatan yang digunakan untuk menghitung tarif overhead. Secara teori, empat

metode tersebut adalah kapasitas maksimum, kapasitas praktis, kapasitas normal

dan kapasitas yang dianggarkan. Secara teoritis, kapasitas maksimum adalah

output maksimum yang dapat dihasilkan oleh pabrik selama satu periode

(biasanya satu tahun). Kapasitas praktis adalah kapasitas maksimum secara teori

yang dikurangi oleh waktu yang terbuang atau idle yang normal. Kapasitas normal

adalah besar output pabrik yang biasanya dihasilkan dalam setahun. Sedangkan,

kapasitas yang dianggarkan adalah kapasitas yang telah ditentukan sebagai bagian

dari proses perencanaan perusahaan (McNair, 1994).

Berkaitan dengan empat metode di atas, Cooper dan Kaplan (1991) menolak

penggunaan kapasitas yang dianggarkan sebagai denominator level untuk baik

penentuan tarif overhead secara tradisional, maupun sistem ABC, dengan alasan

adanya kemungkinan terjadinya pelaporan biaya produk yang terdistorsi dan

membuat kesalahan dalam pengambilan keputusan. Sependapat dengan

pernyataan Cooper dan Kaplan, Bragg (2011) berpendapat bahwa kesalahan

paling penting dalam penggunaan kapasitas yang dianggarkan adalah kegagalan

perusahaan untuk menghubungkan perencanaan kapasitas dengan asumsi pada

pendapatan dan beban. Sebagai contoh, perusahaan telah menentukan asumsinya

bahwa akan ada penambahan pendapatan, namun tidak mengasumsikan apakah


88

jumlah karyawan yang dimiliki cukup atau apakah semua karyawan yang dimiliki

dapat bekerja secara efektif.

Dalam hal ini, Cooper dan Kaplan (1992) menekankan bahwa sistem ABC

adalah model dari konsumsi sumber daya. Model konsumsi sumber daya

tergantung pada penggunaan dari kapasitas praktis sebagai denominator level

untuk menetapkan cost driver rates. Kapasitas praktis memberikan besar output

paling aman, karena metode ini memperhitungkan adanya ilde time, sementara

kapasitas yang dianggarkan menghapuskan kemungkinan adanya idle time yang

secara praktek tidak dapat dihindari.

Sementara itu, Debruine dan Sopariwala (1994) menyatakan bahwa

pendekatan kapasitas praktis juga menyediakan tarif overhead tetap yang akurat

untuk setiap pusat pertanggungjawaban. Hal ini dikarenakan pendekatan ini tidak

memasukkan biaya-biaya overhead yang tidak terpakai ke dalam biaya produk.

Lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa terdapat kebutuhan untuk memahami

bagaimana penentuan tarif overhead non-manufaktur diperlakukan dalam

pengambilan keputusan (Cooper, 1990). Drury dan Tayles (1995) berpendapat

bahwa besarnya tingkat biaya overhead atas fasilitas yang digunakan, terikat

antara satu aktivitas dengan aktivitas yang lain. Oleh sebab itu, mereka menjadi

tidak relevan untuk keputusan yang berhubungan dengan produk pada fasilitas itu

sendiri. Mereka hanya relevan pada keputusan yang berkaitan dengan harga untuk

menutupi biaya yang dikeluarkan pada satu perusahaan. Lantas bagaimana

pedagang bakso memilih satu dari sekian alternatif di atas? Menurut Pak Soleh:

“Kalau gas itu masuknya nanti di akhir. Jadi nanti kalau habis
gasnya (maksudnya disini adalah overhead), baru diganti.”
89

Berdasarkan pernyataan Pak Soleh di atas, dapat dikatakan bahwa metode

yang digunakan oleh pedagang bakso adalah kapasitas normal, dimana besarnya

biaya didasarkan pada kapasitas rata-rata yang dihasilkan dalam satu periode.

Hal ini sejalan dengan temuan penelitian sebelumnya, yang menunjukkan

bahwa tidak ada konsensus mengenai pentingnya biaya produk dalam

pengambilan keputusan (Yoshikawa dkk., 1989; Kellett dan Sweeting, 1991;

Bright dkk., 1992; Scapens dkk., 1996). Peneliti lain juga menemukan bahwa

harga seringkali didasarkan pada pasar dan bukan berdasarkan informasi biaya

(Gietzmann, 1991; Kellett dan Sweeting, 1991).

Pada pembuatan bakso, yang termasuk dalam biaya overhead, diantaranya

adalah: (1) gas; (2) minyak goreng; (3) air; dan (4) bensin (bahan bakar motor

bagi penjual yang menggunakan gerobak motor). Beberapa informan yang saya

temui memiliki pandangan yang sama, mereka tidak memasukkan biaya overhead

dalam perhitungan biaya produksi bakso. Sebagaimana ungkapan Mas Agung,

salah satu pedagang bakso gerobak dorong, yang mengemukakan, “tidak mbak,

itu tidak termasuk”. Bu Asih, yang membuka usahanya di warung juga

berpendapat sama, “saya tidak masukin yang minyak itu mbak, minyak itu lain

lagi”. Pak Sahid, pemilik gerobak motor yang sering lewat depan rumah saya,

memiliki pendapat serupa. Beliau mengatakan, “minyak sama bensin tidak masuk

ke harga baksonya mbak”. Saat saya menanyakan lebih lanjut pada masing-

masing informan mengenai biaya overhead tersebut, Mas Agung mengatakan, “itu

(biaya overhead) masuk akhir bulan mbak, jadi akhir bulan selalu beli lagi”.

Sementara, Bu Asih memiliki pendapat yang berbeda, dia mengatakan, “kalau


90

sudah habis, baru beli mbak, kalau belum ya tidak”. Jawaban Bu Asih serupa

dengan Pak Sahid yang mengatakan bahwa, “bensin itu biasanya selalu saya isi

setiap hari 5000, terus kalau minyak sama gas itu saya ganti kalau sudah habis”.

Pandangan yang dikemukakan oleh para informan membimbing saya menuju

kesimpulan bahwa informan tampaknya tidak mencantumkan adanya biaya

overhead dalam perhitungan harga pokok pembuatan bakso. Hal ini dikarenakan

probabilitas yang diakui oleh pedagang kaki lima ditentukan berdasarkan

perhitungan sederhana yang terkadang tidak memperhatikan aspek-aspek material

seperti biaya overhead, payback period pada awal investasi, dan sebagainya.

Pedagang kaki lima, umumnya, hanya menghitung berdasarkan kemampuan

mereka dalam meminimalisasi biaya produksi, sehingga dari perhitungan harga

jual dan biaya produksi diperoleh laba. Hal ini disebabkan karena manajemen

usaha mereka didasarkan pada pengalaman dan alur pikir yang mereka miliki, di

mana alur pikir tersebut secara otomatis terbentuk sendiri berdasarkan arahan ilmu

manajemen pengelolaan usaha pola mereka (Santoso, 2008).

Dari unsur-unsur harga pokok produksi bakso di atas, mengindikasikan

persepsi pedagang bakso tentang harga pokok produksi sangat berbeda dengan

prinsip dan pemahaman akuntan. Bagi mereka, harga pokok produksi adalah

besar bahan bahan baku yang mereka keluarkan untuk membuat bakso. Mereka

tidak memperhitungkan besar beban tenaga kerja langsung dan beban overhead

karena kedua beban tersebut merupakan bagian dari kehidupan mereka.

Pedagang bakso menginterpretasikan beban tenaga langsung sebagai suatu

pengorbanan atau pengabdian mereka pada keluarga, sehingga mereka tidak


91

membebankannya pada harga pokok produksi. Di lain pihak, pedagang bakso

memandang beban overhead sebagai bagian dari pengeluaran sehari-hari mereka,

sehingga mereka tidak mengakui overhead sebagai bagian dari harga pokok

produksi.

Pasrah Terhadap Harga Jual dan Kepasrahan Terhadap Laba

Sepanjang analisis data di atas, telah diutarakan mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi harga pokok produksi. Kini saya mencoba untuk menghubungkan

anatara harga pokok produksi tersebut dengan harga jual yang dimiliki oleh bakso.

Pak Soleh, pedagang bakso gerobak, saat saya menanyakan mengenai tindakan

yang diambil ketika harga bahan baku meningkat, menjawab “yah tidak mbak.

Saya tidak dapat menaikkan harga bakso, kalau saya naikkan nanti tidak laku”.

Sementara, Bu Ami berpendapat:

Saya tidak berani menaikkan harga mbak, soalnya kalau harga naik
takutnya bakso saya tidak laku, jadi ya untungnya saja yang
dikurangi mba. Tidak apa-apa kok, yah mau gimana lagi.

Pak Toha di lain pihak memiliki solusi yang cukup menarik, beliau menyatakan:

Saya tidak berani naikkan harga bakso mbak..Biasanya harga yang


saya rubah itu harga gorengannya, biasanya saya naikkan harga
gorengannya.

Pak Nasruddin juga memberi pendapat tersendiri mengenai solusinya, apabila

harga bahan baku naik. Dia mengatakan:

Biasanya nanti saya jual gorengan sama siomaynya yang banyak


mbak, jadi baksonya di kurangi, soalnya kalau harga dagingnya naik,
saya tidak sanggup beli juga, terus kalau harga bakso naik malah
tidak laku mbak.
92

Berdasarkan penjelasan yang diberikan informan, saya menemukan bahwa

mereka cenderung berusaha untuk mempertahankan keuntungan yang mereka

miliki, namun tidak ada keinginan untuk merubah harga jual bakso. Kekhawatiran

untuk menaikkan harga ini didorong oleh besarnya kompetisi bakso di kota

Malang. Dengan banyaknya penjualan bakso, mereka khawatir jika harga bakso

dinaikkan, maka pembeli akan “lari” ke pedagang bakso yang lain. Kondisi pasar

seperti ini adalah gambaran pasar persaingan sempurna, dimana terdapat jumlah

produsen dan konsumen yang banyak.

Perilaku pasrah ini terbentuk dari budaya Jawa nerimo ing pandum, yaitu

sikap pasrah atas segala keputusan yang diberikan oleh Tuhan. Orang Jawa

percaya bahwa kehidupan ini ada yang mengatur dan tidak dapat ditentang atau

dirubah begitu saja. Bagi mereka, semua yang terjadi dalam kehidupan ini, sesuai

dengan kehendak Yang Maha Kuasa, sehingga mustahil untuk mengelak apalagi

melawan takdir tersebut.

Bu Ami sempat mengatakan pada saya, “sebenarnya lho mbak, jualan bakso

itu mudah, soalnya modalnya tidak terlalu banyak, tapi bisa dapat untung

lumayan”. Dengan pernyataan ini, kita dapat mengetahui bahwa memasuki pasar

penjualan bakso bukanlah hal yang sulit. Hanya dengan modal kecil, kita tidak

akan rugi jika kemudian memutuskan untuk keluar dari pasar tersebut.

Karena kondisi pasar sempurna, maka penjual tidak dapat menentukan harga

jual bakso seenaknya apabila tidak ingin mengalami kerugian. Pada akhirnya,

pedagang bakso cenderung mengikuti alur pasar dan memangkas besaran laba

yang diperoleh.
93

Gambaran di atas, sejalan dengan apa yang diungkapkan Magnis dan Suseno

(1991) bahwa salah satu prinsip orang Jawa yang paling menonjol adalah perilaku

yang selalu menjaga keharmonisan dalam bermasyarakat. Pandangan orang Jawa

tentang harmoni atau keselarasan hampir sama dengan pandangan Herakleitos,

seorang filsafat alam dari Yunani. Herakleitos beranggapan bahwa alam ini sudah

“ada” dalam keadaan yang “selaras atau harmonis”. Ada dunia sebagai tempat

tinggal, ada tumbuh-tumbuhan dan binatang sebagai “modal” mencari makan, dan

ada manusia yang hanya tinggal merawat saja, serta menjaga agar semuanya

berjalan semestinya supaya alam tetap selaras atau harmonis.

Lebih lanjut, demi menjaga keselarasan dan keharmonisan sosial, berarti

keadaan ideal dalam masyarakat tetap dipertahankan. Orang Jawa menerapkan

perilaku rukun, yang mempunyai arti ”berada dalam keadaan selaras”, “tenang

dan tentram”, “tanpa perselisihan dan pertentangan”, “bersatu dalam maksud

untuk saling membantu”. Dengan demikian, rukun menjadi sumber moril yang

berfungsi sebagai pengontrol nilai dan norma masyarakat.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemahaman masyarakat Jawa

dalam menjaga keharmonisan dan kerukunan dalam bermasyarakat ini tercermin

dalam perilaku pasrah mereka terhadap laba. Oleh sebab itu, beberapa informan,

seperti Bu Ami dan Pak Rahmat memutuskan untuk tidak berbuat apa-apa dan

merelakan laba mereka berkurang, sedangkan informan lain, seperti Pak Toha dan

Pak Nasruddin memutuskan untuk mengatasi berkurangnya laba dari penjualan

bakso dengan mengalokasikan laba dari penjualan gorengan dan siomay. Studi ini

menunjukkan bahwa informan tidak “berani” untuk menaikkan harga jual mereka
94

sendiri, melainkan menunggu pedagang bakso lain untuk menaikkan harga

mereka. Ini guna menjaga keharmonisan harga jual bakso. Selain itu, keseragaman

ini meningkatkan kerukunan antara penjual bakso, karena mereka tidak perlu

saling berlomba dalam menentukan harga jual mereka.

Refleksi

Sebagian besar orang Jawa selalu berusaha menepati norma-norma budaya

yang telah disepakati oleh masyarakat Jawa untuk mencapai kehidupan

bermasyarakat yang penuh dengan ketentraman, kedamaian dan ketenangan.

Norma-norma ini melahirkan berbagai falsafah dan prinsip hidup, misalnya sepi

ing pamrih rame ing gawe, yang merupakan falsafah dan prinsip hidup yang tidak

mementingkan diri sendiri. Oleh sebab itu, masyarakat Jawa menganggap

menafkahi keluarga adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan sebagai kepala

keluarga. Karenanya, upah yang secara teori seharusnya dibebankan dalam

usahanya, dianggap sebagai suatu kewajiban.

Menurut saya, perilaku informan ini merupakan cerminan dari etos kerja

orang Jawa. Terdapat beberapa pepatah Jawa yang menjelaskan perilaku tersebut,

diantaranya adalah jer basuki mawa beya, yang artinya adalah untuk mendapatkan

apa yang dicita-citakan (kebahagiaan dan kesuksesan hidup) senantiasa

memerlukan biaya, kerja keras, maupun pengorbanan. Pepatah lain adalah

nggoleki tapaking kuntul nglayang, yang artinya demi mencapai cita-cita, orang

harus bersakit-sakit terlebih dahulu dan menempuh proses panjang yang kadang

sangat melelahkan, dan tidak masuk akal, ibarat mencari jejak bangau terbang.
95

Terakhir adalah wani nggetih bakal merkulih, artinya berani berdarah-darah maka

dia akan memperoleh apa yang dicita-citakan. Berdarah-darah disini maksudnya

adalah bekerja keras dan bukannya setengah-setengah atau bermalas-malasan

dalam bekerja.

Pepatah-pepatah di atas semuanya mencerminkan kondisi apabila seseorang

bekerja keras dan tidak kenal lelah, maka dia akan mendapatkan kemakmuran dan

kesuksesan hidup. Etos inilah yang dipegang dan diamalkan oleh pedagang bakso

dalam berjualan setiap harinya.

Pepatah lain mengenai etos kerja pedagang bakso adalah mangan ora

mangan sing penting ngumpul. Dalam ungkapan tersebut, terkandung makna

sebuah silaturahmi, yang berarti memelihara hubungan persaudaraan, baik

persaudaraan sedarah maupun seiman. Pepatah ini membentuk perilaku pedagang

bakso yang cenderung memprioritaskan kerabat dekat, sebelum orang lain. Oleh

sebab itu, beban tenaga kerja langsung mereka lebih ditekankan pada besarnya

hubungan loyalitas dan kekerabatan.

Perilaku lain yang mencerminkan budaya Jawa pada pedagang bakso adalah

kepasrahannya atas laba yang diperoleh. Dari beberapa wawancara yang saya

lakukan, informan tampak pasrah pada besar kecilnya laba yang mereka terima.

Konsep ini terbentuk dari budaya Jawa nerimo ing pandum, yaitu sikap pasrah

atas segala keputusan yang diberikan oleh Tuhan. Orang Jawa percaya bahwa

kehidupan ini ada yang mengatur dan tidak dapat ditentang atau dirubah begitu

saja.
96

Bagi mereka, semua yang terjadi dalam kehidupan ini, sesuai dengan

kehendak Yang Maha Kuasa, sehingga mustahil untuk mengelak apalagi melawan

takdir tersebut. Inilah yang dinamakan takdir kehidupan. Oleh sebab itu, mereka

percaya bahwa Tuhan telah mengatur segalanya bagi mereka dan mereka hanya

tinggal menjalaninya saja.

Demi mendapatkan rezeki untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari,

pedagang bakso akan selalu berusaha keras dalam berjualan. Mereka percaya

bahwa jika mereka benar-benar bekerja keras, maka rezeki itu akan datang dengan

sendiri. Artinya, mereka tidak perlu memusingkan mengenai besar keuntungan

mereka di akhir hari, semua itu sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa, yang

terpenting adalah mereka telah berusaha dengan pekerjaan yang halal dan diridhoi

oleh-Nya.

Menurut saya, prinsip pasrah pedagang bakso merupakan suatu perilaku

yang menarik. Terdapat banyak nilai positif yang dapat dipetik dari perilaku yang

mereka miliki. Bagi orang Jawa, Tuhan telah mengatur jatah kehidupan setiap

makhluk hidup, termasuk manusia. Seperti aliran air di sungai, jika dibiarkan

mengalir seperti biasa, maka kondisinya akan aman dan nyaman. Tetapi ketika

alirannya dipaksa untuk besar, maka aliran sungai menjadi tidak aman dan keruh.

Orang Jawa memahami hal tersebut, sehingga menerapkan pepatah hidup jangan

ngoyo. Ngoyo artinya memaksakan diri untuk melakukan sesuatu. Jika

memaksakan diri untuk melakukan sesuatu, maka kemungkinan besar akan

mengalami sesuatu yang kurang baik, misalnya terserang sakit. Rasa sakit terjadi

karena adanya pemaksaan terhadap kemampuan yang sesungguhnya dimiliki.


97

Diibaratkan kehidupan sebagai sebuah kendaraan, maka mereka adalah

penumpang, sehingga kendaraan atau kehidupanlah yang akan menyetir menuju

takdir mereka. Mereka bukanlah yang membawa kendaraan tersebut, melainkan

dibawa oleh kendaraan.

Ringkasan

Berdasarkan analisis data serta pembahasan yang dilakukan di atas, saya tidak

menemukan adanya kaitan antara harga jual dan harga pokok produksi bakso

menurut persepsi pedagang bakso. Pedagang bakso dengan terang-terangan

menunjukkan keengganannya untuk merubah harga jual bakso, kendati harga

pokok produksi naik, karena kekhawatiran produk mereka tidak akan laku.

Harga jual bakso hanya akan mengalami perubahan setelah adanya

kesepakatan bersama dari beberapa pedagang bakso. Pak Sahid memperkuat

pernyataan ini dengan mengatakan, “lihat dulu sek yang lainnya, kalau yang lain

naik, ya saya juga ikut naik, kalau tidak, ya saya tidak berubah”. Di sini tampak

bahwa Keengganan merubah harga jual bakso sebelum adanya kesepakatan

bersama ini, berasal dari budaya Jawa yang dimiliki oleh pedagang bakso.

Anda mungkin juga menyukai