Pendahuluan
Akuntansi telah diakui sebagai sebuah fenomena yang bentuk, fungsi dan
yang serius dari banyak peneliti (sebagai contoh, Ahrens dan Dent, 1998; Baxter
dan Chua, 1998; Covaleski dan Dirsmith, 1990; Marginson, 2004; Syarifuddin,
2010).
peneliti dalam bidang sosial tidak hanya bertujuan untuk sekedar menjelaskan
tentang keadaan tertentu, akan tetapi lebih dari itu, penelitian kualitatif juga ingin
tahun 1990-an terdapat sedikit informasi yang tersedia berkenaan dengan praktek
biaya produk. Setelah dekade 1990-an, bermunculan keinginan dari para pakar
untuk meneliti mengenai bagaimana praktek biaya produk berubah seiring dengan
67
68
terhadap praktek perhitungan biaya produk (misalnya Kaplan, 1984; 1985; 1988;
1990; Cooper dan Kaplan, 1987; 1991; Johnson dan Kaplan, 1987; Kaplan dan
Cooper, 1998). Salah satu kritik diutarakan oleh Friedman dan Lyne (1995),
Berangkat dari “kelemahan” metodologi kuantitatif ini, lahir teori ilmu sosial
kritis yang melawan segala postulat keniscayaan sosial. Hal ini didasarkan pada
upaya eksistensialis yang cukup kuat dalam teori sosial kritis (Agger, 2003: 14).
Bab ini akan melakukan analisis dan pembahasan atas data yang diperoleh
merupakan istilah generik yang merujuk kepada semua pandangan ilmu sosial
yang menganggap bahwa kesadaran manusia dan makna subjektif sebagai fokus
untuk memahami tindakan sosial. Tentu saja, dalam kaitannya dengan penelitian
sahih apabila ada proses intersubjektif antara peneliti budaya dengan informan.
Pada bab ini akan dijabarkan intentional analysis dari hubungan antara
noema dan noesis yang digambarkan sebagai persepsi pedagang bakso atas harga
pokok produksi bakso. Bab ini akan berusaha menginterpretasikan setiap pendapat
Pada akhir bab, saya kemudian melakukan refleksi (eidetic reduction) atas
Kota Malang, adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kota ini
Kabupaten Malang. Malang adalah kota terbesar nomor dua di Jawa Timur setelah
Surabaya. Kota Malang dikelilingi oleh banyak pegunungan antara lain Semeru,
Selain sebagai kota kedua terbesar di Jawa Timur, Kota Malang juga terkenal
sebagai kota pelajar karena banyaknya pendatang yang menimba ilmu di kota ini.
Malang kondusif sebagai kota pelajar, karena kotanya yang tidak terlalu ramai dan
memiliki cuaca yang sejuk. Di samping itu, kota ini juga menyediakan jajanan
70
kuliner yang sesuai dengan kebutuhan pelajar, mulai dari yang murah sampai
Saya sebagai pelajar yang sedang menimba ilmu di Kota Malang sering
mengalami dilema saat tiba waktu mengganjal perut (makan). Terlebih lagi jika
jatah waktu istirahat. Oleh karena itu, solusi terbaik adalah segera mencari
makanan yang instan, murah, mengenyangkan dan tidak menyita jadwal istirahat
dan pilihan jatuh pada menu bakso. Sebagaimana saran kawan saya, “Bel, ayo ke
kantin ada bakso Pakde, murah, enak dan tidak mengantri kalau mau beli”.
“Bakso Pakde?” tanyaku. Rupanya Pakde itu panggilan untuk tukang bakso yang
baksonya setiap sore di basement kampus, yang pada akhirnya membuka warung
bakso di kantin kampus. Ternyata hanya dengan modal Rp 5.000 sesuai kantong
mahasiswa, saya sudah dapat semangkok bakso. Harga tersebut ternyata tidak
Bakso atau baso adalah jenis bola daging yang paling lazim dalam masakan
Indonesia. Bakso umumnya dibuat dari campuran daging sapi giling dan tepung
tapioka, tetapi ada juga bakso yang terbuat dari daging ayam, ikan, atau udang.
sapi bening, dicampur mi, bihun, taoge, tahu, terkadang ditambahkan telur,
kemudian ditaburi bawang goreng dan seledri. Bakso sangat populer dan dapat
71
ditemukan di seluruh Indonesia; mulai dari gerobak pedagang kaki lima, atau
mi goreng, nasi goreng, atau cap cai. Oleh karena itu, berbagai jenis bakso banyak
di tawarkan dalam bentuk makanan beku yang dijual di pasar swalayan dan mall-
Bakso memiliki akar seni kuliner Tionghoa Indonesia, hal ini ditunjukkan
dari istilah Bakso berasal dari kata Bak-So, dalam Bahasa Hokkien yang secara
adalah muslim, maka bakso lebih umum terbuat dari daging halal seperti daging
sapi, ikan, atau ayam. Seiring berkembangnya waktu, istilah bakso menjadi lebih
dikenal sebagai ‘daging giling’ saja. Umumnya, pedagang bakso adalah orang
Jawa dari Wonogiri dan Malang. Tempat yang terkenal sebagai pusat Bakso
adalah Kota Solo dan Malang, khusus untuk Kota Malang, panganan bakso yang
Rasanya hampir semua orang pasti mengenal jajanan khas Indonesia yang
satu ini. Akrab dengan kehidupan orang Indonesia, familiar terdengar di telinga,
mudah ditemui dimana-mana, disukai mulai dari anak SD sampai Pejabat. Hampir
di seluruh Indonesia, dari sabang sampai Merauke, boleh dibilang tidak ada yang
tidak mengenal bakso. Warung bakso dapat dijumpai dimana saja, di depan
sekolah, di depan kampus dan perkantoran, di depan pasar dan pertokoan. Bahkan
yang lumrah. Selain itu, untuk menikmati semangkok bakso bukanlah suatu hal
yang membebani, karena harganya sesuai dengan ukuran kantong anak sekolahan.
Bagi banyak orang, bakso boleh jadi hanya dianggap sebagai sebuah jajanan
biasa. Namun bagi saya, bakso adalah penemuan kuliner paling spektakuler yang
pernah ada di Indonesia dan sampai saat ini belum ada satu jenis makanan pun
Sampai saat ini belum ada orang yang berani mengaku sebagai penemu
bakso, bahkan saya juga belum pernah mendengar atau membaca literatur ada
etnis tertentu yang mengklaim jajanan bakso ini, misalnya bakso Jawa, bakso
Makassar, bakso Sunda, bakso Aceh, bakso Dayak, bakso Papua, bakso Bali, dan
lain sebagainya. Kalaupun ada pembedaan, maka itu hanya pada bahan dasar
pembuatan yang berbeda, seperti bakso sapi, bakso ayam, bakso ikan atau apapun
itu, tapi intinya tetap namanya bakso. Masyarakat Sunda menyebutnya baso, tapi
yang dimaksudkan itu bukan jenis baru dari bakso. Yang dimaksud baso ya bakso
itu juga. Belum pernah saya dengar ada yang menyebutnya, “baso Jabar” atau
Bandingkan dengan coto atau soto, tentu kita pernah mendengar Soto Banjar,
Soto Madura, Soto Lamongan, Coto Makassar, dan lain sebagainya. Penamaan
demikian, karena Soto atau Coto tersebut khas daerah atau etnis tertentu.
Pembuatnya pun biasanya orang dari daerah atau etnis tersebut. Cara membuat,
bumbu dan rasanya dari tiap-tiap soto atau coto itu berbeda-beda, kebanyakan
disesuaikan dengan lidah atau citarasa orang dari daerah atau etnis tersebut. Dari
73
sini dapat dilihat bahwa coto atau soto sangat bersifat kedaerahan. Pedagang
makanan coto atau soto menganut paham ‘etnisentrisme’, oleh karena itu akan
(HIPBI). Ah, kalau ada orang mampu menghimpun mereka dalam satu organisasi,
kalau dia politisi, tentu dia tak akan kekurangan suara pada pemilu legislatif
mendatang.
Bakso saat ini tidak lagi menjadi konsumsi anak sekolahan, karena dalam
sebagai salah satu menu penting jamuan. Tentu bukan tanpa alasan bakso
dihadirkan dalam menu acara penting itu, tapi karena bakso memang banyak
penggemarnya, nikmat rasanya, bisa goyang lidah, praktis disantap, dan kalau
yang menyadari betapa fenomenal sebenarnya bakso ini. Jauh sebelum munculnya
lagu dangdut Shabu-Shabu yang diartikan sebagai ‘sarapan bubur’, Joshua dan
Tukul telah mempopulerkan bakso ini lewat lagu anak-anak, bahkan bakso
muncul pula dalam film. Tahun lalu muncul film komedi, “Lihat Boleh Pegang
Jangan” (LBPJ) yang dibintangi Dewi Persik yang berperan sebagai anak juragan
bakso. Film LBPJ menceritakan tentang konflik dan persaingan yang terjadi
antara warung bakso ‘Goyang Lidah’ milik bang Kimbul dengan warung bakso
74
‘Joget Lidah’, punya ibu Umi. Pokoknya, bakso benar-benar telah meng-
Selain sate, bakso juga pernah menjadi perbincangan warga dunia. Hal ini
bermula ketika Putra Nababan (pembawa acara salah satu televisi swasta di
bahwa masih teringat jelas dibenaknya teriakan pedagang bakso dan sate semasa
dia tinggal di Jakarta, “Bakso ….. Sate ….. ”, dan jika sempat ke Jakarta tentu dia
akan senang sekali jika dapat menikmatinya kembali. Alhasil, ketika Presiden
dihadapannya. Bakso pun mendunia karena dikenal oleh orang nomor satu di
Di Malang, bakso menjadi makanan khas yang berevolusi, varian dan tehnik
pengolahannya berkembang dari waktu ke waktu. Ketika (SMP hingga kuliah saat
ini) saya di Malang, ada namanya bakso-rujak, mix bakso campur rujak cingur,
nah lho?... gimana tuh rasanya?... lalu ada bakso bakar, bakso goreng, bakso
ceker, dan lain-lain. Saat ini sudah tak terhitung lagi varian dan nama yang
diberikan untuk bakso, ada bakso krikil, bakso tenis, bakso rambutan, bakso keju,
coklat, udang, bakso Bledek hingga klimaksnya saya menjumpai ada warung
Maka tak heran kenapa Bakso Malang semakin meluas ke kota-kota di tanah
air. Rasa khas dan bumbu yang bisa dibilang pencapaian rasa mutahir turun-
temurun dari waktu ke waktu merupakan sentuhan kreatifitas orang Malang, yang
suatu pengalaman yang baru. Selama masa penelitian saya menemukan beberapa
itu sendiri. Salah satunya adalah keterbatasan saya dalam mengkonsumsi bakso
dalam sehari. Saya memiliki alergi yang membatasi saya dalam mengkonsumsi
penelitian, alergi saya sering kambuh karena saya kurang memperhatikan sudah
berapa banyak bakso yang saya konsumsi dalam sehari. Hal ini saya lakukan
keliling.
Hambatan lain yang sering saya temui adalah seringnya hujan di kota
Malang. Malang termasuk kota dengan curah hujan yang tinggi, terlebih lagi,
masa penelitian saya, yaitu awal bulan Maret, adalah musim penghujan. Ini
menyebabkan saya sering kali kehujanan hanya untuk menemui informan saya.
Selain itu, informan saya yang berjualan dengan gerobak dorong atau gerobak
motor bersifat mobile (senantiasa bergerak). Hal ini membuat saya mengalami
kesulitan untuk janji temu dan menggali lebih dalam noesis pedagang bakso.
76
informan guna mendapatkan pemahaman yang lebih pada isu yang ingin saya
pengalaman baru bagi saya, selain hambatan-hambatan yang saya temui, saya juga
menemukan beberapa hal baru, seperti bentuk interaksi dengan pedagang bakso
yang lebih dari sekedar penjual dan pembeli. Interaksi inilah yang kemudian
yang dibutuhkan dalam penjualan baksonya. Selain itu, saya juga menemukan
pokok produksi. Di sini juga akan mencoba melihat pendekatan penentuan harga
pokok produksi yang paling sesuai dengan produksi bakso. Saya ingin memulai
pembahasan dari uraian Johnson dan Kaplan (1987) yang berpendapat bahwa
informasi akuntansi keuangan. Hal ini disebabkan karena dunia nyata akuntansi
terdapat informasi mengenai harga pokok produksi. Bailey (1991), Drury dkk.
(1993) dan Drury dan Tayles (2000) menemukan informasi biaya produksi sama
(1992) dan Scapens dkk. (1996) menyarankan bahwa, meski akuntansi keuangan
Oleh karena itu, berbeda dengan penelitian sebelumnya, dalam studi ini, saya
informasi biaya produk dalam pengambilan keputusan. Hal ini didukung oleh
produksi secara ekstensif dalam proses pengambilan keputusan harga jual. Salah
Sementara itu, Pak Nasruddin juga memberikan pendapat yang serupa, dia
mengatakan:
“Saya tidak memasukkan minyak goreng dan gas, jadi nanti kalau
habis baru saya beli .... Kalau biaya bensin ke pasar tidak saya
masukkan juga, soalnya sekalian ke pasar untuk belanja mbak.”
memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan. Hasil wawancara ini dan
78
barang atau jasa, yang merupakan operasi utama perusahaan dalam suatu periode
tertentu (Horngren dan Foster, 1987). Harga pokok produksi meliputi biaya
pemakaian bahan baku (raw material), biaya tenaga kerja langsung (direct labor),
dan biaya overhead pabrik (factory overhead). Harga pokok produksi melekat
pada barang yang kemudian menjadi persediaan yang siap dijual. Kebijakan
(recovery) atas semua biaya, dan mencapai labayang diinginkan. Saat barang
yang kemudian pada akhir periode disajikan dalam laporan laba rugi untuk
Menurut Horngren dan Foster (1987: 29) biaya bahan baku langsung
Sementara, menurut Rayburn (1987: 32) bahan baku langsung (direct material)
didefinisikan sebagai setiap bahan baku yang menjadi bagian tak terpisahkan dari
79
produk jadi. Jadi, bahan baku langsung membentuk bagian integral dari produk
jadi.
utama dalam pengklasifikasian biaya sebagai bahan baku langsung. Ketika suatu
biaya bahan baku merupakan jumlah yang tidak signifikan atau penelusurannya
sangat rumit, maka pengklasifikasian biaya tersebut ke dalam biaya bahan baku
langsung menjadi tidak ekonomis dan lebih tepat diklasifikasikan ke dalam biaya
overhead.
bahan baku langsungnya yaitu: (1) daging sapi; (2) tepung tapioka; (3) phosmix
MP (pengenyal bakso); (4) lada halus; (5) MSG (monosodium glutamat); (6)
bawang; (7) garam. Pak Toha, salah satu responden yang saya temui, ketika saya
menanyakan mengenai bahan baku yang mempengaruhi nilai harga pokok, dia
mengatakan, “yah, yang penting itu dagingnya, mbak. Saya biasanya beli daging
sampai 10 kiloan untuk jualan”. Saya menemui jawaban yang serupa dari Pak
Sahid:
Yang paling penting itu dagingnya mbak, kalau yang lain bisa
ditawar, terus harganya jarang berubah-ubah. Kalau daging itu yang
sering naik-turun harganya.
80
Pernyataan dari Pak Toha, Pak Sahid, dan Pak Rahmat menunjukkan bahwa
bahan utama yang paling mempengaruhi nilai biaya bahan bahan baku langsung
Salah satu faktor yang menyebabkan daging sebagai sorotan utama dalam
biaya bahan baku, selain karena daging sapi merupakan bahan utama dalam
pembuatan bakso, juga karena harga daging sapi yang tidak stabil. Ini membuat
pedagang bakso harus dapat menyesuaikan belanjanya dengan harga daging saat
itu.
Menurut Horngren dan Foster (1987: 29) biaya tenaga kerja langsung (direct
labor expenditure) didefinisikan sebagai berikut: “the wages of all labor that can
goods”. Jadi, yang dimaksud dengan biaya tenaga kerja langsung adalah biaya
dari tenaga kerja yang melakukan konversi dari bahan baku langsung menjadi
produk jadi dan dapat dibebankan secara layak ke suatu produk tertentu.
Sedangkan, biaya tenaga kerja yang secara tidak nyata mengerjakan suatu produk
atau hasil usaha tenaga kerja tersebut tidak mudah ditelusuri ke produk jadi,
merupakan bagian dari biaya tenaga kerja tidak langsung dan dibebankan ke
overhead pabrik.
Bentuk dari biaya tenaga kerja langsung adalah gaji. Beberapa pengertian
tentang gaji sebagaimana yang dinyatakan Dessler (1998: 85) dalam bukunya
yang berjudul “Sumber Daya Manusia” adalah uang atau sesuatu yang berkaitan
dengan uang yang diberikan kepada pegawai. Selain itu, ia berpendapat pula
81
dasar lamanya bekerja misalnya jam, hari, minggu, bulan atau yang lainnya, serta
didasarkan pada hasil akhir dari proses kinerja, misalnya jumlah produksi.
Sedangkan, Amstrong dan Murlis (1994:7) dalam buku “Pedoman Praktis Sistem
lainnya.
mendefinisikan bahwa upah adalah suatu penerimaan sebagai suatu imbalan dari
pemberi kerja kepada penerima kerja untuk suatu pekerjaan/jasa yang telah dan
bagi kemanusiaan dan produksi. Upah dinyatakan/dinilai dalam bentuk uang yang
dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pemberi kerja dan penerima
kerja.
Management” menulis bahwa kompensasi adalah harga untuk jasa yang diterima
atau diberikan oleh orang lain, bagi kepentingan seseorang atau badan hukum.
jilid II” (1998: 85) menyatakan kompensasi karyawan adalah setiap bentuk
pembayaran atau imbalan yang diberikan kepada karyawan dan timbul dari
82
dua komponen yaitu pertama pembayaran keuangan langsung dalam bentuk upah,
gaji, insentif, komisi, dan bonus, dan kedua, pembayaran tidak langsung dalam
bentuk tunjangan keuangan seperti asuransi dan uang liburan yang dibayarkan
perusahaan.
Gaji adalah salah satu hal yang penting bagi setiap karyawan yang bekerja
dalam suatu perusahaan, karena dengan gaji yang diperoleh seseorang dapat
adalah balas jasa yang dibayar secara periodik kepada karyawan tetap, serta
sebagai balas jasa untuk pekerjaan yang dilaksanakan dan sebagai motivasi
Hariandja (2002), yaitu gaji merupakan salah satu unsur penting yang dapat
mempengaruhi kinerja karyawan, sebab gaji adalah alat untuk memenuhi berbagai
kebutuhan pegawai, sehingga dengan adanya gaji, pegawai akan termotivasi untuk
Teori yang lain dikemukakan oleh Hadiwiryo (1998) yaitu gaji dapat
kerja masa kini. Perusahaan yang tergolong modern, saat ini banyak mengaitkan
83
gaji dengan kinerja. Pernyataan di atas juga didukung oleh pendapat Mathis dan
Lackson (2002:165), “gaji adalah suatu bentuk kompensasi yang dikaitkan dengan
Pada salah satu wawancara yang saya lakukan dengan Pak Man, yang
“Gajinya itu beda-beda, nduk. Kalau yang kerja itu saya kasih 50 per
hari, terus ada yang saudara saya, itu dapat 100 per hari, terus Pak
Agus, itu dapat 150, dia sudah lama sama saya soalnya”.
Dari pernyataan di atas, ditemukan bahwa Pak Man memberikan gaji harian
pada karyawan-karyawan dengan besar yang berbeda. Jika dikaitkan antara teori-
upah. Karena gaji cenderung lebih stabil, adanya kesetaraan antara sesama
karyawan dengan jabatan yang serupa. Berdasarkan asumsi ini, saya mencoba
mencari tahu mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi besar upah secara teori.
Menurut Nakamura dkk. (1979), ada dua kelompok faktor yang mempengaruhi
pasar tenaga kerja. Penelitian pada tingkat mikro, umumnya berfokus pada faktor
bersumber pada data Biro Sensus Amerika tahun 1984 menemukan 2 hal, yaitu: 1)
dalam tingkat upah ini semakin besar pada pekerja-pekerja yang lebih tua. Hal ini
relatif lebih baik, sehingga pada masa kerja yang sama pengalaman bekerja yang
lebih tinggi juga akan lebih baik. Dengan demikian, secara nyata pengalaman
tingkat pendidikan formal dan masa kerja berpengaruh terhadap tingkat upah yang
diterima. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan semakin lama masa kerja, maka
semakin tinggi rata-rata upah yang diterima. Setyawan dan Mujiyati (2006) di lain
pihak, memiliki pendapat yang berbeda dengan yang diutarakan oleh Ehreinberg
dan Smith (1988), Hotchkiss (1992), dan Tarmizi (1991). Setyawan dan Mujiyati
(2006) menyatakan bahwa upah yang diterima tidak didasarkan pada tingkat
pendidikan atau pun jenis kelamin. Pernyataan Seryawan inilah yang justru
mencerminkan perilaku Pak Man dalam menentukan besar gajinya. Pak Man sama
Dalam studi ini, saya juga menemukan metode pengakuan upah yang berbeda
dengan Pak Man. Mbah Soekarni, yang membuka usaha penjualan baksonya di
85
depan rumah, mengatakan, “yang kerja ini semuanya keluarga, jadi nanti
dengan Mas Aji yang sehari-hari berjualan dengan gerobaknya. Ketika ditanya
mengenai biaya tenaga kerjanya, beliau menjawab, “tidak, tidak ada biaya tenaga
kerja, mbak, soalnya saya sendiri yang berjualan”. Kemudian Mas Aji
ya termasuk kerja dan usaha saya buat menghidupi keluarga”. Saya juga
mendapatkan pernyataan serupa dari Pak Nasruddin, dia mengatakan, “saya tidak
pakai biaya tenaga kerja.Soalnya semuanya kan usaha saya sendiri, mbak.”
Pernyataan yang diberikan oleh Mbah Soekarni, Mas Aji, dan Pak Nasruddin
menunjukkan bahwa mereka malah sama sekali tidak memasukkan upah (biaya
tenaga kerja) dalam perhitungan harga pokok. Lantas bagaimana pedagang bakso
memperlakukan biaya tenaga kerja? Menurut Thaib (2002) budaya pedagang kaki
berakhir dalam satu periode. Argumen Thaib ini didukung oleh Mbah Soekarni
(informan studi ini). Ia mengatakan bahwa dirinya baru akan membagikan upah
pengejawantahan budaya Jawa, yaitu mangan ora mangan sing penting ngumpul
(makan tidak makan yang penting kumpul). Istilah ini menunjukkan pengutamaan
dikemukakan oleh informan Pak Man, ketika saya menanyakan berapa yang
Tidak, Nduk. itu masih dipake buat sewa, terus gaji, terus saya itu
punya anak sama cucu yang saya tanggung juga, habis itu istri saya,
terus ada mertua saya yang tinggal sama saya, juga saya biayai….
Ceritera di atas juga dapat ditilik dari sudut falsafah lain yakni Sepi ing pamrih
rame ing gawe (Mulder, 2001). Sepi ing pamrih rame ing gawe merupakan
falsafah dan prinsip hidup yang tidak mementingkan diri sendiri, sesuai dengan
arti dari perkataan itu. Lebih jauh, Mulder (2001) mengungkapkan bahwa sepi ing
pamrih (tidak mementingkan diri sendiri) tidak dikendalikan oleh hasrat demi
kebijaksanaan kejawen. Hal ini dicontohkan oleh pak Soleh, salah seorang tukang
Saya prinsipnya itu sederhana saja, yang penting usaha saya itu
halal mbak, tidak pake yang aneh-aneh itu, terus yang penting
bisa buat mencukupi keluarga, terus buat sekolah anak-anak
mbak.
Prinsip inilah yang dipegang oleh Mas Aji dan Pak Nasruddin (informan dalam
studi ini). Mereka tidak membebankan biaya tenaga kerja berdasarkan berapa
usaha yang mereka keluarkan, karena keyakinan informan bahwa usaha mereka
Menurut Horngren dan Foster (1987: 29) biaya overhead pabrik didefinisikan
sebagai berikut: “all costs other than direct materials and direct labor that are
semua biaya produksi selain biaya bahan baku langsung dan tenaga kerja
tenaga kerja tak langsung (indirectlabor), dan biaya-biaya lain di luar beban
kegiatan yang digunakan untuk menghitung tarif overhead. Secara teori, empat
output maksimum yang dapat dihasilkan oleh pabrik selama satu periode
(biasanya satu tahun). Kapasitas praktis adalah kapasitas maksimum secara teori
yang dikurangi oleh waktu yang terbuang atau idle yang normal. Kapasitas normal
adalah besar output pabrik yang biasanya dihasilkan dalam setahun. Sedangkan,
kapasitas yang dianggarkan adalah kapasitas yang telah ditentukan sebagai bagian
Berkaitan dengan empat metode di atas, Cooper dan Kaplan (1991) menolak
penentuan tarif overhead secara tradisional, maupun sistem ABC, dengan alasan
jumlah karyawan yang dimiliki cukup atau apakah semua karyawan yang dimiliki
Dalam hal ini, Cooper dan Kaplan (1992) menekankan bahwa sistem ABC
adalah model dari konsumsi sumber daya. Model konsumsi sumber daya
untuk menetapkan cost driver rates. Kapasitas praktis memberikan besar output
paling aman, karena metode ini memperhitungkan adanya ilde time, sementara
pendekatan kapasitas praktis juga menyediakan tarif overhead tetap yang akurat
untuk setiap pusat pertanggungjawaban. Hal ini dikarenakan pendekatan ini tidak
bahwa besarnya tingkat biaya overhead atas fasilitas yang digunakan, terikat
antara satu aktivitas dengan aktivitas yang lain. Oleh sebab itu, mereka menjadi
tidak relevan untuk keputusan yang berhubungan dengan produk pada fasilitas itu
sendiri. Mereka hanya relevan pada keputusan yang berkaitan dengan harga untuk
pedagang bakso memilih satu dari sekian alternatif di atas? Menurut Pak Soleh:
“Kalau gas itu masuknya nanti di akhir. Jadi nanti kalau habis
gasnya (maksudnya disini adalah overhead), baru diganti.”
89
yang digunakan oleh pedagang bakso adalah kapasitas normal, dimana besarnya
biaya didasarkan pada kapasitas rata-rata yang dihasilkan dalam satu periode.
Bright dkk., 1992; Scapens dkk., 1996). Peneliti lain juga menemukan bahwa
harga seringkali didasarkan pada pasar dan bukan berdasarkan informasi biaya
adalah: (1) gas; (2) minyak goreng; (3) air; dan (4) bensin (bahan bakar motor
bagi penjual yang menggunakan gerobak motor). Beberapa informan yang saya
temui memiliki pandangan yang sama, mereka tidak memasukkan biaya overhead
salah satu pedagang bakso gerobak dorong, yang mengemukakan, “tidak mbak,
berpendapat sama, “saya tidak masukin yang minyak itu mbak, minyak itu lain
lagi”. Pak Sahid, pemilik gerobak motor yang sering lewat depan rumah saya,
memiliki pendapat serupa. Beliau mengatakan, “minyak sama bensin tidak masuk
ke harga baksonya mbak”. Saat saya menanyakan lebih lanjut pada masing-
masing informan mengenai biaya overhead tersebut, Mas Agung mengatakan, “itu
(biaya overhead) masuk akhir bulan mbak, jadi akhir bulan selalu beli lagi”.
sudah habis, baru beli mbak, kalau belum ya tidak”. Jawaban Bu Asih serupa
dengan Pak Sahid yang mengatakan bahwa, “bensin itu biasanya selalu saya isi
setiap hari 5000, terus kalau minyak sama gas itu saya ganti kalau sudah habis”.
overhead dalam perhitungan harga pokok pembuatan bakso. Hal ini dikarenakan
seperti biaya overhead, payback period pada awal investasi, dan sebagainya.
jual dan biaya produksi diperoleh laba. Hal ini disebabkan karena manajemen
usaha mereka didasarkan pada pengalaman dan alur pikir yang mereka miliki, di
mana alur pikir tersebut secara otomatis terbentuk sendiri berdasarkan arahan ilmu
persepsi pedagang bakso tentang harga pokok produksi sangat berbeda dengan
prinsip dan pemahaman akuntan. Bagi mereka, harga pokok produksi adalah
besar bahan bahan baku yang mereka keluarkan untuk membuat bakso. Mereka
tidak memperhitungkan besar beban tenaga kerja langsung dan beban overhead
sehingga mereka tidak mengakui overhead sebagai bagian dari harga pokok
produksi.
anatara harga pokok produksi tersebut dengan harga jual yang dimiliki oleh bakso.
Pak Soleh, pedagang bakso gerobak, saat saya menanyakan mengenai tindakan
yang diambil ketika harga bahan baku meningkat, menjawab “yah tidak mbak.
Saya tidak dapat menaikkan harga bakso, kalau saya naikkan nanti tidak laku”.
Saya tidak berani menaikkan harga mbak, soalnya kalau harga naik
takutnya bakso saya tidak laku, jadi ya untungnya saja yang
dikurangi mba. Tidak apa-apa kok, yah mau gimana lagi.
Pak Toha di lain pihak memiliki solusi yang cukup menarik, beliau menyatakan:
miliki, namun tidak ada keinginan untuk merubah harga jual bakso. Kekhawatiran
untuk menaikkan harga ini didorong oleh besarnya kompetisi bakso di kota
Malang. Dengan banyaknya penjualan bakso, mereka khawatir jika harga bakso
dinaikkan, maka pembeli akan “lari” ke pedagang bakso yang lain. Kondisi pasar
seperti ini adalah gambaran pasar persaingan sempurna, dimana terdapat jumlah
Perilaku pasrah ini terbentuk dari budaya Jawa nerimo ing pandum, yaitu
sikap pasrah atas segala keputusan yang diberikan oleh Tuhan. Orang Jawa
percaya bahwa kehidupan ini ada yang mengatur dan tidak dapat ditentang atau
dirubah begitu saja. Bagi mereka, semua yang terjadi dalam kehidupan ini, sesuai
dengan kehendak Yang Maha Kuasa, sehingga mustahil untuk mengelak apalagi
Bu Ami sempat mengatakan pada saya, “sebenarnya lho mbak, jualan bakso
itu mudah, soalnya modalnya tidak terlalu banyak, tapi bisa dapat untung
lumayan”. Dengan pernyataan ini, kita dapat mengetahui bahwa memasuki pasar
penjualan bakso bukanlah hal yang sulit. Hanya dengan modal kecil, kita tidak
akan rugi jika kemudian memutuskan untuk keluar dari pasar tersebut.
Karena kondisi pasar sempurna, maka penjual tidak dapat menentukan harga
jual bakso seenaknya apabila tidak ingin mengalami kerugian. Pada akhirnya,
pedagang bakso cenderung mengikuti alur pasar dan memangkas besaran laba
yang diperoleh.
93
Gambaran di atas, sejalan dengan apa yang diungkapkan Magnis dan Suseno
(1991) bahwa salah satu prinsip orang Jawa yang paling menonjol adalah perilaku
seorang filsafat alam dari Yunani. Herakleitos beranggapan bahwa alam ini sudah
“ada” dalam keadaan yang “selaras atau harmonis”. Ada dunia sebagai tempat
tinggal, ada tumbuh-tumbuhan dan binatang sebagai “modal” mencari makan, dan
ada manusia yang hanya tinggal merawat saja, serta menjaga agar semuanya
perilaku rukun, yang mempunyai arti ”berada dalam keadaan selaras”, “tenang
untuk saling membantu”. Dengan demikian, rukun menjadi sumber moril yang
dalam perilaku pasrah mereka terhadap laba. Oleh sebab itu, beberapa informan,
seperti Bu Ami dan Pak Rahmat memutuskan untuk tidak berbuat apa-apa dan
merelakan laba mereka berkurang, sedangkan informan lain, seperti Pak Toha dan
bakso dengan mengalokasikan laba dari penjualan gorengan dan siomay. Studi ini
menunjukkan bahwa informan tidak “berani” untuk menaikkan harga jual mereka
94
mereka. Ini guna menjaga keharmonisan harga jual bakso. Selain itu, keseragaman
ini meningkatkan kerukunan antara penjual bakso, karena mereka tidak perlu
Refleksi
Norma-norma ini melahirkan berbagai falsafah dan prinsip hidup, misalnya sepi
ing pamrih rame ing gawe, yang merupakan falsafah dan prinsip hidup yang tidak
menafkahi keluarga adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan sebagai kepala
Menurut saya, perilaku informan ini merupakan cerminan dari etos kerja
orang Jawa. Terdapat beberapa pepatah Jawa yang menjelaskan perilaku tersebut,
diantaranya adalah jer basuki mawa beya, yang artinya adalah untuk mendapatkan
nggoleki tapaking kuntul nglayang, yang artinya demi mencapai cita-cita, orang
harus bersakit-sakit terlebih dahulu dan menempuh proses panjang yang kadang
sangat melelahkan, dan tidak masuk akal, ibarat mencari jejak bangau terbang.
95
Terakhir adalah wani nggetih bakal merkulih, artinya berani berdarah-darah maka
dalam bekerja.
bekerja keras dan tidak kenal lelah, maka dia akan mendapatkan kemakmuran dan
kesuksesan hidup. Etos inilah yang dipegang dan diamalkan oleh pedagang bakso
Pepatah lain mengenai etos kerja pedagang bakso adalah mangan ora
bakso yang cenderung memprioritaskan kerabat dekat, sebelum orang lain. Oleh
sebab itu, beban tenaga kerja langsung mereka lebih ditekankan pada besarnya
Perilaku lain yang mencerminkan budaya Jawa pada pedagang bakso adalah
kepasrahannya atas laba yang diperoleh. Dari beberapa wawancara yang saya
lakukan, informan tampak pasrah pada besar kecilnya laba yang mereka terima.
Konsep ini terbentuk dari budaya Jawa nerimo ing pandum, yaitu sikap pasrah
atas segala keputusan yang diberikan oleh Tuhan. Orang Jawa percaya bahwa
kehidupan ini ada yang mengatur dan tidak dapat ditentang atau dirubah begitu
saja.
96
Bagi mereka, semua yang terjadi dalam kehidupan ini, sesuai dengan
kehendak Yang Maha Kuasa, sehingga mustahil untuk mengelak apalagi melawan
takdir tersebut. Inilah yang dinamakan takdir kehidupan. Oleh sebab itu, mereka
percaya bahwa Tuhan telah mengatur segalanya bagi mereka dan mereka hanya
pedagang bakso akan selalu berusaha keras dalam berjualan. Mereka percaya
bahwa jika mereka benar-benar bekerja keras, maka rezeki itu akan datang dengan
mereka di akhir hari, semua itu sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa, yang
terpenting adalah mereka telah berusaha dengan pekerjaan yang halal dan diridhoi
oleh-Nya.
yang menarik. Terdapat banyak nilai positif yang dapat dipetik dari perilaku yang
mereka miliki. Bagi orang Jawa, Tuhan telah mengatur jatah kehidupan setiap
makhluk hidup, termasuk manusia. Seperti aliran air di sungai, jika dibiarkan
mengalir seperti biasa, maka kondisinya akan aman dan nyaman. Tetapi ketika
alirannya dipaksa untuk besar, maka aliran sungai menjadi tidak aman dan keruh.
Orang Jawa memahami hal tersebut, sehingga menerapkan pepatah hidup jangan
mengalami sesuatu yang kurang baik, misalnya terserang sakit. Rasa sakit terjadi
Ringkasan
Berdasarkan analisis data serta pembahasan yang dilakukan di atas, saya tidak
menemukan adanya kaitan antara harga jual dan harga pokok produksi bakso
pokok produksi naik, karena kekhawatiran produk mereka tidak akan laku.
pernyataan ini dengan mengatakan, “lihat dulu sek yang lainnya, kalau yang lain
naik, ya saya juga ikut naik, kalau tidak, ya saya tidak berubah”. Di sini tampak
bersama ini, berasal dari budaya Jawa yang dimiliki oleh pedagang bakso.