Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

USHUL FIQIH

HADITS
Dosen Pengampu :

Syaiful Ilmi, S.Pd., M.Si.

Disusun oleh :
Kelompok 7
1.Dhory cahya 12015033
2.Qustya Mufnil Ida 12015066
3.Tiwi Asmarita 12015075
PRODI MANAJEMEN BISNIS SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTISUT AGAMA ISLAM NEGERI
PONTIANAK
2021

i
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Alloh SWT yang mana atas Rahmat serta Ridhonya
kita dapat menyelesaikan Makalah kami yang berjudul “HADITS” dengan Baik
dan tepat waktu. Serta Shalawat dan Salam kami Haturkan kepada Baginda
Rasululloh SAW, yang mana beliau telah menjadi Tauladan yang baik seluruh
umat manusia.
Terima Kasih kami Ucapkan kepada Beberapa pihak yang tidak dapat
kami sebut satu-persatu, Karena Dukungan merekalah Makalah ini dapat kami
selesaikan dengan Maksimal
Semoga dengan disusunnya makalah ini dapat memperluas pengetahuan
Pembaca serta Penyusun masih Memerlukan Kritik dan Saran yang Membangun.
Terima Kasih.

20 November 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATAPENGATAR......................................................................................................ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………………….………..iii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1
A.Latar
Belakang......................................................................................................1
B Rumusan Masalah................................................................................................3
C.Tujuan..................................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................4
A.Defini Hadits ………….............................................................................................4
B.Macam-macam Hadits.........................................................................................5
C.Contoh Hukum Dalam Hadits ...........................................................................12
BAB III
PENUTUP...................................................................................................14
Kesimpulan ..........................................................................................................14
Daftar Pustaka.......................................................................................................15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadis merupakan salah satu dasar pengambilan hukum Islam setelah al-
Quran. Sebab hadis mempunyai posisi sebagai penjelas terhadap makna yang
dikandung oleh teks suci tersebut. Apalagi, banyak terdapat ayat-ayat yang
masih global dan tidak jelas Maknanya sehingga seringkali seorang mufassir
memakai hadis untuk mempermudah pemahamannya.
Seiring dengan perkembangan ulumul hadis, maka terdapat beberapa
kalangan yang serius sebagai pemerhati hadis. Hal ini tidak lain bertujuan
untuk mengklasifikasikan hadis dari aspek kualitas hadis baik ditinjau dari
segi matan hadis maupun sanad hadis. Sehingga dapat ditemukan hadis-hadis
yang layak sebagai hujjah dan hadis yang tidak layak sebagai hujjah.
Posisi hadis sebagai sumber hukum. Tidak lain karena adanya kesesuaian
antara hadis dengan teks suci yang ditranmisikan kepada Nabi Muhammad.
Bisa juga dikatakan bahwa hadis merupakan wahyu Tuhan yang tidak
dikodifikasikan dalam bentuk kitab sebab lebih banyak hasil dari proses
berpikirnya Nabi dan hasil karya Nabi. Akan tetapi bukan berarti hadis adalah
al-Quran.
Dengan alasan itu maka selayaknya hadis mendapat perhatian yang
khusus bagi tokoh cendekiawan Muslim selain studi al-Quran. Agar khazanah
ajaran islam benar-benar mengakar dengan melakukan kontektualisasi
terhadap realitas dimana hadis itu hadir. Dalam memahami hadis Nabi,
realitas mempunyai posisi yang sangat penting. Agar hadis Nabi mampu
mengakomodir segala realitas yang komplek dan beragam. Dengan itu, maka
hadist Nabi tidak akan pernah mati dan terus hidup sampai penutupan zaman.
Akan tetapi, dalam beberapa hal terdapat ciri - ciri tertentu yang spesifik,
sehingga dalam mempelajarinya diperlukan perhatian khusus. Berbeda ketika
kondisi umat islam pada masa Rasulullah tidak dapat begitu mendapat

1
kesulitan dalam memecahkan berbagai macam problematika yang berkaitan
dengan masalah agama, hal tersebut di karenakan setiap terjadi sesuatu yang
memerlukan hukum mereka langsung datang menemui rasulullah dan
bertanya tentang hukum dan sekaligus solusi terhadap masalah- masalah yang
terjadi saat itu, Rasul pun ketika itu langsung mendapatkan wahyu sebagai
penjelas dan yurisprudensi terhadap masalah tersebut. Dengan demikian
ijtihad pada masa rasulullah masih belum dibutuhkan bagi kaum Muslimin,
walaupun demikian ada indikasi bahwa ijtihad itu sudah ada pada masa itu ini
terbukti ketika dibenarkannya Mua’dz bin Jabal oleh Rasulullah untuk
melakukan ijtihad terhadap masalah- masalah yang tidak ada dalam al-
Qur’an dan sunnah Nabi, ketika dia di utus oleh rasulullah untuk menjadi
Qadhi (hakim) di kota Yaman (Abd, Al- Karim Zaidan, 1994).
Sepeninggal Nabi, para sahabat menghadapi masalah baru, disebabkan
semakin luasnya Negara islam dan semakin komplek pula permasalahan-
permasalahan yang di hadapi dengan berdasar pada al- Qur’an dan sunnah,
mereka merasakan akan butuhnya ijtihad yang mana ijtihad mereka
berdasarkan nas - nas al - Qur’an dan hadis barulah mereka mengeluarkan
pendapat, jika sudah tidak menemukan lagi dari dua sumber di atas.
Jalan yang di tempuh oleh para mujtahid adalah memperhatikan
Mudharat dan manfaat dan memperhatikan prinsip pokok hukum islam
(maqashid al-syari’ah) yang mana tujuan utama syari’at Islam (maqashid al-
syari’ah) ialah menjaga dan melindungi kemanusiaan. Perlindungan ini
dirumuskan oleh para ulama dalam lima tujuan (al- maqashid al-khamsah),
yakni perlindungan terhadap agama (hifzh al-din), perlindungan terhadap jiwa
(hifzh al-nafs), perlindungan terhadap akal (hifzh al-‘aql), perlindungan
terhadap keturunan (hifzh al-nasl), dan perlindungan terhadap harta (hifzh al-
ma>l).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan sebagai
berikut.

2
1) Bagaimana definisi hadists ?
2) Apa saja Macam-macam hadist ?
3) Bagaimana contoh Hukum yang ada dalam hadits ?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penulisan makalah
ialah sebagai berikut.
1) Mengetahui definisi hadists.
2) Mengetahui Macam-macam hadist.
3) Mengetahui contoh Hukum yang ada dalam hadits.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Hadits
Secara etimologi, hadis adalah kata benda (isim) dari kata al-Tahdis yang
berarti pembicaraan. Kata hadits mempunyai beberapa arti; yaitu
1. “Jadid” (baru), sebagai lawan dari kata”qadim” (terdahulu). Dalam hal
ini yang dimaksud qadim adalah kitab Allah, sedangkan yang dimaksud
jadid adalah hadis Nabi saw (Subhi As-shalih, 1995). Namun dalam
rumusan lain mengatakan bahwa Al-Qur’an disebut wahyu yang
matluw karena dibacakan oleh Malaikat Jibril, sedangkan hadis adalah
wahyu yang ghair matluw sebab tidak dibacakan oleh malaikat Jibril.
Nah, kalau keduanya sama-sama wahyu, maka dikotomi, yang satu
qadim dan lainnya jadid tidak perlu ada (Muh. Zuhri, 2002).
2. “Qarib”, yang berarti dekat atau dalam waktu dekat belum lama,
3. “Khabar”, yang berarti warta berita yaitu sesuatu yang dipercakapkan
dan dipindahkan dari seseorang kepada seseorang. Hadis selalu
menggunakan ungkapan ‫ أخربنا‬,‫دثنا‬QQ‫ ح‬,‫ا‬QQ‫( و أنبأن‬megabarkan kepada kami,
memberitahu kepada kami dan menceritakan kepada kami). Dari makna
terakhir inilah diambil perkataan “hadits Rasulullah” yang jamaknya
“aha>di>ts (Shubhi al-Shalih, 1969).
Allah-pun, memakai kata hadits dengan arti khabar dalam firman-Nya:

Artinya: “Maka hendaklah mereka mendatangkan suatu khabar yang


sepertinya jika mereka orang benar”. (QS.52:34).
Sedangkan pengertian hadits secara terminologi, maka terjadi perbedaan
antara pendapat antara ahli hadits dengan ahli ushul. Ulama ahli hadits ada
yang memberikan pengertian hadis secara terbatas (sempit) dan ada yang
memberikan pengertian secara luas. Pengertian hadis secara terbatas

4
diantaranya sebagaimana yang diberikan oleh Mahmud Tahhan adalah yakni
artinya:
“Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik berupa perkataan atau
perbuatan atau persetujuan atau sifat”.
Ulama hadis yang lain memberikan pengertian hadis yang artinya:

“Segala ucapan Nabi SAW, segala perbuatan dan segala keadaanya.”


Sedangkan pengertian hadis secara luas sebagaimana yang diberikan oleh
sebagian ulama seperti Ath Thiby berpendapat bahwa hadits itu tidak hanya
meliputi sabda Nabi, perbuatan dan taqrir beliau (hadis marfu’), juga meliputi
sabda, perbuatan dan taqrir para sahabat (hadis mauquf), serta dari tabi’in
(hadis maqthu’) (M. Hasby As Shidiqi, 1994).
Sedang menurut ahli ushul, hadits adalah:
“Segala perkataan, segala perbuatan dan segala taqrir nabi SAW yang
bersangkut paut dengan hukum”.
Dari pengertian yang diberikan oleh ahli ushul fiqih diatas, berarti
informasi tentang kehidupan Nabi ketika masih kecil, kebiasaan, kesukaan
makan dan pakaian yang tidak ada relevansinya dengan hukum, maka tidak
disebut sebagai hadits (Muh. Zuhri, 2003).

B. Macam-macam Hadits
Sesuai dengan definisi hadist di atas, maka bentuk-bentuk hadist dapat
digolongkan sebagai berikut:
1. Hadist Qouli
Yang dimaksud dengan hadist qouli adalah segala perkataan Nabi
SAW yang berisi berbagai tuntutan dan petunjuk syara’, peristiwa-
peristiwa dan kisah-kisah baik yang berkaitan dengan aspek akidah,
syariah maupun akhlak.
Misalnya sabda beliau:

5
“Sesungguhnya keberadaan amal-amal itu tergantung niatnya. Dan
seseorang hanyalah akan mendapatkan sesuatu sesuai niatnya.”
Menurut rangkingnya, hadist qauli menempati urutan pertama dari
bentuk-bentuk hadist lainnya. Urutan ini menunjukkan kualitas hadits
qouli menempati kualitas pertama, diatas hadits fi’li dan taqriri.

2. Hadits Fi’il
Yang dimaksud hadits fi’li adalah segala perbuatan Nabi SAW. yang
menjadi anutan perilaku para, sahabat pada saat itu, dan menjadi
keharusan bagi semua umat Islam untuk mengikutinya, seperti praktek
wudhu, praktek salat lima waktu dengan sikap-sikap dan rukun-
rukunnya, praktek manasik haji, cara, memberikan keputusan
berdasarkan sumpah dan saksi, dan lain-lain.

3. Hadits Taqriri
Hadits Taqriri adalah hadits yang berupa, ketetapan Nabi SAW.
terhadap apa yang datang atau yang dikemukakan oleh para sahabatnya
dan Nabi SAW membiarkan atau mendiamkan perbuatan tersebut, tanpa,
membedakan penegasan apakah beliau membenarkan atau
mempersalahkannya. Yang bersumber dari sahabat yang mendapat
pengakuan dan persetujuan dari Nabi SAW itu dianggap bersumber dari
beliau. Misalnya, riwayat yang ditakhfi oleh Abu Dawud dan An Nasa’i
dari Abu Said al Khudry ra. Bahwasanya ada dua perang yang keluar
rumah untuk bepergian tanpa memiliki persediaan air. Lalu, tibalah
waktu shalat. Kemudian keduanya bertayamum dengan debu yang baik,
lalu melakukan shalat. Beberapa, saat kemudian keduanya mendapatkan
air, masih dalam waktu shalat tersebut. Yang satu mengulang wudlu dan
shalatnya, sedang yang lain tidak.
Kemudian keduanya datang menghadap Nabi SAW melaporkan
perihal keduanya lalu kepada yang tidak mengulang, beliau bersabda:

6
“Engkau telah mengerjakan sunnah (ku). Dan kepada yang mengulang,
beliau bersabda: “Engkau mendapatkan pahala dua kali lipat.”

4. Hadits Hammi
Hadits Hammi adalah hadits yang berupa keinginan atau hasrat Nabi
SAW yang belum terealisasikan. Walaupun hal ini baru rencana dan
belum dilakukan oleh Nabi, para ulama memasukkannya pada hadis,
karena Nabi tidak merencanakan sesuatu kecuali yang benar dan dicintai
dalam agama, dituntut dalam syari’at Islam dan beliau diutus untuk
menjelaskan syariat Islam. Contoh hadis hammi seperti halnya hasrat
berpuasa tanggal 9 Asyura yang belum sempat dijalankan oleh Nabi
SAW karena beliau wafat sebelum datang bulan Asyura tahun
berikutnya, mengambil sepertiga dari hasil kebun madinah untuk
kemaslahatan perang al-Ahzab, dan lain-lain (M. Ibrahim al-Hafnawi,
1991).

5. Hadits Ahwal
Yang dimaksud dengan hadits ahwali ialah yang berupa hal ihwal
Nabi SAW yang tidak temasuk ke dalam kategori ke empat hadits di atas.
Ulama hadits menerangkan bahwa yang termasuk “hal ihwal”, ialah
segala pemberitaan tentang Nabi SAW, seperti yang berkaitan dengan
sifat-sifat kepribadiannya/perangainya (khuluqiyyah), keadaan fisiknya
(khalqiyah), karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaanya.

Pada garis besarnya hadits-hadits ahad dari sudut kualitasnya terbagi


menjadi dua, yaitu hadis ahad yang maqbul dan hadits ahad yang mardud.
Untuk lebih jelasnya pengertian kedua hadits tersebut akan diuraikan dibawah
ini:

7
a. Hadits Ahad Yang Maqbul
1. Pengertian hadits ahad yang maqbul
Secara terminologis, hadits maqbul didefinisikan dengan “Hadits
yang telah sempurna seluruh syarat penerimaannya” (M.’Ajjaj al-Khatib,
1979).
Ibnu Hajar al Asqalani mendefinisikan dengan :“Hadits yang
ditunjuk oleh suatu keterangan atau dalil yang menguatkan
ketetapannya” (Ibnu Hajar al-asqalani, 1934)
2. Syarat-syarat hadits maqbul
Syarat-syarat suatu hadits agar dapat dikatakan maqbul ada yang
berkaitan dengan sanad dan ada yang berkaitan dengan matan. Yang
dimaksud dengan sanad, syarat-syarat itu adalah antara lain sanadnya
harus bersambung, masing-masing sanad tersebut harus adil dan dhabit,
serta tidakn ada illat yang mencacatkannya. Sedang syarat yang berkaitan
dengan matan, maka tidak boleh ada kejanggalan (syudzudz) dalam
matannya. Jika boleh ada kejanggalan pada suatu hadits terpenuhi syarat-
syarat diatas, maka hadits tersebut oleh para ulama disebut shahih, atau
sekurang-kurangnya hasan, yang berarti dapat diterima kehujjahannya.
Pembicaraan mengenaihadits shahih dan hasan secara luas akan
diuraikan pada bab tersendiri.
3. Pembagian Hadits maqbul
Pada garis besarnya hadits maqbul dapat dilihat dari dua sudut, yaitu:
pertama, dari implementasinya dan kedua dari kualitasnya.
a) Sudut Implementasi Hadits Maqbul
Dari sudut implementasinya, hadits ini terbagi menjadi dua
bagian, yaitu: pertama, hadits yang ma’mul bih (dapat diamalkan) dan
kedua, hadits yang ghair ma’mul bih (tidak dapat diamalkan)
(Fatkhurrohman, 1974).
Yang termasuk ke dalam kategori hadits ma’mul bih adalah:

8
1) Yang muhkam, yaitu hadits yang telah memberikan pengertian
jelas.
2) Yang mukhtalif, yaitu hadits yang dapat dikompromikan dari
dua buah hadits shahih atau lebih yang dari sudut dzahirnya
mengandung pengertian yang bertentangan.
3) Yang rajih, yaitu hadits yang lebih kuat dari dua buah hadits
shahih yang Nampak bertentangan.
4) Yang nasikh, yaitu hadits yang menasakh (menghapus)
ketentuan hadits yang dating terdahulu.
Sedang yang termasuk ke dalam kategori ghair ma’mul bih
adalah:
1) Yang mutasyabih, yaitu hadis yang memberikan pengertian
yang tidak jelas.
2) Yang marjuh, yaitu hadits yang kehujjahannya dikalahkan oleh
hadits yang kebih kuat.
3) Yang mansukh, yaitu hadits yang dating terdahulu, yang
ketentuan hukumnya telah dinasakh atau dihapus oleh yang
dating kemudian.
4) Yang mutawaquf fih, yaitu hadits yang kehujjahannya
ditangguhkan karena pertentangan antara satu hadits dengan
hadits lainnya yang belum dapat diselesaikan.
b) Sudut Rutbah
Hadits maqbul dari sudut rutbah (urutan) kualitasnya juga terbagi
kepada dua bagian yaitu hadis shahih dan hadis hasan. Pembagian ini
tidak berlaku bagi ulama yang memasukkan pembahasan hadits hasan
ke dalam hadits shahih, seperti al-Hakim, Ibn Hibban dan Ibn
Huzaimah.
b. Hadits Ahad Yang Mardud
Kata mardud secara bahasa berarti yang ditolak, yang tidak diterima,
atau yang dibantah. Maka hadits mardud menurut bahasa berarti hadits
yang ditolak, atau hadits yang dibantah. Secara terminologis, hadits

9
mardud didefinisikan dengan: “hadits yang hilang seluruh syarat-
syaratnya atau sebagiannya”.
Dalam definisi lain disebutkan bahwa kebenaran pembawa berita
pada hadits mardud itu tidak sampai kepada derajat hadits maqbul.
Dalam hal ini yang tergolong pada kategori hadis ini adalah hadis dhaif.

c. Hadits Shahih
Kata shahih menurut bahasa berarti yang sehat, yang selamat, yang
benar, yang sah dan yang sempurna. Para ulama biasa menyebut kata
shahih ini sebagai lawan dari kata saqim (sakit).
Maka kata hadits shahih menurut bahasa, berarti hadits yang sah,
hadits yang sehat atau hadits yang selamat. Secara terminologis, shahih
didefinisikan oleh Ibn Shalah sebagai berikut:
“Hadits yang disandarkan kepada nabi SAW, yang sanadnya
bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit hingga
sampai akhir sanad, tidak ada kejanggalan dan tidak ber’illat.”
Ibn Hajar al Asqalani mendefinisikannya dengan lebih ringkas yaitu:
“Hadits yang diriwayatkan oleh orang adil, sempurna kedhabitannya,
bersambung sanadnya, tidak ber’illat.”
Al Qasimi juga mengemukakan definisi yang cukup ringkas, yang
hampir sama dengan yang dikemukakan oleh al Asqalani. Menurutnya,
hadits shahih adalah : “hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan
dan diterima dari perawi yang adil lagi dhabit, serta selamat atau
terhundar dari kejanggalan kejanggalan dan ‘illat” (Jamal al-Din al-
Qasimy, 1987).
Definisi yang hampir sama juga dikemukakan oleh an Nawawi.
Hanya saja ia menggunakan bentuk-bentuk jamak, seperti berikutini :
“Hadits yang bersambung sanadnya diriwayatkan oleh para perawi yang
adil lagi dhabit, tidak syudzudz dan tidak ber’illat” .

10
d. Hadits Hasan
Hadis Hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang
adil, kurang kuat hapalannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung
‘illat dan tidak syadz. Dari definisi di atas menunjukkan bahwa hadis
hasan itu sama dengan hadis shahih, perbedaannya hanya pada tingkat
kedlabithan perowinya berada di bawah hadis shahih.Menurut Ibnu
Taimiyah, yang mula-mula mempopulerkan istilah hadis hasan ialah Abi
Isa At Turmudzi atau lebih dikenal dengan Imam Turmudzi. Sebelumnya
para ulama membagi hadits hanya kepada dua kategori, yaitu shahih dan
dlaif. Lahirnya hadis hasan disebabkan ditemukannya adanya kriteria
perowi yang kurang sempurna dalam kedhabitannya. Artinya terdapat
perawi yang kualitas hafalannya di bawah kebanyakan para perawi yang
shahih, akan tetapi diatas para perawi yang dha’if. Dengan kata lain,
tingkat kedhabitannya menengah antara yang shahih dan yang dha’if,
padahal pada kriteria-kriteria lainnya terpenuhi dengan baik atau
sempurna (M.’Ajjaj al-Khatib, 1979).

e. Hadis Dlaif
Kata ‫ ضعيف‬menurut bahasa berarti yang lemah sebagai lawan kata
dari ‫ )قوي‬yang kuat). Sebagai lawan kata dari shahih kata dha’if juga
berarti ‫ )سقيم‬yang sakit). Maka sebutan hadits dha’if, secara bahasa berarti
hadits yang lemah, yang sakit atau yang tidak kuat.
Sedangkan pengertian hadis dlaif secara istilah adalah hadits yang
kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits Shahih atau
hadits Hasan, atau hadis yang tidak ada padanya sifat-sifat hadis shahih
dan hadis hasan (Ibn Al-Sholah, 1993). Hadits Dhaif merupakan hadits
Mardud yaitu hadits yang tidak diterima oleh para ulama hadits untuk
dijadikan dasar hukum.

f. Hadis Maudhu’

11
Hadis maudhu’ adalah hadis yang dibuat-buat atau diciptakan atau
didustakan atas nama Nabi. Menurut Ahmad Amin hadis maudhu’ sudah
ada sejak masa Rasulullah.

C.Contoh Hukum Dalam Hadits

Kehujahan Hadits sebagai sumber hukum syariat datang dari hadis itu sendiri.
Pada beberapa hadis diriwayatkan bahwa beliau bersabda :
Dari Ibnu Abbas, bahwasanya Rasulullah berkhutbah dihadapan
manusia pada haji wada', "Wahai manusia, sesungguhnya aku telah
meninggalkan di tengah-tengah kalian yang jika kalian berpegang teguh
kepadanya niscaya tidak akan tersesat selamanya; yaitu Kitab Allah dan
Sunnah Nabi-Nya."
Dari Al Miqdam bin Ma'diyakrib al Kindy, Rasulullah bersabda,
"Ingatlah, sesungguhnya aku diberi al-Kitab dan yang semisal dengannya!
Ingatlah, sesungguhnya aku diberi al-Kitab dan yang semisal dengannya!
Ingatlah, hampir datang masa ada seseorang yang dengan perut kenyang
bersandar di sofanya seraya berkata; 'Cukuplah bagi kalian Al-Qur'an. Apa
yang kalian dapatkan padanya sesuatu yang halal maka halalkanlah dan apa
yang kalian dapatkan padanya sesuatu yang haram maka haramkanlah!…"
Dua hadis di atas mewakili sejumlah hadis yang semakna dengannya. Inti
kandungan dari hadis-Hadis di atas menegaskan bahwa Al-Qur'an tidak
terlepas dari hadis dan bahwa Hadis itu bagian dari wahyu yang diberikan
Allah swt. kepada Nabi saw. dengan cara yang berbeda. Dengan demikian,
eksistensi hadis diakui sendiri oleh hadis itu sendiri, tidak terdapat
pertentangan di dalam dirinya (contradiction in terminis).
Kehujahan hadis dari ijma' dapat diketahui dari kesepakatan para
shahabat Nabi saw. untuk menjadikan hadis sebagai rujukan dalam
menetapkan segala perkara. Sebagaimana diuraikan oleh Mustafa Assibai’,
bahwa para shahabat sepeninggal Nabi saw., apabila menetapkan suatu
keputusan atas suatu perkara yang muncul mereka mengacu kepada ayat Al-

12
Qur'an, jika mereka tidak mendapatinya langsung dari Al-Qur'an mereka
merujuk kepada sunnah Nabi saw., jika mereka tidak mendapatinya pada
Sunah Nabi saw. mereka bermusyawarah mencari keputusan. Sebagai misal,
ketika Abu Bakar Ra. kedatangan seorang nenek yang menanyakan tentang
bagian waris. Lantas Abu Bakar mengatakan bahwa kasus itu belum
ditemukan dalam Al-Qur’an dan belum tahu apakah Rasul saw. pernah
mengatakannya. Kemudian beliau menanyakan kepada para sahabat.
Mughirah mengatakan bahwa Rasul saw. bersabda: “bagian nenek sepertiga”.
Abu Bakar Ra. menanyakan, “apakah ada saksi atas riwayatmu itu.”
Muhamad bin Maslamah tampil sebagai saksi. Maka Abu Bakar Ra. pun
melaksanakan hukum waris tersebut (Mustafa Assibai’, 1979).
Contoh kedua, ketika Abu Musa mengucapkan salam ke rumah Umar bin
Khattab Ra. sampai tiga kali dan tidak ada jawaban, maka Abu Musa pun
pergi. Lantas Umar memerintahkan untuk mengejarnya dan menanyakan
kenapa kembali pulang. Abu Musa pun menjawab bahwa Rasul saw. telah
bersabda : “Apabila seseorang di antara kalian mengucapkan salam sampai
tiga kali dan tidak mendapatkan jawaban, hendaklah pulang kembali.” Umar
pun meminta saksi untuk memperkuat riwayatnya itu. Abu Musa pun
menghadirkan saksi terhadap Umar Ra (Umar Sulaiman al-Asyqar, 2010).

13
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hadits merupakan sumber hukum kedua bagi umat Islam setelah Al-
Quran sebagai sumber utama, hadits juga sebagai pedoman hukum serta ajaran-
ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an. Hadits adalah sumber hukum Islam
(pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka
yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka
secara otomatis harus percaya bahwa Hadits juga merupakan sumber hukum
Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Hadits sebagai sumber hukum
Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetapai juga murtad hukumnya.
Kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam, dapat dilihat dalam
beberapa dalil, baik dalam bentuk naqli ataupun aqli : dalil Al-Qur’an,
dalil Hadits, Ijma’ dan Ijtihad. Kehujjahan hadits dapat dipahami dari 7
aspek yaitu: Ishmah, sikap sahabat terhadap sunnah, Al-Qur’an, Al-
Sunnah, Kebutuhan Al-Qur’an terhadap al-sunnah, realitas – sunnah
sebagai wahyu dan Ijma’. Fungsi hadits terhadap Al-Qur’an yaitu: bayan
tafsir, bayan taqrir, bayan tasyri’ dan bayan an-nasakh.

14
Daftar Pustaka
Abd, Al- Karim Zaidan, Al Wajiz Fi Ushul Al- Fiqhi, (Bairut: Muassasah Ar-
Risalah, 1994)
M. Ibrahim al-Hafnawi, Dirasat Ushuliyah fi al-Sunnah al-Nabawiyah, (Cairo :
Dar al-Wafa, 1991)
M. Hasby As Shidiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,(Semarang : Thoha
Putra, 1994)
M. Ibrahim al-Hafnawi, Dirasat Ushuliyah fi al-Sunnah al-Nabawiyah, (Cairo :
Dar al-Wafa, 1991)
Shubhi al-Shalih, Ulum al-Hadis wa Musthalahuh, (Beirut, Dar al-‘Ilm li al-
Malayin, 1969)
Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta : Tiara
Wacana Yogya, 2003)
M.’Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis, ‘Ulumuhu wa Musthalahuh, (Beirut : Dar al-
Fikr, 1979)
Ibnu Hajar al-asqalani, Syarh Nuhbah al-Fikr fi Musthalahah Ahli Al-Atsar,
(Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1934)
Fatkhurrohman, Ikhtisar Mustholah Hadis, (Bandung : PT al-Ma’arif, 1974).
Jamal al-Din al-Qasimy, Qawa’id al-Tahdis Min Funun Musthalah al-Hadis,
(Beirut : Dar Al-Nafatis, 1987),
M.’Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis, ‘Ulumuhu wa Musthalahuh, (Beirut : Dar al-
Fikr, 1979),
Ibn Al-Sholah, Ulum al-Hadis Muqaddimah Ibn Al-Shahih, (Mekkah : al-
Muktabat al-Tijariah Musthafa Ahmad al-Baz, 1993)
Abu Syuhbah, Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Shihab al-Sittah, (Kairo : Majma’
al-Buhuts al-Islamiyah, 1969)
Mustafa Assibai’, Assunnah wa Makanatuha fi Tasyri’ al-Islam, terj. (Bandung:
CV. Diponegoro, 1979)
Umar Sulaiman al-Asyqar, Tarikh al-Fiqh al-Islami, terj. Dedi Junaedi dan
Ahmad Nurrahman, Fiqih Islam (Jakarta: Akademika Pressindo, 2010),

15

Anda mungkin juga menyukai