Anda di halaman 1dari 3

Negara Hukum dan Peradilan Tata Usaha Negara

Sejarah terbentuknya Peradilan Tata Usaha Negara (Peradilan TUN) merupakan rangkaian
peristiwa yang telah berjalan dalam waktu yang panjang. Sejarah terbentuknya Peradilan TUN
dapat dilihat mulai dari adanya ide negara hukum. Ide negara hukum ini berkaitan dengan
konsep nomocracy. Nomos berarti norma, dan cratos berarti kekuasaan. Dengan demikian,
dapatlah dipahami bahwa di dalam nomokrasi, maka yang berperan sebagai faktor penentu
dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itulah, istilah nomokrasi
erat hubungannya dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan yang
tertinggi.

Dalam ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan yang tertinggi, yang
sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukannya orang. Dari
bukunya Plato yang berjudul Nomoi, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan The
Laws, dapat diperoleh gambaran dengan jelas bahwa ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak
lama dikembangkan, yaitu sejak zaman Yunani kuno.

Kemudian pada zaman modern, konsep negara hukum di negara-negara Eropa Kontinental
dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Julius Stahl dan Fichte, dengan menggunakan
istilah rechtsstaat. Dalam sistem Anglo Saxon, konsep negara hukum dikembangkan antara lain
oleh AV. Dicey, dengan sebutan the rule of law.

Peradilan TUN, seperti halnya peradilan yang lain, tentu juga menjalankan prinsip peradilan
yang bebas dan tidak memihak. Dari sudut ini, jelas Peradilan TUN tidaklah berbeda dengan
badan-badan peradilan yang lainnya. Tetapi penyebutannya yang secara khusus sebagai salah
satu pilar dari konsep rechtsstaat, sebagaimana yang ditegaskan oleh Stahl, menunjukkan bahwa
Peradilan TUN adalah sesuatu yang penting keberadaannya dalam sebuah negara hukum.

Dalam negara hukum, harus terbuka kesempatan bagi setiap warga negara untuk dapat
menggugat keputusan pejabat administrasi negara melalui Peradilan TUN. Keberadaan Peradilan
TUN tersebut dengan demikian dapat menjamin agar warga negara tidak dilanggar hak-haknya
oleh keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara sebagai pihak yang berkuasa. Atas
dasar itulah, maka keberadaan dari Peradilan TUN dapat dikatakan penting. Oleh karenanya,
dapatlah dipahami kemudian mengapa Stahl menyebutkan keberadaan Peradilan TUN secara
tegas dan tersendiri.

Secara garis besar, tujuan pembentukan Peradilan TUN ialah untuk:

1. Mengawasi pelaksanaan wewenang pejabat TUN (pemerintah sebagai pemegang dan


pelaksana kekuasaan eksekutif), agar ia tidak melakukan perbuatan yang dapat
merugikan warga negara. Ini artinya bahwa Peradilan TUN itu merupakan suatu bentuk
sarana kontrol yuridis (kontrol dari sudut hukum) bagi pelaksanaan wewenang
pemerintah.
2. Menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan warga negaranya, yaitu sengketa yang
timbul akibat dari adanya tindakan-tindakan pemerintah yang dianggap melanggar hak-
hak warga negaranya.
3. Menjadi salah satu sarana guna mewujudkan pemerintahan yang efisien, efektif, bersih,
berwibawa serta selalu melaksanakan tugasnya dengan berdasarkan kepada hukum. Atau
dalam kalimat lain, dapat dikatakan juga bahwa Peradilan TUN itu sebenarnya dapat
menjadi salah satu sarana untuk mewujudkan good governance di Indonesia.

Di Indonesia, telah terbentuk Peradilan TUN yang berdiri sendiri yang berpuncak di
Mahkamah Agung, dan usaha pembentukan Peradilan TUN ini dapat dikatakan telah melalui
perjalanan yang cukup panjang. Dasar hukum dibentuknya Peradilan TUN di Indonesia ialah:

1. Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan;


2. Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(yang telah mencabut undang-undang sebelumnya, yaitu UU Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman).

Kemudian, secara lebih rinci pengaturan mengenai Peradilan TUN di Indonesia dituangkan lagi
dalam bentuk UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang kemudian
diubah melalui:

1. UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan;
2. UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan ke Dua atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Mengenai nama yang digunakan di Indonesia, terdapat 2 (dua) macam nama (ada
citeertitel-nya) yang dianggap bermakna sama yang mengacu kepada pengertian Peradilan
TUN. Berdasarkan Pasal 144 UU Nomor 5 Tahun 1986, maka selain dapat disebut dengan
“Peradilan Tata Usaha Negara,” dapat pula digunakan sebutan “Peradilan Administrasi
Negara.”

Penggunaan 2 (dua) nama tersebut timbul karena adanya perbedaan pendapat pada saat
pembahasan pembentukan UU Nomor 5 Tahun 1986. Usulan pihak pemerintah ialah
menggunakan nama “Peradilan Tata Usaha Negara”. Sedangkan usulan dari Fraksi Karya
Pembangunan (FKP) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan para akademisi seperti dari
Universitas Andalas, Universitas Sumatera Utara, Universitas Padjadjaran, Universitas
Gadjah Mada, Universitas Hasanuddin, menggunakan nama “Peradilan Administrasi
Negara”.

Anda mungkin juga menyukai