Anda di halaman 1dari 32

PERTEMUAN KE- 1

PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP PEMBIDANGAN


HUKUM ISLAM

A. TUJUAN PEMBELAJARAN

Adapun Tujuan pembelajaran yang akan dicapai sebagai berikut:

1. Memahami Definisi dan Pengerian Hukum Islam

2. Memahami Ruang Lingkup Hukum Islam

B. URAIAN MATERI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam merupakan suatu sistem yang di dalamnya

terhimpun aspek-aspek yang mengatur manusia, baik hubungan

manusia dengan Tuhannya secara vertikal, maupun hubungan

antara manusia dan hubungan manusia dengan alam atau

makhluk lainnya secara horizontal. Aspek-aspek ini tergambar

dalam hadis Nabi yang dapat dibagi menjadi tiga komponen,

yaitu Iman, Islam dan Ihsan.

Islam sebagai agama yang memiliki keaslian hukum dan

landasan yang bersifat universal, elastis dan mendalam di segala

bidang. Sebagai umat islam sangatlah merugi jika tidak

mempelajari ilmu agamanya. Mempelajari ilmu agama


1

merupakan salah satu cara manusia untuk mendekatkan diri

kepada Allah. Begitu juga dengan mengajarkan hukum agama

juga merupakan cara pendekatan diri yang mulia, apalagi yang

berhubungan dengan hukum islam. Sehingga semua orang akan

menjadi jelas dalam urusannya, ibadahnya, amalannya, dan

bermanfaat di dunia dan akhirat.

Penyebutan hukum Islam sering dipakai sebagai

terjemahan dan istilah syari’at Islam atau fikih Islam. Dengan

mencermati berbagai buku dan tulisan yang ada, kalau syari’at

Islam diterjemahkan hukum Islam (hukum in abstracto), maka hal

itu diterjemahkan dari pengertian syari’at dalam arti sempit,

sebab makna yang terkandung dalam syari’at secara luas tidak

hanya aspek hukum saja, tetapi aspek lain yaitu aspek

i’tiqadiyah dan aspek khuluqiyah.

Untuk mendapatkan gambaran hukum Islam yang benar

menurut Daud Ali, dalam mengkaji dan memahami hukum Islam,

maka hukum Islam; harus dipelajari dalam kerangka dasar ajaran

Islam yang menempatkan hukum Islam sebagai salah satu

bagian dari agama Islam; harus pula dihubungkan dengan iman

(aqidah) dan kesusilaan (akhlak), etika atau moral. Karena dalam

sistem hukum Islam, iman, hukum dan kesusilaan itu tidak dapat

dipisah-pisahkan; demikian juga harus dikaitkan dengan


2

beberapa istilah kunci di antaranya syari'ah, fikih, yang dapat

dibedakan, tetapi merupakan suatu kesatuan yang utuh.1

Dalam dimensi lain penyebutan hukum Islam dihubungkan

dengan legalitas formal dalam suatu negara bagi pendapat para

ulama (mujtahid) baik yang terdapat dalam kitab fikih maupun

yang belum. Jadi fikih Islam bukan lagi hukum Islam in abstracto

tapi sudah menjadi hukum Islam in Concrecto sudah membumi di

suatu negara, karena secara formal sudah dinyatakan berlaku

sebagai hukum positif yaitu aturan yang mengikat dalam suatu

negara. Olehnya itu sangat penting untuk membahas tentang

hukum islam serta ruang lungkup pembidangan hukum islam.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam pembahasan makalah ini

adalah:

1. Bagaimana Defennisi hukum Islam?

2. Bagimana ruang lingkup pembidangan hukum Islam?

1. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia (Cet. IX; Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2000), h.48.
3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Gambaran umum Hukum Islam

Istilah hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia,

sebagai terjemahan al-Fiqh al-Islamiy atau dalam konteks

tertentu dari istilah al-Syar’ah al-Islamiy. Istilah ini dalam

wacana hukum barat digunakan istilah Islamic Law. dalam al-

Quran maupun al-Sunnah, istilah al-hukm al-Islam tidak dijumpai

yang digunakan adalah kata syari’ah yang dalam penjabarannya

kemudian lahir istilah fikih.2 Maka untuk memperoleh gambaran

2Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grapindo


Persada, 1997), h. 3.
4

yang jelas mengenai pengertian hukum Islam, terlebih dahulu

akan dijelaskan pengertian syari’ah dan fikih.

1. Syari’ah

Kata syari’ah dan derivasinya digunakan lima kali dalam al-

Quran yang terdapat pada : Qs. al-Syura, 42:13, al-‘Araf, 7: 163,

al-Maidah, 5:48, dan al-Jasiyah, 45:18.3 Secara harfiah, syari’ah

artinya jalan ke tempat mata air, atau tempat yang dilalui air

sungai. Penggunaannya dalam al-Quran diartikan sebagai jalan

yang jelas yang membawa kepada kemenangan. Dalam

terminologi ulama ushul fikih, syari’ah adalah titah (khitab) Allah

yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (muslim baligh,

dan berakal sehat), baik berupa tuntutan, pilihan, atau perantara

(sebab, syarat atau penghalang).4 Jadi konteksnya, adalah

hukum-hukum yang bersifat praktis (‘amaliyah).

Mahmud Syaltut dalam bukunya al-Islam, Aqidah wa

Syari’ah, mendefinisikan bahwa syari’ah adalah peraturan yang

diturunkan Allah kepada manusia agar dipedomani dalam

berhubungan dengan Tuhannya, dengan sesamanya, dengan

lingkungannya dan dengan kehidupan.5 Sebagai penjabaran dari

3Muhammad Fuad Abdul Baqi’, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz Al-Quran


al-Karim (Jakarta: Maktabah Dahlan Indonesia, t.th), h. 480.
4Abdul Wahab al-Khallaf, ‘Ilm Ushl al-Fiqh (Jakarta: Maktabah al-Da’wah
al-Islamiyah Syabab al-Azhar, 1990), h. 96.

5Mahmud Syaltut, Al-Islam, ‘Aq³dah wa Syari’ah, (Mesir: Dar al-Qalam,


1966), h. 12
5

akidah, syari’ah tidak bisa terlepas dari akidah. Keduanya

memiliki hubungan ketergantungan. Akidah tanpa syari’ah tidak

menjadikan pelakunya (muslim) menjadi selamat, demikian juga

syari’ah tanpa akidah akan sesat.

Dengan demikian dapat dipertegas bahwa syari’ah adalah

ketentuan yang ditetapkan oleh Allah Swt. yang dijelaskan oleh

Rasul-Nya, tentang pengaturan semua aspek kehidupan

manusia, dalam mencapai kehidupan yang baik, di dunia dan di

akhirat kelak. Ketentuan syari’ah terbatas dalam firman Allah

Swt., dan sabda Rasul-Nya.6 Agar segala ketentuan (hukum) yang

terkandung dalam syari’ah tersebut dapat diamalkan oleh

manusia, maka manusia harus bisa memahami segala ketentuan

yang dikehendaki oleh Allah Swt yang terdapat dalam syari’ah

tersebut.

Istilah ini dikemudian hari, menjadi salah satu

perbendaharaan istilah penting dalam kajian fikih (hukum Islam).

Jadi syari’ah adalah produk atau materi hukumnya, tasyri’ adalah

perundangannya, dan yang memproduk disebut syar’i adalah

Allah Swt.

2. Fikih

6Amir Syarifuddin, Pengertian dan Sumber Hukum Islam dalam Ismail


Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam (Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h.
16.
6

Secara etimologi, fikih berarti paham yang mendalam (al-

fahmu al-‘amiq). Hal ini dapat dibedakan dengan kata ‘ilm yang

artinya mengerti. Ilmu bisa diperoleh secara nalar atau wahyu,

fikih menekankan pada penalaran meski penggunaannya nanti ia

akan terikat pada wahyu, dalam pengertian terminologi menurut

pendapat para ulama fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum

syara yang berhubungan dengan perbuatan manusia yang digali

atau diambil dari dalil-dalilnya yang tafshiliy7. Kegiatan menggali

atau mengambil hukum dari dalil-dalilnya yang tafshiliy itulah

yang merupakan hasil kegiatan akal pikiran, hasil pemahaman

manusia melalui akal pikiran tersebut, akan banyak tergantung

kepada kualitas dan kondisi setiap manusia.

Kalau hukum yang terkandung dalam syari’ah bersifat

qath’iy yang mutlak kebenarannya karena datang dari pencipta

syari’ah (syari), maka hukum yang keluar dari hasil pemahaman

penggalian manusia yang merupakan bidang fikih adalah bersifat

zhanny (ijtihad) yang tidak mutlak kebenaran dan kesalahannya.

Yang mengetahui hakekat benar dan salahnya serta yang punya

otoritas menetapkan benar dan salah terhadap hasil pemahaman

(ijtihad) seseorang hanya Allah Swt. Pencipta syari’ah (syari’).

Manusia tidak mempunyai otoritas untuk menyatakan bahwa


7Al-Imam Abu Zahrah, Ushl Fiqh (Cet. I; Beirut: Dar al-Fikr, 1958), h. 6.
Lihat Wahbah al-Zuhaily Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh (Cet. III; Dumasyiq, Dar
al-Fikr, 1989), h. 16.
7

hasil ijtihadnya adalah mutlak benar atau menyatakan bahwa

hasil ijtihad orang lain mutlak salah.

Pemahaman terhadap perbedaan substansi syari’ah dan

fikih ini, setidaknya menjadikan seseorang dapat arif dan

bijaksana menyikapi fikih. Dengan kata lain, perbedaan

pendapat dan pengalaman fikih adalah sesuatu yang lumrah dan

tidak perlu dipertentangkan, pada gilirannya, diantara para

pengikut ulama mazhab, akan saling toleran untuk mengerti

formula fikih dari ulama yang diikutinya. Fikih sebagai hasil

istimbath supaya mengeluarkan hukum dari nash atau ijtihad

fuqaha yang manusia biasa, meski telah diyakini kebenarannya,

tidaklah tertutup kemungkinan terjadi kesalahan di dalamnya. 8

Meskipun dalam hal ini apabila terjadi kesalahan tidak berakibat

dikenakan sanksi hukum.

Amir Syarifuddin merinci cakupan pengertian fikih yaitu:


1) Bahwa fikih itu adalah ilmu tentang hukum syara’
2) Bahwa yang dibicarakan fikih adalah hal-hal yang bersifat
‘amaliyah furu’iyah
3) Bahwa pengetahuan tentang hukum syara’ itu didasarkan
kepada dalil tafsih (rinci)
4) Bahwa fikih itu digali dan ditemukan melalui penalaran dan
istidlal (penggunaan dalil) . Para mujtahid atau faqih.9

Oleh karena itu fikih sebagai hasil pemahaman terhadap

syari’ah sering dihubungkan dengan orang yang telah berupaya

8Muhammad Idris al-Syafi’i, Al-Risalah (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 494.

9Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam (Cet. II;


Padang: Angkasa Raya, 1993), h. 16-17.
8

melakukan penggalian untuk menemukan hukum tersebut atau

kelompok yang mempunyai kesatuan pemahaman nilai hukum

yang digali dari syari’ah tersebut. Umpama ada fikih Hanafi, fiqh

Syafi’i, fiqh Syi’ah. Fikih juga dikaitkan dengan kebutuhan dan

dengan memperhatikan kondisi masyarakat Islam di daerah

tertentu, yang mungkin berbeda dengan daerah lain. Umpama

fikih hijazy, fiqh mishry. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

Dalam unifikasi dan kepastian hukum bagi bangsa Indonesia

disebut juga fikih Indonesia.10 Karena ia disusun dengan

memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam Indonesia.

3. Hukum Islam

Dalam khazanah hukum di Indonesia, Istilah hukum Islam

dipahami sebagai penggabungan dari dua kata, yaitu hukum dan

Islam. Hukum menurut Oxford English Dictionary, adalah

kumpulan aturan, baik sebagai hasil pengundangan formal

maupun dari kebiasaan, dimana suatu negara atau masyarakat

tertentu mengaku terikat sebagai anggota atau sebagai

subyeknya, orang yang tunduk padanya atau pelakunya.11

10Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta:


Dirjen Binbaga, 1991/1992), h. 141.

11Muhammad Mislehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran


Orientalis, (Terjemahan Yudian Wahyudi Asmin) (Cet. I; Yogjakarta: Tiara
Wacana, 1991), h. 13.
9

Sedangkan menurut Hooker, hukum adalah setiap aturan

atau norma dimana perbuatan-perbuatan atau tindakan terpola.

Dan kata Blakstone hukum adalah suatu aturan bertindak dan

diterapkan secara tidak pandang bulu kepada suatu macam

perbuatan, baik yang bernyawa maupun tidak, rasional maupun

irasional.12 Hal ini dimaksud untuk mengatur dan menata

kehidupan manusia, demi terwujudnya keadilan dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Ada beberapa aliran hukum dalam wacana barat.

Setidaknya ada tiga yaitu, aliran teologis, aliran historis, aliran

imperatip. Menurut aliran teologis, hukum merupakan produk

akal dan amat erat kaitannya dengan konsep tentang tujuan.

Sementara itu, aliran historis mengajarkan suatu pandangan

bahwa sumber hukum adalah kebiasaan yang mendarah daging

pikiran manusia. Jadi bukan perintah penguasa maupun

kebiasaan masyarakat tertentu, tetapi pengetahuan yang dimiliki

oleh setiap bangsa. Karena itu, hukum atau perundang-undangan

dapat sukses jika ia bersesuai dengan keyakinan internal suatu

bangsa kepada siapa perundang-undangan itu diperuntukkan.

Lain halnya dengan aliran imperatif yang menganggap hukum

12Ibid.
10

sebagai perintah penguasa. Definisi ini membawa implikasi

adanya sanksi jika perintah itu tidak dipatuhi.

Pengertian hukum yang lebih luas dikemukakan Mc Donald,

yaitu bahwa hukum adalah seperangkat peraturan tentang

tindak tanduk atau tingkah-laku yang diakui oleh suatu negara

atau masyarakat yang berlaku dan mengikat seluruh

anggotanya.13 Tanpa dipengaruhi oleh jabatan apapun dan status

sosial bagaimanapun bentuknya.

Definisi-definisi yang dikemukakan dari berbagai aliran

tersebut jika dipahami secara parsial, agaknya tidak represintatif

untuk mengemukakan terminologi hukum Islam. Namun jika

dipahami secara konvergensi, akan sedikit menggambarkan

definisi hukum Islam. Untuk itu perlu dipahami istilah yang

kedua, yaitu Islam.

Kata Islam secara harfiah berarti menyerahkan diri atau

selamat, atau juga kesejahtraan. Maksudnya, orang yang

mengikuti Islam, ia akan memperoleh keselamatan dan

kesejahtraan dunia dan akhirat. Menurut Mahmud Syaltut, Islam

adalah agama Allah yang dasar-dasar dan syari’ahnya diturunkan

kepada Nabi Muhammad Saw dan dibebankan kepadanya untuk

13Mc Donald menggambarkan bahwa hukum Islam sebagai


pengetahuan tentang semua hal, baik yang bersifat manusiawi maupun
ketuhanan, lihat Develoment of Muslim Teologi, Jurisprudence and
Constitutional Theory (Beirut: Khayats Oriental Reprents No. 10, 1965), h. 66.
11

menyampaikan dan mengajak mengikuti kepada seluruh umat

manusia.14 Apabila kedua kata tersebut yakni kata hukum dan

Islam digabungkan menjadi hukum Islam, maka dapat dipahami

sebagai hukum yang diturunkan Allah melalui Rasul-Nya, untuk

disebarluaskan dan dipedomani umat manusia guna mencapai

tujuan hidupnya, selamat di dunia dan sejahtera di akhirat.

Selanjutnya, istilah hukum Islam menurut Prof. Hasbi Ash

Shiddieqy seperti dikutip Amir Syarifuddin adalah koleksi daya

upaya para ahli hukum untuk menerapkan syari’ah atas

kebutuhan masyarakat.15

Dengan demikian, kedudukan hukum Islam sangat penting

dan menentukan pandangan hidup serta tingkah laku mereka. 16

Disinilah hukum Islam merupakan formulasi dari syari’ah dan

fikih sekaligus. Artinya, meskipun hukum Islam merupakan

formula aktivitas nalar, ia tidak bisa dipisahkan eksistensinya

dari syari’ah sebagai panduan dan pedoman yang datang dari

Allah sebagai al-Syari’.

Pengertian hukum Islam tersebut, menurut hemat penulis,

meliputi berbagai aliran hukum dalam wacana barat seperti yang

14Mahmud Syaltut, loc.cit.

15Amir Syarifuddin, op.cit., h. 18.

16Ahmad Rafiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Yogjakarta:


Gama Media, 2001), h. 23.
12

telah dikemukakan secara teologis, hukum sangat jelas, hukum

Islam sangat mengedepankan konsep tahqiq masalah al-nas atau

merealisasikan kemaslahatan umat manusia yang dipandu

firman Allah Swt. antara lain pada Qs. Al-Anbiya (21) : 107,

َ
ِ َ ‫ة ل ِل َْعاَل‬
.‫ميِن‬ ً ‫م‬ ْ ‫ك إ ِلل َر‬
َ ‫ح‬ َ َ‫سل َْنا‬
َ ‫ماَ أْر‬
َ َ‫و‬

Terjemahnya:
Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk
menjadi rahmat bagi semesta alam.17

Oleh karena itu, sangat menarik apa yang dikemukakan

oleh Abi Ishaq Ibrahim Ibn Musa Al-Syatiby dalam bukunya Al-

Muwafaqat fi Ushul al-Ahkm dengan kaidah yang berbunyi :

ْ َ ‫معَــاَِنىِ وا َْل‬
ُ ‫صــ‬
‫ل‬ َ ‫ت ِالـــىِ ْال‬ َ ِ ‫ن ا ْل ِاَل ْت‬
ِ َ‫فا‬ َ ْ‫ف َالت لعَب ّد ُ د ُو‬ِ ‫مك َل ل‬
ُ ‫سن َةِ ا َِلىِ ال‬
‫ل ِفىِ ْالعَِباَد َةِ ِباَل ل‬ ُ ‫ص‬ ْ َ ‫ا َْل‬
18
.ِ‫معاَ َِنى‬
َ ‫ىِ ْال‬
َ ‫ت ِال‬ ُ َ‫فـا‬َ ِ ‫ت ا َْل ِل ْت‬
َ َ ‫ِفىِ ْالَعاَدا‬
“Pada prinsipnya dalam masalah ibadah, diterima dan
dipatuhi, tidak berpaling pada rasionalisasi makna, dan pada
prinsipnya dalam masalah adat adalah berpaling kepada
rasionalisasi makna”.

Jika dalam sepanjang sejarah, kata hukum Islam

diasosiasikan sebagai fikih, maka dalam perkembangan, produk

pemikiran hukum Islam di Indonesia, tidak didominasi oleh fikih.

Setidaknya masih ada tiga jenis produk lainnya:

17Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya (Semarang:


Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Quran, 1995), h. 508.

18Abu Ishak Ibrahim Ibn Musa al-Syatiby, Al-Muwafaqat fi Ushl al-


Ahkam, Juz. II (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 211.
13

Pertama: fatwa adalah hasil ijtihad seorang mufti

sehubungan dengan peristiwa hukum yang diajukan kepadanya.

Jadi fatwa lebih khusus dari pada fikih atau ijtihad secara

umum.19 Hal ini disebabkan karena, boleh jadi fatwa yang

dikeluarkan seorang mufti, sudah dirumuskan dalam fikih, hanya

saja belum dipahami oleh yang meminta fatwa, para ulama

dalam hal ini menentukan seorang mufti haruslah memiliki syarat

sebagai mana seorang mujtahid. Fatwa juga memiliki dinamika

yang relatif tinggi, terlebih lagi perhatian dari fatwa tersebut

adalah bagi orang yang meminta fatwa saja.

Kedua: keputusan pengadilan. Produk pemikiran ini

merupakan keputusan hakim pengadilan berdasarkan

pemeriksaan perkara didepan persidangan. Dalam istilah teknis

disebut dengan al-qadha atau al-hukm, yaitu ucapan dan atau

tulisan penetapan atau keputusan yang dikeluarkan oleh badan

yang diberi kewenangan itu (al-wilayah al-qadha). Ada yang

mendefinisikan sebagai ketetapan hukum syar’i disampaikan

melalui seorang hakim.20 Idealnya, seorang hakim adalah

seorang mujtahid Mengingat, keputusan pengadilan, selain

sebagai kepentingan keadilan pihak yang berperkara, ia dapat

sebagai referensi hukum (yurisprudensi) bagi hakim yang lain.

19Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, op.cit., h. 8.

20Ibid., h. 9.
14

Ketiga: adalah undang-undang. Yaitu peraturan yang dibuat

oleh suatu badan legislatif (sultah al-syri’iyah) yang mengikat

kepada setiap warga negara dimana undang-undang itu

diberlakukan yang apabila dilanggar akan mendatangkan sanksi.

Undang-undang sebagai hasil ijtihad kolektif (jama’iy)

dinamikanya relatif lamban. Karena biasanya, untuk mengubah

suatu undang-undang memerlukan waktu, biaya, persiapan yang

tidak kecil. Produk pemikiran hukum jenis undang-undang ini,

memang tidak setiap negara muslim mempunyainya. Saudi

Arabia misalnya belum dijumpai adanya undang-undang. Karena

mereka merasa cukup dengan ketentuan hukum syari’ah atau

dalam batas-batas tertentu pada wilayah garapan fikih.

Walaupun belakangan terdengar, dibentuk lembaga legislatif

namun belum diketahui perkembangannya. Mayoritas negara-

negara muslim di dunia ini, seperti Al-Jazair, Mesir, Irak, Yordania,

termasuk Indonesia telah memiliki undang-undang sebagai

peraturan organik tentang masalah tertentu.21 Sesuai dengan

kebutuhan masyarakat di negara masing-masing.

Dari uraian tersebut diatas dapat dipahami dengan tegas

bahwa hukum Islam di Indonesia adalah peraturan yang di ambil

wahyu Allah dan hadis Rasulullah yang dipormulasikan dalam ke

21Ibid.,
15

empat produk pemikiran hukum Islam, fikih, fatwa-fatwa para

ulama, keputusan pengadilan dan undang-undang yang dipahami

dan ditaati serta diberlakukan bagi seluruh umat Islam di

Indonesia.

B. Ruang lingkup Hukum Islam

Pada dasarnya hukum Islam, baik dalam pengertian

syari’ah maupun dalam pengertian fikih secara ringkas dapat

dibagi dua yaitu (1) Mengenai bidang ibadah dan (2) Mengenai

bidang muamalah. Dalam masalah ibadah berlaku asas umum

yakni semua perbuatan ibadah dilarang dilakukan kecuali

perbuatan yang dengan tegas ada perintah untuk dilakukan

petunjuk-petunjuk yang menyatakan bahwa itu adalah perbuatan

suruhan yang terdapat di dalam al-Quran dan hadis yang

memuat sunah Rasulullah.22

Mengenai bidang muamalah dalam pengertian yang luas,

yakni ketetapan yang diberikan oleh Tuhan yang langsung

berhubungan dengan kehidupan sosial manusia, terbatas pada

pokok saja. Penjelasan Nabi, kalaupun ada, tidak pula terinci

seperti halnya dalam bidang ibadah. Karena itu sifatnya terbuka

untuk dikembangkan melalui ijtihad manusia, Karenanya sifat

yang demikian, dalam soal muamalah berlaku asas umum yakni

22Ibid., h. 49.
16

pada dasarnya semua perbuatan boleh dilakukan, kecuali kalau

perbuatan itu ada larangan di dalam al-Quran dan hadis. 23

Dengan demikian, kalau dihubungkan al-Ahkam al-Khamsah atau

hukum taklifi, maka kaidah asal muamalah adalah kebolehan. 24

Dalam bidang ini dapat saja dilakukan modernisasi asal saja

modernisasi itu sesuai atau sekurang-kurangnya tidak

bertentangan dengan jiwa hukum Islam pada umumnya.

Disamping itu. manusia sebagai mahluk sosial dan budaya

manusia hidup memerlukan interaksi, baik interaksi dengan

dirinya sendiri ataupun dengan sesuatu di luar dirinya. fikih

membicarakan interaksi manusia itu yang meliputi

kedudukannya, hukumnya, caranya, alatnya dan sebaganya

interaksi itu ialah:

a. Hubungan manusia dengan Allah, Tuhannya dan para


Rasulullah.
b Hubungan manusia dengan dirinya sendiri.
.
c. Hubungan manusia dengan keluarga dan tetangganya.
d Hubungan manusia dengan orang lain yang seagama dengan
. dia.
e. Hubungan manusia dengan orang lain vang tidak seagama
dengan dia.
f. Hubungan manusia dengan makhluk hidup yang lain seperti

23Ibid.

24Ibid., h. 50.
17

binatang dan lainnya.


g Hubungan manusia dengan benda mati dan alam semesta.
.
h Hubungan manusia dengan masyarakat dan lingkungannya.
.
i. Hubungan manusia dengan akal fikiran dan ilmu pengetahuan
dan
j. Hubungan manusia dengan alam gaib seperti syetan, iblis,
surga, neraka, alam barzakh, yaumil hisab dan sebagainya.

Hubungan sosial ini dibicarakan dalam fikih melalui topik

pembahasan permasalahan yang mencakup hampir seluruh

kegiatan hidup perseorangan, dan masyarakat, baik masyarakat

kecil seperti sepasang suami-isteri (keluarga), maupun

masyarakat besar seperti negara dan hubungan internasional,

sesuai dengan macam-macam interaksi tadi. Meskipun ada

perbedaan pendapat para ulama dalam menyusun urutan

pembahasaan dalam membicarakan topik-topik tersebut, namun

mereka tidak berbeda dalam menjadikan al-Qur'an, Sunnah dan

Ijtihad sebagai sumber hukum.

Rumusan fikih itu karena berbentuk hukum hasil formulasi

para ulama yang bersumber pada al-Qur'an, Sunnah dan Ijtihad,

maka urutan dan luas pembahasannya bermacam-macam.

Setelah kegiatan ijtihad itu berkembang, muncullah imam-imam

madzhab yang diikuti oleh murid-murid mereka pada mulanya

dan selanjutnya oleh para pendukung dan penganutnya. Diantara


18

kegiatan para tokoh-tokoh aliran madzhab itu, terdapat kegiatan

menerbitkan topik-topik (bab-bab) pembahasan fikih.

1. Pembagian fikih kepada dua bagian: Ibadah dan

Muamalat

Pembagian tersebut telah dikenal sejak lama. Muhammad

Bin Ahmad 25
(693 H,. 741 H/ M-1294 M-1340M). Telah

menyebutkan dalam bukunya yang berjudul (Qowaninu al-

Ahkam asy-Syari’iyyah) sbb.: “saya bagi fikih kedalam dua

bagian, pertama fikih ibadah, dan fikih muamalat” dan pokok-

pokok pembahasannya adalah tentang:

a. Nikah
b. Thalaq
c. Jual beli
d. Akad-akad yang mirib jual beli
e. Peradilan, kesaksian dan hal-hal yang behubungan dengan
peradilan
f. Kejahatan dan sanksi
g. Hibah wakaf dan semacamnya
h. Pembebasan dan yang berhubungan dengan pembebasan
i. Faraid dan waris.26

Metode pembagian fikih kepada ibadat dan muamalat di

dukung sebagian ahli fikih masa kini, seperti yang dilakukan

Wahbah Az-Zuhaili seperti yang termaktub dalam bukunya Al-

Fikih Al Islam Wa Adillatuhu, mengatakan: “hukum-hukum yang

berkenaan dengan amal perbuatan (fiqh) mencakup dua bagian

25 Mustafa Ahmad Az Zarqo, Al-Madhkal al-Fiqhi al-Amm (Damaskus :


al-Adib),I hal. 55
26Ibid..
19

yaitu ibadah dan muamalat, mencakup akad-akad, tindakan-

tindakan, sanksi-sanksi, jinayat, ganti rugi dan lain-lain yang

semuanya bertujuan mengatur hubungan sesama manusia baik

individu maupun masyarakat.27

Diantara hukum-hukum yang tercakup dalam muamalat

ialah hukum-hukum madaniyah (perdata), yaitu hukum-hukum

yang behubungan dengan muamalat dan tukar-menukar seperti

jual beli, sewa-menyewa, jaminan, hutang, kafalah, syarikat,

hutang. Dan lain-lain.

2. Pembagian fikih kepada empat bagian: ibadah,


muamalat, munakahat dan pidana

Ada pula ahli fikih yang membagi pembahasan fiqh lebih

rinci. Tahanawi, menyebutkan bahwa para ahli fikih mazhab

Syafii, membagi empat bagian utama, yaitu:ibadah, Muamalat,

Munakahat, dan pidana(sanksi).

Ruang lingkup bidang fikih muamalat dalam mazhab Syafii

sangat jelas, karena membatasinya pada satu bidang saja yaitu

tentang yaitu tentang buyu’ (jual beli). Bakri, salah seorang ahli

fikih pendukung mazhab Syafii’ dengan jelas menyebut kitab

tentang jual beli adalah bagian dari pada muamalat.28

Asy Syirazi, salah seorang ahli fikih pendukung mazhab

Syafii, lahir tahun 393 H. dan wafat pada tahun 476 H. di

27 Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhu, (Damaskus : Daru Al-Fikri), I hal. 19


28Bakri, I’anatu Ath-Thalibin, (Kairo: Isa Al-Halabi), I, hal. 21 dan III, hal.
2.
20

Baghdad, telah menulis dalam bukunya yang terkenal berjudul

Al-Muhadzdzab pokok-pokok pembahasan dalam empat bagian.29

3. Pembagian fiqh kepada delapan bagian: ibadah, ahwal

asysyahkhshiyah, muamalat maliyah, madaniyah,

siasah asy-syar-‘iyyah, uqubat, dan huquq ad dualiah.

Pada masa sekarang ini ada yang membagi pembahasan

fiqh lebih rinci lagi. Misalnya Mustafa Ahmad Az.Zarqo dalam

bukunya,T.M. Hasbi Ashiddieqqi, menguraikan lebih menjadi 8

(delapan) topik (bab) yakni:30

a. Ibadah

Hukum-hukum mengenai ibadah kepada Allah Ta’ala,

Dalam hal ini dibahas masalah-masalah yang dikelompokan

persoalan berikut ini:

1 Thaharah (bersuci); 8. Nadzar


.
2 Shalat (sembahyang) 9. Udhiyah (kurban)
.
3 Shiyam (puasa); 10 Zabihah (penyembelihan)
.
4 Zakat Fithrah; 11 Shayid (perburuhan)
. .
5 Haji 12 Aqiqah
. .
6 Janazah 13 Makanan dan minuman
. .

29 Ibid..
30T M Hasbi Ash Shiddieqy, pengantar hukum Islam ( Semarang:
pustaka Riski Putra, 1997) h. 64
21

7 Jihad (perjuangan)
.

b. Ahwalusy Syakhshiyyah

Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah

yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan pribadi

(perorangan), kekeluargaan, harta warisan, yang meliputi

persoalan:

1 Nikah 10 Radha’ah
.
2 Khithbah (melamar) 11 Hadanah
.
3 Mu’asyarah (bergaul) 12 Wasi’at
.
4 Nafaqah 13 Warisan
.
5 Talak 14 Hajru
.
6 Khulu’ 15 Perwalian
.
7 Fasakh 16 Ila’
.
8 Li’an 17 Iddah
9 Zihar 18 Rujuk

c. Muamalah Madaniyah

Hukum-hukum mengenai transaksi sesama manusia.

Dalam hal ini dibahas masalah-masalah yang di kelompok

persoalan harta kekayaan, harta milik, harta kebutuhan, cara

mendapatkan dan menggunakan, yang meliputi masalah:

1 Buyu’ (jual beli) 13 Hiwalah (peralihan utang)


22

2 Luqaithi (penemuan anak) 14 Syarikah (perkongsian)


3 Riba 15 Wadi’ah (penitipan)
4 Ijarah (Sewa-menyewa) 16 Luqathah (penemuan
benda)
5 Ariyah (pinjam meminjam) 17 Ghasab (perampasan)
6 Qardhu (hutang) 18 Qismah (pembagian)
7 Syuf’ah (hak memiliki 19 Hibah dan hadiyah
harta tetangga)
8 Sharfu (jual beli uang) 20 Kafalah (jaminan)
9 Salam (pesanan) 21 Wakaf
1 Rahn (Jaminan) 22 Wakalah (perwakilan)
0
1 Mudlarabah dan Muzara’ah 23 Muzara’at (kerjasama
1 tanam)
1 Shulhi (persetujuan) 24 Musaqat (pengurusan
2 kebun)

d. Muamalah Maliyah

Dalam hal ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah

yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan harta

kekayaan milik bersama, baik masyarakat kecil atau besar

seperti negara (perbendaharaan negara, baitul mal).

Pembahasan di sini meliputi:

1
Status milik bersama baitul mal.
.
2
Sumber baitul mal.
.
3
Cara pengelolaan baitul mal.
.
4
Macam-macam kekayaan atau materi baitul mal.
.
5
Obyek dan cara penggunaan kekayaan baitul mal.
.
6
Kepengurusan baitul maal; dan lain-lain.
.
23

e. Jinayah dan 'Uqubah (pelanggaran dan hukuman)

Biasanya dalam kitab-kitab fikih ada yang menyebut

jinayah saja. Dalam bab ini di bicarakan dan dibahas masalah-

masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok

persoalan pelanggaran, kejahatan, pembalasan, denda, hukuman

dan sebagainya. Pembahasan ini meliputi:

1 Pelanggaran 11 Hukuman pencuri


2 Kejahatan 12 Hukuman peminum
khamar
3 Qishash (pembalasan) 13 Hukuman perampok
4 Diyat (denda) 14 Ta’zir
5 Hukuman pelanggaran dan 15 Membelah diri
kejahatan
6 Hukum 16 Peperangan
melukai/mencederai
7 Hukuman pembunuhan 17 Pemberontakan
8 Hukuman murtad 18 Harta rampasan perang
9 Hukuman zina 19 Jizyah
1 Hukuman qazaf 20 Berlombah dan melontar
0

f. Murafa'ah atau Mukhashamah

Dalam hal ini dibahas masalah-masalah yang dapat

dikelompokkan ke dalam persoalan peradilan dan pengadilan.

Pembahasan pada bab ini meliputi:

1
Peradilan dan pendidikan;
.
2
Hakim dan Qadi;
.
3
Gugatan;
.
4
Pembuktian dakwaan;
.
5
Saksi;
.
24

6
Sumpah dan lain-lain.
.

g. Ahkamud Dusturiyyah

Hukum- hukum mengenai kekuasaan penguasa atas

rakyatnya dan hak-hak dan kewajibannya penguasa dan rakyat,

hukum ini disebut (as-siasah asy-syar’iyyah). Hukum-hukum ini

mencakup dua macam hukum yang berbeda dalam istilah hukum

modernya itu (administrative law dan constitusional law).

1
Kepala negara dan Waliyul amri.
.
2
Syarat menjadi kepala negara dan Waliyul amri.
.
3
Hak dan kewajiban Waliyul amri.
.
4
Hak dan kewajiban rakyat.
.
5
Musyawarah dan demokrasi.
.
6 Batas-batas toleransi dan persamaan dan lain-lain
.

h. Ahkamud Dualiyah (hukum internasional)

Dalam hal ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah

yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok masalah

hubungan internasional. Pembicaraan pada bab ini meliputi:

1 Hubungan antar negara, sama-sama Islam, atau Islam dan non-


. Islam, baik ketika damai atau dalam situasi perang;
2
Ketentuan untuk orang dan damai.
.
3
Penyerbuan.
.
4
Masalah tawanan.
.
25

5
Upeti, Pajak, rampasan,
.
6
Perjanjian dan pernyataan bersama,
.
7
Perlindungan.
.
8
Ahlul 'ahdi, ahluz zimmi, ahlul harb; dan
.
9
Darul Islam, darul harb, darul mustakman.
.

Apabila bagian-bagian hukum Islam tersebut disusun

menurut sistematika hukum Barat yang membedakan hukum

publik dengan hukum perdata, maka susunan hukum muamalat

dalam arti luas, yang termasuk dalam hukum perdata Islam a

dalah : (1) Munakahat, yakni hukum yang mengatur segala

sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian serta

akibat-akibatnya. (2) Wirasah, yakni yang mengatur segala

masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta

peninggalan, dan pembagian harta warisan . Hukum warisan ini

juga disebut Faraid. (3) Muamalah dalam arti khusus, yakni

hukum yang mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas

benda, tata hubungan manusia dalam soal jual-beli, sewa

menyewa, pinjam meminjam , perserikatan, dan sebagainya.

Adapun yang termasuk dalam hukum publik Islam adalah :

(1) Jinayat, yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-

perbuatan yang diancam dengan hukuman, baik dalam jarimah

hudud maupun dalam jarimah ta’zir. Yang dimaksud dengan


26

Jarimah adalah perbuatan pidana. Jarimah Hudud adalah

perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas

hukumannya dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.

Jarimah Ta’zir adalah perbuatan pidana yang bentuk dan batas

hukumannya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi

pelakunya. (2) Al-ahkam al- sulthaniyah, yakni hukum yang

mengatur soal-soal yang berhubungan dengan kepala negara,

pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun daerah , tentara,

pajak, dan sebagainya. (3) Siyar, yakni hukum yang mengatur

urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk

agama dan negara lain. (4) Mukhashamat, yang mengatur

peradilan , kehakiman, dan hukum acara.31

Dalam hal-hal yang sudah dikemukakan, jelas bahwa

hukum Islam itu luas, bahkan luasnya hukum Islam tersebut

masih dapat dikembangkan lagi sesuai dengan aspek-aspek yang

berkembang dalam masyarakat yang belum dirumuskan oleh

para fuqaha’ ( para yuris Islam ) di masa lampau, seperti hukum

bedah mayat, hukum bayi tabung, keluarga berencana, bunga

bank, euthanasia, dan lain sebagainya serta berbagai aspek

kehidupan lainnya yang dapat dikatagorikan sebagai hukum

Islam apabila sudah dirumuskan oleh para ahli hukum Islam

31Mohammad Daud Ali, op.cit h. 51-52.


27

melalui sumber hukum Islam yang ketiga, yakni Al-ra’yu dengan

menggunakan ijtihad.
28

BAB III

PENUTUP

Berdasarkan pembahasan makalah ini maka dapat

disimpulkan bahwa:

1. Hukum Islam merupakan formulasi dari syari’ah dan fikih

sekaligus. Artinya, meskipun hukum Islam merupakan

formula aktivitas nalar, ia tidak bisa dipisahkan

eksistensinya dari syari’ah sebagai panduan dan pedoman

yang datang dari Allah sebagai al-Syari’.

2. Hukum Islam di Indonesia adalah peraturan yang di ambil

wahyu Allah dan hadis Rasulullah yang diformulasikan

dalam ke empat produk pemikiran hukum Islam, fikih,

fatwa-fatwa para ulama, keputusan pengadilan dan

undang-undang yang dipahami dan ditaati serta

diberlakukan bagi seluruh umat Islam di Indonesia.

3. Ruang lingkup hukum islam hukum Islam, baik dalam

pengertian syari’ah maupun dalam pengertian fikih secara

ringkas dapat dibagi dua yaitu (1) Mengenai bidang ibadah


29

dan (2) Mengenai bidang muamalah. Adapun sistematika

hukum Islam adalah :Al-ahkam al-ahwal syakhsiyah

( hukum perorangan ), Al-ahkam al-madaniyah (hukum

kebendaan), Al-ahkam al-jinayah (hukum pidana) Al-ahkam

al-murafa’at (hukum acara perdata, pidana, dan peradilan

tata usaha Negara) Al-ahkam al-dusturiyah (hukum tata

Negara) Al-ahkam al-dauliyah (hukum Internasional),dan

Al-ahkam al-iqtishadiyah wa al-maliyah (hukum ekonomi

dan keuangan).
30

DAFTAR PUSTAKA

Amir Syarifuddin, dan Muhammad Syah Pengertian dan Sumber


Hukum Islam , Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1992

..................., Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Cet.


II; Padang: Angkasa Raya, 1993

Daud Ali Mohammad, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan


Tata Hukum Islam di Indonesia, Cet. IX; Jakarta: PT.
Raja Grapindo Persada, 2000

Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,


Jakarta: Dirjen Binbaga, 1991/1992

Al-Khallaf Abdul Wahab, Ilm Ushl al-Fiqh, Jakarta: Maktabah al-


Da’wah al-Islamiyah Syabab al-Azhar, 1990.

Fuad Abdul Muhammad Baqi’, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz Al-


Quran al-Karim, Jakarta: Maktabah Dahlan Indonesia,
t.th,

Mc Donald Develoment of Muslim Teologi, Jurisprudence and


Constitutional Theory , Beirut: Khayats Oriental
Reprents No. 10, 1965

Muhammad Mislehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran


Orientalis, Terjemahan Yudian Wahyudi Asmin, Cet. I;
Yogjakarta: Tiara Wacana, 1991.

Mahmud Syaltut, Al-Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, Mesir: Dar al-


Qalam, 1966

Al-Imam Abu Zahrah, Ushl Fiqh (Cet. I; Beirut: Dar al-Fikr, 1958

Ash Shiddieqy T M Hasbi, pengantar hukum Islam, Semarang:


pustaka Riski Putra 1997
31

Al-Syafi’i Muhammad Idris, Al-Risalah, Beirut: Dar al-Fikr, t.th

Rafiq Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grapindo


Persada, 1997

Wahbah al-Zuhaily Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, Cet. III;


Dumasyiq, Dar al-Fikr, 1989

Az Zarqo Mustafa Ahmad, Al-Madhkal al-Fiqhi al-Amm Damaskus :


al-Adib.

Az-Zuhaili Wahbah, Al-Fiqhu, Damaskus : Daru Al-Fikri.

C. EVALUASI
1. Apa yang Kalian pahami mengenai Pengertian atau definisi Hukum Islam?
2. Bagaimana ruang lingkup hukum Islam? Jelaskan!

Anda mungkin juga menyukai