Anda di halaman 1dari 16

1

PERTEMUAN KE-2

IMPLEMENTASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA

A. TUJUAN PEMBELAJARAN

Adapun tujuan pembelajaran yang akan dicapai sebagai

berikut:
1. Memahami Hukum Islam keindonesiaan
2. \memahami implementasi hukum Islam di Indonesia
3. Memahami Hukum Islam dalam bidang peribadatan dan
dakwah

B. URAIAN MATERI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ajaran Islam adalah ajaran yang mengandung aspek-aspek

hukum, yang kesemuanya dikembalikan kepada sumber ajaran

Islam yaitu al-Qur’an dan hadis. Menjalani kehidupan sehari-hari,

baik sebagai pribadi, anggota keluarga dan anggota masyarakat,

umat Islam menyadari bahwa ada aspek-aspek yang mengatur

kehidupannya, yang perlu mereka taati dan mereka jalankan.

Hukum Islam disyariatkan oleh Allah dengan tujuan utama

merealisasikan dan melindungi kemaslahatan umat manusia,

baik kemaslahatan individu maupun masyarakat. Kemaslahatan

yang ingin diwujudkan dalam hukum Islam itu menyangkut

seluruh aspek kepentingan manusia. Baik yang menyangkut

aspek primer (al-D{aru>riyya>t), sekunder (al-H{ajiyya>t), dan

stabilitas sosial (al-Tah{siniyya>t).1 Hukum Islam sebagai suatu


1Said Agil Husin Al-Munawwar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial (Cet.
I; Jakarta: Penamadani, 2004), h. 19.
2

pranata sosial memiliki dua fungsi, pertama sebagai kontrol

sosial dan kedua sebagai nilai baru dalam proses perubahan

sosial.

Meskipun hukum Islam, dalam pengertian subtansi hukum,

telah membumi dan diyakini oleh mayoritas bangsa Indonesia

akan tetapi dalam implementasinya masih ditemukan berbagai

kendala dan problema. Sejauh mana negara Indonesia mampu

menerapkan prinsip-prinsip Islam yang benar dan sampai sejauh

mana komitmen terhadap hukum syariat dan tunduk kepada

kedaulatannya.2 Implementasi hukum Islam di sini diartikan

sebagai ikhtiar dalam upaya untuk mengintegrasikan hukum

Islam ke dalam hukum Nasional Indonesia, terutama dalam

bidang pribadatan dan dakwah.

Dalam konteks Indonesia Islam dikatakan sebagai hukum

yang hidup (living law), seperti halnya dengan hukum dalam

bidang peribadatan dan dakwah. Implementasi hukum Islam

dalam kehidupan bernegara hingga saat ini mengalami

perkembangan yang signifikan, sebagai contoh misalnya dalam

dunia hukum ekonomi. Dapat kita lihat bahwa hukum ekonomi

Islam saat ini marak diterapkan dalam lembaga-lembaga

keuangan.3 Hukum Islam dalam bidang peribadatan dan dakwah

merupakan bagian hukum dalam Islam yang harus diberikan

perhatian besar dalam tatanan kehidupan masyarakat Islam

2Taufiq al-Syawi, Syura Bukan Demokrasi (Jakarta: Gema Insani Press,


1997), h. 873.
3Abdul Ghafur Anshori dan Yulkarnain Harahab, Hukum Islam Dinamika
dan Perkembangannya di In ‫ط‬donesia (Cet I; Jogjakarta: Kreasi Total Media,
2008), h. 210.
3

terutama di Indonesia. Sehingga implementasinya dapat berjalan

secara optimal.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang itu, maka dapat

dikemukakan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana hukum Islam itu ?

2. Bagaimana hukum Islam dalam konteks keindonesiaan ?

3. Bagaimana implementasi hukum Islam di Indonesia dalam

bidang peribadatan dan dakwah ?


4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Hukum Islam

Sejak ratusan tahun yang lalu di kalangan umat Islam di

seluruh dunia, termasuk Indonesia, mengalami ketidakjelasan

persepsi tentang syariah, fikih dan hukum Islam. Kekacauan

persepsi ini meliputi arti dan ruang lingkup pengertian syariat

Islam yang kadang-kadang diartikan sama dengan fikih, bahkan

adakalanya disamakan dengan al-di>n. Adanya kekacauan dalam

mengartikan syariat Islam ini, terjadilah berbagai masalah dalam

penerapannya dan timbulnya saling menyalahkan dalam

melaksanakan kehidupan dalam berbagai bidang, baik kehidupan

pribadi, kehidupan keluarga, kehidupan bernegara dan

bermasyarakat. Di samping itu, dengan tidak jelasnya persepsi

tentang syariah Islam timbul ketidakseragaman dalam


5

menentukan apa yang disebut hukum Islam dan bagaimana

melaksanakan syariah Islam itu.4

Dalam konteks fikih dan bahasa Arab, tidak ditemukan

istilah al-hukmu al-Isla>miyyah, namun para ulama fikih dalam

memaknai hukum Islam hanya mengenal peristilahan al-

Syari>’ah, dan akar kata inilah yang lebih dekat maknanya

dengan istilah hukum Islam (Islamic law).

Syariah dalam bahasa Arab berasal dari kata ّ‫ شّرع‬yang


berarti ‫( الطريق ة المس تقيمة‬jalan yang lurus).5 Seperti
firman Allah SWT. QS. al-Ja>syiah/45: 18:

  


  
  
  
 

Terjemahnya:

Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat


(peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu
dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui.6

4 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia (Cet. I; Jakarta:


RajaGrafindo Persada, 2006), h. 37.

5 Muhammad Musthafa al-Syalabi, Al-Madkhal fi al-Fiqh al-Isla>mi>


(Cet. X; Bairu>t: Da>r al-Ja>mi’ah, 1985), h. 27.

6 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Bumi


Restu, 1971), h. 817.
6

Dari akar kata ini, maka syariah dapat diartikan sebagai

agama yang lurus yang diturunkan Allah SWT. bagi umat

manusia.

Secara terminologis, ada beberapa pendapat para ulama

tentang definisi syariah, yaitu:

a. Manna’ al-Qattan mendefinisikannya al-syari>’ah

sebagai segala apa yang disyariatkan Allah SWT. bagi

hambanya yang meliputi masalah akidah, ibadah,

akhlak dan tata kehidupan umat manusia untuk

mencapai kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.7

b. Menurut sebagian besar para fuqaha syariah adalah

hukum-hukum yang telah disyari'atkan Allah SWT.

kepada hamba-hambanya melalui lisan Nabi-nabi-Nya.8

c. Syariah adalah segala bentuk hukum yang disyariatkan

Allah kepada hambanya, baik itu berupa hukum yang

ditetapkan dalam al-Qur’an maupun hukum yang

ditetapkan dalam sunnah Nabi.9

Melihat beberapa definisi di atas, maka syariah dapat

dimaknai secara umum sebagai agama, sebagaimana Al-Syatibi

menyebutkan bahwa syariah itu sama dengan agama. Dari sini

dapat disimpulkan bahwa syariah itu sebenarnya adalah agama,

sebab agama itu tentunya memiliki ajaran-ajarannya yang dalam

7Manna al-Qattan, Ta>ri>kh al-Tasyri>’ al-Isla>mi> (Cet. II; Riya>d{:


Maktabah al-Ma’a>rif, 1996), h. 13.

8 Muhammad Musthafa al-Syalabi, loc. Cit.

9Abdu al-Karim Zaidan, Al-Madkhal Lidara>sati al-Syari>’ah al-


Isla>miyyah (Al-Qa>hirah: Da>r Umar Ibnu al-Khatta>b, 2001), h. 39.
7

konteks ini merupakan agama dari Allah, yang berisi ketentuan-

ketentuan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang diwahyukan

kepada para Rasul.

Istilah syariat Islam dapat mengandung dua makna, yaitu

dalam makna luas dan makna yang sempit. Makna yang luas

syariat Islam mencakup seluruh ajaran Islam yang terkandung

dalam al-Qur’an dan sunnah termasuk aspek akidah, akhlak,

ibadah serta hukum-hukum muamalat. Sedangkan dalam arti

sempit syariat Islam adalah hukum-hukum ibadah maupun

muamalah (termasuk hukum pidana) yang biasa disebut fikih.

Hukum Islam adalah hukum yang diyakini memiliki

keterkaitan dengan sumber ajaran Islam, yaitu hukum amali

berupa interaksi sesama manusia, selain jinayat (pidana Islam). 10

Definisi ini, lebih mengarah kepada definisi hukum Islam dalam

konteks ke Indonesiaan.

B. Implementasi Hukum Islam di Indonesia

Hukum Islam dapat diterapkan secara menyeluruh dalam

sebuah negara Islam, yaitu negara yang menjadikan Islam

sebagai ideology negara dan pedoman dalam semua aspek

kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi yang menjadi

pertanyaan bagi kita adalah bagaimana penerapan hukum Islam

dalam sebuah negara yang bukan negara Islam. Hal ini menjadi

relevan Karena dalam sebuah negara non Islam, hukum Islam

hanya diakui sebagai hukum yang tidak tertulis. Keberadaannya

10Amrullah Ahmad dkk., Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum


Nasional (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h.53.
8

disamakan dengan hukum adat yang bentuknya tidak tertulis

tetapi hidup dan berkembang serta dipatuhi oleh masyarakat.11

Dalam konteks Indonesia, hukum Islam telah menjadi

bagian dari sistem hukum Nasional yang telah dikodifikasi dalam

bentuk Kompilasi Hukum Islam (KHI). Kompilasi Hukum Islam

disusun dan dirumuskan untuk mengisi kekosongan hukum

substansial (mencakup hukum perkawinan, kewarisan dan

perwakafan), yang diberlakukan pada pengadilan dalam

lingkungan Peradilan Agama.12 Hukum ini menjadi dasar dalam

pengambilan keputusan hukum terhadap perkara-perkara yang

diajukan ke pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.13

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama di

tahun 2006 juga mengalami perubahan dengan Undang-undang

Nomor 3 Tahun 2006 yang memperluas kewenangan Peradilan

Agama untuk selain berwenang menerima, memeriksa, dan

memutus sengketa di bidang perkawinan, kewarisan, wakaf,

hibah, dan sadaqah juga berwenang untuk menerima,

memeriksa, dan memutus sengketa di bidang ekonomi syariah.14

Dengan demikian implementasi hukum Islam di Indonesia

dalam bidang perdata Islam melalui positivisasi hukum Islam

relatif berhasil dilaksanakan dengan optimal, baik dalam bidang

hukum keluarga, ibadah, maupun hukum ekonomi. 15 Sedangkan


11Abdul Ghafur Anshori dan Yulkarnain Harahab, loc. cit.
12Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional (Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 2.

13Ibid.

14Abdul Ghafur Anshori dan Yulkarnain Harahab, op. cit., h. 211.

15Ibid.
9

dalam bidang hukum publik, khususnya hukum Pidana Islam

belum dapat dilaksanakan. Ini disebabkan belum adanya

kesiapan masyarakat untuk menerima hukum Padana Islam.

Penerapan hukum Islam di Indonesia masih menjadi pro

dan kontra dikalangan, pasca-orde baru polemik seputar syariat

Islam dalam bingkai hukum negara modern lebih diwarnai dua

pendekatan ekstrim. Di satu sisi, ada yang menghendaki

penerapan hukum Islam secara total melalui konstitusi negara, di

sisi lain, ada kalangan yang menginginkan untuk menolak

apapun yang bernuasa syariat dari institusi negara.

Pengembangan hukum Islam, di samping dilandasi oleh

epistemologisnya yang kokoh juga perlu memformulasikan dan

merekonstruksi basis teorinya. Basis teori hukum Islam

sebagaimana dibahas oleh para ahli teori hukum islam terdahulu,

bahwa salah satu persyaratan penting mujtahid dalam

melakukan ijtihadnya adalah keharusan mengetahui tujuan

ditetapkannya hukum dalam Islam. Pernyataan ini untuk pertama

kalinya dikemukakan oleh Abd al-Malik al-Juwani, dilanjutkan oleh

Abu Hamid al-Gazali, diteruskan oleh Izzuddin ibnu Abd al-

Salam.16

Istilah konstitusionalisasi syariat Islam, tentu tidak saja

dengan pemberlakuan syariat hukum Islam secara formal melalui

tata hukum nasional di atas masyarakat, melainkan juga

memberlakukan hukum Islam secara mandiri di dalam

16Abd Salam Arif, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta


dan Realita: Kajian Pemikiran Hukum Syaikh Mahmud Syaltut (Yogyakarta:
LESFI, 2003), hlm. 15.
10

masyarakat. Banyak segi dari hukum Islam, misal kita>b al-

T{aha>rah (bidang ibadah) dan kita>b al-Mu’a>malah dapat

diterapkan secara mandiri tanpa harus menunggu pengakuan

dan campur tangan pemerintah.17

C. Implementasi Hukum Islam di Indonesia dalam Bidang

Ibadah dan Dakwah

1. Bidang ibadah

Ibadah adalah suatu konsekuensi yang telah ditetapkan

oleh Allah kepada mnusia, sebagai makhluk yang mempunyai

kelebihan akal, dan manusia yang mempunyai naluri-naluri

manusia menyadari bahwa dirinya merupakan bagian dari

alam yang diciptakan Tuhan. Sehingga hal itu mendorongnya

untuk hidup berdasarkan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan

kepada-Nya. Manusia sebagai Subjek ibadah, dan sebagai

bagian hukum Islam dan sekaligus menjadi objek kajian fikih,

mempunyai aspek yang mengikat kepada pelakunya yang

telah mencapai tingkat mukallaf.

Implementasi hukum Islam di Indonesia dalam bidang

peribadatan sebanrnya bukanlah persoalan yang signifikan di

masyarakat, karena ibadah merupakan hak individu antara

manusia dan Tuhan. Ibadah adalah amalan pokok dalam

kehidupan manusia, sebab manusia diciptakan oleh Allah swt,

tidak lain adalah dalam rangka untuk mengabdi (beribadah). 18

17Syamsuddin Rajab, Syariat Islam dalam Negara Hukum (Cet. I;


Makassar: Alauddin Press, 2011), h. 8.
18 http://postiner-byyou.blogspot.com/2011/08/ibadah-syariat.html.
11

Ibadah memiliki peran sangat penting dalam Islam dan

menjadi titik sentral dari seluruh aktivitas kaum Muslim. Seluruh

aktivitas kaum Muslim pada dasarnya merupakan bentuk ibadah

kepada Allah, sehingga apa saja yang dilakukannya memiliki

nilai ganda, yaitu nilai material dan nilai spiritual. Nilai material

berupa imbalan nyata di dunia, sedang nilai spiritual berupa

imbalan yang akan diterima di akhirat.

2. Bidang dakwah

Al-Qur’an sebagai kala>mullah sejak diturunkan

menjadi sumber inspirasi tentang kegiatan dakwah, baik

dalam bentuk perbuatan yang disebut dengan dakwah bi

al-ha>l maupun dakwah bi al-lisa>n. Kedua kegiatan

tersebut telah terbukti dalam sejarah penyebaran Islam

diseluruh dunia, karena didukung oleh gerak dakwah yang

berkesinambungan sepanjang zaman. 19

Sejak awal Orde Baru, umat Islam selalu membantu

pemerintah agar dapat bertindak adil dan benar.

Adakalanya berbentuk social support, tetapi tidak jarang

bersifat social control. Kedua-duanya merupakan landasan

kehidupan berbangsa dan bernegara yang esensial. 20

Implementasi hukum Islam dalam bidang dakwah makin

meningkat seiring dengan meningkatnya peranan agama

dalam masyarakat.

19 Sampo Seha, Dakwah dalam Al-Qur’an Aplikasinya dalam Amar


Makruf Nahi Mungkar (Cet. I; Makassar: Alauddin Press, 2012), h. 57.

20 Anwar Harjono, Indonesia Kita Pemikiran Berwawasan Iman Islam


(Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 193.
12

Gejala meningkatnya peranan agama dalam

masyarakat mengisyaratkan munculnya keperluan baru

dalam bidang dakwah Islam. Setiap kejadian di berbagai

sektor kehidupan masyarakat yang melibatkan kepentingan

umat Islam, hampir selalu memerlukan fatwa (petunjuk

yang baku) dari organisasi-organisasi Islam terutama MUI

(Majelis Ulama Indonesia). 21 Hingga kini kegiatan lembaga-

lembaga dakwa Islam yang dikelola oleh kalangan

cendekiawan masih memberikan kesan adanya cirri-ciri

intelektual salon. Kebanyakan di antara kegiatan itu

berbentuk sarasehan, diskusi, seminar dan pertanyaan-

pertanyaan yang bersifat politis atau kegiatan publisitas.

Sedangkan kegiatan di lapangan masih relatif sedikit. 22

PENUTUP

Kesimpulan

21 Andi Abdul Muis, Komunikasi Islam (Cet. I; Bandung: Remaja


Rosdakarya, 2001), h. 135.

22 Ibid., h. 142.
13

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dikemukakan

beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Istilah syariat Islam dapat mengandung dua makna, yaitu

dalam makna luas dan makna yang sempit. Makna yang

luas syariat Islam mencakup seluruh ajaran Islam yang

terkandung dalam al-Qur’an dan sunnah termasuk aspek

akidah, akhlak, ibadah serta hukum-hukum muamalat.

Sedangkan dalam arti sempit syariat Islam adalah hukum-

hukum ibadah maupun muamalah (termasuk hukum

pidana) yang biasa disebut fikih.

2. Dalam konteks Indonesia, hukum Islam telah menjadi

bagian dari sistem hukum Nasional yang telah dikodifikasi

dalam bentuk Kompilasi Hukum Islam (KHI). Kompilasi

Hukum Islam disusun dan dirumuskan untuk mengisi

kekosongan hukum substansial (mencakup hukum

perkawinan, kewarisan dan perwakafan), yang

diberlakukan pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan

Agama.

3. Implementasi hukum Islam di Indonesia dalam bidang

peribadatan sebanrnya bukanlah persoalan yang signifikan

di masyarakat, karena ibadah merupakan hak individu

antara manusia dan Tuhan. Ibadah adalah amalan pokok

dalam kehidupan manusia, sebab manusia diciptakan oleh

Allah swt, tidak lain adalah dalam rangka untuk mengabdi

(beribadah). Implementasi hukum Islam dalam bidang


14

dakwah makin meningkat seiring dengan meningkatnya

peranan agama dalam masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Jakarta: Bumi


Restu, 1971.

Al-Munawwar, Said Agil Husin, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial


Cet. I; Jakarta: Penamadani, 2004.

Al-Syawi, Taufiq, Syura Bukan Demokrasi Jakarta: Gema Insani


Press, 1997.

Anshori, Abdul Ghafur dan Yulkarnain Harahab, Hukum Islam


Dinamika dan Perkembangannya di In ‫ط‬donesia Cet I;
Jogjakarta: Kreasi Total Media, 2008.

Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia Cet. I;


Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.

Al-Syalabi, Muhammad Musthafa, Al-Madkhal fi al-Fiqh al-


Isla>mi> Cet. X; Bairu>t: Da>r al-Ja>mi’ah, 1985.

Al-Qattan, Manna, Ta>ri>kh al-Tasyri>’ al-Isla>mi> Cet. II;


Riya>d{: Maktabah al-Ma’a>rif, 1996.

Zaidan, Abdu al-Karim, Al-Madkhal Lidara>sati al-Syari>’ah al-


Isla>miyyah Al-Qa>hirah: Da>r Umar Ibnu al-Khatta>b,
2001.

Ahmad, Amrullah dkk., Dimensi Hukum Islam dalam Sistem


Hukum Nasional Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Bisri, Cik Hasan, Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum


Nasional Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
15

Arif, Abd Salam, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Antara


Fakta dan Realita: Kajian Pemikiran Hukum Syaikh Mahmud
Syaltut Yogyakarta: LESFI, 2003.

Rajab, Syamsuddin, Syariat Islam dalam Negara Hukum Cet. I;


Makassar: Alauddin Press, 2011.

http://postiner-byyou.blogspot.com/2011/08/ibadah-syariat.html.

Seha, Sampo, Dakwah dalam Al-Qur’an Aplikasinya dalam Amar


Makruf Nahi Mungkar Cet. I; Makassar: Alauddin Press,
2012.

Harjono, Anwar, Indonesia Kita Pemikiran Berwawasan Iman


Islam Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1995.

Muis, Andi Abdul, Komunikasi Islam Cet. I; Bandung: Remaja


Rosdakarya, 2001.
16

D. EVALUASI

1. Apa yang kalian pahami mengenai hukum Islam


keindonesiaan?
2. Bagaimana hukum Islam dalam bidang peribadatan dan
dakwah? Jelaskan!

Anda mungkin juga menyukai