Anda di halaman 1dari 5

Ya Allah , kapan Aku Mengangkat Koperku

Sendiri
Share on linkedin Share on facebook Share on twitter Share on email More Sharing Services 20

Redaksi – Selasa, 14 Jumadil Awwal 1434 H / 26 Maret 2013 14:16 WIB

Berita Terkait

 Rezeki Itu Datang Mencari Seseorang


 Sedekah Ngutang
 Kisah Hilton Tower
 Aku Ingin Bersedekah
 Flu Arab

Saat itu adalah bulan Muharram tahun 1424 H. Seorang pria


bernama Mamat yang bekerja di Bandara Soekarno-Hatta sedang sibuk mengangkat koper-koper
penumpang. Koper bukan sembarang koper. Semua koper yang baru saja dibongkar dari pesawat
Saudia Airlines itu memiliki kesamaan; berbentuk besar, berwarna biru tua dan bertuliskan nama
pemilik, nomer kloter dan asal kota. Koper-koper tersebut adalah milik jemaah haji yang baru
saja selesai menunaikan ibadah haji di Tanah Suci pada tahun itu.

Setiap kali mengangkat satu koper, Mamat selalu membaca basmalah dan shalawat kepada
Rasulullah Saw. Sudah berpuluh koper yang ia angkat, hingga rasa itu muncul di dadanya. Pada
kali selanjutnya, tatkala tangannya menggamit pegangan koper, ia sempat membaca doa kecil
kepada Allah Sang Penguasa alam di dalam hatinya, “Ya Allah, kapan saya mengangkat koperku
sendiri seperti ini…?!” Sebenarnya yang ia maksud adalah ia begitu berharap dapat berangkat
haji ke Baitullah.

Rupanya Allah mendengar jeritan hati Mamat. Hanya selang 4 bulan saja, Subhanallah, namanya
keluar sebagai salah seorang dari 17 orang pegawai yang mendapatkan jatah naik haji tahun itu
atas biaya kantor. Mamat pun amat bersyukur kepada Allah Ta’ala karenanya.

Namun kebahagiaan ini tidak serta-merta membuat Mamat puas hati. Ia tahu bahwa berita ini
boleh jadi akan membuat Iis, istrinya bersedih. Sebab hanya dia saja yang dapat berangkat naik
haji, padahal mereka berdua selalu berdoa kepada Allah Swt agar dapat berangkat naik haji
bersama-sama.

Maka tatkala menyampaikan berita ini pun, Mamat amat hati-hati dalam mengemasnya.
“Semoga tidak ada bahasa yang terpeleset dan melukai hati”, itulah harapan Mamat.

“Is…. Akang minta maaf ya sama kamu…” Mamat mencoba membuka percakapan dengan
meminta maaf terlebih dahulu. “Emangnya ada apa, Kang?” sang istri bertanya. “Akang ingin
beritahukan sesuatu ke kamu, tapi kamu jangan marah ya… apalagi sedih…?” sambut Mamat.
Kalimat itu membuat Iis menjadi gelisah. Ia coba tenangkan hati untuk mendengar berita gak
enak ini. Mamat pun kemudian menyambung kalimatnya dengan nada hati-hati, “Is… Akang
hari ini mendapat kejutan. Akang terpilih menjadi salah satu karyawan yang akan
diberangkatkan haji oleh kantor…”

“Alhamdulillah….!!!” Iis berteriak kegirangan. Ia langsung melompat ke arah Mamat suaminya


dan memeluknya dengan erat. Dengan bersemangat Iis berkata, “Kirain berita sedih…! Berita
bagus kayak begini kok dibawa sedih kayak begitu Kang? Iis ikut senang ngedengernya!” “Ya…
emang sebenarnya ini adalah berita gembira, cuma yang bikin Akang takut membuat kamu sedih
adalah karena Akang gak punya duit untuk ngeberangkatin kamu, Is! Akang khan cuma pegawai
kecil seperti kamu tahu… Kalau saja, duit itu ada, tentu Akang akan ajak kamu juga untuk
berhaji ke rumah Allah!” Iis lalu mengerti kegundahan yang berkecamuk dalam hati suaminya.
Sambil tersenyum, Iis berujar, “Udah kang gak usah dipikirin, Iis rela melepas Akang naik haji.
Tapi jangan lupa doain Iis ya biar cepat nyusul!” Akhirnya, apa yang dikhawatirkan Mamat
tentang perasaan istrinya pun tidak berlaku. Sekali lagi Mamat bersyukur kepada Allah Azza wa
Jalla karenanya.

Hari itu adalah jadwal Mamat untuk berangkat haji. Seperti kebiasaan orang kampungnya, maka
kepergian Mamat diantar dengan adzan dan iqamat. Pembacaan shalawat dustur yang
dikumandangkan oleh seorang ustadz pun membuat semua orang haru meneteskan air mata.

Saat itulah, Mamat berpamitan dengan menyalami serta merangkul orang-orang yang ia kenal
seraya meminta restu. Semua anggota keluarga, kerabat, tetangga, sanak famili menghadiri acara
itu. Semuanya sudah bersalaman dan berangkulan dengan Mamat. Hingga saat Mamat hendak
naik ke atas kendaraan, saat itulah tiba giliran Iis mencium punggung telapak tangan suaminya
dan suasana haru pun tercipta. Air mata suami-istri itu pun jatuh membasahi bumi. Saat mereka
berdua berpelukan, Iis berucap, “Kang Mamat…., jangan lupa untuk doain Iis ya di Baitullah…
panggil-panggil nama Iis di sana. Insya Allah, Iis dan anak-anak ikhlas ngelepas Akang. Semoga
kita semua, dengan doa kang Mamat, bisa nyusul berangkat haji bareng-bareng…!” Tak kuasa
Mamat menahan tangis. Pelukan itu makin ia pererat. Ia hanya mampu mengucapkan kata
‘Amien’. Dalam hati, Mamat berucap agar Allah Swt juga berkenan mengajak istri dan anak-
anaknya untuk berhaji seperti dia.
Di dalam kendaraan Mamat masih sempat berdoa kepada Allah Swt untuk keluarga yang ia
tinggalkan:

“Ya Allah, Engkau adalah pendampingku dalam perjalanan. Engkau juga yang menggantikan
aku untuk menjaga keluarga yang ditinggalkan… Amien” HR. Muslim.
Usai membaca doa, ia pusatkan konsentrasinya untuk khusyuk beribadah kepada Allah Swt.
42 hari Mamat menuntaskan semua ritual ibadah haji di kota suci Mekkah Al Mukarramah dan
Madinah Al Munawwarah. Semuanya dijalani dengan begitu khusyuk dan nikmat. Sesampainya
di tanah air pun, ia langsung mendapatkan sebuah titel baru dari masyarakat. Kini ia dikenal
dengan panggilan Haji Mamat di kampungnya.

Lepas 6 bulan setelah kepulangannya dari tanah suci. Iis istrinya yang dulu sempat berucap
ikhlas melepas kepergian suaminya ke tanah suci, pagi itu ia kelepasan berujar bahwa dirinya
sebenarnya begitu ingin juga berangkat ke tanah suci untuk berhaji. Kalimat itu dituturkan
dengan nada sedih yang mengguncang hati Mamat. Kegundahan itu memang pernah diduga
sebelumnya oleh Mamat. Namun baru kali ini kegundahan itu membuncah, dan tercetus lewat
penuturan akan kerinduan untuk datang ke rumah Allah Swt dalam ritual haji. Muslim atau
muslimah mana yang tidak mau untuk berhaji?

Maka demi menghibur hati Iis, Mamat pun berujar kepadanya, “Is… kamu memang berhak
untuk berangkat haji seperti orang lain, tapi Akang belum cukup punya uang. Sekarang kita
hanya mampu untuk berdoa kepada Allah Swt…. Dia Maha Kuasa…. Jangankan minta haji….
minta yang lebih dari itu Dia pun amat kuasa. Nanti malam kita bangun ya untuk shalat
tahajud…! kata ustadz, doa pada sepertiga malam terakhir amat dikabul. Nanti kita doa sama-
sama untuk minta naik haji. Insya Allah akan dikabulkan… percaya deh!” Demikian ajakan
Mamat kepada istrinya untuk melakukan shalat tahajud dan berdoa bersama nanti malam. Dan
ajakan itu, disambut dengan anggukan kepala oleh Iis tanda setuju.

Rupanya Mamat pulang dari kerja tidak seperti biasa. Hari itu ia tiba di rumah lewat dari pukul
20.00 WIB. Rupanya ada pekerjaan ekstra yang ia lakukan. Biasanya Mamat sudah tiba di rumah
pukul 5 sore. Mungkin, ada pesawat lain yang tiba di luar jadwal, sehingga beberapa kuli
panggul seperti Mamat disiagakan untuk bongkar muatan.

Mamat pulang dengan badan yang letih. Usai menjalani shalat Isya, ia langsung rebahan di atas
kasur dan langsung tertidur. Rasa letih membuatnya lupa untuk makan malam terlebih dahulu,
atau menyapa keluarganya yang masih menunggu kedatangannya. Iis dapat memaklumi hal itu.
Tidak beberapa lama kemudian, Iis pun menyusul tidur di atas ranjang bersama suaminya.

Seperti apa yang telah mereka janjikan, Iis terjaga dan bangkit dari tidur pada pukul 3 pagi.
Kemudian ia tepuk-tepuk kaki suaminya. Karena terlalu letih, Mamat tak sanggup untuk bangkit
dan hanya berujar, “Ah…ah…!” tanda bahwa ia tak sanggup membuka mata.

Iis langsung bangkit menuju kamar mandi. Usai berwudhu, ia kembali lagi ke kamar untuk
bertahajud. Sajadah telah dibentangkan dan mukena pun telah ia kenakan. Sebelum melakukan
shalat, untuk kedua kalinya Iis menepuk kaki Mamat agar ia bangun dan melakukan shalat
tahajud bersama-sama. Sekali lagi, Mamat hanya mengeluarkan kata, “Ahh…ahh…!” Ia terlalu
lelah untuk bangkit dan menyusul istrinya untuk bertahajud. Iis pun memaklumi. Raut wajah
Mamat yang letih sudah mengabarkan bahwa ia terlalu lelah bekerja hari itu. Iis pun melapalkan
takbiratul ihram tanda ia memulai shalat tahajud.
Begitu khusyuk shalat yang Iis dirikan, dan di atas pembaringan Mamat pun menyaksikan sosok
istrinya yang bermukena sedang menjalankan shalat. Namun ia dalam kondisi antara tidur dan
terjaga. Kata orang, ini adalah tidur ayam. Tidur tak mau, bangun tak kuasa.

Setiap gerakan shalat yang Iis lakukan selalu ia iringi dengan tetesan air mata. Sungguh…,
seolah Allah Swt hadir menyambut kedatangan Iis dalam keheningan malam itu. Hingga
kedekatan dengan Sang Maha Pencipta pun dapat dirasakan oleh Iis yang menjalankan shalat
tahajud.

Tak terasa waktu bergulir dengan cepat. Sudah satu jam lebih Iis melakukan shalat dan dzikir
kepada Allah Swt. Waktu telah menunjukkan pukul 4 lebih. Dan ia berkeinginan untuk
bermunajat kepada Allah Swt dalam lantunan dan rangkaian doa yang ia bacakan.

“Allahumma, ya Allah… Izinkan hamba-Mu ini untuk dapat berhaji ke rumah-Mu. Mudahkan
jalan hamba…. Lapangkanlah rezeki kami. Engkau Yang Maha Kuasa atas segalanya…. Berikan
perkenanmu agar aku sanggup datang ke rumah-Mu untuk beribadah dan memakmurkannya…
Dengarkan doaku dan Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu…!”

Dalam kesyahduan doa yang dibaca oleh Iis kepada Tuhannya, rupanya Mamat pun sempat
mengamini di dalam hati tanpa sepatah kata pun terucap. Sungguh, malam itu telah terbangun
sebuah jalinan suci antara seorang hamba dengan Allah Swt dalam rangkaian doa yang penuh
hikmat dan cita.

Adzan Shubuh mulai terdengar di beberapa masjid dan mushalla. Untuk terakhir kali, Iis
membangunkan Mamat suaminya sambil berujar, “Pak Haji… ayo bangun! Malu sama tetangga.
Masa sudah haji enggak shalat Shubuh berjamaah? Ayo bangun, Kang….!”

Mamat pun bangkit. Berat sekali rasanya ia mengangkat badan. Setelah berwudhu, ia pun
mengenakan pakaian yang bersih lalu berangkat menuju mushalla untuk melaksanakan shalat
Shubuh.

Mamat mengucapkan salam saat masuk kembali ke rumah. Iis dan anak-anak pun sudah bangun
semua. Inilah rumah yang berkah. Semua sudah terjaga dan bangkit untuk menyongsong hari
yang indah. Mamat kemudian meminta Iis membuatkan secangkir kopi untuknya. Kemudian
dengan tasbih di tangan, ia baru saja hendak menempelkan pantatnya ke kursi sofa di ruangan
depan. Namun tiba-tiba hasratnya untuk duduk, dihentikan oleh dering telfon yang berbunyi
keras di pagi hari. Mamat pun mengangkat gagang telfon.

“Assalamu’alaikum….. ini dari mana dan mau bicara dengan siapa?” Mamat membuka
pembicaraan. “Mat… ini teh Sulis, Iis ada nggak?” demikian suara di seberang menjawab.
Mamat pun tahu bahwa orang yang menelfon ini rupanya adalah kakak iparnya sendiri. Tanpa
berpikir panjang, Mamat pun memanggil Iis yang saat itu sedang hendak membuatkan kopi
untuknya.

Mamat kembali duduk di atas kursi sofa. Sementara Iis duduk di lantai untuk menerima telfon.
Baru saja Iis mengucapkan salam kepada teh Sulis, namun setelah itu tidak ada satu patah kata
pun yang meluncur dari mulut Iis. Yang ada adalah deraian air mata dan kata, ‘iya Teh!’
berulang-ulang diucapkan.

Pembicaraan telfon di pagi hari itu sudah lebih dari 10 menit berlangsung. Melihat istrinya terus
menangis, Mamat menduga bahwa ada berita buruk yang terjadi terhadap keluarga hingga pagi-
pagi begini sudah menelfon dan membuat istrinya menangis. Mamat mengira bahwa ada salah
seorang familinya berpulang kepangkuan Ilahi.

Gagang telfon itu kemudian diletakkan Iis. Ia masih sesenggukan menahan tangis. Iis mencoba
mengangkat wajah dan menghadap ke arah suaminya. Saat itu Mamat mencoba menyelak
dengan pertanyaan, “Siapa yang meninggal, Is..?” Masih sesenggukan Iis menjawab, “Gak ada
yang meninggal, Kang!” “Lalu kenapa kamu menangis kayak begitu, emangnya berita sedih apa
yang diceritain teh Sulis?” Mamat masih mengejar dengan pertanyaan yang lebih menukik.

Saat itulah Iis menceritakan hal sebenarnya, “Kang…., barusan teh Sulis bilang bahwa ia berniat
berangkat haji tahun ini. Kebetulan kang Andi suaminya lagi banyak kerjaan. Kang Andi gak
bisa nemenin…. Teh Sulis tadi nanya saya, kamu khan belum berhaji, mau gak saya ajak? Teh
Sulis mau bayarin biaya haji saya…. tapi saya disuruh minta izin dulu ke Akang. Iis gak
nyangka, Kang…. begitu cepat Allah menjawab doa yang baru saja Iis sampaikan dalam tahajud.
Sekarang, pilihan mah ada di Akang. Jika Akang izinkan, saya siap. Kalau Akang enggak izinin
saya juga ikhlas…!” Iis berhenti sejenak mengatur nafasnya yang masih sesenggukan. Air mata
itu masih menetes tanda haru dan syukur atas doa yang Allah Swt kabulkan. Sementara Mamat
masih terdiam, terperangah dan takjub atas kemurahan Tuhan.

Mamat langsung merangkul istrinya ke dalam dekapan. Mamat berujar, “Kamu boleh berangkat
haji untuk beribadah dan nemenin teh Sulis. Akang ikhlas mengizinkan kamu dan merawat anak-
anak di rumah. Silahkan kamu berhaji untuk melengkapi agama kamu, Is!”

Keduanya masih berpelukan erat tanda haru dan syukur atas nikmat Allah Swt yang tiada
ternilai. Dalam keharuan tersebut ternyata masih tersisa sebuah penyesalan dalam dada Mamat
yang kemudian terbersit di hatinya, “Coba, saya ikut bangun tahajud dan berdoa kepada Allah
untuk minta haji. Mungkin bisa berangkat bareng-bareng juga kali ya….?!”

Itulah kisah sepasang suami-istri hamba Allah Swt yang dimudahkan untuk berhaji ke Baitullah.
Semoga Anda dan saya dapat menerima anugerah serupa. Amien!

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya
kamu bersyukur.” (QS.Al – Baqarah, 2:185)

-Ustadz Bobby Herwibowo-

Anda mungkin juga menyukai