Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disusun Oleh :
YULIZ NURNISA (202001951)
NUR ASMA LAILL (202001938)
Dosen Pembimbing : SUSILAWATI,SE.,M.E Sy
Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan
terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini
bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
i
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ............................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................24
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Rochmat Soemitro dalam buku Pengantar Singkat Hukum Pajak
(Eresco, Bandung, 1992) pajak adalah gejala masyarakat, artinya pajak hanya ada di
dalam masyarakat. Masyarakat adalah kumpulan manusia yang pada suatu waktu
berkumpul untuk tujuan tertentu. Negara adalah masyarakat yang mempunyai
tujuan tertentu. Kelangsungan hidup negara juga berarti kelangsungan hidup
masyarakat dan kepentingan masyarakat. Untuk kelangsungan hidup masing-
masing diperlukan biaya. Biaya hidup individu, menjadi beban dari individu yang
bersangkutan dan berasal dari penghasilannya sendiri. Biaya hidup negara adalah
untuk kelangsungan alat-alat negara, administrasi negara, lembaga negara, dan
seterusnya, dan harus dibiayai dari penghasilan negara.
Pada mulanya pajak belum merupakan suatu pungutan, tetapi hanya
merupakan pemberian sukarela oleh rakyat kepada raja dalam memelihara
kepentingan negara, seperti menjaga keamanan negara, menyediakan jalan umum,
membayar gaji pegawai dan lain-lain. Bagi penduduk yang tidak melakukan
penyetoran maka ia diwajibkan melakukan pekerjaan-pekerjaan untuk kepentingan
umum untuk beberapa hari lamanya dalam satu tahun.
Penghasilan negara adalah berasal dari rakyatnya melalui pungutan pajak, dan
atau dari hasil kekayaan alam yang ada dalam negara itu (natural resources). Dua
sumber itu merupakan sumber terpenting yang memberikan penghasilan kepada
negara. Penghasilan itu untuk membiayai kepentingan umum yang akhirnya juga
mencakup kepentingan pribadi individu seperti kesehatan masyarakat, pendidikan,
kesejahteraan dan sebagainya. Jadi, dimana ada kepentingan masyarakat, disana
timbul pungutan pajak sehingga pajak adalah senyawa dengan kepentingan umum.
Pungutan pajak mengurangi penghasilan atau kekayaan individu tetapi sebaliknya
merupakan penghasilan masyarakat yang kemudian di kembalikan lagi kepada
masyarakat, melaui pengeluaran-pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan
yang akhirnya kembali lagi kepada seluruh masyarakat yang bermanfaat bagi rakyat,
baik yang membayar maupun tidak.
Pajak mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan bernegara,
khususnya didalam pembangunan karena pajak merupakan sumber penghasilan
1
negara untuk membiayai semua pengeluaran, termasuk pengeluaran pembangunan.
Sistem pemungutan pajak di indonesia adalah Self Assessment System yang berarti
wajib pajak diberikan kepercayaan untuk memperhitungkan, menyetorkan, dan
melaporkan sendiri atas pajak yang terhutang terhadap negara. Disamping cara Self
Assessment System terdapat cara lain yaitu sistem pemotongan (withholding
system). Withholding System merupakan cara yang paling mudah yang dilakukan
pemerintah untuk memungut pajak, yaitu dengan cara mewajibkan wajib pajak
untuk melakukan pungutan dan pemungutan pajaknya oleh pihak lain. Dengan cara
ini maka pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya yang besar untuk memungut
pajak.
Dalam pemungutan pajak subjek dan objek pajak harus jelas. Oleh karena itu
harus dikelola dengan baik dan benar sehingga data wajib pajak sesuai. Selain itu,
tarif pajak harus ditentukan berdasarkan ketentuan yang berlaku saat itu. Dengan
demikian para wajib pajak dapat rutin dan patuh membayar pajak. Subjek pajak
adalah orang, badan atau kesatuan lainnya yang telah memenuhi syarat-syarat
subjektif, yaitu bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia. Subjek pajak baru
menjadi wajib pajak bila telah memenuhi syarat-syarat obyektif. Objek pajak adalah
apa yang dikenakan pajak. Mengingat penting dan strategisnya objek pajak karena
menyangkut apa yang dikenakan atau tidak dikenakannya pajak atas objek dimaksud,
sehingga dalam UU perpajakan kita selalu dengan tegas dinyatakan apa yang menjadi
objek setiap jenis pajak.
B. Rumusan Masalah
1. Objek pajak wajib dalam negeri
2. Objek pajak wajib pajak luar negeri
3. Objek pajak yang tercakup oleh traktat pajak
4. Laba material
5. Penghasilan kena pajak
6. Objek pajak yang dikecualikan (pembebasan objektif)
7. Pajak objektif
8. Biaya yang dikurangkan
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Objek pajak wajib dalam negeri
Berikut ini yang dimaksud dengan subjek pajak dalam negeri:
1. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia.
2. Orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu
12 bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia
dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
3. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
4. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
1. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia
2. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia
3. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, yang dapat menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia
4. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat di Indonesia, yang memperoleh
penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Istilah pajak internasional memang sudah terdengar tidak asing lagi bagi
sebagian orang yang familiar dengan lingkungan perpajakan dan akuntansi,
namun bagi orang awam pajak internasional dapat terlihat ambigu dan
membingungkan. Jadi apa sih sebenarnya pajak internasional itu?
3
Pajak internasional dapat didefinisikan sebagai kesepakatan antar negara
yang memiliki Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atau yang sering
disebut dengan P3B. Ketentuan dasar pajak internasional ini mengacu pada
Konvensi Wina. Diberlakukannya persetujuan ini dapat menyebabkan
ketentuan perpajakan yang berlaku di negara tertentu tidak lagi berlaku bagi
penduduk atau organisasi asing, jika telah disetujui dalam kesepakatan
bilateral antar negara yang bersangkutan.
Secara garis besar, pajak internasional mengatur dua hal, yakni pemajakan
subjek pajak dalam negeri yang mendapatkan penghasilan dari sumber di luar
negeri, dan pemajakan subjek pajak luar negeri yang menerima yang
mendapatkan penghasilan dari sumber di dalam negeri.
Perjanjian ini diberlakukan untuk menghindari terjadinya pajak berganda
karena perbedaan ketentuan pajak antar negara, sehingga pajak internasional
lah yang menjadi penengah saat terjadinya hal tersebut.
Selain itu, pajak internasional ini juga bertujuan guna untuk meningkatkan
taraf perekonomian serta perdagangan untuk kedua negara yang berhubungan,
dan bertujuan untuk meminimalisir hambatan pada investasi atas penanaman
modal asing yang diakibatkan oleh perlakuan pengenaan pajak yang
diberlakukan untuk kedua negara yang bersangkutan.
4. Laba material
Secara umum, batasan materialitas tidak berupa angka tertentu yang diberlakukan
bagi semua perusahaan (misal Rp 500,000 atau 1,000,000 atau 5,000,000),
melainkan berdasarkan persentase tertentu. Sehingga, bisa dikatakan bahwa,
tingkat materialitas pada suatu perusahaan berbeda dengan perusahaan lain.
Materilitas berdasarkan persentasepun, sampai saat ini, masih sering menjadi
bahan perdebatan—baik di kalangan praktisi maupun akademisi.
4
“besarnya suatu kelalaian atau salah saji, dalam laporan keuangan, yang
membuat pengguna laporan terpengaruh oleh informasi yang dihilangkan, atau
membuat keputusan berbeda jika informasi yang benar diketahui.”
Meskipun para pakar dan regulator telah berusaha membuat definisi materialitas
yang bisa disepakati secara global, tetap saja belum menghasilkan batasan yang
pasti mengenai konsep materialitas; unsur subyektifitas yang melekat pada konsep
ini masih tetap tinggi. Sehingga masih sulit untuk memisahkan transaksi bersifat
tidak material dengan yang material. Celakanya lagi sering disalahgunakan untuk
kepentingan tertentu, termasuk kepentingan untuk memperoleh keuntungan
pribadi/perusahaan—dengan menjadikan pertimbangan materialitas sebagai
tameng untuk tidak melakukan koreksi pada item yang salah-saji. Materialitas,
sebagai sebuah kriteria, mengandung aspek kuantitatif sekaligus kualitatif, dan
suatu transaksi bisa dianggap tidak material jika kedua aspek ini sudah
dipertimbangkan dan memang benar-benar tidak material atau tidak relevan.
Meskipun penilaian materialitas, aslinya, memang berdasarkan uji kuantitatif
(dengan persentase), keadaan yang melingkupi suatu transaksi atau item dalam
laporan keuangan bisa mempengaruhi penentuan apakah transaksi/item tersebut
dinilai material atau tidak material. Misalnya:
Suatu transaksi, jika dicatat, dapat mengubah kondisi “laba” menjadi “rugi” atau
mengubah rasio terhadap utang dari tidak-patuh mejadi patuh (atau sebalinya),
dianggap MATERIAL—meskipun secara kuantitatif tergolong tidak material.
5
Perubahan Keempat UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Sedangkan
mengenai tarif PPh atas Penghasilan Kena Pajak diatur dalam Pasal 17 UU PPh
ini.
Tarif PPh Pasal 17 terbagi dalam dua jenis, berdasarkan subjek atau siapa yang
dikenakan pajak, yakni:
Tarif pasal 17 yang dikenakan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) dalam
negeri
Tarif pasal 17 yang dikenakan kepada WP Badan dalam negeri atau Bentuk
Usaha Tetap (BUT)
Tarif yang dikenakan untuk keduanya tentu saja tidak sama.
Tarif PPh Pasal 17 untuk WP Pribadi dalam negeri dibedakan berdasarkan jumlah
penghasilannya, di antaranya:
Penghasilan di bawah Rp50.000.000 per tahun dikenakan tarif PPh sebesar 5%
Penghasilan sebesar Rp50.000.000 hingga Rp250.000.000 per tahun dikenakan
tarif PPh sebesar 15%
Penghasilan sebesar Rp250.000.000 hingga Rp500.000.000 per tahun, tarif PPh
yang dikenakan sebesar 25%
Penghasilan Rp500.000.000 ke atas per tahun dikenakan tarif PPh sebesar 30%
Bagaimana dengan WP Badan?
Untuk Wajib Pajak Badan dalam negeri serta BUT diharuskan membayar PPh
dengan tarif 28 persen dari jumlah penghasilan keseluruhan.
Pajak yang dibayarkan tersebut akan masuk dalam kas negara dan digunakan
untuk memajukan perekonomian Indonesia.
6
dikecualikan menjadi 2 yaitu: bantuan atau sumbangan, dan hibah. Tetapi saya
membagi menjadi 3 saja karena sumbangan termasuk zakat. Jadi saya bagi
menjadi: bantuan atau sumbangan, zakat atau sumbangan keagamaan, dan harta
hibahan. Bantuan atau sumbangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan. Kata sepanjang maksudnya adalah syarat supaya bantuan atau
sumbangan dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah nomor 18 tahun 2009 bahwa bantuan atau sumbangan adalah
pemberian dalam bentuk uang atau barang kepada orang pribadi atau badan.
7. Pajak Objektif
Pajak objektif sendiri merupakan jenis pajak yang tidak melihat kondisi dari
Wajib Pajaknya melainkan dilihat dari sifat objek pajaknya.Pada dasarnya, pajak
objektif ini fokus pengenaannya dengan memperhatikan objeknya, yaitu berupa
benda, keadaan, perbuatan, ataupun peristiwa yang dapat menyebabkan adanya
utang pajak, dan kemudian ditetapkan untuk subjeknya, tetapi tidak
mempersoalkan apakah subjek tersebut bertempat tinggal di Indonesia ataupun di
luar Indonesia. Untuk pajak objektif ini, contohnya adalah Pajak Pertambahan
Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan juga Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (PPnBM).
Untuk tarif dari pajak objektif ini lebih mengikuti kepada kebijakan Undang-
Undang (UU) yang berlaku berdasarkan dengan kriteria penghasilan. Berikut
merupakan kriteria dari pajak objektif, yaitu:
1. Diperuntukkan bagi orang pribadi atau badan usaha yang memakai atau
melaksanakan transaksi atas benda kena pajak
2. Pungutan pajak berhubungan dengan pemindahan harta dari Indonesia ke luar
negeri
3. Pungutan pajak atas kekayaan, kepemilikan barang mewah, ataupun aset di
negara lain.
Untuk pajak objektif ini, contohnya adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN),
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan juga Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPnBM).
7
8. Biaya Yang Dikurangkan
Dalam proses pemeriksaan pajak, seringkali Wajib Pajak tiba-tiba mendapatkan
Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang dikirimkan dari kantor pajak. Kenapa hal ini
bisa terjadi? Salah satu penyebabnya adalah karena adanya kesalahan di dalam
pembukuan yang dilakukan oleh tim keuangan, yang mana terdapat pengakuan
biaya yang secara fiskal (pajak) tidak boleh diakui sebagai pengurang, dan secara
komersial (akuntansi) boleh diakui sebagai pengurang penghasilan bruto dalam
menghitung Penghasilan Kena Pajak.
1. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan
usaha;
8
Biaya administrasi
Pajak kecuali Pajak Penghasilan
Biaya Yang Tidak Boleh Dikurangkan Dalam Perhitungan PPh:
Diatur dalam Undang-Undang No.36 Tahun 2008 Pasal 9 ayat (1).
1. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen,
termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
2. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
pemegang saham, sekutu, atau anggota;
3. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pajak adalah kewajiban penduduk negara untuk dapat menetap serta berusaha
dalam negara itu dan memperoleh perlindungan. Jadi penduduk negara
berhak untuk memperoleh perlindungan (hukum dan sosial ekonomi). Untuk
itu penduduk negara berkewajiban membayar pajak kepada negara.
Subjek pajak adalah pihak-pihak (orang maupun badan) yang akan dikenakan
pajak, sedangkan objek pajak adalah segala sesuatu yang yang akan
dikenakan pajak. Wajib pajak adalah subjek pajak yang telah memenuhi
syarat-syarat objektif sehingga kepadanya diwajibkan pajak.
B. Saran
Penghasilan negara terbesar adalah dari pajak. Pajak memiliki perana penting
dalam pembangunan suatu negara khususnya Indonesia. Oleh karena
itu, pengelolaan pajak harus dikelola dengan baik dan benar agar manfaatnya
dapat dirasakan oleh rakyat. Selain itu juga para wajib pajak harus rutin dalam
membayar pajak demi tercapainya pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi bangsa Indonesia.
10
DAFTAR PUSTAKA
http://kelompok6hukumpajak.blogspot.com/2013/07/makalah-subjek-dan-
objek-pajak.html
http://rumahmakalalah.blogspot.com/2016/05/subjek-dan-objek-pajak.html
https://jdih.kemenkeu.go.id/fulltext/2008/36tahun2008uu.htm
11