Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
“HIWALAH”
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur pada Mata Kuliah
Fiqih Bisnis
Disusun Oleh:
Kelompok 12 MBS-E
Intan Nur Istiqomah :3719193
Dosen Pengampu
Raymond Dantes, Lc., M.Ag
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga bisa menyelesaikan makalah yang berjudul
“Hiwalah”. Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Fiqih
Bisnis.
Penulis mengharapkan makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita
semua terutama bagi penulis sendiri, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
untuk penyempurnaan makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang.........................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................1
C. Tujuan.......................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2
A. Pengertian Akad Hiwalah...................................................................................2
B. Dasar Hukum Akad Hiwalah..............................................................................3
C. Rukun dan Syarat-syarat Akad Hiwalah.............................................................7
D. Hukum-hukum Hiwalah dan Berakhirnya Hiwalah..........................................10
BAB III PENUTUP..............................................................................................16
A. Kesimpulan.......................................................................................................16
B. Saran..................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................17
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang paling sempurna dan komprehensif, mencakup dan
mengatur segala urusan kehidupan manusia, baik yang berkaitan dengan masalah
akidah (keyakinan), ibadah (ritual), muamalah (interaksi sesama makhluk), ekonomi,
politik, maupun akhlak dan adab. Manusia adalah makhluk sosial yaitu makhluk yang
berkodrat hidup dalam masyarakat. Disadari atau tidak, untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya, manusia selalu berhubungan satu sama lain.
Menurut Zainul Arifin hiwalah adalah akad pemindahan utang/piutang suatu pihak
kepada pihak lain. Dengan demikian di dalamnya terdapat tiga pihak, yaitu pihak yang
berutang (muhil atau madin), pihak yang memberi utang (muhal atau da‟in), dan pihak
yang menerima pemindahan (muhal ‟alaih).
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
1
BAB II
PEMBAHASAN
Secara bahasa hawalah atau hiwalah ( ) حوالةberasal dari kata dasarnya dalam
fi'il madhi : haala - yahuulu- haulan () حوال يحول حال. Secara umum maknanya adalah
berpindah atau berubah. Maka Abdur Rahman Al Jaziri berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan hiwalah menurut bahasa ialah : “Pemindahan dari suatu tempat ke
tempat yang lain”.
Al-Hawalah adalah pengalihan utang dari orangA yang berutang kepada orang
lain yang wajib menanggungnya. Dalam istilah para ulama, hal ini merupakan
pemindahan beban dari muhil (orang yangberutang) menjadi tanggungan muhal‘alaih
atau orang yang berkewajiban membayar utang.1 Hiwalah adalah akad pemindahan
hutang/piutang suatu pihak kepada pihak lain. Akad ini bertujuan untuk mengambil alih
piutang dari pihak lain. Dengan demikian hiwalah adalah pengalihan hutang dari orang
yang berhutang kepada orang lain yang bersedia menanggungnya dengan nilai yang
sama dengan nilai nominal hutangnya. Sedangkan pengertian hiwalah menurut istilah,
para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikannya antara lain:
1
As-Sarbini Khatib, Mughni Muhtaj Sharh al-Minhaj, (Kairo: al-Babi al-Halabi), vol. II, hlm. 193.
2
3
5. Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan hiwalah adalah pemindahan dari
tanggungan muhil menjadi tanggungan muhal’alaihi.
6. Menurut Idris Ahmad, hiwalah adalah semacam akad (ijab Kabul) pemindahan
hutang dari tanggungan seseorang yang berhutang kepada orang lain, dimana orang
lain itu mempunyai utang pula kepada yang memindahkannya.2 1. 7. Menurut
Zainul Arifin hiwalah adalah akad pemindahan utang/piutang suatu pihak kepada
pihak lain. Dengan demikian di dalamnya terdapat tiga pihak, yaitu pihak yang
berutang (muhil atau madin), pihak yang memberi utang (muhal atau da‟in), dan
pihak yang menerima pemindahan (muhal'alaih).3
Hiwalah ini disyari’atkan oleh Islam dan dibolehkan olehnya karena adanya
masalahat, butuhnya manusia kepadanya serta adanya kemudahan dalam bermuamalah.
Dalam hiwalah juga terdapat bukti sayang kepada sesama, mempermudah muamalah
2
Hendi Suhendi, Fiqh muamalah (Jakarta: Rajawali Pers 2007), hlm. 99-101.
3
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2009), hlm.153.
4
1. Al-Qur'an
4
Syafri Muhammad Noor, Akad Hawalah ( Fiqh Pengalihan Hutang) Cet I, (Jakarta Selatan: Rumah Fiqh
Publishing, 2019), hlm.11-14.
5
ْعzَ ُد ُك ْم َعلَى َملِ ٍّي فَ ْليَ ْتبzي ظُ ْل ٌم فَإ ِ َذا أُ ْتبِ ُع أَ َح ْ صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل َم
َّ ِط ُل ال َغن َ ِض َي هَّللا ُ عَنهُ أَ َّن َرسُوْ َل هللا
ِ ع َْن أَبِى هُ َر ْي َرةَ َر
(رواه بخري مسلم
“Dari Abu Khurairah Radhiyallah Anhu, bahwa Rasulullah Shallahhu Alaihi wa Sallam
bersabda, ‘penundaan pembayaran utang oleh orang kaya adalah kezaliman. Jika salah
seorang di antara kalian diminta untuk mengalihkan utang kepada orang kaya, maka
hendaklah dia menerimanya,. (HR Bukhari-Muslim).5
Hawalah diperbolehkan berdasarkan dalil dari Al-Sunnah. Dasar hukum dari Al-
Sunnah adalah Hadis riwayat Abu Hurairah:
5
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari Juz 2, Dar al-Fikr, Beirut, tt, hlm. 37.
6
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016), hlm. 235.
6
3. Ijma'
“Para ulama tidak berbeda pendapat (sepakat) tentang kebolehan akad hawalah”
“Dasar tentang kebolehan melakukan hawalah terdapat pada As-Sunnah dan Ijma.”
7
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta : Gema Insani, 2012), hlm.127.
8
Al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir, Juz 6, hlm. 417.
7
4. Fatwa
1. Rukun Hiwalah
Menurut madzhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan yang dilakukan
hiwalah) dari muhil (pihak pertama) dan Kabul (pernyataan menerima hiwalah) dari
muhal (pihak kedua) kepada muhal ‘alaih (pihak ketiga). Menurut madzhab Maliki,
Syafi’i dan Hanbali, rukun hiwalah ada 6 yaitu:
a. Muhil
Muhil adalah orang yang memindahkan utang. Muhil harus orang yang baliq,
berakal, maka batal/ tidak sah hiwalah yang dilakukan muhil dalam keadaan gila
atau masih kecil.
b. Muhal
Muhal adalah orang yang menerima hiwalah ( orang yang menerima pemindahan
hak, pemberi pinjaman, yaitu pemilik piutang yang wajib dibayar oleh pihak
9
Nasrun haroen, fiqih muamalah, (jakarta: Gaya media pratama,2007), hlm. 221.
8
yang memindahkan utang). Muhtal harus orang yang baliq, berakal, dan tidak
sah jika hiwalah dilakukan Muhtal yang tidak berakal.
c. Muhal ‘alaih
d. Piutang milik muhal yang wajib dilunasi oleh muhil ( objek hukum akad
pemindahan utang).
b. Muhtal yaitu orang orang yang menghiwalahkan, yaitu orang mempunyai utang
kepada Muhil.
d. Sighat hiwalah, yaitu ijab dari Muhil dengan kata-katanya, “aku hiwalahkan
utangku yang hak bagi engkau kepada anu” dan kabul dari muhtal dengan kata-
katanya , “aku terima hiwalah engkau”.11
10
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Imam Syafi'i 2, (Jakarta: Almahira, 2010), hlm. 150-151.
11
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), hlm.102.
9
a. Muhil, yaitu orang yang memindahkan utang. Ia berutang pada seseorang dan
mempunyai piutang pada seseorang lalu, ia memindahkan pembayaran utangnya atas
orang yang berutang padanya. Syarat-syaratnya adalah:
1). Cakap dalam melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baliq, berakal,
tidak sah hiwalah dilakukan oleh anak kecil walaupun ia sudah mengerti
(Mumayyiz).
2). Ada persetujuan (ridho), Jika pihak Muhil ada paksaan untuk melakukan hiwalah,
maka akad tidak sah. Persyaratan dibuat berdasarkan pertimbangan, bahwa
sebagian orang keberatan dan terhina harga dirinya, jika kewajiban untuk
membayar utang dialihkan kepada orang lain, meskipun pihak lain itu memang
berutang kepadanya, karena itu ridho muhil mesti ada.
b. Muhal ‘alaih adalah orang yang dihiwalahi (orang yang berkewajiban melaksanakan
hiwalah), ia adalah orang yang mempunyai utang orang yang pertama (muhil), orang
yang berkewajiban melaksanakan hiwalah. Syarat-syaratnya adalah:
1). Cakap dalam melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baliq, berakal,
tidak sah hiwalah dilakukan oleh anak kecil walaupun ia sudah mengerti
(Mumayyiz).
2). Ada persetujuan (ridho), Jika pihak Muhil ada paksaan untuk melakukan
hiwalah, maka akad tidak sah. Persyaratan ini ditetapkan berdasarkan
pertimbangan, bahwa kebiasaan orang dalam membayar utang berbeda-beda ada
yang mudah dan ada pula yang sulit, sedangkan menerima pelunasan itu
merupakan hak pihak kedua. Jika hiwalah dilakukan secara sepihak saja, pihak
kedua dapat saja merasa dirugikan, umpamanya apabila ternyata pihak ketiga
sudah membayar utang tersebut.
c. Muhal adalah orang yang menerima hiwalah atas hiwalah muhil, ia merupakan orang
yang berpiutang pada pihak pertama (muhil). Syarat-syaratnya adalah :
12
Sri Sudiarti, Fiqh Muamalah Kontemporer, (Medan: FEBI UIN-SU Press, 2018), hlm. 177-178.
10
1). Cakap dalam melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baliq,
berakal, tidak sah hiwalah dilakukan oleh anak kecil walaupun ia sudah
mengerti (Mumayyiz).
2). Ada persetujuan (ridho), Jika pihak muhil ada paksaan untuk melakukan
hiwalah, maka akad tidak sah. Sebagian pendapat mengatakan bahwa yang
berhak rela (rihdo), adalah muhtal dan muhil, bagi muhal ‘alaih rela atau tidak
akan mempengaruhi sahnya hiwalah.
d. Adanya utang, yaitu utang muhtal kepada muhil dan utang muhil kepada muhal ‘alaih.
Syarat yang diperlukan terhadap utang yang dialihkan, ialah:
1). Sesuatu yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk utang
piutang yang sudah pasti.
2). Kedua utang yang dialihkan adalah sama, baik jenisnya maupun kadarnya,
penyelesaiannya, tempo waktu, jumlahnya.
e. Shiqat Hiwalah, adalah ijab dan qobul. Ijab dari muhil dengan kata-katanya “Aku
menghiwalahkan utangku kepada si Anu”. Dan Qobul adalah dari muhal ‘alaih dengan
kata-katanya “ Aku terima hiwalah engkau”.
1. Hukum-hukum Hiwalah
a. Pihak al-Muhiil terbebas dari tanggungan, Utang yang ada (al-Muhaal bihi).
Apabila akad al-Hawalah telah sempurna dengan adanya qabul (persetujuan), maka
menurut mayoritas ulama, pihak al-Muhiil secara otomatis terbebas dari
tanggungan utang yang ada, dan bentuk-bentuk jaminan utang yang ada berupa ar-
13
Wahbah Az-Zuhail, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 6, (Darul Fikir: Gema Insani), hlm.98-100.
11
Rahnu (gadai) dan al-Kafaalah (penjaminan) tidak ikut berpindah, akan tetapi
statusnya ikut berakhir dan selesai.
Al-Hasan al Bashri berpendapat bahwa pihak al-Muhiil tidak bisa terbebas dari
tanggungan utang yang ada kecuali dengan adanya al-lbraa'
[pembebasan).Sementara itu, Zufar; salah satu ulama madzhab Hanafi, berpendapat
bahwa dengan adanya al-Hawaalah tidak berarti pihak al-Muhiil lantas terbebas
dari tanggungan utang yang ada. Akan tetapi utang tersebut statusnya tetap menjadi
tanggungannya seperti semula ketika belum ada al-Hawaalah.
Dalam hal ini, Zufar mengqiyaskan atau menganalogikan akad al-hawaalah dengan
akad al- Kafaalah, karena keduanya merupakan bentuk akad at-Tawatstsuq
(penguatan atau penjaminan hak). Namun pendapat Zufar ini tidak benar karena
nama al-Hawaalah diambil dari kata at-Tahwiil yang berarti an-Natqlu
(memindahkan, mengalihkan), yaitu memindahkan dan mengalihkan hak. Maka
karena itu, di dalamnya terkandung makna al-lntiqaal fberpindah). Sementara
sesuatu jika berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain, maka sesuatu tersebut
tidak ditemukan lagi di tempat yang pertama. Sementara makna at-Tawatstsuq
maksudnya adalah mudahnya pihak yang memiliki hak untuk mendapatkan haknya
dengan memilih pihak yang lebih baik lebih sesuai dan lebih bisa untuk memenuhi
haknya.
Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf berpendapat bahwa al-HawaaIah adalah
memindahkan penagihan dan utang sekaligus dari tanggungan pihak al-Madiin (al-
Muhiil) kepada tanggungan pihak al-Muhaal'alaihi. Akan tetapi utang yang ada
kembali menjadi tanggungan pihak al-Muhiil apabila terjadi at-Tawaa pada diri al-
Muhaal'alaihi (at-Tawaa adalah pihak al-Muhaal 'alaihi meninggal dunia dalam
keadaan pailit atau tidak meninggalkan apa-apa yang bisa digunakan untuk
membayar tanggungan utang yang ada, atau al-Muhaal 'alaihi mengingkari adanya
al-Hawaalah sementara tidak ada bayyinah atau saksi yang bisa mementahkan
pengingkaran tersebut.
12
Sedangkan Abu Yusuf dan Muhammad memberi tambahan, yaitu pihak al-
Muhaal'alaihi mengalami kesulitan dalam keadaan masih hidup). Oleh karena itu,
seandainya pihak yang berpiutang [maksudnya al-Muhaal) meng ibrat:kan
(membebaskan) pihak al- Muhaal'alaihi dari tanggungan utang yang ada, maka al-
Ibraa'tersebut sah. Namun jika yang ia ibrqa'-kan atau ia bebaskan dari tanggungan
utang yang ada adalah pihak yang berutang (al-Muhfil), maka pembebasan tersebut
tidak sah.
Sedangkan menurut Zufar seperti yang telah kami jelaskan di atas adalah bahwa
kedua-duanya (maksudnya penagihan dan tanggungan utang) tidak berpindah dari
tanggungan al-Muhiil kepada tanggungan al-Muhaal'alaihi atau dengan kata lain
tidak berpindah menjadi tanggungan al-Muhaal 'alaihi. Akan tetapi tanggungan al-
Muhaal 'alaihi digabungkan kepada tanggungan pihak al-Muhiil di dalam hal
penagihan. Berdasarkan pendapat ini, berarti al-Muhqal 'alaihi posisinya adalah
sebagai kafiil (penjamin) pihak al-Muhiil.
c. Apabila al-Hawaalah yang ada atas perintah dan keinginan pihak al-Muhiil
sedangkan pihak al-Muhaal 'alaihi tidak memiliki tanggungan utang kepada pihak
al-Muhiil yang utang itu menyamai utang yang menjadi tanggungan pihak al-
Muhiil kepada pihak ol-Muhaal, maksudnya aI-Hawaalah yang ada adalah
berbentuk mutlah maka jika pihak al-Muhaal terus menekan dan membuntuti pihak
13
al-Muhaal'alaihi, maka pihak al-Muhaal'alaihi juga boleh melakukan hal yang sama
terhadap al-Muhiil agar ia bisa terbebas dari penekanan dan pembuntutan pihak al-
Muhaal.
Dan apabila pihak al-Muhaal menahan pihak al-Muhaal 'alaihi, maka pihak ol-
Muhaal 'alaihi juga boleh melakukan hal yang sama terhadap al-Muhiil, yaitu
menahannya. Namun apabila al-Hawaalah tersebut tidak atas perintah pihak al-
Muhiil, atau atas perintahnya namun pihak al-Muhal 'alaihi memang memiliki
tanggungan utang kepada pihak al-Muhiil yang utang itu menyamai utang pihak al-
Muhiil kepada pihak al-Muhaal, atau dengan kata lain al-Hawalah yang ada adalah
berbentuk muqayyad, maka jika pihak al-Muhaal terus mengejar dan membuntuti
pihak al-Muhaal 'alaihi atau sampai menahannya, maka pihak al-Muhaal 'alaihi
tidak bisa melakukan hal yang sama terhadap pihak al-Muhiil.
1). Wajib
2). Mustahab
وهذا األمر عند الجمهور محمول عىل الندب؛ ألنه من باب المعروف والتيسربعىل المعرس
3). Boleh
وهو دليل جواز نقل الدين رشارشعأو المطالبة به،والحق الظاهر أنه أمر إباحة
Jika akad hiwalah telah terjadi, maka timbul akibat hukum dari akad
tersebut, antara lain:
2. Berakhirnya Hiwalah
Akad Hiwalah dapat berakhir oleh beberapa sebab, diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Karena dibatalkan atau fasakh. Ini terjadi jika akad hiwalah belum
dilaksanakan sampai tahapan akhir lalu difasakh. Dalam keadaan ini hak
penagihan dari muhal akan kembali lagi kepada muhil.
16
2. Hilangnya hak muhal' alaih karena meninggal dunia atau bangkrut atau ia
mengingkari adanya akad hiwalah sementara muhal tidak dapat menghadirkan
bukti atau saksi.
3. Jika muhal 'alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada muhal. Ini berarti
akad hiwalah benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.
15
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Predana Media Group, 2012), hlm. 270.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain
yang wajib menanggungnya. Dalam istilah para ulama, hal ini merupakan pemindahan
beban dari muhil (orang yangberutang) menjadi tanggungan muhal‘alaih atau orang yang
berkewajiban membayar utang. Hiwalah adalah akad pemindahan hutang/piutang suatu
pihak kepada pihak lain. Akad ini bertujuan untuk mengambil alih piutang dari pihak lain.
Dengan demikian hiwalah adalah pengalihan hutang dari orang yang berhutang
kepada orang lain yang bersedia menanggungnya dengan nilai yang sama dengan nilai
nominal hutangnya.
Hiwalah ini disyari’atkan oleh Islam dan dibolehkan olehnya karena adanya
masalahat, butuhnya manusia kepadanya serta adanya kemudahan dalam bermuamalah.
Dalam hiwalah juga terdapat bukti sayang kepada sesama, mempermudah muamalah
mereka, memaafkan, membantu memenuhi kebutuhan mereka, membayarkan utangnya
dan menenangkan hati mereka. Berikut dasar hukum disyariatkannya akad hiwalah
Akad Hiwalah dapat berakhir oleh beberapa sebab. Karena dibatalkan atau fasakh,
hilangnya hak muhal' alaih karena meninggal dunia atau bangkrut, jika muhal 'alaih telah
melaksanakan kewajibannya kepada muhal, meninggalnya muhal sementara Muhal ‟alaih
mewarisi harta hiwalah karena pewarisan merupakan salah satu sebab kepemilikan
B. Saran
Kami sebagai penulis menyadari bahwa masih terdapat kesalahan dalam penulisan
makalah ini. Oleh karena itu kami harap pembaca bersedia memberikan masukan dan
kritik terhadap makalah yang kami sampaikan bermanfaat bagi kita semua.
17
DAFTAR PUSTAKA
Az-Zuhaili, Wahbah.2010, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 6. Darul Fikir: Gema Insan
As-Sarbini Khatib, Mughni Muhtaj Sharh al-Minhaj, (Kairo: al-Babi al-Halabi), vol. II
Mustofa, Imam. 2016. Fiqih Muamalah Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Muhammad Noor Syafri. 2019. Akad Hawalah ( Fiqh Pengalihan Hutang) Cet I. Jakarta
Selatan: Rumah Fiqh Publishing
Sudiarti, Sri. 2018. Fiqh Muamalah Kontemporer. Medan: FEBI UIN-SU Press
Syafii Antonio, Muhammad. 2012. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta : Gema
Insani
18