Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

“HIWALAH”

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur pada Mata Kuliah

Fiqih Bisnis

Disusun Oleh:
Kelompok 12 MBS-E
Intan Nur Istiqomah :3719193

Delfitri Hendrina :3719194

Dosen Pengampu
Raymond Dantes, Lc., M.Ag

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


PRODI MANAJEMEN BISNIS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
BUKITTINGGI
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga bisa menyelesaikan makalah yang berjudul
“Hiwalah”. Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Fiqih
Bisnis.

Terimakasih penulis ucapkan kepada pihak yang telah membantu penyelesaian


makalah ini, terutama kepada bapak Raymond Dantes Lc., M.Ag sebagai dosen
pembimbing dan teman-teman yang telah memberikan motivasi dan sarannya kepada
kami.

Penulis mengharapkan makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita
semua terutama bagi penulis sendiri, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
untuk penyempurnaan makalah ini.

Bukittinggi, Desember 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang.........................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................1
C. Tujuan.......................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2
A. Pengertian Akad Hiwalah...................................................................................2
B. Dasar Hukum Akad Hiwalah..............................................................................3
C. Rukun dan Syarat-syarat Akad Hiwalah.............................................................7
D. Hukum-hukum Hiwalah dan Berakhirnya Hiwalah..........................................10
BAB III PENUTUP..............................................................................................16
A. Kesimpulan.......................................................................................................16
B. Saran..................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam adalah agama yang paling sempurna dan komprehensif, mencakup dan
mengatur segala urusan kehidupan manusia, baik yang berkaitan dengan masalah
akidah (keyakinan), ibadah (ritual), muamalah (interaksi sesama makhluk), ekonomi,
politik, maupun akhlak dan adab. Manusia adalah makhluk sosial yaitu makhluk yang
berkodrat hidup dalam masyarakat. Disadari atau tidak, untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya, manusia selalu berhubungan satu sama lain.

Menurut Zainul Arifin hiwalah adalah akad pemindahan utang/piutang suatu pihak
kepada pihak lain. Dengan demikian di dalamnya terdapat tiga pihak, yaitu pihak yang
berutang (muhil atau madin), pihak yang memberi utang (muhal atau da‟in), dan pihak
yang menerima pemindahan (muhal ‟alaih).

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Hiwalah?

2. Apa saja dasar hukum Hiwalah?

3. Apa syarat dan Rukun Hiwalah?

4. Apa saja hukum-hukum yang berkaitan dengan Hiwalah?

C. Tujuan

1. Mengetahui dan memahami pengertian Hiwalah

2. Mengetahui dasar hukum Hiwalah

3. Mengetahui syarat dan rukun Hiwalah

4. Mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan Hiwalah

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Akad Hiwalah

Secara bahasa hawalah atau hiwalah (‫ ) حوالة‬berasal dari kata dasarnya dalam
fi'il madhi : haala - yahuulu- haulan (‫) حوال يحول حال‬. Secara umum maknanya adalah
berpindah atau berubah. Maka Abdur Rahman Al Jaziri berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan hiwalah menurut bahasa ialah : “Pemindahan dari suatu tempat ke
tempat yang lain”.

Al-Hawaalah secara bahasa artinya adalah al-lntiqaal (pindah), diucapkan,


"Haala'anil'ahdi," (berpindah, berpaling, berbalik darijanji). Secara bahasa pengalihan
hutang dalam hukum islam disebut sebagai hiwalah yang mempunyai arti lain yaitu Al-
intiqal dan Al-tahwil, artinya adalah memindahkan dan mengalihkan yang dimaksud
adalah memindahkan hutang dari tanggungan muhil (orang yang berhutang) menjadi
tanggungan muhal'alaih (orang yang melakukan pembayaran hutang).

Al-Hawalah adalah pengalihan utang dari orangA yang berutang kepada orang
lain yang wajib menanggungnya. Dalam istilah para ulama, hal ini merupakan
pemindahan beban dari muhil (orang yangberutang) menjadi tanggungan muhal‘alaih
atau orang yang berkewajiban membayar utang.1 Hiwalah adalah akad pemindahan
hutang/piutang suatu pihak kepada pihak lain. Akad ini bertujuan untuk mengambil alih
piutang dari pihak lain. Dengan demikian hiwalah adalah pengalihan hutang dari orang
yang berhutang kepada orang lain yang bersedia menanggungnya dengan nilai yang
sama dengan nilai nominal hutangnya. Sedangkan pengertian hiwalah menurut istilah,
para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikannya antara lain:

1
As-Sarbini Khatib, Mughni Muhtaj Sharh al-Minhaj, (Kairo: al-Babi al-Halabi), vol. II, hlm. 193.

2
3

1. Menurut Hanafiyah, yang dimaksud hiwalah adalah : “Memindahkan tagihan


dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab
kewajiban pula”.

2. Menurut Syafi’i, Maliki dan Hanbali, hiwalah adalah : “Pemindahan atau


pengalihan hak untuk menuntut pembayaran hutang dari satu pihak kepada pihak
yang lain”.

3. Al Jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah adalah :Pernikahan


utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain.

4. Syihab Al Din Al Qalyubi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah


adalah : “Akad yang menetapkan pemindahan beban hutang dari seseorang kepada
yang lain”.

5. Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan hiwalah adalah pemindahan dari
tanggungan muhil menjadi tanggungan muhal’alaihi.

6. Menurut Idris Ahmad, hiwalah adalah semacam akad (ijab Kabul) pemindahan
hutang dari tanggungan seseorang yang berhutang kepada orang lain, dimana orang
lain itu mempunyai utang pula kepada yang memindahkannya.2 1. 7. Menurut
Zainul Arifin hiwalah adalah akad pemindahan utang/piutang suatu pihak kepada
pihak lain. Dengan demikian di dalamnya terdapat tiga pihak, yaitu pihak yang
berutang (muhil atau madin), pihak yang memberi utang (muhal atau da‟in), dan
pihak yang menerima pemindahan (muhal'alaih).3

B. Dasar Hukum Akad Hiwalah

Hiwalah ini disyari’atkan oleh Islam dan dibolehkan olehnya karena adanya
masalahat, butuhnya manusia kepadanya serta adanya kemudahan dalam bermuamalah.
Dalam hiwalah juga terdapat bukti sayang kepada sesama, mempermudah muamalah

2
Hendi Suhendi, Fiqh muamalah (Jakarta: Rajawali Pers 2007), hlm. 99-101.
3
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2009), hlm.153.
4

mereka, memaafkan, membantu memenuhi kebutuhan mereka, membayarkan utangnya


dan menenangkan hati mereka. Berikut dasar hukum disyariatkannya akad hiwalah4:

1. Al-Qur'an

Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan secara umum tentang kebolehan


melakukan hawalah, diantaranya: Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat
Al-Maidah ayat 2:

ِ ‫وا ٱهَّلل ۖ َ إِ َّن ٱهَّلل َ َش ِدي ُد ۡٱل ِعقَا‬


‫ب‬ ْ ُ‫وا َعلَى ۡٱلبِرِّ َوٱلتَّ ۡق َو ٰ ۖى َواَل تَ َعا َون‬
ْ ُ‫وا َعلَى ٱإۡل ِ ۡث ِم َو ۡٱلع ُۡد ٰ َو ۚ ِن َوٱتَّق‬ ْ ُ‫َوتَ َعا َون‬

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan


takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS
Al-Maidah:2). )

Dari ayat diatas dapat disimpulkan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala


menyuruh kepada kita semua untuk melakukan kebajikan dalam bentuk apapun dan
perkara hawalah merupakan salah satu bentuk kebajikan.

Dalam ayat yang lain, Allah juga berfirman:

‫و افعلوا اخلري لعلكم تفلحون‬

“Berbuatlah kebaikan agar kalian beruntung” (QS. Al-Hajj:77)

Dari ayat diatas dapat disimpulkan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala


menyuruh kita untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang baik, dan hawalah
merupakan salah satu perbuatan baik

4
Syafri Muhammad Noor, Akad Hawalah ( Fiqh Pengalihan Hutang) Cet I, (Jakarta Selatan: Rumah Fiqh
Publishing, 2019), hlm.11-14.
5

2. Hadits dan Sunnah

Landasan syariah Hawalah: Abi Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:


Sabda Rosullah saw:

‫ ْع‬zَ‫ ُد ُك ْم َعلَى َملِ ٍّي فَ ْليَ ْتب‬z‫ي ظُ ْل ٌم فَإ ِ َذا أُ ْتبِ ُع أَ َح‬ ْ ‫صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل َم‬
َّ ِ‫ط ُل ال َغن‬ َ ِ‫ض َي هَّللا ُ عَنهُ أَ َّن َرسُوْ َل هللا‬
ِ ‫ع َْن أَبِى هُ َر ْي َرةَ َر‬
‫(رواه بخري مسلم‬

“Dari Abu Khurairah Radhiyallah Anhu, bahwa Rasulullah Shallahhu Alaihi wa Sallam
bersabda, ‘penundaan pembayaran utang oleh orang kaya adalah kezaliman. Jika salah
seorang di antara kalian diminta untuk mengalihkan utang kepada orang kaya, maka
hendaklah dia menerimanya,. (HR Bukhari-Muslim).5

Hawalah diperbolehkan berdasarkan dalil dari Al-Sunnah. Dasar hukum dari Al-
Sunnah adalah Hadis riwayat Abu Hurairah:

“dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rasulullah bersabda: penguluran


pembayaran utang yang dilakukan oleh seorang kaya merupakan sebuahh bentuk
kezaliman. Jika (pembayaran piutang) salah seorang diantara kalian dialihkan kepada
orang lain yang mudah membayar utang, hendaklah pengalihan tersebut diterima.6

Dalam hadits tersebut, Rasulullah memerintahkan kepada orang yang


menghutangkan, apabila orang yang berhutang mengalihkan pembayarannya kepada
orang kaya dan mampu, dianjurkan untuk menerima tawaran tersebut. Dan ia harus
menagih orang yang mendapat pengalihan (muhal’alaih) agar haknya terpenuhi. Ada
sebagian orang yang berpendapat bahwa hiwalah itu tidak sejalan dengan qias, karena hal
itu sama saja jual beli utang dengan utang, sedangkan jual beli utang dengan utang itu
terlarang. Pendapat ini dibantah oleh Ibnul Qayyim, ia menjelaskan bahwa hiwalah itu
sejalan dengan qias, karena termasuk jenis pemenuhan hak, bukan termasuk jenis jual
beli.

5
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari Juz 2, Dar al-Fikr, Beirut, tt, hlm. 37.
6
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016), hlm. 235.
6

3. Ijma'

Para ulama sepakat membolehkan hawalah. Hawalah atau hiwalah dibolehkan


pada hutang yang tidak berbentuk barang/ benda, karena hawalah atau hiwalah adalah
perpindahan utang, oleh sebab itu harus pada utang atau kewajiban finansial. 7 Para
ulama menjelaskan bahwa akad hawalah ini sudah menjadi konsensus dikalangan para
ulama, diantara yang menjelaskan adalah:

a). Ibnu Mulaqqin (w. 804 H)

Dalam kitabnya At-Taudhih Syarh Al-Jami’ Al-Shahih bahwa perkara hawalah


sudah menjadi kesepakatan para ulama tentang kebolehannya.

b). Al-Mawwaq Abu Abdillah Al-Abdari (w. 898H)

Dalam kitabnya At-Taj wal Iklil li Mukhtashar Khalil, beliau mengatakan:

‫لم يختلف ف جواز الحوالة‬

“Para ulama tidak berbeda pendapat (sepakat) tentang kebolehan akad hawalah”

c). Al-Mawardi (w. 450 H)

Dalam kitabnya Al-Hawi al-Kabir, beliau menjelaskan8:

. ‫األصل ف جواز الحوالة السنةواإلجماع‬

“Dasar tentang kebolehan melakukan hawalah terdapat pada As-Sunnah dan Ijma.”

d). Imam Nawawi (w. 676 H)

Dalam kitabnya Raudhatu At-Thalibin, beliau juga menegaskan bahwa hawalah


merupakan perkara yang sudah disepakati tentang kebolehannya.

7
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta : Gema Insani, 2012), hlm.127.
8
Al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir, Juz 6, hlm. 417.
7

‫أصلها مجمع عليه‬

“Pada asalnya hawalah itu sudah disepakati (kebolehannya).”

e). Ibnu Qudamah (w. 620 H)

Dalam kitabnya Al-Mughni, beliau juga mengatakan:

‫أجمع أهل العلم عىل جواز الحوالة فالجملة‬

“Secara umum, para ulama sepakat atas kebolehan untuk hawalah.

4. Fatwa

Ulama juga telah berijma mengenai diperbolehkannya hawalah. Selain dasar


hukum dari al-sunnah dan ijma juga ada legitimasi dalam KHES pasal 319-328 9

C. Rukun dan Syarat-syarat Akad Hiwalah

1. Rukun Hiwalah

Menurut madzhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan yang dilakukan
hiwalah) dari muhil (pihak pertama) dan Kabul (pernyataan menerima hiwalah) dari
muhal (pihak kedua) kepada muhal ‘alaih (pihak ketiga). Menurut madzhab Maliki,
Syafi’i dan Hanbali, rukun hiwalah ada 6 yaitu:

a. Muhil

Muhil adalah orang yang memindahkan utang. Muhil harus orang yang baliq,
berakal, maka batal/ tidak sah hiwalah yang dilakukan muhil dalam keadaan gila
atau masih kecil.

b. Muhal

Muhal adalah orang yang menerima hiwalah ( orang yang menerima pemindahan
hak, pemberi pinjaman, yaitu pemilik piutang yang wajib dibayar oleh pihak

9
Nasrun haroen, fiqih muamalah, (jakarta: Gaya media pratama,2007), hlm. 221.
8

yang memindahkan utang). Muhtal harus orang yang baliq, berakal, dan tidak
sah jika hiwalah dilakukan Muhtal yang tidak berakal.

c. Muhal ‘alaih

Muhal 'alaih adalah orang yang dihiwalahi (penerima akad pemindahan


utang), juga disyaratkan baliq, berakal dan meridho’i.

d. Piutang milik muhal yang wajib dilunasi oleh muhil ( objek hukum akad
pemindahan utang).

e. Piutang milik muhil yang wajib dikunasi oleh muhal'alaih.

f. Sighat (ijab dan Qabul)10

Sighat hiwalah yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya, “Aku


hiwalahkan utangku yang hak bagi engkau kepada fulan” dan kabul dari muhal
dengan kata-katanya, “Aku terima hiwalah engkau”. Menurut Syafi’iyah rukun
hiwalah itu ada empat, yaitu sebagai berikut:

a. Muhil yaitu orang yang menghiwalahkan atau yang memindahkan utang.

b. Muhtal yaitu orang orang yang menghiwalahkan, yaitu orang mempunyai utang
kepada Muhil.

c. Muhal'alaih, yaitu orang yang menerima hiwalah.

d. Sighat hiwalah, yaitu ijab dari Muhil dengan kata-katanya, “aku hiwalahkan
utangku yang hak bagi engkau kepada anu” dan kabul dari muhtal dengan kata-
katanya , “aku terima hiwalah engkau”.11

2. Syarat Hiwalah menurut Hanafiyah adalah12 :

10
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Imam Syafi'i 2, (Jakarta: Almahira, 2010), hlm. 150-151.

11
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), hlm.102.
9

a. Muhil, yaitu orang yang memindahkan utang. Ia berutang pada seseorang dan
mempunyai piutang pada seseorang lalu, ia memindahkan pembayaran utangnya atas
orang yang berutang padanya. Syarat-syaratnya adalah:

1). Cakap dalam melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baliq, berakal,
tidak sah hiwalah dilakukan oleh anak kecil walaupun ia sudah mengerti
(Mumayyiz).

2). Ada persetujuan (ridho), Jika pihak Muhil ada paksaan untuk melakukan hiwalah,
maka akad tidak sah. Persyaratan dibuat berdasarkan pertimbangan, bahwa
sebagian orang keberatan dan terhina harga dirinya, jika kewajiban untuk
membayar utang dialihkan kepada orang lain, meskipun pihak lain itu memang
berutang kepadanya, karena itu ridho muhil mesti ada.

b. Muhal ‘alaih adalah orang yang dihiwalahi (orang yang berkewajiban melaksanakan
hiwalah), ia adalah orang yang mempunyai utang orang yang pertama (muhil), orang
yang berkewajiban melaksanakan hiwalah. Syarat-syaratnya adalah:

1). Cakap dalam melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baliq, berakal,
tidak sah hiwalah dilakukan oleh anak kecil walaupun ia sudah mengerti
(Mumayyiz).

2). Ada persetujuan (ridho), Jika pihak Muhil ada paksaan untuk melakukan
hiwalah, maka akad tidak sah. Persyaratan ini ditetapkan berdasarkan
pertimbangan, bahwa kebiasaan orang dalam membayar utang berbeda-beda ada
yang mudah dan ada pula yang sulit, sedangkan menerima pelunasan itu
merupakan hak pihak kedua. Jika hiwalah dilakukan secara sepihak saja, pihak
kedua dapat saja merasa dirugikan, umpamanya apabila ternyata pihak ketiga
sudah membayar utang tersebut.

c. Muhal adalah orang yang menerima hiwalah atas hiwalah muhil, ia merupakan orang
yang berpiutang pada pihak pertama (muhil). Syarat-syaratnya adalah :
12
Sri Sudiarti, Fiqh Muamalah Kontemporer, (Medan: FEBI UIN-SU Press, 2018), hlm. 177-178.
10

1). Cakap dalam melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baliq,
berakal, tidak sah hiwalah dilakukan oleh anak kecil walaupun ia sudah
mengerti (Mumayyiz).

2). Ada persetujuan (ridho), Jika pihak muhil ada paksaan untuk melakukan
hiwalah, maka akad tidak sah. Sebagian pendapat mengatakan bahwa yang
berhak rela (rihdo), adalah muhtal dan muhil, bagi muhal ‘alaih rela atau tidak
akan mempengaruhi sahnya hiwalah.

d. Adanya utang, yaitu utang muhtal kepada muhil dan utang muhil kepada muhal ‘alaih.
Syarat yang diperlukan terhadap utang yang dialihkan, ialah:

1). Sesuatu yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk utang
piutang yang sudah pasti.

2). Kedua utang yang dialihkan adalah sama, baik jenisnya maupun kadarnya,
penyelesaiannya, tempo waktu, jumlahnya.

e. Shiqat Hiwalah, adalah ijab dan qobul. Ijab dari muhil dengan kata-katanya “Aku
menghiwalahkan utangku kepada si Anu”. Dan Qobul adalah dari muhal ‘alaih dengan
kata-katanya “ Aku terima hiwalah engkau”.

D. Hukum-hukum Hiwalah dan Berakhirnya Hiwalah

1. Hukum-hukum Hiwalah

Al-Hiwaalah memiliki beberapa konsekuensi hukum seperti berikut 13:

a. Pihak al-Muhiil terbebas dari tanggungan, Utang yang ada (al-Muhaal bihi).
Apabila akad al-Hawalah telah sempurna dengan adanya qabul (persetujuan), maka
menurut mayoritas ulama, pihak al-Muhiil secara otomatis terbebas dari
tanggungan utang yang ada, dan bentuk-bentuk jaminan utang yang ada berupa ar-

13
Wahbah Az-Zuhail, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 6, (Darul Fikir: Gema Insani), hlm.98-100.
11

Rahnu (gadai) dan al-Kafaalah (penjaminan) tidak ikut berpindah, akan tetapi
statusnya ikut berakhir dan selesai.

Al-Hasan al Bashri berpendapat bahwa pihak al-Muhiil tidak bisa terbebas dari
tanggungan utang yang ada kecuali dengan adanya al-lbraa'
[pembebasan).Sementara itu, Zufar; salah satu ulama madzhab Hanafi, berpendapat
bahwa dengan adanya al-Hawaalah tidak berarti pihak al-Muhiil lantas terbebas
dari tanggungan utang yang ada. Akan tetapi utang tersebut statusnya tetap menjadi
tanggungannya seperti semula ketika belum ada al-Hawaalah.

Dalam hal ini, Zufar mengqiyaskan atau menganalogikan akad al-hawaalah dengan
akad al- Kafaalah, karena keduanya merupakan bentuk akad at-Tawatstsuq
(penguatan atau penjaminan hak). Namun pendapat Zufar ini tidak benar karena
nama al-Hawaalah diambil dari kata at-Tahwiil yang berarti an-Natqlu
(memindahkan, mengalihkan), yaitu memindahkan dan mengalihkan hak. Maka
karena itu, di dalamnya terkandung makna al-lntiqaal fberpindah). Sementara
sesuatu jika berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain, maka sesuatu tersebut
tidak ditemukan lagi di tempat yang pertama. Sementara makna at-Tawatstsuq
maksudnya adalah mudahnya pihak yang memiliki hak untuk mendapatkan haknya
dengan memilih pihak yang lebih baik lebih sesuai dan lebih bisa untuk memenuhi
haknya.

Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf berpendapat bahwa al-HawaaIah adalah
memindahkan penagihan dan utang sekaligus dari tanggungan pihak al-Madiin (al-
Muhiil) kepada tanggungan pihak al-Muhaal'alaihi. Akan tetapi utang yang ada
kembali menjadi tanggungan pihak al-Muhiil apabila terjadi at-Tawaa pada diri al-
Muhaal'alaihi (at-Tawaa adalah pihak al-Muhaal 'alaihi meninggal dunia dalam
keadaan pailit atau tidak meninggalkan apa-apa yang bisa digunakan untuk
membayar tanggungan utang yang ada, atau al-Muhaal 'alaihi mengingkari adanya
al-Hawaalah sementara tidak ada bayyinah atau saksi yang bisa mementahkan
pengingkaran tersebut.
12

Sedangkan Abu Yusuf dan Muhammad memberi tambahan, yaitu pihak al-
Muhaal'alaihi mengalami kesulitan dalam keadaan masih hidup). Oleh karena itu,
seandainya pihak yang berpiutang [maksudnya al-Muhaal) meng ibrat:kan
(membebaskan) pihak al- Muhaal'alaihi dari tanggungan utang yang ada, maka al-
Ibraa'tersebut sah. Namun jika yang ia ibrqa'-kan atau ia bebaskan dari tanggungan
utang yang ada adalah pihak yang berutang (al-Muhfil), maka pembebasan tersebut
tidak sah.

Sementara itu, Muhammad berpendapat bahwa al-Hawaalah adalah memindah


penagihan saja atau dengan kata lain yang dipindahkan dan dialihkan dengan
adanya al-Hawaalah adalah hanya penagihan saja, tidak mencakup utang yang ada.
Oleh karena itu, yang berpindah hanya penagihan saja, sedangkan utang yang ada
masih tetap berada di dalam tanggungan pihak al-Muhiil.

Sedangkan menurut Zufar seperti yang telah kami jelaskan di atas adalah bahwa
kedua-duanya (maksudnya penagihan dan tanggungan utang) tidak berpindah dari
tanggungan al-Muhiil kepada tanggungan al-Muhaal'alaihi atau dengan kata lain
tidak berpindah menjadi tanggungan al-Muhaal 'alaihi. Akan tetapi tanggungan al-
Muhaal 'alaihi digabungkan kepada tanggungan pihak al-Muhiil di dalam hal
penagihan. Berdasarkan pendapat ini, berarti al-Muhqal 'alaihi posisinya adalah
sebagai kafiil (penjamin) pihak al-Muhiil.

b. Tertetapkannya kewenangan penagihan bagi pihak al-Muhaal kepada pihak al-


Muhaal 'alaihi terhadap utang yang berada di dalam tanggungannya. Karena al-
Hawaalah menghendaki adanya pemindahan ke dalam tanggung jawab pihak al-
Muhaal'alaihi, yaitu pemindahan utang dan penagihan sekaligus berdasarkan
pendapat yang kami nilai lebih kuat.

c. Apabila al-Hawaalah yang ada atas perintah dan keinginan pihak al-Muhiil
sedangkan pihak al-Muhaal 'alaihi tidak memiliki tanggungan utang kepada pihak
al-Muhiil yang utang itu menyamai utang yang menjadi tanggungan pihak al-
Muhiil kepada pihak ol-Muhaal, maksudnya aI-Hawaalah yang ada adalah
berbentuk mutlah maka jika pihak al-Muhaal terus menekan dan membuntuti pihak
13

al-Muhaal'alaihi, maka pihak al-Muhaal'alaihi juga boleh melakukan hal yang sama
terhadap al-Muhiil agar ia bisa terbebas dari penekanan dan pembuntutan pihak al-
Muhaal.

Dan apabila pihak al-Muhaal menahan pihak al-Muhaal 'alaihi, maka pihak ol-
Muhaal 'alaihi juga boleh melakukan hal yang sama terhadap al-Muhiil, yaitu
menahannya. Namun apabila al-Hawaalah tersebut tidak atas perintah pihak al-
Muhiil, atau atas perintahnya namun pihak al-Muhal 'alaihi memang memiliki
tanggungan utang kepada pihak al-Muhiil yang utang itu menyamai utang pihak al-
Muhiil kepada pihak al-Muhaal, atau dengan kata lain al-Hawalah yang ada adalah
berbentuk muqayyad, maka jika pihak al-Muhaal terus mengejar dan membuntuti
pihak al-Muhaal 'alaihi atau sampai menahannya, maka pihak al-Muhaal 'alaihi
tidak bisa melakukan hal yang sama terhadap pihak al-Muhiil.

d. Hukum menerima hiwalah

Setelah mengetahui tentang hukum hawalah (pengalihan hutang kepada


orang lain), maka yang jadi pertanyaan selanjutnya adalah orang yang memiliki
piutang, apakah wajib menerima akad hawalah dari orang yang punya hutang
kepadanya, atau pemilik piutang (muhal) boleh memilih antara menerima atau
menolaknya? Dalam permasalahan ini, para ulama berselisih pandangan menjadi
tiga pendapat:

1). Wajib

Menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab hambali dan dhahiriyah,


ketika orang yang mempunyai hutang mengalihkan hutangnya kepada
orang lain, maka wajib hukumnya bagi orang yang mempunyai piutang
tersebut untuk menerima akadpengalihan hutangnya (hawalah). Hal ini
berdasarkan pada sabda nabi yang berbunyi: ”hendaklah menerima”
dimaknai sebagai perintah yang wajib dilaksanakan.
14

2). Mustahab

Kebanyakan ulama hanafiah, malikiah dan syafiiah menyatakan


bahwa hukum menerima pengalihan hutang ke orang lain adalah
mustahab. Ibnu Mulaqqin (w. 804 H) menjelaskan dalam kitabnya14:

“Dalam madzhab syafii dan selainnya dinyatakan bahwa jika


hutangnya dialihkan kepada orang yang mampu membayarkannya,
maka dianjurkan kepada orang yang mampu tersebut untuk
menerimanya. Dan para ulama tersebut memahami perintah dalam
hadits tentang pengalihan hutang sebagai anjuran saja (tidak sampai
wajib), karena hal tersebut termasuk mempermudah urusannya orang
yang sedang kesusahan.

Imam Qurtubi juga memperkuat penjelasannya:

‫وهذا األمر عند الجمهور محمول عىل الندب؛ ألنه من باب المعروف والتيسربعىل المعرس‬

“Perintah (dalam hadits tentang pengalihan hutang) dipahami oleh


mayoritas ulama sebagai anjuran, karena termasuk perbuatan yang
baik dan mempermudah urusannya orang yang kesulitan.”

3). Boleh

Sedangkan menurut pendapat ulama hanafiah, sebagian ulama


malikiah dan syafiiah menganggap bahwa menerima hawalah dari
orang yang berhutang kepadanya adalah diperbolehkan, boleh untuk
menerima, boleh juga untuk tidak menerima. Tidak sampai pada hukum
sunnah atau bahkan wajib. Ibnu Humam menjelaskan dalam kitabnya:

‫ وهو دليل جواز نقل الدين رشارشعأو المطالبة به‬،‫والحق الظاهر أنه أمر إباحة‬

“Pendapat yang benar adalah perintah tersebut bersifat kebolehan,


dan hadits tersebut merupakan dalil atas dibolehkannnya secara
syariat untuk mengalihkan hutang.”
14
Ibnu Mulaqqin, At-Taudhih Syarh Al-Jami’ Al-Shahih, Juz 15, hlm. 116
15

e. Akibat Hukum Hiwalah

Jika akad hiwalah telah terjadi, maka timbul akibat hukum dari akad
tersebut, antara lain:

1) Jumhur ulama berpendapat bahwa kewajiban pihak pertama untuk


membayar utang kepada pihak kedua secara otomatis menjadi terlepas.
Sedangkan menurut sebagian ulama Mazhab Hanafi, kewajiban tersebut
masih tetap ada, selama pihak ketiga belum melunasi utangnya kepada pihak
kedua, karena sebagaimana disebutkan sebelumnya, mereka memandang
bahwa akad tersebut didasarkan atas prinsip saling percaya.

2) Akad hiwalah menyebabkan lahirnya hak bagi pihak kedua untuk


menuntu pembayaran utang kepada pihak ketiga.

3) Mazhab Hanafi yang membenarkan terjadinya hiwalah al-mutlaqah


berpendapat bahwa jika akad hiwalah al-mutlaqah terjadi karena inisiatif
dari pihak pertama, maka hak dan kewajiban antara pihak pertama dan pihak
ketiga yang mereka tentukan ketika melakukan akad utang-piutang
sebelumnya masih tetap berlaku, khususnya jika jumlah utang-piutang
antara ketiga pihak tidak sama.

4) Adapun resiko yang harus diwaspadai dari kontrak hiwalah adalah


adanya kecurangan nasabah dengan member invoice palsuwanprestasi
(ingkar janji) untuk memenuhi kewajiban hiwalah ke bank.

2. Berakhirnya Hiwalah

Akad Hiwalah dapat berakhir oleh beberapa sebab, diantaranya adalah sebagai
berikut:

1. Karena dibatalkan atau fasakh. Ini terjadi jika akad hiwalah belum
dilaksanakan sampai tahapan akhir lalu difasakh. Dalam keadaan ini hak
penagihan dari muhal akan kembali lagi kepada muhil.
16

2. Hilangnya hak muhal' alaih karena meninggal dunia atau bangkrut atau ia
mengingkari adanya akad hiwalah sementara muhal tidak dapat menghadirkan
bukti atau saksi.

3. Jika muhal 'alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada muhal. Ini berarti
akad hiwalah benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.

4. Meninggalnya muhal sementara Muhal ‟alaih mewarisi harta hiwalah karena


pewarisan merupakan salah satu sebab kepemilikan. Jika akad inihiwalah
muqoyyadah, maka berakhirlah sudah akad hiwalah itu menurut madzhab
Hanafi.

5. Jika Muhal menghibahkan atau menyedekahkan harta hiwalah kepada


muhal'alaih dan ia menerima hibah tersebut.

6. Jika muhal menghapuskan kewajiban membayar hutang kepada muhal 'alaih15.

15
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Predana Media Group, 2012), hlm. 270.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Al-Hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain
yang wajib menanggungnya. Dalam istilah para ulama, hal ini merupakan pemindahan
beban dari muhil (orang yangberutang) menjadi tanggungan muhal‘alaih atau orang yang
berkewajiban membayar utang. Hiwalah adalah akad pemindahan hutang/piutang suatu
pihak kepada pihak lain. Akad ini bertujuan untuk mengambil alih piutang dari pihak lain.
Dengan demikian hiwalah adalah pengalihan hutang dari orang yang berhutang
kepada orang lain yang bersedia menanggungnya dengan nilai yang sama dengan nilai
nominal hutangnya.

Hiwalah ini disyari’atkan oleh Islam dan dibolehkan olehnya karena adanya
masalahat, butuhnya manusia kepadanya serta adanya kemudahan dalam bermuamalah.
Dalam hiwalah juga terdapat bukti sayang kepada sesama, mempermudah muamalah
mereka, memaafkan, membantu memenuhi kebutuhan mereka, membayarkan utangnya
dan menenangkan hati mereka. Berikut dasar hukum disyariatkannya akad hiwalah

Akad Hiwalah dapat berakhir oleh beberapa sebab. Karena dibatalkan atau fasakh,
hilangnya hak muhal' alaih karena meninggal dunia atau bangkrut, jika muhal 'alaih telah
melaksanakan kewajibannya kepada muhal, meninggalnya muhal sementara Muhal ‟alaih
mewarisi harta hiwalah karena pewarisan merupakan salah satu sebab kepemilikan

B. Saran

Kami sebagai penulis menyadari bahwa masih terdapat kesalahan dalam penulisan
makalah ini. Oleh karena itu kami harap pembaca bersedia memberikan masukan dan
kritik terhadap makalah yang kami sampaikan bermanfaat bagi kita semua.

17
DAFTAR PUSTAKA

Al-Bukhari,Muhammad bin Ismail. Shahih Al-Bukhari Juz 2. Dar al-Fikr Beirut

Al-Mawardi. Al-Hawi al-Kabir. Juz 6

Anshori, Abdul. 2009. Perbankan Syariah Di Indonesia . Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press

Az-Zuhaili, Wahbah.2010, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 6. Darul Fikir: Gema Insan

Az-Zuhaili, Wahbah . 2010. Fiqih Imam Syafi'i 2. Jakarta: Almahira

As-Sarbini Khatib, Mughni Muhtaj Sharh al-Minhaj, (Kairo: al-Babi al-Halabi), vol. II

Haroen, Nasrun. 2007. fiqih muamalah. Jakarta: Gaya media pratama

Mustofa, Imam. 2016. Fiqih Muamalah Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Muhammad Noor Syafri. 2019. Akad Hawalah ( Fiqh Pengalihan Hutang) Cet I. Jakarta
Selatan: Rumah Fiqh Publishing

Mulaqqin, Ibnu . At-Taudhih Syarh Al-Jami’ Al-Shahih. Juz 15

Mardani. 2012. Fiqh Ekonomi Syariah. Jakarta: Predana Media Group

Sudiarti, Sri. 2018. Fiqh Muamalah Kontemporer. Medan: FEBI UIN-SU Press

Suhendi,Hendi. 2007. Fiqh muamalah . Jakarta: Rajawali Pers

Suhendi, Hendi. 2014. Fiqh Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Syafii Antonio, Muhammad. 2012. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta : Gema
Insani

18

Anda mungkin juga menyukai