Anda di halaman 1dari 40

Metodologi Penelitian Pendidikan Khusus

“Proposal Penelitian Kualitatif”

Dosen Pengampu :

Drs. H. Ahmad Asep Sopandi, M. Pd

Disusun Oleh :

Istiqomah Aini 18003085

PENDIDIKAN LUAR BIASA

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2021
A. Komponen Proposal Penelitian Kualitatif
Komponen dalam proposal penelitian kualitatif, tidak berbeda dengan
penelitian kuantitatif. Seperti telah dikemukakan yang berbeda adalah
bahwa, semua komponen dalam proposal penelitian kuantitatif sudah
merupakan hal yang baku, sedangkan dalam proposal penelitian kualitatif
bersifat sementara, dan akan berkembang setelah peneliti berada
dilapangan. Setelah di lapangan mungkin masalah, fokus, teori, teknik
pengumpulan data, teknik analisis data, bahkan judul penelitian bias
berubah. Komponen dalam proposal penelitian tersebut secara garis
besarnya terdiri atas, pendahuluan, landasan teori, metode penelitian,
jadwal penelitian dan sistematika penulisan dalam (Kehutanan et al.,
2016).
1. Pendahuluan
a. Latar Belakang
Penelitian Kualitatif Walaupun dalam penelitian
kualitatif, masalah ini bersifat sementara, namun perlu
dikemukakan dalam proposal penelitian. Masalah
merupakan penyimpangan antara yang diharapkan dengan
yang terjadi, penyimpangan antara teori dengan praktek,
penyimpangan antara aturan dengan pelaksanaan,
penyimpangan antara tujuan dengan hasil yang dicapai.
Setiap masalah pasti ada yang melatarbelakangi. Dalam
latar belakang masalah ini perlu dikemukakan gambaran
keadaan yang sedang terjadi selanjutnya dikaitkan dengan
peraturan/kebijakan, perencanaan, tujuan, teori,
pengalaman, sehingga terlihat adanya kesenjangan yang
merupakan masalah. Masalah ini perlu dikemukakan dalam
bentuk data, bisa diperoleh dari studi pendahuluan,
dokumentasi laporan penelitian, atau pernyataan orang-
orang yang dinggap kredibel dalam media baik media cetak

1
maupun elektronika. Peneliti juga tidak harus berangkat
dari masalah, tetapi dari potensi. Potensi tersebut dapat
berkembang menjadi masalah karena potensi tersebut tidak
dapat didayagunakan, maka perlu dilakukan penelitian
b. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, selanjutnya
dibuat rumusan masalanya. Rumusan masalah merupakan
pertanyaan penelitian, yang jawabannya dicarikan melalui
penelitian. Rumusan masalah dalam penelitian kualitatif
tidak berkenaan dengan variabel penelitian, yang bersifat
spesifik, tetapi lebih makro (luas) dan berkaitan dengan
kemungkinan apa yang terjadi pada objek/situasi sosial
penelitian tersebut.
c. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian adalah untuk
menemukan, mengembangkan dan membuktikan
pengetahuan. Sedangkan secara khusus tujuan penelitian
kualitatif adalah untuk menemukan. Dengan metode
kualitatif, maka peneliti dapat menemukan pemahaman luas
dan mendalam terhadap situasi sosial yang kompleks,
memahami interaksi dalam situasi sosial tersebut sehingga
dapat ditemukan pola hubungan yang akhirnya dapat
dikembangkan menjadi teori. Dalam proposal tujuan
penelitian terkait dengan rumusan masalah, yaitu untuk
mengetahui segala sesuatu setelah rumusan masalah itu
terjawab melalui pengumpulan data. Dengan demikian
kalau rumusan masalahnya adalah “Bagaimanakah
pemahaman orang-orang yang ada dalam organisasi itu
tentang arti dan makna manajemen”, maka tujuan
penelitiannya adalah untuk mengetahui pemahaman orang-

2
orang yang ada dalam organisasi itu tentang arti dan makna
manajemen.
d. Manfaat Penelitian
Setiap penelitian diharapkan memiliki manfaat.
Manfaat tersebut bisa bersifat teoritis dan praktis. Untuk
penelitian kualitatif, manfaat penelitian lebih bersifat
teoritis, yaitu untuk pengembangan ilmu, namun juga tidak
menolak manfaat praktisnya untuk memecahkan masalah.
Bila peneliti kualitatif dapat menemukan teori, maka akan
berguna untuk menjelaskan, memprediksikan, dan
mengendalikan gejala.
2. Tinjauan Pustaka
Tinjauan Pustaka berkaitan dengan kajian teoritis dan
referensi lain yang terkait dengan nilai, budaya, dan norma yang
berkembang pada situasi sosial yang diteliti. Terdapat 3 (tiga)
kriteria terhadap teori yang digunakan sebagai landasan dalam
penelitian, yaitu relevansi, kemutakhiran, dan keaslian. Relevansi
berarti teori yang dikemukakan sesuai dengan permasalahan yang
diteliti. Kalau yang diteliti masalah kepemimpinan, maka teori
yang dikemukakan berkenaan dengan kepemimpinan, bukan teori
sikap dan motivasi. Kemutakhiran berarti terkait dengan kebaruan
teori atau referensi yang digunakan. Pada umumnya referensi yang
sudah lebih dari 5 (lima) tahun diterbitkan dianggap kurang
mutakhir. Penggunaan Journal atau internet sebagai referensi untuk
mengemukakan landasan teori lebih diutamakan. Keaslian terkait
dengan keaslian sumber, maksudnya supaya peneliti menggunakan
sumber aslinya dalam mengemukakan teori. Jangan sampai peneliti
mengutip dari kutipan orang lain, dan sebaiknya dicari sumber
aslinya.
Dalam landasan teori ini perlu dikemukakan definisi setiap
focus yang akan diteliti, ruang lingkup keluasan serta

3
kedalamnnya. Dalam definisi perlu dikemukakan definisi-definisi
yang sejalan maupun yang tidak sejalan, jadi dikontraskan. Dengan
demikian maka landasan teori yang dikemukakan semakin kuat.
Dalam penelitian kualitatif, teori yang dikemukakan bersifat
sementara, dan akan berkembang atau berubah setelah peneliti
berada dilapangan. Selanjutnya dalam landasan teori, tidak perlu
dibuat kerangka pikir sebagai dasar untuk perumusan hipotesis,
karena dalam penelitian kualitatif tidak akan menguji hipotesis,
tetapi justru menemukan hipotesis.
3. Metode Penelitian
a. Tipe penelitian
Tipe penelitian kualitatif yaitu suatu metode
penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme,
digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang ilmiah
dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna
daripada generalisasi.
b. Lokasi dan Waktu Penelitian
Dalam hal ini perlu dikemukakan tempat dimana
situasi sosial tersebut akan diteliti serta waktu pelaksanaan
penelitian. Misalnya di sekolah, di perusahaan, di lembaga
pemerintah, di jalan, di rumah dan lain-lain.
c. Jenis dan Sumber Data
Bagian ini menjelaskan jenis data dan sumber data
yang dikumpulkan. Jenis data yang digunakan adalah data
kualitatif yaitu jenis data yang tidak dapat diukur dalam
skala numerik (angka) atau data yang disajikan dalam
bentuk deskriptif atau berbentuk uraian, sedangkan sumber
data berupa data primer yang diperoleh dari informan dan
data sekunder sebagai data pendukung penelitian.
Penentuan informan sebagai sumber data informasi pada
proposal masih bersifat sementara, dan akan berkembang

4
kemudian setelah peneliti dilapangan. Namun demikian
perlu menyebutkan siapa-siapa yang kemungkinan akan
digunakan sebagai sumber data. Yang menjadi kepedulian
bagi peneliti kualitatif adalah “tuntasnya” perolehan
informasi dengan keragaman variasi yang ada, bukan
banyaknya informan. Siapa yang dijadikan informan
sebagai sumber data, dan berapa jumlahnya dapat diketahui
setelah penelitian selesai. Jadi tidak dapat disiapkan sejak
awal atau dalam proposal.
d. Teknik Pengumpulan Data
Pada bagian ini dikemukakan bahwa dalam
penelitian kualitatif, teknik pengumpulan data yang utama
adalah observasi partisipan, wawancara mendalam, studi
dokumentasi, dan gabungan ketiganya atau triangulasi.
Perlu dikemukakan kalau teknik pengumpulan datanya
dengan observasi, maka perlu dikemukakan apa yang
diobservasi, kalau wawancara, kepada siapa akan
melakukan wawancara. Hal lain yang perlu dipersiapkan
untuk wawancara yaitu alat perekam (Voice Recorder)
untuk membuat transkrip hasil wawancara dengan informan
dan beberapa alat tulis bila diperlukan untuk pencatatan.
e. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian kualitatif, teknik analisis data
lebih banyak dilakukan bersamaan dengan pengumpulan
data. Dalam penelitian kualitatif peneliti telah melakukan
analisis data sebelum peneliti memasuki lapangan namun
masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah
peneliti masuk dan selama di lapangan. Menurut Miles dan
Hubermen aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan
secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus
sampai tuntas, sehingga datanya jenuh. Ukuran kejenuhan

5
data ditandai dengan tidak diperolehnya lagi data atau
informasi baru. Aktivitas dalam analisis meliputi reduksi
data (data reduction), penyajian data (data display), dan
penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion
drawing/verification).
4. Pelaksanaan Penelitian
a. Jadwal Penelitian
Setiap rancangan penelitian perlu dilengkapi dengan
jadwal kegiatan yang akan dilaksanakan sesuai lokasi dan
waktu penelitian. Dalam jadwal berisi kegiatan apa saja
yang akan dilakukan, dan berapa lama akan dilakukan.
Pada umumnya penelitian memerlukan waktu selama 3
bulan.
b. Rencana Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian kualitatif dibagi dalam 5 (lima) bab
dan dalam tiap bab terdiri dari sub-sub bab. Adapun contoh
rincian masing-masing bab adalah sebagai berikut :
a) BAB I : Pendahuluan
Bagian ini menjelaskan latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan
manfaat penelitian.
b) BAB II : Tinjauan Pustaka
Bagian ini menjelaskan landasan teori (teori
atau definisi menurut beberapa ahli, penelitian
terdahulu, dan sebagainya).
c) BAB III : Metode Penelitian
Bagian ini menjelaskan tipe penelitian,
lokasi dan waktu penelitian, jenis dan sumber data,
teknik pengumpulan data, teknik analisis data.
d) BAB IV : Hasil Penelitian Dan Pembahasan

6
Bagian ini menjelaskan deskripsi lokasi
penelitian, hasil penelitian, dan pembahasan.
e) BAB V : Kesimpulan Dan Saran
Bagian ini menjelaskan kesimpulan dan
saran untuk objek penelitian.
B. Sistematika Proposal Penelitian Kualitatif
Alternative sistematika proposal skripsi dengan pendekatan kualitatif
adalah sebagai berikut:

JUDUL

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pada bagian ini berisi tentang sejarah dan peristiwa-peristiwa yang
sedang terjadi pada suatu obyek penelitian,tetapi dalam peristiwa
itu,sekarang tampak ada penyimpangan-penyimpangan dari standard yang
ada,baik standard yang besifat keilmuan ataupun aturan-aturan.Oleh
karena itu dalam latar belakang ini,peneliti harus dapat menunjukkan
adanya suatu penyimpangan yang ditunjukkan dengan data dan
menuliskan mengapa hal ini perlu diteliti.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah diatas,maka selanjutnya dapat
dirumuskan masalah penelitian. Setelah masalah yang akan diteliti
ditemukan (variabel apa saja yang akan diteliti, dan bagaimana hubungan
variabel satu dengan yanglain),dan supaya masalah dapat terjawab secara
akurat,makamasalah yang akan ditelit iitu perlu dirumuskan secara
spesifik. Seperti telah diuraikan dalam bab rumusan masalah, sebaiknya
rumusan masalah itu dinyatakan dalam kalimat pertanyaan.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian disini tidak sama dengan tujuan yangada pada
sampul skripsi atau tesis,yang merupakan tujuan formal (misalnya untuk
memenuhi salah satu syarat untuk mendapat gelar sarjana). Tetapi tujuan

7
di dini berkenaan dengan tujuan peneliti dalam melakukan
penelitian.Tujuan peneliti berkaitan erat dengan rumusan masalah yang
dituliskan.Rumusan masalah dan tujuan penelitian ini jawabannya terletak
pada kesimpulan penelitian.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian merupakan dampak dari tercapainya tujuan.Kalau
tujuan penelitia dapat tercapai,dan rumusan masalah dapat terjawab secara
akurat maka sekarang manfaatnya apa. Manfaat hasil penelitian ada dua
hal yaitu:
a. Manfaat untuk mengembangkan ilmu/ manfaat teoritis.
b. Manfaat praktis, yaitu membantu memecahkan dan mengantisipasi
masalah yang ada pada obyekyang diteliti
E. Defenisi Operasional

BAB II KAJIAN TEORI

A. Kajian Teoritis
Deskripsi teori adalah teori-teoriyang relevan yang dapat
digunakan untuk menjelaskan tentang variabel yang akan diteliti,serta
sebagai dasar untuk member jawaban sementara. Teori-teori yang
digunakan bukan sekedar pendapat dari pengarang, pendapat penguasa,
tetapi teori yang betul-betul telah teruji kebenarannya secara empiris. Dan
kajian teoriti dalam penelitian dimamksudkan untuk mengungkapakan
kerangka acuan komprehensif mengenai konsep prinsip atau teori yang
digunakan sebagai landasan pemecehan masalah.
B. Penelitian Yang Relevan
Penelitian yang relevan merupakan acuan bagi peneliti dalam
membuat penelitian.Penelitian yang relevan iniberisikan tentang penelitian
orang lain yang dijadikan sebagai sumber atau bahan dalam membuat
penelitian.Dalam halini peneliti tidak boleh menjiplak penelitian orang
lain,tetapi hanya menjadikan penelitian orang lain tersebut sebagi acuan
dalam membuat penelitian sendiri

8
C. Kerangka Berfikir
Kerangka berpikir merupakan model konseptual tentang
bagaimana teori berhubungan dengan berbagai factor yang telah di
identifikasi sebagai masalah yang penting. Kerangka berpikir dalam suatu
penelitian perlu dikemukakan apabila dalam penelitian tersebut berkenaan
dua variabel atau lebih.
Apabila penelitian hanya membahas sebuah variabel atau lebih
secara mandiri,maka yang dilakukan peneliti disamping mengemukakan
deskripsi teoritis untuk masing-masing variabel,juga argumentasi terhadap
variasi besaran variabel yang diteliti.

BAB III METODE PENELITIAN


A. Pendekatan Penelitian
Yang dimaksud dengan pendekatan disini adalah metode atau cara
mengadakan penelitian seperti halnya: ekperimen atau noneksperimen.
Tetapi disamping itu juga menunjukkan jenis atau tipe penelitian yang
akan diambil, Di pandang dari segi tujuan misalnya eksploratif,
deskriptif atau historis. Masih ada lagi pandangan dari subjek
penelitiannya,misalnya populasi atau kasus.
B. Kehadiran Penelitian
C. Subjek Penelitian
Yang dimaksud dengan subjek penlitian disisni adalah orang yang
dijadikan sumber data dan informasi oleh peneliti untuk riset yang
dilakukannya.
D. Sumber Data
Ada dua macam sumber data dalam penilitian yaitu sumber dat
primer dan sekunder. Sumber data primer adalah sumber data yang
diperoleh langsung oleh peneliti . sedangkan sumber data sekunder
adalah sumber data yang tidak diperoleh llangsung oleh peneliti,
biasanya diperoleh dari pihak lain.
E. Prosedur Pengumpulan Data

9
Yang diperlukan di sini adalah teknik pengumpulan data mana
yang paling tepat, sehingga betul-betul didapat data yang valid dan
reliabel. Jangansemua metode pengumulan data
(angket,observasi,wawancara) diicantumkan kalau sekiranya tidak
dapat dilaksanakan. Selain itu konsekuensidarimencantumkan ke tiga
metode pengumpulan data itu adalah: setiap metode pengumpulan data
yang dicantumkan harus disertai datanya. Memang untuk mendapatkan
data yang lengkap dan obyektif penggunaan berbagai metode sangat
diperlukan, tetapi bila satu metodedipandangmencukupi maka metode
yang lain bila digunakan akan menjadi tidak efisien
F. Teknik Analisis Data

DAFTAR RUJUKAN

LAMPIRAN-LAMPIRAN

C. Proposal Penelitian Kualitatif

PROPOSAL PENELITIAN

PERAN DAN FUNGSI SUPPORTING SYSTEM DALAM


PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI

(Studi kasus tentang peranan dan fungsi suppoting system dalam penyelenggaraan
pendidikan inklusi di sekolah inklusi di Jawa Barat)

Koordinator Peneliti

Drs. Dadang Garnida, M.Pd

Peneliti:

10
Dra. Lela Helawati Pridi, M.Pd

Drs. Achyar, M.Pd

Dra. Dewi Agustini, M.Pd

dr. Ana Lisdiana, S.Ked

Tia Nurmalasari, S.Psi

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

PUSAT PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN PENDIDIK DAN


TENAGA KEPENDIDIKAN TAMAN KANAK-KANAK DAN PENDIDIKAN
LUAR BIASA

BANDUNG 2008

PROPOSAL PENELITIAN

PERAN DAN FUNGSI SUPPORTING SYSTEM DALAM


PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI

11
(Studi kasus tentang peranan dan fungsi suppoting system dalam penyelenggaraan
pendidikan inklusi di sekolah inklusi di Jawa Barat)

A. Latar Belakang Penelitian

Pembangunan pendidikan merupakan bagian penting dari upaya


menyeluruh dan sungguh-sungguh untuk meningkatkan harkat dan martabat
bangsa. Keberhasilan dalam membangun pendidikan akan memberikan kontribusi
besar pada pencapaian tujuan pembangunan nasional. Berdasarkan hal tersebut,
pembangunan pendidikan mencakup berbagai dimensi yang luas dan
diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistematik dengan sistem terbuka dan
multimakna.

Pendidikan secara faktual merupakan pengalaman belajar seseorang


sepanjang hidup. Seperti yang dinyatakan dalam pernyataan resmi Unesco tentang
pendidikan untuk semua (education for all atau EFA) pada tahun 1990.
Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa setiap orang di dunia ini berhak untuk
mendapatkan pendidikan. Pendidikan dapat dilakukan oleh siapa saja, di mana
saja, dan kapan saja. Artinya pendidikan dapat dilakukan dengan tanpa mengenal
batas usia, ruang, dan waktu. Setiap warga negara berhak untuk mendapatkan
pendidikan dan Pemerintah wajib untuk menyediakan sarana dan prasarana
pendidikan yang menunjang keberlangsungan proses pendidikan. Hal sesuai
dengan apa yang telah digariskan pada Undang-undang Dasar tahun 1945 pasal 31
ayat (1) dan (2). Pendidikan juga tidak mengenal pembatasan bentuk dan kegiatan,
dalam hal ini pendidikan dapat dilakukan di sekolah, luar sekolah, pondok
pesantren, perguruan-perguruan, dan lain sebagainya.

Kesadaran masyarakat (global) terhadap hak azasi manusia (HAM)


semakin tinggi. Hal ini menyebabkan meningkatnya apresiasi terhadap
keberagaman atau perbedaan. Kesadaran tersebut secara tidak langsung mengubah
paradigma penyeragaman dan penyemarataan menjadi sesuatu yang tidak lazim.

12
Perbedaan tidak lagi dipandang sebagai penyimpangan, melainkan sebagai sesuatu
yang patut disyukuri. Karena dengan adanya perbedaan setiap manusia dapat
berinteraksi untuk saling melengkapi kekekurangannya. Oleh karena itu adanya
perbedaan di antara manusia tidak harus diperlakukan ekslusif.

Pendidikan inklusif lahir sebagai bentuk ketidakpuasan penyelenggaraan


pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus dengan menggunakan sistem
segregasi. Sistem segregasi adalah sistem penyelenggaraan sekolah yang
membedakan antara sekolah reguler dan sekolah bagi anak-anak yang memiliki
kelainan atau anak-anak berkebutuhan khusus. Sistem segregasi dipandang tidak
berhasil. Sistem ini tidak dapat mempersiapkan anak-anak berkebutuhan khusus
untuk dapat hidup secara mandiri. Menurut Budiyanto (2006), sistem segregasi
tidak mampu lagi mengemban misi utama pendidikan yaitu memanusiakan
manusia. Sistem segregatif cenderung diskriminatif, eksklusif, mahal, tidak efektif
dan tidak efisien, serta outputnya tidak menjanjikan sesuatu yang positif.
Disebutkan pula oleh Reynolds dan Birch (1988), bahwa model segregatif tidak
menjamin kesempatan anak berkelainan mengembangkan potensi secara optimal,
karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Kecuali itu,
secara filosofis model segregasi tidak logis, karena menyiapkan peserta didik
untuk kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat normal, tetapi mereka
dipisahkan dengan masyarakat normal.

Upaya-upaya tersebut tidak terlepas dari berubahnya pandangan tentang


layanan pendidikan bagi para penyandang cacat atas dasar pendekatan humanistik.
Pendekatan ini sangat menghargai manusia sebagai manusia yang sama (equal)
dan memiliki kesempatan yang sama besarnya (equity) dengan manusia lainnya
untuk mendapatkan pendidikan. Hal ini sesuai dengan deklarasi universal tentang
hak azasi manusia tahun 1948, bahwa “setiap orang mempunyai hak atas
pendidikan”. Berikutnya konvensi PBB tentang hak anak pasal 28 yang
menyatakan bahwa “pendidikan dasar seyogyanya wajib dan bebas biaya bagi
semua”. Lebih lanjut konvensi tersebut menyatakan non diskriminasi, khususnya

13
bagi penyandang cacat, hak untuk kelangsungan hidup dan berkembang, hak
untuk mendapatkan yang terbaik, dan hak untuk dihargai pendapatnya.

Inklusi pada hakekatnya adalah sebuah filosofi pendidikan dan sosial


yang menghargai keberagaman, menghormati bahwa semua orang merupakan
bagian yang berharga dari masyarakat dengan tanpa memandang perbedaan.
Sopiah (2006) mengemukakan pendapatnya tentang falsafah inklusi bahwa:
inklusi memandang bahwa manusia sebagai makhluk yang sama sederajat
walaupun berbeda-beda, manusia sebagai individu diciptakan untuk satu
masyarakat, sehingga masyarakat yang normal ditandai dengan adanya
keberagaman individu. Oleh karena itu keberagaman yang terjadi di satu
masyarakat adalah sesuatu yang lumrah (“normal”). Keberagaman individu yang
terjadi di masyarakat dapat berupa perbedaan sosial kultural, sosio-emosional,
kelainan fungsi anggota tubuh, kelainan fungsi mental dan inteketual, dan
sebagainya.

Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang


mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di
kelas biasa bersama teman-teman seusianya (Sapon-Shevin dalam O’Neil, 1994).
Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif adalah sekolah yang menampung
semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan
yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan
setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru,
agar anak-anak berhasil (Stainback,1980). Berdasarkan batasan tersebut
pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang
mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak
sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Semangat
penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah memberikan kesempatan atau akses
yang seluas-luasnya kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu dan sesuai dengan kebutuhan individu peserta didik tanpa diskriminasi
(Direktorat Pembinaan SLB, 2007).

14
Manajemen pendidikan inklusi merupakan proses pengaturan dan
pengelolaan sumber daya yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan
inklusif meliputi perencanaan, pelaksanaan, menitoring dan evaluasi serta tindak
lanjut hasil evaluasi. Manajemen pendidikan inklusi merupakan proses yang
terkait erat dengan tujuan dan efektifitas serta efisiensi penyelenggaraan suatu
sistem penyelenggaraan pendidikan bagi seluruh anak, tanpa kecuali. Pada tataran
mikro manajemen inklusif diartikan sebagai upaya untuk mengelola sumber daya
pendidikan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang
kondusif agar peserta didik dapat menunjukkan potensinya secara optimal.

Pengelolaan sumber daya pada satuan pendidikan penyelenggara


pendidikan inklusif hampir tidak berbeda dengan pengelolaan sumberdaya pada
satuan pendidikan lainnya. Sumber-sumber daya tersebut antara lain: (1) peserta
didik, (2) kurikulum, (3) proses pembelajaran, (4) penilaian, (5) pendidik dan
tenaga kependidikan, (6) sarana dan prasarana, (7) pembiayaan, dan (8)
sumberdaya masyarakat.

Pendidikan Inklusi memerlukan berbagai dukungan dari berbagai aspek,


antara lain pendidik (yang mampu memberikan bantuan layanan khusus bagi
anak-anak yang mengalami hambatan) dan tenaga kependidikan yang relevan,
seperti terapis, tenaga medis, dokter, psikolog, laboran, dan lain-lain. Untuk
mencermati lebih jauh tentang latar belakang, potensi, dan kondisi khusus pada
siswa, sekolah perlu mengadakan asesmen. Ada dua jenis asesmen yang biasa
dilakukan, yaitu asesmen fungsional dan asesmen klinis.

a. Asesmen Fungsional

Asesmen ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan dan


hambatan yang dialami peserta didik dalam melakukan aktivitas tertentu.
Asesmen ini dapat dilakukan oleh guru di sekolah.

b. Asesmen Klinis

Asesmen klinis dilakukan oleh tenaga profesional sesuai dengan


kebutuhannya. Contohnya, asesmen untuk mengetahui seberapa besar

15
kemampuan melihat seorang anak yang memiliki hambatan visual, sehingga
dapat menentukan alat bantu visual apa yang sesuai dengan anak tersebut agar
dapat dimanfaatkan dalam melakukan tugas sehari-hari, baik di sekolah
maupun di lingkungan masyarakat.

Peran serta masyarakat untuk membantu pemerintah daerah dalam


mengembangkan potensi daerah termasuk dalam bidang pendidikan. Hal ini
tercantum dalam tujuan otonomi daerah yaitu memberdayakan masyarakat,
meningkatkan peranserta masyarakat, termasuk dalam meningkatkan sumber dana
dan dalam penyelenggaraan pendidikan termasuk dalam pendidikan inklusif.

Masyarakat sebagai salah satu penanggung jawab pendidikan termasuk


pendidikan inklusif dapat berperanserta sebagai: (1) pemberi pertimbangan
(advisory agency) dalam penentuan pelaksanaan kebijakan pendidikan di sekolah;
(2) pendukung (supporiting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran,
maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah; (3) pengontrol
(controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan
dan keluaran pendidikan di sekolah; dan (4) mediator antara pemerintah
(eksekutif) dengan masyarakat di sekolah. Peran serta masyarakat (community
based participation) dalam pendidikan inklusif dapat dilakukan secara
perseorangan; kelompok; atau kelembagaan seperti yayasan, organisasi
masyarakat, dan pihak swasta.

B. Masalah Penelitian

Pendidikan inklusif di Indonesia belum berkembang sesuai dengan


harapan, hal ini disebabkan adanya berbagai hambatan dan kondisi sosial budaya
masyarakat. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif juga belum dapat
mengimplementasikan pendidikan inklusif secara optimal. Pendidikan ini
(inklusif) sampai sekarang belum berkembang baik bahkan untuk sekadar
mendiskusikannya pun orang masih setengah hati Siti Nur Aryani, 2006). Dunia
modern pendidikan semakin kompleks, Phil Foreman (2002) menyatakan bahwa

16
sekolah inklusi harus menyediakan semua kebutuhan siswa, apapun tingkat
kebutuhan dan keadaan siswa tersebut. Karena itu, semua pihak dituntut untuk
memberi peluang yang luas kepada sistem pendidikan ini. Hambatan paling besar
dalam pengembangan pendidikan inklusif ini adalah kondisi sosial dan
masyarakat. Seringkali masyarakat kita malu punya anak cacat, sehingga mereka
menyembunyikan anaknya. Dengan kata lain anak tersebut tidak dapat menerima
pendidikan sebagaimana mestinya. Akibatnya, anak-anak yang berkelainan tidak
mendapatkan pendidikan seperti anak-anak lainnya. Padahal mereka memiliki hak
yang sama seperti anak-anak lainnya. Di lain pihak banyak orang tua yang tidak
sadar bahwa anaknya yang mempunyai kekhususan yang juga memiliki hak yang
sama dengan anak lainnya. Karena itu, pemerintah meminta kesadaran orangtua
untuk memberi akses kepada mereka. Oleh karena itu perlu dukungan semua
pihak untuk mengembangkan sistem penyelenggaraan pendidikan inklusif di
negeri ini.

Penelitian ini dilakukan untuk mengungkap dan menganalisis secara


faktual berbagai jenis dukungan yang diperlukan dalam penyelenggaraan
pendidikan inklusif. Secara detail tujuan penelitian dirumuskan dalam pertanyaan-
pertanyaan sebagai berikut:

1. Jenis-jenis dukungan apa saja yang mendukung terhadap pendidikan


inklusi?

2. Dukungan apa yang secara faktual efektif mendukung penyelenggaraan


pendidikan inklusi?

3. Bagaimana proses dukungan secara efektif mendukung penyelenggaraan


pendidikan inklusi.

4. Bagaimanan peran dan fungsi berbagai jenis dukungan (suppoting system)


dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi di sekolah inklusi?

C. Tujuan Penelitian

17
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap dan menganalsis secara
komprehensif peran dan fungsi berbagai jenis dukungan (suppoting system) dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusi di sekolah inklusi. Penelitian ini juga
bertujuan untuk menggali, menghimpun, dan menganalisis berbagai informasi
empirik serta faktor-faktor pendukung yang berpengaruh terhadap pengembangan
pendidikan inklusif. Secara rinci penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui jenis dukungan yang mempengaruhi penyelenggaraan pendidikan


inklusi

2. Mengungkap jenis dukungan yang secara faktual efektif mendukung


penyelenggaraan pendidikan inklusi.

3. Mencari solusi yang tepat guna memecahkan masalah penyelenggaraan


pendidikan inklusi terkait dengan supporting system dalam penyelenggaraan
pendidikan inklusi.

D. Manfaat

Keluaran atau output penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan


pemahaman yang komprehansif tentang peran dan fungsi berbagai jenis dukungan
(suppoting system) dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi di sekolah inklusi.
Penelitian ini diharapkan juga dapat bermanfaat dan berguna bagi pengembangan
pendidikan inklusif, baik pada tataran konseptual maupun pada tataran
implementasi di lapangan.

Pada tataran konsep hasil penelitian ini akan menambah khasanah


keilmuan berkaitan dengan konsep dasar manajemen pendidikan, khususnya
konsep dasar pengembangan pendidikan inklusif.

Pada tataran implementasi hasil penelitian ini juga diharapkan dapat


menjadi masukan bagi Pemerintah dalam menentukan kebijakan pengembangan
pendidikan inklusif di masa yang akan datang. Keterlaksanaan pendidikan inklusif
secara efektif dan efisien akan sangat bermanfaat terhadap percepatan penuntasan

18
wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Mendukung upaya pemerintah
dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi. Selanjutnya diharapkan memberikan
solusi alternatif bagi pemecahan masalah penyelenggaraan pendidikan inklusi
terkait dengan supporting system dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi.

E. Kerangka Pikir

Kerangka pikir penelitian adalah kerangka yang mendasari operasional


penelitian. Kerangka pikir penelitian merupakan sejumlah asumsi-asumsi, konsep-
konsep, dan atau proposisi-proposisi yang telah diyakini kebenarannya sehingga
dapat mengarahkan alur fikir dalam pelaksanaan penelitian. Menurut Miles &
Huberman (1992) kerangka pikir penelitian identik dengan kerangka konseptual
yang memiliki peranan sebagai theoretical perspective dan a systematic sets of
beliefs, penetapan batasan-batasan penelitian, dan berfungsi sebagai theoretical
leads dalam menemukan dan mengembangkan hipotesis baru dan proposisi-
proposisi baru berdasarkan pengalaman empirik.

Kerangka fikir dalam penelitian ini merupakan ruang lingkup asumsi-


asumsi dan konsep-konsep, yang akan digunakan dalam upaya mencari alternatif
solusi implementasi penyelenggaraan pendidikan inklusif digambarkan sebagai
kerikut:

19
Ekspektasi Masyarakat
(Stakeholders)

Konseptual Frame Empirical Evidence

Efektivitas dukungan terhadap penyelenggaraan


pendidikan inklusi

Schooling Masyarakat
system (partnership
Optomalisasi Daya )
Dukung
School Sumber daya
Climate Internal

Tujuan Pendidikan

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

F. Metodologi
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif
merupakan salah satu pendekatan metodologi penelitian ilmu-ilmu sosial.
Termasuk di dalamnya pemahaman yang mendalam dari tingkah laku manusia
dan alasan yang menentukan tingkah laku manusia. Penelitian kualitatif ini
didefinisikan sebagai sebuah proses inquiry untuk memahami masalah
kemanusiaan dan sosial didasarkan pada kerumitan yang kompleks, gambaran
yang holistic, dibentuk melalui kata-kata, pandangan dari para informan
dilaporkan secara detail, dan dilakukan secara alamiah (natural setting).
Pendekatan kualitatif dirancang tidak untuk menguji hipotesis, tetapi berupaya
untuk mendeskripsikan data, fakta dan keadaan atau kecenderungan yang ada,

20
serta melakukan analisis serta memprediksi apa yang seharus dilakukan untuk
memecahkan masalah atau untuk mencapai keinginan di masa yang akan datang.

Pendekatan kualitatif fenomenologis. Penelitian kualitatif ini


didefinisikan sebagai sebuah proses inquiry untuk memahami masalah
kemanusiaan dan sosial didasarkan pada kerumitan yang kompleks, gambaran
yang holistic, dibentuk melalui kata-kata dan pandangan dari para informan,
dilaporkan secara detail, dan dilakukan secara alamiah (natural setting).
(Moleong, 1995; Bogdan dan Taylor, 1998).

Strategi deskriptif analisis. Strategi ini berusaha untuk untuk


memecahkan masalah yang aktual dengan cara mengumpulkan data, menyusun,
mendeskripsikan, serta menganalisis data. (Strauss dan Corbin, 1987).

G. Kajian Teori

Pendidikan inklusif atau sering juga disebut dengan sebutan “inklusi”


merupakan sistem penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak yang memiliki
keterbatasan tertentu dan anak-anak lainnya yang disatukan dengan tanpa
mempertimbangkan keterbatasan masing-masing. Menurut Direktorat Pembinaan
SLB (2007) Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang
memberikan kesempatan kepada semua anak belajar bersama-sama di sekolah
umum dengan memperhatikan keragaman dan kebutuhan individual, sehingga
potensi anak dapat berkembang secara optimal. Semangat pendidikan inklusif
adalah memberi akses yang seluas-luasnya kepada semua anak, termasuk anak
berkebutuhan khusus, untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan
memberikan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya.

Definisi inklusi disampaikan oleh Dianne Tirocchi dan Brandy Reese


(2002) bahwa: “Inclusion can be defined as the act of being present at regular
education classes with the support and services needed to successfully achieve
educational goals. Inclusion in the scholastic environment benefits both the
disabled student and the non-disabled student in obtaining better life skills. By

21
including all students as much as possible in general or regular education classes
all students can learn to work cooperatively, learn to work with different kinds of
people, and learn how to help people in tasks.

Integrasi
(pendidikan
terpadu)

Segregasi Pendidikan
inklusif (Inklusi)

Mainstraming

Gambar 2. 1

Perubahan paradigma pendidikan bagi ABK

Menurut Sharon Rustemier (2002) yang dilaporkan pada Center for Study
on Incluive Education (CSIE) pendidikan inklusi didefinisikan sebagai berikut
“inclusive education is all children and young people - with and without
disabilities or difficulties - learning together in ordinary pre-school provision,
schools, colleges and universities with appropriate networks of support. Dengan
demikian, pendidikan inklusi menurut CSIE dapat diikuti oleh semua orang
dengan dan tanpa kelemahan dan keterbatasan dan dapat berlangsung di setiap
jenjang pendidikan, mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi.
Selanjutnya CSIE menyatakan bahwa “inclusion means enabling all students to
participate fully in the life and work of mainstream settings, whatever their needs.
Artinya semua siswa tanpa memandang kebutuhannya diperbolehkan untuk
bersama-sama hidup dan bekerja dalam lingkungan yang umum.
Pendidikan inklusif merupakan perkembangan terkini dari model
pendidikan bagi anak berkelainan yang secara formal kemudian ditegaskan dalam
pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Berkelainan
bulan Juni 1994 bahwa “prinsip mendasar dari pendidikan inklusif adalah: selama

22
memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang
kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.”
Model yang muncul pada pertengahan abad XX adalah model
mainstreaming. Belajar dari berbagai kelemahan model segregatif, model
mainstreaming memungkinkan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi
anak berkelainan. Alternatif yang tersedia mulai dari yang sangat bebas (kelas
biasa penuh) sampai yang paling berbatas (sekolah khusus sepanjang hari). Oleh
karena itu, model ini juga dikenal dengan model yang paling tidak berbatas (the
least restrictive environment), artinya seorang anak berkelainan harus ditempatkan
pada lingkungan yang paling tidak berbatas menurut potensi dan jenis/tingkat
kelainannya. Secara hirarkis, Deno (1970) mengemukakan terdapat tujuh
alternatif kelas atau sekolah yang dapat dipilih untuk membelajarkan anak
berkebutuhan khusus antara lai: (1) kelas biasa penuh; (2) kelas biasa dengan
tambahan bimbingan di dalam; (3) kelas biasa dengan tambahan bimbingan di luar
kelas; (4) kelas khusus dengan kesempatan bergabung di kelas biasa; (5) kelas
khusus penuh (6) sekolah khusus, dan (7) sekolah khusus berasrama.
Menurut Heiman (2004) terdapat empat model inklusi, yaitu: (1) in-and-
out, (2) two-teachers, (3) full inclusion dan (4) rejection of inclusion. Model in-
and-out adalah model pembelajar bagi anak-anak berkebutuhan khusus di mana
anak-anak tersebut keluar masuk kelas reguler pada pembelajaran tertentu. Model
two-teachers adalah model pembelajaran bagi anak-anak berkebutuhan khusus
dengan menggunakan dua orang guru yaitu guru reguler dan guru khusus (GPK).
Model full inclusion adalah model pembelajaran bagi anak-anak berkebutuhan
khusus di mana siswa-siswa berkebutuhan khusus secara penuh mengikuti proses
pembelajaran bersama-sama dengan siswa-siswa reguler lainnya di kelas yang
sama. Model rejection of inclusion adalah model pembelajaran bagi anak-anak
berkebutuhan khusus di mana siswa-siswa berkebutuhan khusus belajar terpisah
dengan siswa-siswa reguler lainnya.
Heiman dalam studinya di Inggris dan Israel (2004) menyatakan bahwa
sebagian besar guru-guru di Inggris dan Israel mengajar dengan menggunakan
model in-and-out untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Guru-guru tersebut

23
percaya bahwa anak-anak berkebutuhan khusus akan mendapatkan dua
keuntungan melalui model ini, yaitu (1) siswa membutuhkan kebersamaan dengan
siswa-siswa lainnya, (2) mereka membutuhan interaksi dengan siswa-siswa
lainnya dalam setting yang lumrah (regular setting).
Pendidikan inklusif mempunyai pengertian yang beragam. Stainback dan
Stainback (1990) mengemukakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang
menampung semua siswa, baik siswa yang memerlukan bantuan khusus maupun
siswa yang tidak memerlukan bantuan khusus di kelas yang sama. Sekolah ini
menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang
dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah
inklusi juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari
kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun
anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.
Selanjutnya, Stubbs dan Peck (1995) mengemukakan bahwa pendidikan
inklusif adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat
secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler
merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkelainan, apapun jenis
kelainannya, dan bagaimanapun gradasinya.
Sementara itu, Sapon-Shevin (O’Neil, 1995) menyatakan bahwa
pendidikan inklusif sebagai system layanan pendidikan yang mempersyaratkan
agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler
bersama-sama teman seusianya. Oleh karena itu, ditekankan adanya
restrukturisasi sekolah, sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan
kebutuhan khusus setiap anak, artinya kaya dalam sumber belajar dan mendapat
dukungan dari semua pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua, dan masyarakat
sekitarnya. Melalui pendidikan inklusif, anak berkelainan dididik bersama-sama
anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Freiberg,
1995). Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak
normal dan anak berkelainan (berkelainan) yang tidak dapat dipisahkan sebagai
suatu komunitas.

24
Perbedaan antara integrasi, mainstream, dan pendidikan inklusif terletak
pada sisi filosofis. Menurut Stubbs (2002), sistem integrasi dan mainstreaming
merupakan dua konsep yang sulit dibedakan. Terutama di Amerika, konsep
integrasi ini serng ka kali disebut mainstreaming. Pendidikan inklusif, meski
mengarah pada integrasi dan penempatan kelas reguler, namun berasal dari dasar
filosofis yang sedikit berbeda. Konsep pendidikan inklusi berdasarkan gagasan
bahwa sekolah harus, tanpa kecuali, menyediakan pendidikan yang dibutuhkan
semua anak di komunitas tersebut, apapun tingkat kemampuan atau
ketidakmampuan mereka. Perbedaan esensial antara integrasi dan inklusi
berangkat dari pertanyaan berikut: dari sisi integrasi pertanyaannya: Dapatkah
kita menyediakan kebutuhan pendidikan siswa? Sedangkan pertanyaan pada
pendidikan inklusi adalah: “Bagaimana kita akan menyediakan kebutuhan
pendidikan siswa ini?”.
does not
respond,
needs special cannot learn has special
teacher needs

needs special child as needs special


environment problem equipment

is different cannot get to


from other school
children

Gambar 2.2

Masalah sistem pendidikan terpadu (Stubbs, 2002)

Pendidikan dengan sistem intergrasi sebenarnya lebih dikenal dengan


istilah pendidikan terpadu. Pendidikan terpadu adalah sekolah biasa yang juga
menampung anak berkelainan, dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan
kegiatan belajar mengajar yang sama. Namun selama ini baru menampung anak

25
tunanetra, itupun perkembangannya kurang menggembirakan karena banyak
sekolah umum yang keberatan menerima.

Pada sistem pendidikan terpadu, jika sekolah merasa tidak akan mampu
untuk melayani siswa yang memiliki keterbatasan tertentu, maka sekolah tersebut
akan menolak siswa tersebut untuk bergabung dengan siswa-siswa lainnya. Lain
halnya dengan sistem pendidikan inklusif, sekolah harus bersedia menerima
semua siswa apapun kelemahan/keterbatasannya. Dengan demikian, pada sistem
pendidikan inklusif sekolah harus berupaya untuk memenuhi kebutuhan semua
siswa.

teacher’s
attitudes rigid methods
poor quality
training rigid curriculum

education
lack of system as inaccessible
teaching aids environments
problem
and equipment

parents not many drop-out


involved many repeaters
teachers and
schools
supported

Gambar 2.3

Masalah sistem pendidikan inklusif (Stubbs, 2002)

Pendidikan inklusif telah merubah pandangan awal tentang layanan


pendidikan. Pandangan sebelumnya adalah bahwa setiap siswa ketika akan
memasuki sekolah, siswa tersebut harus menyesuaikan dengan keadaan sekolah.
Artinya, ketika siswa tidak dapat menyesuaikan, siswa tersebut tadak dapat
bergabung dengan sekolah tersebut. Lain halnya dengan sistem pendidikan
inklusif, pada sistem pendidikan inklusif sekolah harus menyesuaikan dengan
kebutuhan seluruh siswa. Pada sistem ini, sekolah secara normatif telah melanggar

26
hak azasi jika tidak menerima siswa dengan berbagai kelemahan, kekurangan, dan
atau keterbatasannya. Pada sistem integrasi anak harus disiapkan untuk memasuki
sekolah reguler. Hal ini berbeda dengan sistem pendidikan inklusif, pada sistem
pendidikan inklusif terjadi sebaliknya, di mana sekolah harus disiapkan untuk
menerima kondisi siswa.

H. Tim Peneliti

Penelitian ini dilakukan secara tim yang terdiri dari Widyaiswara dan
Instruktur P4TK TK dan PLB. Secara lengkap susunan tim peneliti disajikan
sebagai berikut:

Penanggung Jawab : Kepala P4TK TK dan PLB

Pengarah : Kepala Bidang Program dan Informasi

Koordinator Peneliti : Drs. Dadang Garnida, M.Pd

Peneliti : Dra. Lela Helawati Pridi, M.Pd

Drs. Achyar, M.Pd

Dra. Dewi Agustini, MM

Dr. Ana Lisdiana, S.Ked

Tia Nurmeliawati, S.Psi

I. Jadwal

Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih 10 minggu dengan


jadwal kegiatan tampak pada tabel berikut.

Tabel 1. Jadwal kegiatan penelitian

No. Kegiatan Waktu (Minggu Ke)

27
1. Penyusunan Proposal I

2. Seminar penyempurnaan proposal II

Pengkajian teori pendukung


3. III
penelitian

4. Observasi lapangan I dan II IV dan V

5. Analisis hasil observasi VI, VII, dan VIII

6. Seminar Hasil IX

7. Penyusunan laporan X

Penyerahan laporan kepada pihak-


8. X
pihak terkait

J. Pembiayaan
Penelitian ini dibiayai oleh proyek peningkatan P4TK TK dan PLB
melalui DIPA tahun 2008.

K. Penutup
Melalui penelitian ini diharapkan akan mendapat gambaran yang
komprehensif tentang peran dan fungsi supporting system penyelenggaraan
pendidikan inklusif di tanah air. Hal ini dibutuhkan bagi pengembangan kebijakan
lanjutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di masa yang akan datang.

D. Alat Pengumpul Data Penelitian Kualitatif


1. Wawancara
Wawancara merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan
untuk mengumpulkan data penelitian. Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa wawancara (interview) adalah suatu kejadian atau suatu proses
interaksi antara pewawancara (interviewer) dan sumber informasi atau

28
orang yang di wawancarai (interviewee) melalui komunikasi langsung
(yusuf, 2014). Metode wawancara/interview juga merupakan proses
memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara Tanya jawab
sambil bertatap muka antara pewawancara dengan responden/ orang yang
di wawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide)
wawancara. Dalam wawancara tersebut biasa dilakukan secara individu
maupun dalam bentuk kelompok, sehingga di dapat data informatik yang
orientik.
Wawancara bertujuan mencatat opini, perasaan, emosi, dan hal lain
berkaitan dengan individu yang ada dalam organisasi. Dengan melakukan
interview, peneliti dapat memperoleh data yang lebih banyak sehingga
peneliti dapat memahami budaya melalui bahasa dan ekspresipi hak yang
diinterview; dan dapat melakukan klarifikasi atas hal‐ hal yang tidak
diketahui. Teknis pelaksanaan wawancara dapat dilakukan secara
sistematis atau tidak sistematis. Yang dimaksud secara sistematis adalah
wawancara dilakukan dengan terlebih dahulu peneliti menyusun
instrument pedoman wawancara. Disebut tidak sistematis, maka peneliti
meakukan wawancara secara langsung tanpa terlebuh dahulu menyusun
instrument pedoman wawancara. Saat ini. dengan kemajuan teknologi
informasi, wawancara bisa saja dilakukan tanpa tatap muka, yakni melalui
media telekomunikasi.
Pada hakikatnya wawancara merupakan kegiatan untuk
memperoleh informasi secara mendalam tentang sebuah isu atau tema
yang diangkat dalam penelitian. Atau merupakan proses pembuktian
terhadap informasi atau keterangan yang telah diperoleh lewat teknik yang
lain sebelumnya.
Adapun Dalam penelitian kualitatif dikenal berbagai model
wawancara yakni sebagai berikut
a) Pertanyaan dalam wawancara mendalam pada umumnya disampaikan
secara spontanitas. Hubungan antara pewawancara dan yang di
wawancarai adalah hubungan yang dibangun dalam suasana biasa,

29
sehingga pembicaraan berlangsung sebagaimana percakapan
seharihari, yang tidak formal. Tujuan utama wawancara mendalam
adalah untuk dapat menyajikan kontruksi saat sekarang dalam suatu
konteks mengenai para pribadi, pristiwa, aktivitas, perasaan, motivasi,
tanggapan atau persepsi, tingkat dan bentuk keterlibatan dan
sebagaimnya.
b) Wawancara dengan petunjuk umum
Wawancara jenis ini, mengharuskan pewawancara menyusun
kerangka atau garis besar pokok pembicaraan dalam bentuk petunjuk
wawancara. Petunjuk umum berfungsi untuk menjaga agar pokok
pembicaraan yang direncanakan dapat tercakup secara keseluruhan dan
pembicaraan tidak keluar dari topic dan kerangka besar yang
direncanakan.
c) Wawancara baku terbuka
Wawancara terbuka merupakan wawancara menggunakan
seperangkat pertanyaan baku, yaitu pertanyaan dengan kata-kata,
urutan, dan cara penyajian yang sama untuk semua informan yang
yang diwawancarai. Wawancara jenis ini perlu digunakan jika
dipandang variasi pertanyaan akan menyulitkan peneliti karena jumlah
informan yang perlu di wawancarai cukup banyak.
d) Wawancara Terstruktur
Dalam wawancara terstruksur, pewawancara menetapkan sendiri
masalah dan pertanyaanpertanyaan yang akan diajukan. Wawancara
jenis ini bertujuan untuk mencari jawaban hipotesis. Wawancara
terstruktur pada umumnya digunakan jika seluruh sampel penelitian
dipandang memiliki kesempatan yang sama untuk menjawab
pertanyaan yang diajukan. Keuntungan wawancara terstruktur ini
adalah tidak dilakukan pendalaman pertanyaan yang memungkinkan
adanya dusta bagi informan yang diwawancarai.
e) Wawancara tidak terstruktur

30
Hasil wawancara tidak terstruktur menekankan pada pengecualian,
penyimpangan, penafsiran yang tidak lazim, penafsiran kembali,
pendekatan baru, pandangan ahli, atau perspeksif tunggal. Perbedaan
wawancara ini dengan wawancara terstruktur adalah dalam hal waktu
bertanya dan memberikan respon yang lebih bebas. Dalam wawancara
tidak terstrukutur pertanyaan tidak disusun terlebih dahulu, karena
disesuaikan dengan keadaan dan cirri unik dari narasumber atau
informan. Dalam wawancara tidak terstruktur peneliti perlu
merencanakan segala sesuatu yang berkaitan dengan wawancara
meliputi hal-hal berikut :
1) Menemukan siapa informan yang akan diwawancarai.
2) Menghubungi/ mengadakan kontak dengan informan untuk
menginformasikan wawancara yang akan dilakukan.
3) Melakukan persiapan yang matang untuk melakukan wawancara.
4) Bentuk pertanyaan dalam wawancara Bentuk- bentuk pertanyaan
dalam wawancara pada umumnya dapat di bedakan menjadi enam
macam, yaitu :
1) Pertanyaan yang berkaitan dengan pengalaman atau perilaku.
2) Pertanyaan yang berkaitan dengan pendapat atau nilai.
3) Pertanyaan yang berkaitan dengan perasaan.
4) Pertanyaan tentang pengetahuan
5) Pertanyaan berkenaan dengan apa yang dilihat, didengar,
diraba, dirasa, dan dicium.
6) Pertanyaan yang berkaitan dengan latar belakang atau
demografi. g. Pedoman wawancara. Agar wawancara berjalan
dengan efektif sesuai rencana yang disusun, maka peneliti perlu
menyusun pedoman wawancara sebagai pemandu jalannya
wawancara.
Manfaat dari pedoman wawancara, antara lain, yaitu :
1) Proses wawancara berjalan sesuai rencana

31
2) Dapat menjaring jawaban dari informan sesuai yang
dikehendaki peneliti
3) Memudahkan peneliti untuk mengelompokkan data yang di
perlukan yang di peroleh dari hasil wawancara.
4) Peneliti lebih berkonsentrasi dalam menyampaikan
pertanyaan- pertanyaan sesuai dengan focus kajian dalam
penelitian.
5) Mengantisipasi adanya pertanyaan yang lupa/ terlewat di
sampaikan
2. Metode Observasi (pengamatan)
Selain wawancara, observasi juga merupakan salah satu teknik dalam
pengumpulan data yang sangat lazim dalam metode penelitian kualitatif.
Observasi adalah bagian dalam pengumpulan data. Observasi berarti
mengumpulkan data langsung dari lapangan (Semiawan, 2010).
Sedangkan menurut Zainal Arifin dalam buku (Kristanto, 2018) observasi
adalah suatu proses yang didahului dengan pengamatan kemudian
pencatatan yang bersifat sistematis, logis, objektif, dan rasional terhadap
berbagai macam fenomena dalam situasi yang sebenarnya, maupun situasi
buatan. Adapun salah satu teknik yang dapat digunakan untuk mengetahui
atau menyelidiki tingkah laku nonverbal yakni dengan menggunakan
teknik observasi. Metode observasi atau pengamatan adalah kegiatan
keseharian manusia dengan menggunakan panca indera mata dan dibantu
dengan panca indera lainya. Kunci keberhasilan observasi sebagai teknik
pengumpulan data sangat banyak ditentukan pengamat sendiri, sebab
pengamat melihat, mendengar, mencium, atau mendengarkan suatu onjek
penelitian dan kemudian ia menyimpulkan dari apa yang ia amati itu.
Pengamat adalah kunci keberhasilan dan ketepatan hasil penelitian (yusuf,
2014). Observasi untuk tujuan empiris mempunyai tujuan bermacam-
macam. Observasi juga memiliki fungsi bervariasi. Tujuan dari observasi
berupa deskripsi, melahirkan teori dan hipotesis (pada penelitian
kualitatif), atau menguji teori dan hipotesis (pada penelitian kuantitatif).

32
Fungsi observasi secara lebih rinci terdiri dari deskripsi, mengisi, dan
memberikan data yang dapat digeneralisasikan. Deskripsi, berarti
observasi digunakan untuk menjelaskan, memberikan, dan merinci gejala
yang terjadi, seperti seorang laboran menjelaskan prosedur kerja atom
hidrogen, atau ahli komunikasi menjelaskan secara rinci prosedur kerja di
stasiun televisi. Mengisi data, memiliki maksud bahwa observasi yang
dilakukan berfungsi melengkapi informasi ilmiah atas gejala sosial yang
diteliti melalui teknik-teknik penelitian. Salah satu keuntungan dari
pengamatan langsung/observasi ini adalah bahwa sistem analisis dapat
lebih mengenal lingkungsn fisik seperti tata letak ruangan serta peralatan
dan formulir yang digunakan serta sangat membantu untuk melihat proses
bisnis beserta kendalakedalanya. Selain itu, perlu diketahui bahwa teknik
observasi ini merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang cukup
efektif untuk mempelajari suatu sistem (Sutabri, 2012). Adapun beberapa
bentuk observasi, yaitu: 1). Observasi partisipasi, 2). observasi tidak
terstruktur, dan 3). observasi kelompok.
1) Observasi partisipasi adalah (participant observation) adalah
metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun
data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan di mana
peneliti terlibat dalam keseharian informan.
2) Observasi tidak terstruktur ialah pengamatan yang dilakukan tanpa
menggunakan pedoman observasi, sehingga peneliti
mengembangkan pengamatannya berdasarkan perkembangan yang
terjadi di lapangan.
3) Observasi kelompok ialah pengamatan yang dilakukan oleh
sekelompok tim peneliti terhadap sebuah isu yang diangkat
menjadi objek penelitian.
3. Metode Dokumentasi
Selain melalui wawancara dan observasi, informasi juga bisa
diperoleh lewat fakta yang tersimpan dalam bentuk surat, catatan harian,
arsip foto, hasil rapat, cenderamata, jurnal kegiatan dan sebagainya. Data

33
berupa dokumen seperti ini bisa dipakai untuk menggali infromasi yang
terjadi di masa silam. Peneliti perlu memiliki kepekaan teoretik untuk
memaknai semua dokumen tersebut sehingga tidak sekadar barang yang
tidak bermakna. Dokumentasi berasal dari kata dokumen, yang berarti
barang tertulis, metode dokumentasi berarti tata cara pengumpulan data
dengan mencatat data-data yang sudah ada. Metode dokumentasi adalah
metode pengumpulan data yang digunakan untuk menelusuri data historis.
Dokumen tentang orang atau sekelompok orang, peristiwa, atau
kejadian dalam situasi sosial yang sangat berguna dalam penelitian
kualitatif (yusuf, 2014). Teknik atau studi dokumentasi adalah cara
pengumpulan data melalui peninggalan arsiparsip dan termasuk juga buku-
buku tentang pendapat, teori, dalil-dalil atau hukum-hukum dan lain-lain
berhubungan dengan masalah penelitian. Dalam penelitian kualitatif taknik
pengumpulan data yang utama karena pembuktian hipotesisnya yang
diajukan secara logis dan rasional melalui pendapat, teori, atau hukum-
hukum, baik mendukung maupun menolak hipotesis tersebut.
4. Angket (Questioner)
Angket memiliki fungsi serupa dengan wawancara, hanya berbeda
dalam implementasinya. Jika wawancara disampaikan oleh peneliti kepada
responden secara lisan, maka implementasi angket adalah responden
mengisi kuesioner yang disusun oleh peneliti. Hasil data angket ini tidak
berupa angkat, namun berupa deskripsi. Tidak ada teknik pengumpulan
data yang lebih efisien dibandingkan questioner. Adapun petunjuk untuk
membuat daftar pertanyaan adalah (Sutabri, 2012) :
a. Rencanakanlah terlebih dahulu fakta/opini apa saja yang ingin
dikumpulkan.
b. Tulislah pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan. Pertanyaan itu
tidak boleh mengandung kesalahan serta harus jelas dan sederhana.
c. Lakukan uji coba atas pertanyaan itu ke beberpa responden terlebih
dahulu, misalnya 2 atau 3 orang. Apabila responden mengalami

34
kesulitan dalam mengisi daftar pertanyaan itu maka pertanyaan-
pertanyaan itu harus diperbaiki lagi.
d. Perbanyaklah dan distribusikanlah daftar pertanyaan yang memang
sudah dianggap baik dan solid.
Adapun kelebihan dan kekurangan teknik questioner adalah
sebagai berikut :
a. Kelebihan teknik questioner Teknik ini mempunyai
beberapa kelebihan dibandingkan dengan teknik
pengumpulan data lainnya, yaitu sebagai berikut :
- Daftar pertanyaan untuk sumber data bisa dalam
jumlah banyak dan tersebar.
- Responden tidak merasa terganggu karena dapat
mengisi daftar pertanyaan tersebut dengan memilih
waktu sendiri di mana ia ulang.
- Daftar pertanyaan secara relatif lebih efisien untuk
sumber data yang banyak.
- Karena daftar pertanyaan biasanya tidak
mencantumkan identitas responden maka hasilnya
dapat lebih objektif.
b. Kelemahan teknik questioner Disamping mempunyai
beberapa kelebihan, teknik ini juga memiliki beberapa
kelemahan, yaitu sebagai berikut :
1) Tidak ada jaminan bahwa daftar pertanyaan itu akan
dijawab dengan sepenuh hati.
2) Daftar pertanyaan cenderung tidak fleksibel. Pertanyaan
yang harus dijawab terbatas karena responden cukup
menjawab pertanyaan yang dicantumkan di dalam daftar
sehingga pertanyaan tersebut tidak dapat dikembangkan
lagi sesuai dengan situasi.
3) Pengumpulan data tidak dapat dilakukan secara bersama-
sama dan daftar pertanyaan yang lengkap sulit untuk

35
dibuat. Observasi secara teoretis memiliki karakter sangat
bervariasi. Variasi timbul dari kemajemukan praktisi atau
penggunaan sejak tahapan penelitian, setting lokasi
beragam, serta kualitas hubungan peneliti dengan yang
diteliti. Peneliti dapat melakukan observasi secara
individual maupun kelompok. Observasi individu berarti
melakukan pengamatan secara mandiri, tanpa melibatkan
campur tangan pihak lain. Observasi kelompok berarti
melakukan pengamatan/ meneliti kelompok dari arah yang
dikehendaki sendiri maupun meneliti perilaku manusia
yang tergabung dalam kelompok secara alami, tanpa
rekayasa (Hasanah, 2017).
5. Focus Group Discussion
Metode terakhir untuk mengumpulkan data ialah lewat Diskusi
terpusat (Focus Group Discussion), yaitu upaya menemukan makna
sebuah isu oleh sekelompok orang lewat diskusi untuk menghindari diri
pemaknaan yang salah oleh seorang peneliti. Misalnya, sekelompok
peneliti mendiskusikan hasil UN 2011 di mana nilai rata-rata siswa pada
matapelajaran bahasa Indonesia rendah. Untuk menghindari pemaknaan
secara subjektif oleh seorang peneliti, maka dibentuk kelompok diskusi
terdiri atas beberapa orang peneliti. Dengan beberapa orang mengkaji
sebuah isu diharapkan akan diperoleh hasil pemaknaan yang lebih objektif.
Metode FGD banyak digunakan oleh para peneliti untuk mengeksplorasi
suatu rentang fenomena pengalaman hidup sepanjang siklus hidup
manusia melalui interaksi sosial dirinya dalam kelompoknya (Brajtman
2005, Oluwatosin 2005, van Teijlingen & Pitchforth 2006). Pendefinisian
metode FGD berhubungan erat dengan alasan atau justifikasi utama
penggunaan FGD itu sendiri sebagai metode pengumpulan data dari suatu
penelitian. Justifikasi utama penggunaan FGD adalah memperoleh
data/informasi yang kaya akan berbagai pengalaman sosial dari interaksi
para individu yang berada dalam suatu kelompok diskusi.

36
Definisi awal tentang metode FGD menurut Kitzinger dan Barbour
(1999) adalah melakukan eksplorasi suatu isu/fenomena khusus dari
diskusi suatu kelompok individu yang berfokus pada aktivitas bersama
diantara para individu yang terlibat didalamnya untuk menghasilkan suatu
kesepakatan bersama. Aktivitas para individu/ partisipan yang terlibat
dalam kelompok diskusi tersebut antara lain saling berbicara dan
berinteraksi dalam memberikan pertanyaan, dan memberikan komentar
satu dengan lainnya tentang pengalaman atau pendapat diantara mereka
terhadap suatu permasalahan/isu sosial untuk didefinisikan atau
diselesaikan dalam kelompok diskusi tersebut. Berbagai penelitian
kualitatif banyak menggunakan metode FGD sebagai alat pengumpulan
data. Sebagai salah satu metode pengumpulan data, metode FGD memiliki
berbagai kekuatan dan keterbatasan dalam penyediaan data/ informasi.
Sebagai contoh, metode FGD memberikan lebih banyak data dibanding
dengan menggunakan metode lainnya (Lehoux, Poland, & Daudelin,
2006). Kekuatan utama metode FGD adalah kemampuan menggunakan
interaksi antar partisipan untuk memperoleh kedalaman dan kekayaan data
yang lebih padat yang tidak diperoleh dari hasil wawancara mendalam.
Carey (1994) menjelaskan bahwa informasi atau data yang
diperoleh melalui FGD lebih kaya atau lebih informatif dibanding dengan
data yang diperoleh dengan metode-metode pengumpulan data lainnya.
Hal ini dimungkinkan karena partisipasi individu dalam memberikan data
dapat meningkat jika mereka berada dalam suatu kelompok diskusi.
Namun, metode ini tidak terlepas dari berbagai tantangan dan kesulitan
dalam pelaksanaannya. Pelaksanaan yang optimal dari metode FGD masih
seringkali menjadi bahan perdebatan para ahli penelitian dan consensus
untuk menyepakati metode FGD sebagai metodologi yang ideal dalam
penelitian kualitatif masih belum dicapai (McLafferty, 2004). Metode
FGD berdasarkan segi kepraktisan dan biaya merupakan metode
pengumpulan data yang hemat biaya/tidak mahal, fleksibel, praktis,
elaborasif serta dapat mengumpulkan data yang lebih banyak dari

37
responden dalam waktu yang singkat (Streubert & Carpenter, 2003).
Selain itu, metode FGD memfasilitasi kebebasan berpendapat para
individu yang terlibat dan memungkinkan para peneliti meningkatkan
jumlah sampel penelitian mereka. Dari segi validitas, metode FGD
merupakan metode yang memiliki tingkat high face validity dan secara
umum berorientasi pada prosedur penelitian (Lehoux, Poland, & Daudelin,
2006).
Metode FGD juga memiliki beberapa keterbatasan sebagai alat
pengumpulan data. Dari segi analisis, data yang diperoleh melalui FGD
memiliki tingkat kesulitan yang tinggi untuk dianalisis dan banyak
membutuhkan waktu. Selain itu, kelompok diskusi yang bervariasi dapat
menambah kesulitan ketika dilakukan analisis dari data yang sudah
terkumpul. Pengaruh seorang moderator atau pewawancara juga sangat
menentukan hasil akhir pengumpulan data (Leung et al., 2005).

38
DAFTAR PUSTAKA

Afiyanti, Y. (2008). Focus Group Discussion (Diskusi Kelompok


Terfokus) Sebagai Metode Pengumpulan Dataa Penelitian Kualitatif. Jurnal
Keperawatan Indonesia

Chairi, A. (2009). Landasan Filsafat dan Metode Penelitian Kualitatif.


Discussion Paper

Kehutanan, F., Ilmu, D. A. N., & Oleo, U. H. (2016). Proposal Penelitian Dan
Skripsi.

Kristanto, V. H. (2018). Metodologi Penelitian Pedoman Penulisan Karya


Tulis Ilmiah (KTI). Yogyakarta: CV Budi Utama

Sari,D.R.(2018).PERBANDINGAN “X” ANTARA PEMBELAJARAN

KOOPERATIF TIPE “A” DAN TIPE “B” DITINJAU DARI “Y”. IKIP
PGRI BOJONEGORO

Semiawan, C. R. (2010). Metodei Penelitian Kualitatif Jenis, Karakteristik


dan Keunggulannya. Jakarta: Grasindo

Subadi, T. (2006). Penelitian Kualitatif. Surakarta: University Press.

Sutabri, T. (2012). Analisis Sistem Informasi. Yogyakarta: CV Andi


Offset

Yusuf, A. M. (2014). Kuantitatif, Kualitatif, & Penelitian Gabungan.


Jakarta: Kencana

39

Anda mungkin juga menyukai